Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 24 - Kehidupan Baru

Chapter 24 - Kehidupan Baru

1 bulan setelah Alby dapat kembali melihat berkat mata yang Sonya donorkan, pria tampan itu memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Dia meninggalkan pekerjaan dan semua kenangan buruk di kota yang indah itu.

Shafa perlahan dapat menerima semua yang terjadi di hidupnya. Kehilangan beberapa orang yang dia cinta, tidak boleh membuatnya menyerahkan hidupnya. Berkat Alby, Shafa mampu bertahan.

"Aku deg-degan banget buat wawancara besok," ucap Alby sambil memeluk Shafa yang tertidur di lengannya.

"Aku yakin kamu pasti diterima." Alby mencium kening Shafa dengan lembut.

"Kalau aku enggak lolos lagi, terpaksa aku harus kerja di perusahaan papa."

"Kali ini kamu pasti lolos, kok. Toh, kamu udah mempersiapkan semuanya, udah memperbaiki kesalahan dan kekurangan dari lamaran sebelumnya. Jadi kali ini kamu pasti lolos."

Shafa selalu membuat Alby hangat dan nyaman. Ucapannya yang membuat hati tenang dan wajah cantiknya yang membuatnya makin jatuh cinta. Alby menarik perlahan dagu Shafa dan mulai mencium bibir mungil sang istri.

"Aku sayang banget sama kamu. Aku enggak nyangka bisa bertahan sama kamu sampai saat ini, setelah banyak masalah dalam rumah tangga kita. Ini semua berkat kamu yang selalu baik dan sabar."

"Semuanya berkat kamu juga, Mas. Kalau enggak ada kamu, mungkin aku udah enggak ada sekarang. Aku pernah berpikir untuk susul ibu, ayah, dan Sonya." 

Tubuh besar Alby berhasil menutupi seluruh tubuh Shafa yang kecil. Telinga Shafa tepat berada di dada bidang Alby dan membuatnya dapat merasakan detak jantung suami tercintanya yang terdengar normal.

"Jangan pergi, Shaf. Kita harus hidup sama-sama."

***

Kicauan burung yang hinggap di balkon rumah terdengar sangat nyaring. Shafa bangun lebih dulu dan segera ke kamar mandi, menyiapkan air hangat untuk sang suami. Namun tidak sengaja, dia membuka keran air panas dan mengenai kakinya.

"Aw, panas! Aw ...."

Teriakan Shafa memang tidak terlalu kencang, ditambah suara keran yang mengalir memenuhi bathtub. Wajar saja jika Alby tidak mendengarnya.

"Aduh, masih pagi ada aja," gerutu Shafa.

Saat keluar dari kamar mandi, ternyata Alby sudah bangun. Pria itu duduk diujung kasur dengan mata yang tertutup dan rambutnya yang berantakan.

"Kenapa, Shaf?" tanya Alby yang kemudian menguap.

"Oh, kamu udah bangun? Enggak apa-apa, kok, Mas. Cepat kamu mandi, biar enggak telat ke sekolah."

Alby merentangkan kedua tangannya. "Sini, peluk dulu." 

Tanpa berpikir, Shafa berjalan dan mereka berpelukan erat. Setelah beberapa menit pelukan tanpa berbicara apapun, Alby akhirnya mandi dan Shafa merapikan kamar.

Walau ada Mbok Dewi, Shafa tetap membuat sarapan sendiri untuk sang suami. Katanya, tugas Mbok Dewi hanya merapikan rumah dan membantunya sedikit, sedangkan merawat Alby adalah tugas Shafa sendiri.

"Mbak Shafa, saya mau ke pasar dulu."

"Jangan lupa pesanan saya, ya, Mbok?"

"Iya, Mbak."

Saat Shafa sedang sibuk membuat beberapa roti bakar, Alby datang dengan penampilan yang sudah rapi. Dia kembali memeluk Shafa dari belakang dan mencium pipinya tanpa dilepas.

