Setelah bertengkar hebat untuk yang pertama kalinya, mereka jadi lebih banyak diam tapi saling berdekatan. Bahkan, mereka saling berpelukan di kasur sejak pertengkaran itu berakhir. Berkali-kali Alby mencium pucuk kepala Shafa dengan rasa bersalah yang masih dia rasakan.
"Maafin aku, ya, Shaf?"
"Iya, Mas. Udah, enggak usah minta maaf terus. Aku capek jawabnya."
"Sebagai permintaan maaf aku yang terakhir, gimana kalau malam ini kita jalan-jalan?"
"Aku mau di rumah aja, Mas."
"Katanya kamu mau jalan-jalan?"
"Enggak sekarang."
"Terus kamu mau apa?"
Tiba-tiba Shafa menangis. Tentu saja Alby terkejut. "Kenapa nangis? Tangan kamu sakit, ya?"
"Maafin aku, ya, Mas? Aku belum bisa kasih kamu anak lagi."
Anak adalah karunia terbesar yang Tuhan berikan. Tuhan pasti memberikannya. Hanya saja kita tidak tau kapan waktunya, waktu terbaik menurut Tuhan. Sejujurnya, Alby memang sangat menantikan seorang anak setelah kehilangan kedua anaknya.
"Kita berdoa dan usaha, ya, Sayang? Sabar, Tuhan yang paling tau kapan waktu terbaik untuk kasih kita anak." Alby mendekatkan mulutnya pada telinga Shafa. "Mending sekarang kita nikmatin dulu waktu pacaran yang belum pernah kita rasain." Kemudian, dia mencium lagi pucuk kepala Shafa.
"Enggak mau."
"Loh, kenapa?"
"Enggak apa-apa, hehe ...."
Entahlah. Sepertinya mood Shafa sudah balik lagi. Dia memeluk Alby dengan erat dan menenggelamkan wajahnya di dada sang suami yang tidak memakai baju. Rambut panjangnya yang terurai, menutupi wajah cantiknya. Mereka mengobrol random. Membicarakan soal apapun yang berhasil membuat mereka tertawa di atas ranjang yang menjadi saksi bisu.
"Mas, besok kamu sibuk, ya?"
"Kenapa? Kamu mau jalan-jalan?"
"Jawab aku dulu."
"Besok cuma ada kuliah online di pagi hari dan siangnya ngajar satu kelas. Kenapa, Sayang?"
"Aku mau ke makam ayah dan ibu. Kalau kamu kasih izin, aku bisa pergi sendiri."
"Biar aku yang anter kamu besok pagi setelah selesai kuliah online."
"Kamu enggak percaya, ya, sama aku?"
"Bukan gitu, aku juga mau tengok ayah dan ibu. Mau minta maaf juga karena udah sering nyakitin anak bungsunya."
***
Rutinitas di pagi harinya sudah kembali normal. Setelah perbincangan semalam, Alby mengizinkan Shafa untuk melakukan pekerjaan rumah lagi, tapi dengan beberapa syarat.
Alby sudah bersiap di depan laptopnya dengan pakaian rapi, tapi tetap mengenakan celana pendek favoritnya. Shafa menyiapkan teh hangat dan roti bara untuk sarapan. Sembari menunggu kuliahnya di mulai, Alby meminta Shafa untuk duduk di pangkuannya.
"Tips, dong, Kak supaya cantik setiap hari kayak Kakak," ledek Alby dengan meniru suara wanita sambil mendekap wajah Shafa tepat dihadapannya.
"Ih, apaan, sih?"
Ujung-ujungnya, bibir Shafa tempat singgahnya. Alby mencium bibir favoritnya itu beberapa kali. Shafa hanya menurut, walau dia sulit bernapas. Tentu saja, sebenarnya Shafa juga menyukainya.
"Mas Alby, kalau lagi liat kamu dari dekat kayak gini, aku selalu mikir sesuatu. Kenapa cowo seganteng kamu mau sama aku? Padahal, kamu bisa dapetin yang lebih segalanya dari aku."
"Karena bagi aku, cewe cantik dan luar biasa di dunia ini cuma kamu. Aku enggak ketemu yang lainnya."
"Berarti, aku dan Sonya sama cantiknya, dong?"
"Kenapa tiba-tiba bahas Sonya?"
"Aku kangen banget sama dia, Mas."
Pelukan Alby yang selalu berhasil membuat Shafa candu dan tidak ingin mengakhirinya. Tapi, Alby harus segera mulai pelajaran online-nya dan Shafa meninggalkannya sendirian agar fokus.
