Alby merasa sangat kesal. Dia sampai memutuskan untuk tidur di ruang tengah. Shafa takut untuk membangunkan Alby. Tapi, Mbok Dewi memberikan saran agar Shafa berani. Dia membuat teh tawar hangat yang setiap pagi Alby minum.
"Mbok Dewi aja, deh, yang bangunin. Saya takut."
"Kalau kayak gitu gimana Mbak Shafa sama Mas Alby bisa baikan? Mending Mbak Shafa bangunin dan langsung minta maaf. Mungkin pikirannya Mas Alby udah enakan sekarang." Saran Mbok Dewi dapat Shafa terima, namun sulit dilakukan.
Setelah beberapa menit melihat Alby dari dapur, Shafa memberanikan diri membawa teh yang dia buat dan duduk disamping sang suami.
"Mas Alby, bangun. Kamu harus ke sekolah, 'kan?"
Alby bukan tipe orang yang sulit dibangunkan. Dia mudah bangun saat mendengar bunyi yang mengganggunya. Matanya setengah terbuka. Dia duduk sambil melihat Shafa dihadapannya.
"Aku bikin teh buat kamu, nih."
Sudah kembali sadar akan kejadian semalam, Alby memperbaiki posisi duduknya dan sedikit menjauh dari Shafa. Namun, tangannya tetap mengambil teh yang disajikan.
"Aku minta maaf soal semalam, ya, Mas? Aku bisa jelasin ke kamu, kok."
"Coba jelasin."
Shafa duduk dibawah sofa sambil memegang lutut Alby. "Aku emang salah, Mas. Makannya aku minta maaf. Aku ketemu sama teman lama yang baru pulang dari luar negeri. Tiba-tiba dia ajak aku main ke rumahnya yang ternyata ada acara reuni SMA di sana. Dia juga kasih aku baju yang baru. Karena aku suka sama bajunya dan belum pernah punya, jadi aku pakai."
"Kenapa kamu enggak kasih tau aku dulu?" tanya Alby dengan pandangan yang lurus ke depan sembari menyeruput tehnya.
"Aku pikir awalnya cuma sebentar. Ternyata aku ketemu banyak teman dan enggak terasa udah malam. Itupun aku izin pulang lebih dulu naik taxi. Pas di jalan, sopir taxi-nya kurang sopan sama aku. Aku minta turun pas banget di depan perumahan sambil hujan-hujanan, deh."
"Kenapa kamu enggak bisa dihubungin?"
"Aku enggak tau handphonenya ketinggalan di mana, Mas." Shafa memeluk kaki Alby seperti anak kecil yang sedang merengek. "Tolong maafin aku, Mas. Aku janji enggak akan ulangi lagi. Tolong jangan marah sama aku."
Alby bangun dari duduknya. "Masuk kamar dan jangan keluar sampai aku suruh, paham?"
***
Alby percaya kalau dia akan diterima di sekolah itu. Dia sudah punya pengalaman yang cukup sebagai salah satu syarat mengajar di sana. Semua guru yang melamar dikumpulkan di aula sekolah. Alby mengambil posisi kosong di belakang.
Pikirannya masih tentang Shafa. Dia tidak menyangka bisa semarah itu pada wanita tercintanya. Tapi dia akui Shafa terlihat sangat cantik saat memakai mini dress semalam, walau basah kuyup karena kehujanan. Namun, itu juga yang membuat Alby takut Shafa disukai banyak pria karena kecantikannya.
"Alby? Udah sampai dari tadi?"
Wanita itu lagi. Siska datang dan duduk disamping Alby. Sebenarnya Alby sudah ingat tentang masa lalunya dengan wanita feminim itu, walau belum sepenuhnya ingat.
"Belum lama."
"Aku padahal berangkat dari 1 jam yang lalu, tapi baru sampai gara-gara macet banget di dekat kampus Bani Media. Kamu lewat sana juga?"
"Saya enggak lewat sana," jawab Alby singkat, namun tetap sopan dengan senyumannya.
Kepala sekolah datang dengan beberapa guru untuk menyambut calon guru baru yang berkumpul di aula itu. Mereka meminta satu persatu calon guru maju ke depan dan mencari nama mereka di daftar hadir untuk melihat apakah lolos atau tidak.
"Jika lolos, silahkan langsung temui saya di ruang kepala sekolah untuk menandatangani berkas-berkas. Saya tunggu sampai jam 12 siang, terima kasih dan sukses selalu," ucap kepala sekolah yang terlihat masih muda dengan kumis tipisnya.
