Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 27 - Bertengkar

Chapter 27 - Bertengkar

Baru saja menyelesaikan kelasnya, Alby dengan cepat pergi ke ruang guru dan bersiap untuk pulang. Sambil berjalan dan membalas sapaan murid-muridnya, Alby memainkan ponsel untuk menghubungi Shafa lagi.

"Kebiasaan banget kalau ditelepon enggak langsung diangkat," gumam Alby.

Entah sejak kapan, seorang wanita sudah menunggu di depan mobil Alby. Saat Alby mendekatinya, "Dateng, ya? Sebentarrr aja."

"Siska, saya harus cepet-cepet pulang."

"Gini, deh. Kalau kamu dateng, aku janji setelah ini enggak akan ganggu kamu lagi."

Masa bodo dengan apa yang Siska ucapkan, Alby langsung masuk ke dalam mobilnya dan wanita itu pergi dengan ojek online yang dia pesan.

Bukannya pergi, Alby terus berusaha menghubungi Shafa walau tidak diangkat juga. Tiba-tiba pikirannya putar balik pada Siska. Dia tidak ingin ada masalah lagi di dalam rumah tangganya. Jika kali itu dia menuruti mau Siska, apa wanita itu benar tidak akan mengganggunya lagi?

Mobilnya melaju dengan kecepatan sedang. Karena tempat yang Siska maksud selalu dia lewati, Alby memutuskan untuk memarkir mobilnya depan gerbang SMP dan berjalan kaki masuk ke sebuah gang disampingnya. Ragu sebenarnya, namun dia berharap dengan itu Siska tidak akan mengganggunya lagi.

Aku yakin kamu pasti bakal dateng. Sini, Al!" sapa Siska.

"Kamu mau apa?"

"Sini, duduk dulu."

"Aku enggak bisa lama."

"Ish, duduk doang, kok. Kamu tuh ...." Ponsel Siska berdering pertanda panggilan masuk. "Halo?"

Bibirnya terkunci rapat dengan air mata yang keluar langsung deras. "Iya, aku pulang sekarang."

"Kenapa?" tanya Alby.

"Papa aku masuk rumah sakit lagi, Al. Aku harus pulang sekarang. Kita lanjut lain kali aja, ya?"

Lain kali? Tentu saja Alby tidak mau. Dia ingin itu menjadi yang terakhir untuk dia berhubungan dengan Siska diluar jam kerja.

Siska pergi meninggalkan Alby begitu saja, padahal tadi dia yang bersemangat mengajaknya. Alby perlahan ingat akan kebaikan Siska yang dulu selalu menolongnya.

"Mau aku antar?"

Sungguh, dalam hati Alby merasa bersalah pada Shafa. Dia memang tidak macam-macam dengan Siska, tapi karena kesalahannya di masa lalu, dia selalu merasa bersalah pada istrinya setiap dekat dengan wanita lain.

Saat sampai di rumah sakit, Alby benar-benar hanya mengantarnya. Bahkan dia tidak turun dari mobilnya. Siska melihat Alby sejenak.

"Al, kamu benar-benar enggak inget sama aku?"

"Awalnya iya, tapi sekarang udah inget, kok."

"Soal kita? Kamu inget?"

"Eum ... Saya enggak terlalu inget. Saya harus pulang sekarang."

***

Alby semakin jauh dari rumahnya. Dia sudah telat pulang dan tidak dapat mengabari Shafa karena istrinya itu tidak dapat dihubungi. Tapi, Alby sudah memberitahu Mbok Dewi kalau dia akan pulang telat.

Radio yang dia putar menyiarkan suatu cara bagaimana menaikkan mood seorang wanita, salah satunya dengan memberikan makan. Alby yang bukan pria romantis, tentu saja tidak tau akan hal itu.

"Shafa suka es krim enggak, ya? Aku juga enggak pernah beliin dia es krim."

Mampirlah Alby ke sebuah kafe yang tidak terlalu antri. Dia memesan 2 es krim khusus untuk dibawa pulang. Tapi ternyata, antriannya panjang karena pesanan online. Karena sudah terlanjur pesan, Alby memutuskan untuk menunggu. Saat hendak duduk, dia dipanggil seorang wanita.

"Kak Alby!"

Alby mencari sumber suara tersebut. "Karina?"

"Sini, Kak!"

Merasa aman karena Karina dan Shafa juga sudah saling kenal, Alby mendekati Karina. "Kamu, kok, ada di Jakarta?"

"Iya, Kak. Aku balik lagi ke Jakarta soalnya mau lanjut kuliah."

"Sendirian aja kamu di sini?"

"Iya, keluarga aku pindah ke Bandung. Jadi aku sendirian di Jakarta. Bosen di rumah, makannya aku ke sini."

Beberapa menit mereka hanya saling diam. Walau lelaki, Alby bukan tipe yang mudah buka pembicaraan. Hanya pada Shafa dia bisa melakukannya.

"Kak Alby kenapa pindah ke Jakarta?"

"Enggak apa-apa, kok." Mana mungkin Alby menceritakan masalah rumah tangganya pada Karina? "Kamu kuliah di mana, Kar?"