"Mas Alby, aku lagi bikin ini dulu."

Alby pun melepaskan bibirnya dari pipi sang istri. "Kamu belum mandi, ya? Bau iler tau."

"Ih, aku enggak ngiler."

"Bohong, ah." Sambil meledek, Alby mencium Shafa berkali-kali tanpa berhenti walau Shafa sudah marah.

"Jorok! Pipi aku penuh sama iler kamu, nih!"

"Kamu enggak suka aku cium, hah?"

"Enggak." Shafa meninggalkan Alby ke meja makan untuk menyiapkan sarapan.

"Sayang, nanti malam jalan-jalan, yuk?" ajak Alby tiba-tiba.

"Cepat sarapan dulu."

"Ih, jawab dulu, dong!"

"Iya, nanti malam kita jalan-jalan."

"Yes!!!"

Alby sangat suka meledek Shafa yang mudah marah. Untuk kesekian kalinya di pagi itu, Alby memeluk dan mencium Shafa yang memberontak minta dilepas.

"Ih ... Mas Alby!"

***

Profesi sebagai guru adalah cita-cita Alby. Walau dia terlahir dari keluarga kaya dan anak dari seorang pengusaha, bukan menjadikan Alby sukses dengan mengandalkan orang tuanya.

Alby sudah beberapa kali pindah mengajar dari satu kota ke kota lain dan pada akhirnya dia kembali ke Jakarta untuk mengajar di salah satu sekolah SMA. Sudah 2 sekolahan dia melamar dan menyelesaikan tahap wawancara, namun tidak ada yang meloloskannya.

Alby berharap, diwawancara kali itu dia bisa diterima. Setelah selesai wawancara Alby mampir ke kantin sekolah untuk minum sebelum nantinya pulang ke rumah. Dia mengambil ponsel di tasnya untuk menghubungi sang istri.

"Halo, Mas? Udah selesai wawancaranya?"

"Udah, Sayang. Ini aku lagi di kantin, minum kopi."

"Terus kapan pulang?"

"Ini aku mau pulang. Kamu lagi di mana, sih? Kok kayak berisik gitu?"

"Aku lagi dijalan mau pulang. Abis dari rumah Kak Galih."

"Hati-hati, ya, Sayang?" Panggilan itu dimatikan oleh Shafa.

Alby mengetik sebuah pesan untuk istri tercintanya. Saat hendak pergi, langkahnya terhenti ketika mendengar namanya dipanggil.

"Alby?!"

Wanita itu mengenalnya, namun Alby seperti asing dengannya. Dia hanya tersenyum tipis dengan wajah bingung sambil melihat wanita dihadapannya.

"Kamu lupa sama aku, ya?"

"I-iya, maaf. Mbak siapa, ya?"

"Serius kamu lupa?"

"Aduh, maaf banget."

Hal itu mungkin karena kecelakaan yang Alby alami beberapa waktu lalu. Banyak hal di masa lalunya yang samar untuk dia ingat. Tapi, siapa wanita itu?

"Aku Siska Renata. Kamu inget?"

***

Shafa kaget karena teman semasa sekolahnya akhirnya membalas pesan yang dia kirim sejak 2 tahun lalu. Mereka pun membuat janji dadakan untuk bertemu setelah sekian lama. Sebuah kafe yang tidak jauh dari sekolah mereka dulu menjadi tempat yang dituju.

"Jihan!"

Shafa sudah datang 30 menit lebih awal. Melihat Jihan memasuki kafe, Shafa langsung memanggil dan melambaikan tangannya. Jihan segera mendekati Shafa dan langsung memeluknya erat.

"Aku kangen banget, Shaf. Kangen .... banget! Kamu apa kabar?"

Sambil menjawab, Shafa duduk diikuti Jihan disampingnya. "Kabar aku baik, kok. Kamu sendiri gimana kabarnya?"

