Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 30 - Masa Lalu

Chapter 30 - Masa Lalu

Perempuan cantik yang dia kenal, terlihat sangat lusuh dan penuh luka di wajah dan tubuhnya. Kevin tidak bisa melihat Shafa lebih dekat karena ada Alby disamping wanita itu. Padahal dalam hati, dia ingin sekali memeluk Shafa. Iya, sebenarnya dia masih mencintai Shafa, cinta pertamanya.

"Kalau ada yang sakit, kasih tau aku, ya? Biar aku panggil dokter," seru Alby dengan tangan yang terus menggenggam jari Shafa penuh kelembutan.

"Mas, mama kamu gimana sekarang?" Suara Shafa terdengar sangat serak karena terus berteriak semalaman.

"Udah ditangani polisi. Dia pasti bakal dipenjara karena apa yang dia lakukan itu udah kriminal banget. Dia juga terancam pidana percobaan pembunuhan karena memaksa kamu untuk aborsi."

"Sejahat apapun, dia tetap mama kamu. Dia udah dapat balasan dari apa yang dia lakukan. Jadi, kamu harus bisa maafin dia, ya?"

Apa yang Shafa katakan, membuat Kevin semakin jatuh cinta. Dia tidak pernah mengenal Shafa lebih dekat, hanya jatuh cinta karena melihat kecantikannya. Tapi ternyata, hatinya jauh lebih cantik lagi. Mengingat sudah ada Alby di sampingnya, Kevin kembali tersadar dengan kenyataan.

"Shaf, aku seneng kamu baik-baik aja. Keluarga kamu khawatir banget. Aku harap, kamu cepet sehat lagi, ya? Sekarang aku mau izin pulang, udah sore soalnya," ungkap Kevin yang berdiri di belakang Alby.

"Terima kasih, ya, Vin, kamu udah tolongin aku? Kamu bener-bener temen yang baik. Terima kasih, ya?"

Kevin senang walau hanya dianggap teman oleh wanita yang dia cinta. "Iya, sama-sama."

"Terima kasih juga kamu udah bantu kita buat cari Shafa. Maaf kalau kemarin-kemarin saya agak sensitif sama kamu."

"Iya, enggak apa-apa. Jaga Shafa baik-baik, ya, Mas? Dia pasti bakal trauma dan butuh banget suami yang jaga dia. Iya, 'kan, Shaf?" ucap Kevin pada Alby.

Dalam hati Shafa berkata, "Kenapa kedengarannya kayak ada sesuatu yang Kevin sembunyikan, ya? Apa sebenarnya dia masih suka sama aku? Mas Alby peka enggak, ya?"

***

Siska tidak tau harus minta bantuan pada siapa lagi. Sudah banyak orang yang sering dia mintai tolong, dia jadi enggan kalau harus melakukannya lagi. Tapi, dia juga tidak ingin papanya kenapa-kenapa.

Dia mencari nama Alby di kontaknya. Untung saja Alby yang dingin itu mau memberikan nomor ponselnya saat Siska memintanya. Namun, sudah beberapa kali dihubungi tidak juga diangkat.

"Ya ampun, gimana ini? Aku harus gimana lagi? Kalau papa enggak cepat di operasi, hancur udah hidup aku."

Sudah yang ketiga kalinya perawat menanyakan kapan pasien melakukan operasi. Disaat itu juga Alby menghubungi. Walau belum tau apakah Alby akan membantunya atau tidak, Siska sudah cukup senang.

"Ada apa?" tanya Alby.

"Al, maaf aku telpon kamu beberapa kali. Aku mau minta tolong sama kamu. Sebenarnya aku malu karena harus minta tolong lagi setelah beberapa tahun kita enggak ketemu. Tapi, aku bingung harus minta tolong ke siapa lagi kalau enggak ke kamu?"

"Minta tolong apa?" Alby hanya jawab seperlunya disaat Siska panjang lebar menjelaskannya.

"Masih soal papa aku. Kamu tau, 'kan, papa aku sakit-sakitan dari dulu? Sekarang, dia kena komplikasi dan harus di operasi. Operasinya bakal langsung dilakukan kalau aku udah menyelesaikan administrasi."

"Berapa biaya yang dibutuhin?"

"Kamu bisa ke sini aja, enggak? Biar transparan. Biar kamu bisa liat sendiri rinciannya."

"Aduh, gimana, ya?"

"Aku mohon, Al. Papa aku harus cepet di operasi."

Tidak ada suara yang terdengar. Alby seperti mencoba berpikir. Siska sudah sangat panik. Kening dan tangannya banyak berkeringat. Hanya Alby harapan satu-satunya, sejak dulu.

"Yaudah, aku ke sana sekarang. Di mana rumah sakitnya?"

