Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 26 - Salah Paham?

Chapter 26 - Salah Paham?

Lagi-lagi kembali ke tempat yang selama ini ingin sekali di hindari. Tapi Alby selalu datang karena masalah serius. Dokter mengatakan Shafa mengidap anemia sejak beberapa tahun lalu.

Wajahnya sangat pucat dan tubuhnya lebih panas dari suhu normal. Tangan Alby terus menggenggam jemari Shafa yang putih bersih. Sesekali dia menciumnya sambil berdoa.

"Shafa?"

Memang dokter sudah mengatakan sebelumnya kalau Shafa akan sadar dengan cepat. Mata sayupnya terbuka dan langsung melihat ke suaminya yang duduk disampingnya.

"Mas, aku mau pulang."

"Mamu harus dirawat di sini sampai sembuh."

"Aku enggak suka di sini, Mas."

Tidak lama dokter datang dengan seorang perawat. Dia kembali mengecek kondisi Shafa setelah sadar. "Apa yang Mbak rasakan sekarang? Apa masih pusing?"

"Udah mendingan, Dok. Apa saya harus di rawat inap?"

"Kondisi Mbak Shafa sudah membaik dari sebelumnya. Saya perbolehkan untuk rawat jalan. Tapi, lebih baik lagi jika dirawat inap."

Shafa menengok ke arah Alby yang masih menggenggam tangannya. "Mas, aku enggak mau di sini. Aku mau pulang."

"Jika Mbak Shafa mau melakukan rawat jalan, nanti akan saya berikan beberapa suplemen dan vitamin B12 untuk membantu menghasilkan lebih banyak sel darah. Lalu ada catatan untuk makanan apa saja yang tidak boleh dikonsumsi dulu dan disarankan untuk istirahat yang cukup," tutur Dokter.

"Dok, apa anemia bisa disembuhkan?" tanya Alby.

"Anemia itu salah satu penyakit atau kondisi yang mudah disembuhkan, asal rajin dalam mengkonsumsi suplemen penambah darah, makan-makanan yang sehat, istirahat yang cukup, dan menjalani prosedur medis dengan baik," jawab Dokter cantik itu secara perlahan dan jelas.

***

Penyakit yang dialami Shafa sudah dimiliki sejak masih sekolah. Setelah mengetahuinya, Alby jadi sering menyuruh Shafa untuk banyak istirahat dan tidak mengizinkannya melakukan banyak hal yang akan membuatnya lelah.

Beberapa bulan berlalu. Hubungan Alby dan Shafa baik-baik saja, tapi ada sedikit perubahan suasana dalam rumah tangga mereka. Mereka mulai jarang memiliki waktu bersama karena Alby sibuk bekerja. Apalagi setelah dia memutuskan untuk kuliah lagi dan melanjutkan S2.

Hari itu, Alby ada jadwal kuliah pagi. Shafa berusaha untuk bangun lebih awal agar bisa menyiapkan sarapan untuk suaminya.

"Pagi, Shaf? Kamu tidur nyenyak?" sapa Alby sambil mencium bibir Shafa seperti biasanya.

"Nyenyak, kok. Nih, aku bikin sup ayam buat kamu sarapan. Mau bawa bekal enggak, Mas?"

"Sayang, biarin aja Mbok Dewi yang masak. Nanti kamu kecapean, loh?"

"Kalau capek aku pasti istirahat, kok."

Telapak tangan Alby yang lebar, meraup wajah Shafa dengan lembut. "Shafa, mulai sekarang kamu enggak perlu masak dan beres-beres rumah lagi. Ini perintah dari aku, paham?"

"Tapi, Mas ...."

"Mbok Dewi," panggil Alby pada ART yang baru saja pulang belanja. "jangan biarin Shafa masak dan beres-beres rumah, ya? Ini perintah dari saya."

"Iya, Mas Alby."

"Mas, tugas istri itu rawat suami, beres-beres rumah, termasuk masak juga. Masa kamu larang itu, sih?"

"Aku enggak mau kamu kecapean, terus sakit. Pokoknya, kamu harus istirahat."

Senyum Alby masih tetap manis, tapi Shafa tidak merasa bahagia seperti biasaz. Dia tau maksud Alby untuk menjaganya, tapi menurut Shafa itu berlebihan. Dia merasa baik-baik saja dengan anemia yang dialaminya sejak dulu. Tapi alby terlalu mengkhawatirkannya.

"Terus tugas aku sebagai istri apa?"

"Layanin aku."

***

Shafa merasa bosan karena sudah hampir 2 bulan di rumah saja. Dia berusaha menuruti perintah sang suami untuk istirahat. Alby yang biasanya selalu mengajak Shafa jalan-jalan setiap hari libur, beberapa bulan belakangan sibuk dengan tugas kuliah dan pekerjaannya.

Dengan pakaian rapi, Shafa menuruni anak tangga dan bergegas pergi. "Mbok Dewi, saya pergi dulu."

"Loh, Mbak Shafa mau ke mana?"

"Mau ketemu teman. Tapi jangan kasih tau Mas Alby, ya, Mbok?"

"Tapi, Mbak, Mas Alby enggak kasih izin, 'kan? Nanti kalau Mas Alby tau, pasti dia marah sama Mbak Shafa."

"Dia enggak akan tau, Mbok. Saya enggak lama, kok. Saya pergi dulu, ya?"

Taxi online yang dipesan sudah menunggu di depan rumah. Shafa pergi ke sebuah mall besar yang ada di Jakarta. Temannya sudah menunggu di salah satu restoran yang menjadi tempat janjian mereka.

"Apa kabar, Shaf?" tanya Jihan.

"Eum, sedikit setres 2 bulan di rumah doang, hehehe."

