Malam terasa sangat panjang. Shafa hanya tidur beberapa menit, lalu terbangun, dan tidur sejenak, lalu terbangun lagi. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena terus memikirkan Sonya. Masih ada yang ingin dia sampaikan pada Sonya. Namun Sonya sudah pergi untuk selamanya sebelum Shafa mengatakannya.
Sambil melihat langit-langit ruangan itu, Shafa terus menahan tangisnya walau air mata gagal dihadang. "Sonya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
Jadwal Alby bangun pagi ada di jam setengah tujuh. Dia terbangun, namun pura-pura tertidur saat mendengar Shafa berbicara dengan suara yang lemah dan sedikit serak.
Shafa kembali melanjutkan kalimatnya dengan pelan. "Aku enggak punya sedikitpun perasa dendam ke kamu. Aku pikir, hari itu aku bisa memperbaiki hubungan kita. Tapi, kamu malah pergi untuk selamanya secepat ini. Maafin aku karena ingkar janji sama kamu. Dulu, kita pernah janji untuk saling menjaga, menolong, dan menyayangi. Tapi aku enggak bisa menolong kamu disaat kamu ketakutan sebagai buronan. Aku juga gagal mencegah Mas Alby untuk enggak laporin kamu ke polisi. Aku menyesal karena memberitahu semuanya ke Mas Alby. Kalau aja aku enggak ungkapin semuanya, kamu enggak akan ketakutan setiap hari, Nya. Ini semua salah aku karena enggak bisa bikin kamu dan Mas Alby bersatu lagi. Maafin aku juga karena enggak bisa jaga anak kamu. Dia meninggal karena aku yang enggak bisa merawatnya. Maafin aku, Sonya."
Ungkapan itu berhasil membuat air mata Alby mengalir membasahi bantal. Dia bergegas mendekati Shafa saat mendengar tangisan sang istri yang tertahan. Tepukan tangan Alby pada pundak Shafa membuatnya tenang.
"Berhenti menyalahkan diri kamu. Ini semua udah takdir dan bukan kamu yang salah."
Shafa mendorong Alby sampai terjatuh. Bahkan, tongkat yang Alby gunakan sampai patah. "Ini semua salah aku, Mas! Aku pembawa sial!" teriak Shafa.
Sangat kebetulan dokter berparas cantik dan dia orang perawat datang. Dokter itu mencoba menenangkan Shafa dan perawatnya membantu Alby berdiri.
"Shafa, ini semua bukan salah kamu."
"Jauhin aku! Jangan dekat-dekat aku! Aku enggak mau bikin lebih banyak lagi orang yang meninggal!"
"Mbak Shafa, tenang dulu, ya?"
"Saya bilang, jauhin saya!" bentak Shafa pada sang dokter.
Dengan bantuan perawat, Dokter berhasil menyuntikkan dua obat penenang. "Mbak Shafa, tolong tenang, ya? Jangan banyak pikiran dulu," ucap dokter bernama Clara itu.
Perlahan, Shafa lemas dan akhirnya tertidur. Alby sangat kaget melihat istrinya jadi seperti itu. Wajar saja karena Shafa telah kehilangan orang-orang yang dicintainya.
"Aku enggak akan tinggalin kamu, Shaf." Janji Alby sambil membelai lembut rambut Shafa. "Aku akan berusaha jadi suami terbaik untuk kamu."
***
Fahri dan Rendi menunggu Alby di depan ruang operasi, sedangkan Galih menemani sang adik yang didiagnosis mengalami depresi. Shafa jadi sering melamun, banyak diam, dan marah tiba-tiba. Sudah hampir seminggu di rumah sakit, tubuhnya jadi semakin kurus karena faktor obat dan susah makan.
"Shafa, hari ini Alby mau operasi. Doain dia, ya? Semoga operasinya lancar dan dia bisa melihat lagi," ucap Galih.
"Kenapa ayah sama ibu enggak dateng juga? Kakak udah kasih tau mereka, 'kan, kalau aku lagi sakit?"
Dokter mengatakan jangan membuat Shafa banyak pikiran. Galih yakin kalau adiknya itu jadi sering berhalusinasi dan sedikit amnesia. Terpaksa dia harus berbohong tentang kenyataan kalau yang beberapa kali Shafa tanyakan kedatangannya, mereka sudah meninggal.