"Di Universitas Cipta Bangsa."

"Sama, dong. Saya juga kuliah di sana sekarang."

"Mas Alby?"

Mereka terkejut dengan kehadiran Shafa.

"Shafa? Kamu ngapain di sini?"

"Kamu yang ngapain di sini, berduaan pula sama dia. Eum ... Kamu Karina, 'kan?"

"Iya, Mbak." Karina bangun dan memegang lengan Shafa. "Mbak Shafa jangan salah paham, ya? Tadi aku sama Kak Alby enggak sengaja ketemu aja di sini."

"Iya, Shaf. Tadi aku lagi pesan ...."

"Ayo, pulang."

Shafa memegang tangan Alby dengan kencang dan menariknya pergi dari sana. Dia lebih dulu mengambil tasnya, kemudian pergi. Namun, Kevin entah sengaja atau tidak, menarik tangan Shafa untuk menahannya pergi.

"Shaf, tunggu dulu."

Tangan kirinya yang menganggur, Alby gunakan untuk menepis tangan Kevin. "Enggak usah pegang-pegang istri saya!"

***

Selama di mobil ditambah macet yang lumayan panjang, mereka hanya terus saling diam. Ada ketakutan masing-masing di hati mereka karena kesalahpahaman. Ketika sampai di rumah, Alby menarik Shafa ke dalam kamar lalu menghempaskannnya ke kasur.

Belum apa-apa, Shafa sudah menangis. Dia memang terkenal cengeng sejak kecil. "Kamu marah sama aku, Mas? Aku juga marah sama kamu!"

"Kenapa kamu ikutan marah? Apa salah aku?!"

"Kamu enggak sadar? Kamu pulang terlambat karena lagi berduaan sama Karina di tempat yang lumayan jauh dari rumah!"

"Bukannya tadi udah dijelasin sama Karina, ya? Kita enggak sengaja ketemu di sana! Aku ke sana karena mau beliin es krim buat kamu!"

"Ngapain kamu beli es krim sampai jauh-jauh ke sana?! Pasti udah janjian, 'kan, sama dia?!"

"Ya ampun. Tadi aku sekalian lewat aja, Shaf."

Shafa keluar dari kamar, tapi Alby menarik tangannya dengan kasar. Shafa menatap mata Alby yang merah dan bibir yang gemetar seperti menahan kesal.

"Aw, sakit. Lepasin, Mas!" ringis Shafa sambil mencoba melepaskan cengkraman tangan suaminya.

"Kenapa kamu langgar perintah aku?! Kenapa kamu pergi tanpa kasih tau aku?! Ke mana aja kamu pergi dan siapa mereka?!"

"Sakit, Mas. Tolong lepasin dulu."

"Jawab!"

Shafa makin menangis karena Alby malah semakin mempererat genggamannya. Bahkan, Mbok Dewi sampai sesekali mengamati pertengkaran majikannya tersebut.

"Sakit, Mas! Lepasin!!!" teriak Shafa bersamaan dengan tangisannya.

Seperti setan telah keluar dengan cepat dari tubuh Alby, pria itu langsung melepaskan cengkramannya. Shafa terjatuh sambil memegang tangannya dan menangis kesakitan. Sedangkan Alby, dia terduduk tepat di depan Shafa, memperhatikan istrinya itu dengan terdiam dan tatapan kosong. Setelah saling berbicara dengan nada kencang dan penuh emosi, mereka perlahan mulai tenang.

"Aku bosen di rumah terus, Mas. Aku mau main, mau jalan-jalan, aku bosen di rumah berbulan-bulan dan enggak boleh lakuin apapun yang kamu larang. Aku selalu sabar nunggu kamu libur kerja dan libur kuliah. Aku capek, Mas. Kamu paham maksud aku, 'kan? Kamu percaya sama aku, 'kan, Mas?"

Tidak habis pikir dengan apa yang telah dia lakukan, Alby sampai menangis setelah menyadari perlakuannya. "Maafin aku, Shaf. Aku enggak seharusnya semarah ini."

"Aku emang salah, Mas. Ini kesekian kalinya aku enggak nurut sama kamu. Aku maklumi kalau kamu enggak bisa percaya sama aku lagi. Tapi sumpah, aku enggak pernah main-main di belakang kamu. Cowo tadi namanya Kevin dan itu temannya Jihan. Aku baru kenal tadi sama Kevin. Soal ini aku enggak bohong, Mas."

"Maafin aku, ya?"

Kali itu, Alby memegang tangan Shafa dengan lembut. Rasanya sangat sesak di dada, ingin sekali marah pada dirinya sendiri karena telah menyakiti Shafa untuk yang kesekian kalinya. Apalagi, tangan Shafa sampai berdarah.

"Sakit, Mas."

"Maaf, ya, Sayang? Maafin aku. Aku benar-benar minta maaf."

Iya, hanya pelukan Alby tempat ternyaman setelah pelukan dari kedua orang tuanya tidak lagi dapat Shafa rasakan. Walau Alby telah menyakitinya berkali-kali, rasanya Shafa bisa dengan mudah memaafkannya.

"Maafin aku, ya? Maafin aku."

***