"Aku juga baik. Kamu makin cantik aja, Shaf? Awet muda banget."

"Duh, aku seneng banget dipuji cantik sama orang paling cantik satu angkatan."

Mereka tertawa tanpa melepaskan genggaman tangan. Jihan adalah sahabat Shafa saat di SMA. Namun setelah lulus sekolah, Jihan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studinya.

"Kamu gimana sekarang? Udah nikah?"

"Alhamdulillah. Kamu sendiri gimana? Udah punya berapa anak?"

"Boro-boro punya anak, nikah aja belum pernah."

"Ah, masa belum nikah?"

"Masa aku bohong? Aku lagi sibuk sama kuliah, jadi belum kepikiran nikah."

"Aku seneng banget, deh, bisa ketemu sama kamu. Udah 2 tahun aku nunggu chat balasan dari kamu tau."

"Iya, maaf. Aku baru cek tadi. Oh, gimana kabar Sonya? Kamu masih deket sama dia?"

"Dia udah meninggal, Han."

***

Alby cemas karena Shafa tidak dapat dihubungi. Dia bingung harus melakukan apa. Jujur saja, Alby masih trauma akan kejadian yang pernah menimpa mereka sebelumnya. Alby memutuskan untuk mencari Shafa dihari yang semakin larut, tepatnya pukul 9 malam.

Dia menyetir mobil dengan tangan yang gemetar karena panik. Mulai dari Rendi sampai Galih sudah dia tanya, namun mereka tidak tau di mana Shafa berada.

"Kamu di mana, sih, Shaf? Aku khawatir banget."

Mereka belum lama tinggal bersama di Jakarta. Jadi, belum ada tempat yang sering mereka kunjungi bersama. Hal itu membuat Alby bingung harus mencari Shafa ke mana.

Berhentilah Alby di depan sebuah kafe yang sebelumnya Shafa datangi bersama Jihan. Entah kenapa perasaannya tertuju ke tempat itu. Namun, tidak ada Shafa di sana.

"Ya ampun Shafa, kenapa kamu enggak bisa dihubungi, sih?!" omel Alby pada dirinya sendiri.

Sampai pukul 11 malam Alby belum juga menemukan Shafa. Dia memutuskan untuk pulang dan berharap Shafa ada di rumah. Dengan sangat cepat Alby mengemudikan mobilnya. Saat sampai di rumah, Mbok Dewi bilang kalau Shafa belum juga pulang.

"Belum pulang, Mbok?"

"Belum, Pak. Saya juga nungguin dari tadi," jawab pembantu rumah tangga itu dengan medok Jawa-nya.

"Assalamualaikum."

Seorang wanita masuk dengan pakaian dan rambut yang basah. Alby sempat terdiam sebelum akhirnya memeluk Shafa dengan sangat erat. Dia tidak dapat berkata apapun.

"Kamu dari mana aja?" tanya Alby dengan wajah serius.

"Maafin aku, Mas."

"Aku tanya, kamu dari mana aja?!" bentak Alby.

"A-aku dari rumah teman."

Alby melihat Shafa dari atas sampai bawah. "Kamu tau, 'kan, aku enggak pernah izinin kamu pakai baju sependek itu?!"

"I-iya, Mas. Maafin aku."

"Kamu pergi ke rumah teman tanpa kasih tau aku, enggak bisa dihubungi, pulang larut malam, pakai baju sependek ini, dan dalam keadaan basah kuyup! Jelasin semuanya ke aku!!!"

Shafa menangis karena tidak bisa lagi berbicara. Dia terlihat sangat takut karena Alby tidak pernah sekasar itu padanya. Seluruh tubuhnya gemetar karena takut dan kedinginan.

Alby melampiaskan amarahnya dengan memukul tembok berkali-kali. Dadanya sesak karena menahan kesal dan dia tidak mungkin memukul Shafa.

"M-maafin aku, Mas."

***