***

Rasanya sangat mengantuk, tapi tidak bisa tidur karena menahan linu dan perih di seluruh tubuhnya. Hanya bisa tidur beberapa menit, kemudian bangun dan begitu seterusnya. Saat Shafa terbangun karena merasakan linu pada tulang kering dikakinya, Alby tidak menyadarinya karena sedang teleponan.

"Minta tolong apa?" ucap Alby pelan dengan tubuh yang membelakangi Shafa, berhadapan langsung ke luar jendela.

Shafa berkata dalam hati dengan mata yang masih tertutup. "Siapa yang minta tolong?"

Selanjutnya Shafa mendengar pembicaraan itu, tapi tidak terdengar jelas. Alby kembali duduk disampingnya dan memegang tangannya lagi. "Shafa, aku pergi dulu, ya? Nanti aku ke sini lagi."

Baru saja bangun dari duduknya, tangannya ditarik pelan oleh Shafa. "Mau ke mana, Mas?"

"Kok, kamu bangun? Ada yang sakit lagi, 'kah?"

"Enggak, kok. Kamu mau ke mana?"

"Aku mau pulang sebentar. Mau ambil baju. Nanti, aku ke sini lagi."

"Aku sendirian, dong?"

"Sebentar lagi Kak Galih dateng, kok. Aku pulang dulu, ya?"

Sebelum menjauh, Shafa mendekap wajah Alby ke hadapannya. Lalu mencium bibir suaminya itu cukup lama. Beberapa kali dan bukan waktu yang singkat. Tidak peduli jika ada orang yang datang.

"Hati-hati di jalan, ya, Mas? Jangan ngebut-ngebut."

Penutup dari keromantisan itu adalah mencium kening dan bibir Shafa dengan lembut. "Iya, Sayang."

Ceklek. Memastikan pintu sudah tertutup dan Alby benar-benar sudah keluar. Shafa mulai menangis, rasa takut dan kesal campur aduk di hatinya. Takut kehilangan dan kesal akan kebohongan.

"Apalagi ini, Mas? Kenapa kamu bohong lagi? Kenapa? Apa lagi yang kamu sembunyikan, Mas?"

***

Selama di jalan, Alby terus memikirkan apa yang telah dia lakukan itu. Bahkan, dia sampai tidak fokus dengan perubahan warna lampu lalu lintas. Membohongi Shafa demi Siska, apakah itu keputusan terbaik yang Alby pilih?

"Aku enggak bermaksud bohongin Shafa. Niat aku bener-bener mau bantu Siska, tapi aku enggak berani kalau harus jujur ke Shafa soal ini. Apalagi Shafa lagi sakit. Kalau aku enggak tolong Siska, kasihan dia. Ya Tuhan, niat aku beneran baik. Aku enggak ada niat lain. Semoga enggak terjadi masalah lagi di rumah tangga aku karena hal ini."

Selepas memarkirkan mobilnya di basemen, Alby jalan cepat memasuki rumah sakit dan ternyata Siska menunggunya. Terlihat kepanikan di wajah mantan kekasihnya itu. Iya, Siska adalah mantan kekasih Alby saat zaman SMP.

"Al? Aku seneng banget kamu beneran ke sini. Ayo, kita ke administrasi sekarang?"

Tangan Alby ditarik Siska sambil berlari menuju ruang administrasi. Alby telah menyelesaikan semuanya dengan cepat dan perasaan lega menyelimuti Siska, walau belum sepenuhnya leg karena masih harus berdoa agar operasi papanya berjalan lancar.

"Terima kasih, ya, Al? Kalau enggak ada kamu, aku enggak tau harus gimana lagi. Maaf harus ngerepotin kamu kesekian kalinya."

"Aku cuma mau tepati janji aja. Dulu, aku pernah janji untuk selalu tolongin kamu selagi aku bisa."

"Kamu masih inget? Kamu terlalu serius. Itu cuma janji anak bau kencur aja, kok, Al." Kembali terlihat senyum dan tawa di bibir Siska. "Kamu udah nikah, ya?"

Mana mungkin Alby menyembunyikan Shafa? Tentu saja dia jawab, "Iya, aku udah nikah."

"Kamu udah izin ke dia kalau mau ke sini? Aku enggak mau dia salah paham, loh?"

"Kamu tenang aja."

Tidak dapat menahannya lagi, Siska memeluk Alby sangat erat. Dia bahkan menangis di punggung lebar milik pria yang pernah sangat dia cintai. "Maaf, ya, Al? Aku janji, ini yang terakhir kalinya aku peluk kamu. Aku bener-bener seneng bisa kenal kamu. Kamu banyak bantu aku dan selalu peduli sama aku. Aku harap, rumah tangga kamu selalu diberikan kebahagiaan. Terima kasih, ya?"

***