"Mbok, daun selada habis, ya?" tanya Shafa sambil berjalan menuruni anak tangga.
"Iya, Mbak. Nanti kalau tukang sayur lewat, saya beli."
"Biar saya aja. Saya mau sapu halaman sekalian tungguin di depan."
Selada adalah sayuran favorit Shafa, sedangkan Alby sangat menyukai timun. Setelah halaman depan bersih dari daun-daun kering, Shafa duduk di bangku taman sambil memainkan ponselnya.
"Kevin? Pasti dapet nomor aku dari Jihan, nih? Aduh, dia ngapain chat aku, sih?"
Shafa sebenarnya penasaran, namun dia tidak ingin ada salah paham. Menghapus chat tersebut walau belum membukanya adalah keputusan yang dia ambil. Setelah tau kalau Kevin pernah sangat menyukainya, Shafa jadi tidak ingin dekat-dekat dengan pria bernama lengkap Kevindra Septian Almarez itu. Bukan apa-apa, Shafa hanya ingin menghindari hal-hal yang akan membuat salah paham lagi.
"Shafa!"
Suara itu asalnya dari luar rumah. Saat berdiri, Shafa melihat seorang pria di depan pagar rumahnya dengan mengendarai sepeda. "Kevin?"
***
Pinggangnya sakit padahal baru duduk sekitar 30 menit. Kuliah onlinenya selesai lebih l cepat karena kelompok Alby presentasi lebih dulu dan diizinkan pamit. Alby langsung bersiap untuk pergi dengan kemeja hitamnya. Setelah berpakaian rapi, dia memanggil Shafa yang tidak juga menyahut.
"Shafa mana, Mbok?"
"Tadi lagi sapu halaman sambil nunggu tukang sayur, Mas."
Apa yang diucapkan Mbok Dewi tidak benar. Tidak ada siapapun di halaman depan. "Enggak ada, Mbok."
"Loh, tadi ada, kok, Mas. Terus Mbok tinggal bersihin kamar mandi. Jadi Mbok enggak tau lagi."
"Mbok enggak bohong, 'kan?" tanya Alby sedikit curiga karena kejadian sebelumnya.
"Enggak, kok, Mas. Mbok jujur."
Alby duduk di ruang tengah dan mencoba menelpon Shafa, namun sulit dihubungi seperti biasa. "Kebiasaan banget, sih, Shaf? Selalu susah dihubungi," ucapnya pada ponsel yang dia genggam.
"Permisi?! Permisi?!"
Kencangnya suara tersebut membuat Alby segera keluar rumah dan menemukan Kevin di depan pintu gerbang, masih depan sepedanya. "Ada apa teriak-teriak gitu?"
"Shafa diculik, Mas."
Apa yang dikatakannya memang membuat Alby kaget, tapi lebih banyak bingungnya. "Diculik?"
"Tadi saya liat, Shafa dibawa masuk ke dalam mobil sama 2 orang cowo. Saya beneran liat, Mas."
Alby benar-benar kebingungan. Dia tidak tau harus melakukan apa. Akhirnya, Alby mendatangi tempat yang Kevin maksud. Di sana banyak orang yang berkumpul dan mengatakan seperti yang Kevin katakan. Di saat itu juga, Alby menghubungi kakak ipar dan papanya untuk meminta tolong.
"Tadi Mbak Shafa habis belanja di warung saya, Mas," ucap ibu-ibu berdaster merah.
"Ibu liat penculiknya?"
"Liat, Mas. Terus pas mobilnya dibuka, saya liat ada perempuan di dalamnya. Tapi enggak keliatan jelas, sih."
Fahri datang bersama Galih. Mereka memeluk Alby yang diam-diam menangis karena panik. Sebenarnya, Fahri ingin memberitahu sesuatu. Namun, dia takut ucapannya hanya akan memperkeruh keadaan. Setelah beberapa menit berbicara dengan warga dan pak RT, Fahri membawa anaknya kembali ke rumah.
"Al, kamu tenang dulu. Papa tau kamu cemas, tapi kita harus tetap tenang supaya bisa cari Shafa." Fahri juga menepuk punggung Galih yang duduk di sampingnya. "Kamu juga, Gal. Kita harus mikir positif semoga Shafa baik-baik aja."
"Pa, aku curiga sama seseorang," ungkap Alby.
Dalam hati Fahri berkata, "Apa mungkin orang yang aku dan Alby curigai adalah orang yang sama?"
"Siapa, Al?" tanya Galih.
"Apa mungkin ini ulah Mama, Pa?"
***