"Suami kamu overprotektif, ya? Kamu dikekang sama dia?"

"Sebenernya dulu dia enggak kayak gitu. Cuma setelah tau aku punya anemia, dia suruh aku istirahat terus dan enggak kasih aku izin untuk pergi ke mana-mana tanpa dia."

"Maksud dia baik, sih. Tapi sedikit berlebihan. Kalau kamu merasa kurang suka sama aturan itu, jujur aja sama dia, Shaf. Daripada kamu setres?"

"Aku belum pernah ngomong hal itu sama dia, sih. Nanti aku coba, deh."

"Loh, Jihan?"

Seorang pria dengan tubuh setinggi Alby, datang menyapa mereka. Shafa menyipitkan matanya, mengamati pria itu sembari mengingatnya.

"Kevin? Apa kabar?" sapa Jihan dengan memeluk Kevin.

"Baik, Han."

Setelah mempersilahkan Kevin gabung dengan mereka, Jihan langsung menggenggam tangan Shafa erat-erat. "Eh, Shaf, mau tau sesuatu enggak?"

"Eum? Apa?"

"Si Kevin ini anak kelas sebelah. Dia dulu tergila-gila banget sama kamu tau."

"Oh, ternyata bener ini Shafa? Aku takut salah orang tadi."

"Halah, takut salah orang atau masih belum berani nyapa?" ledek Jihan pada Kevin.

***

Setelah pulang dari kampus, Alby langsung pergi ke sekolah untuk mengajar. Ada 2 kelas yang dia ajar di hari itu. Selalu merasa lelah, tapi suara Shafa membuatnya kembali semangat.

Alby menelpon Shafa seperti biasanya. Tapi, beberapa kali ditelpon tidak ada yang diangkat. Pesannya juga tidak dibaca.

"Kok, enggak diangkat-angkat, sih?"

Selang beberapa detik setelah mematikan panggilan itu, Shafa menelpon balik. Alby yang sedang di kamar mandi mengangkatnya dengan cepat.

"Kok, telpon aku enggak diangkat-angkat, sih?" cecar Alby.

"Tadi aku lagi di kamar mandi, Mas. Ada apa kamu telpon?"

"Enggak, cuma mau telepon kamu aja."

Ting, tong. Jam istirahat selesai.

Bel tersebut mengharuskan Alby mengakhiri panggilannya dengan Shafa karena harus mulai mengajar. "Sayang, aku tutup teleponnya, ya? Kamu baik-baik di rumah. Jangan kecapean, oke?"

Ruang guru perlahan sepi karena guru-guru mulai mengajar. Alby menyiapkan buku dan tasnya sebelum pergi ke kelas 11 MIPA 3.

"Alby!"

Suara itu terdengar lumayan kencang, apalagi sudah tidak ada orang di sana. Alby menengok dan melihat Siska yang juga ingin meninggalkan ruang guru.

"Siska, jangan kencang-kencang gitu manggilnya."

"Iya, deh, maaf. Habis ini kamu masih ada kelas lagi?"

"Habis ini saya pulang."

"Kamu ada waktu enggak? Aku mau ngomong sesuatu."

"Soal apa?"

"Soal kita."

"Kita? Ada apa sama kita?"

"Kalau penasaran, setelah selesai ngajar kita ketemuan di warung samping SMP kita dulu. Masih inget, 'kan?"

"Enggak bisa, saya harus langsung pulang," tolak Alby dengan cepat.

***

Berkali-kali menolak karena harus segera pulang, Jihan tetap saja memaksa dan menggenggam erat tangan Shafa untuk ikut dengan mereka. Mereka? Iya, karena sedari tadi, Kevin ikut jalan-jalan dengan mereka. Sebenarnya Shafa merasa canggung, apalagi saat tau kalau Kevin pernah sangat menyukainya secara diam-diam.

"Tapi enggak bisa lama. Eum ... 10 menit. Setelah itu aku langsung pulang, ya?"

"Ih, Shafa. 30 menit, deh," tawar Jihan.

"15 menit?"

"20 menit, deh. Oke???"

Setelah berpikir singkat, Shafa mengangguk lalu mereka masuk ke dalam mobil milik Kevin. Jihan lagi-lagi memaksa Shafa untuk duduk di samping Kevin, namun dengan kuat Shafa menolak dan duduk di kursi belakang.

Kafe es krim yang sedang viral menjadi tujuan mereka. Kafe itu sangat ramai, untung saja mereka mendapatkan tempat walau ada di posisi belakang. Mereka memesan menu yang berbeda, kemudian mengobrol dengan canggung.

"Ih, kok, jadi canggung gini, sih?" ucap Jihan.

"Jihan, kok, kamu enggak bilang, sih, tempatnya sejauh ini?" kata Shafa sambil memegang lengan Jihan.

"Emangnya kenapa?"

"Aku pulang sekarang, ya? Tempatnya jauh banget dari rumah aku. Aku takut Mas Alby pulang lebih dulu."

"Mas Alby? Siapa dia?" tanya Kevin dengan satu rasa curiga di hatinya. "Pacar kamu, Shaf?"

"Bukan pacar, tapi suami aku," jawab Shafa tegas, namun dengan menampilkan senyumannya.

"Kamu udah nikah?"

"Udah jalan 2 tahun."

Kevin terdiam dan berpandangan dengan Jihan. Di saat itu juga Shafa dibuat terdiam ketika melihat seseorang walau jauh posisinya. Shafa berjalan mendekati orang tersebut, mengabaikan Jihan yang terus memanggilnya.

"Mas Alby?"

"Shafa? Kamu ngapain di sini?"

"Kamu yang ngapain di sini, berduaan pula sama dia. Eum ... Kamu Karina, 'kan?"

***