Alby bersiap karena namanya berawalan A. Dia menggendong tasnya dan merapikan kemejanya. Benar saja, dia dipanggil setelah 2 orang maju.
"Saya duluan, ya?"
Saking cueknya, bahkan Alby langsung pergi saat Siska belum menjawabnya. Namanya ada di barisan atas dan dia menjadi salah satu yang lolos diantara 25 pelamar lainnya.
Setelah selesai menemui kepala sekolah, berkali-kali Alby mengucapkan syukur. Seakan lupa dengan masalahnya, dia langsung menelpon Shafa untuk mengabari. Mengetahui telponnya tidak aktif, Alby baru ingat kalau ponsel Shafa hilang. Dia pun nelepon Mbok Dewi yang ternyata ART-nya itu sudah menghubunginya beberapa kali.
"Halo, Mbok? Ada apa telpon saya?"
***
Karena semalam hujan-hujanan, Shafa merasa tubuhnya tidak baik-baik saja. Dia merasa pusing, sedikit meriang, dan pegal-pegal. Bahkan, Mbok Dewi sampai menyuapi majikannya itu agar mau makan.
"Ayo, biar saya antar ke klinik, Mbak?"
"Nanti aja, Mbok, kalau Mas Alby udah pulang. Saya cuma mau tidur aja. Ngantuk banget habis minum obat," jawab Shafa dengan mata terpejam dan bibirnya yang terlihat mulai pucat.
"Yaudah, saya tinggal masak dulu, ya, Mbak? Nanti kalau butuh apa-apa, panggil saya aja."
Mbok Dewi keluar dan langsung menelpon Alby. Namun, ponsel Alby tidak aktif. Setelah beberapa kali, akhirnya Alby menelponnya balik.
"Halo, Mbok? Ada apa telpon saya?"
"Mas Alby, saya mau kasih tau kalau Mbak Shafa sakit. Dia enggak mau ke klinik sebelum Mas Alby pulang."
"Saya pulang sekarang, Mbok."
Takut Shafa kenapa-kenapa, Mbok Dewi memutuskan untuk kembali menemaninya. Dia memijat kaki dan tangan Shafa yang terasa semakin panas. Keringat juga mulai bercucuran dan wajahnya terlihat semakin pucat.
"Mbok Dewi, saya takut."
"Takut kenapa, Mbak?"
"Tadi saya mimpi berpisah sama Mas Alby," ucap Shafa dengan suara lemah.
"Itu cuma mimpi, Mbak. Mas Alby itu sayang banget sama Mbak Shafa. Dia enggak mungkin tinggalin Mbak Shafa."
"Kalau saya yang tinggalin dia gimana?" tanya Shafa melantur.
***
Mobilnya di parkir depan rumah. Alby langsung berlari memasuki rumah dan kamarnya tanpa melepas sepatu. "Assalamualaikum?"
"Wa'alaikumsalam. Akhirnya Mas Alby pulang juga."
Shafa yang duduk bersandar di kasur, tersenyum melihat Alby pulang. "Wa'alaikumsalam. Gimana, Mas? Kamu di terima?"
Alby memeluk Shafa dengan erat. Jantungnya berdegup sangat kencang karena khawatir. Bahkan dia tidak merasakan bahagia setelah diterima mengajar di sekolah idamannya. "Shafa, kamu enggak apa-apa?"
"Aku cuma pusing aja, Mas."
"Shaf, aku diterima. Ini semua berkat doa kamu. Terima kasih, ya?"
"Apapun yang kamu lakukan, selagi itu hal baik aku akan selalu dukung dan doain kamu."
"Maafin aku udah marah-marah sama kamu semalam. Aku benar-benar minta maaf, ya?" Tidak peduli ada Mbok Dewi di sana, Alby mencium kening Shafa berkali-kali. "Kita berobat sekarang, ya?"
"Mas, tadi aku mimpi buruk."
"Mimpi apa, sayang?"
"Kita pisah karena aku yang pergi tinggalin kamu."
"Ah, itu cuma mimpi." Alby memang tidak pernah mempercayai mimpi dan hanya menganggapnya angin lewat saja.
"Gimana kalau aku beneran tinggalin kamu?"
"Enggak usah dibawa serius. Itu cuma mimpi, Sayang," jawab Alby sambil mengusap kening Shafa."
"Gimana kalau benar?"
Walau badan Shafa terasa panas, Alby tetap suka memeluk Shafa. Mengusap punggung dan kepala sang istri. "Enggak akan terjadi. Kita ke klinik sekarang, ya?"
Alby diam mengikuti Shafa. Namun, kepala Shafa terjatuh ke pundak lebar sang suami. "Shafa?"
***