"Kamu tau, 'kan, kalau mereka mabuk naik kereta? Apalagi jauh sampai ke Malang. Kasihan, dong, mereka? Makannya kamu cepet sembuh. Nanti kamu yang datangin mereka ke Jakarta."
"Mana anak aku, Kak? Udah berhari-hari aku enggak liat dia."
Galih bingung. Yang Shafa maksud adalah Daren atau anak di kandungannya yang meninggal? "Dia lagi diurus sama istri aku. Kamu inget Kak Dinda, 'kan?"
Gadis berwajah pucat itu sedikit mengingat. "Kak Dinda?"
"Pacar Kakak yang sekarang udah jadi istri Kakak. Kamu percaya sama dia buat urus anak kamu, 'kan?"
"Iya, aku percaya sama Kak Dinda."
Matanya yang memerah dan bibirnya yang kering terlihat jauh berbeda dari Shafa yang Galih kenal. Selalu bersih, wangi, rapi, dengan wajah yang bersinar.
Melihat singkat kaca bening besar yang ada disampingnya, memperlihatkan secara langsung indahnya kota Malang di siang hari, Shafa menatap mata Galih dengan aneh.
"Alby siapa yang Kakak maksud?"
"Eum?"
Perlahan, Galih memeluk Shafa sambil menahan tangisnya. Tubuh Shafa yang sedikit panas karena demam, membuat Galih rasanya ingin lebih erat lagi memeluknya. Dia sangat prihatin dengan kehidupan yang adiknya lalui.
"Dia siapa, Kak?" tanya Shafa lagi.
"Suami kamu, Shaf."
Shafa sulit mengingat apa yang terjadi dalam dirinya. Karena takut dengan keadaan itu, Shafa membalas pelukan kakaknya dengan sangat erat.
"Cepet sembuh, ya, Shaf? Nanti, kita jalan-jalan ke pantai dan makan seafood pedas."
Shafa melepaskan pelukannya. "Jangan ke pantai, dong. Ibu sama ayah sekarang udah tua. Nanti mereka sakit kena angin pantai. Aku juga takut anak aku masuk angin, Kak."
Rasanya ingin sekali teriak untuk memberitahu Shafa yang sebenarnya. Ingin sekali memeluknya erat tanpa lepas dan menangis sejadi-jadinya.
"Iya, nanti kita pasti pergi sama-sama, ya?"
***
Bukannya membaik, kondisi Shafa justru semakin memburuk. Dia jadi jarang berbicara. Hanya menangis dan marah tiba-tiba. Dokter bilang, itu karena Shafa menolak untuk menghilangkan halusinasinya. Dia terus mengingat kejadian pahit dan enggan memahaminya.
"Mbak, ayo makan dulu? Saya udah bikinin bubur pakai ayam suwir yang banyak, loh?" bujuk Mbok Dewi.
Fahri yang kembali menghubungi Mbok Dewi untuk kembali merawat Shafa. Untung saja Mbok Dewi mau setelah apa yang terjadi dulu.
"Pak Alby hari ini pulang dari rumah sakit. Nanti kita sambut bareng-bareng, yuk, Mbak?"
Walau tidak pernah direspon apalagi di jawab, Mbok Dewi terus mencoba mengobrol dan membujuk majikannya itu. "Kata dokter, Mbak Shafa harus makan dulu sebelum minum obatnya."
Saat Mbok Dewi menyodorkan sendok berisi bubur untuk kesekian kalinya, Shafa langsung menangkisnya. Bahkan, dia sampai turun dari kursi rodanya untuk membuang bubur itu. Melempar piringnya lalu terduduk di samping Mbok Dewi.
"Cukup .... Berhenti ...." ringis Shafa.
Mbok Dewi segera menolong Shafa untuk kembali ke kursi rodanya. Namun, Shafa terus menolak. Dia menendang kursi itu dengan lemah, menarik gorden sampai lepas dari pengaitnya, dan memukul lemari pajangan sampai tangannya terluka.
Walau berkali-kali kena sasaran amukan, Mbok Dewi tetap sabar merawat Shafa. Setelah kemarin kena lemparan sendok, kali itu Mbok Dewi terjepit kakinya oleh kursi roda yang terjatuh.
"Sudah, Mbak. Berhenti."
Setelah hampir 5 menit Mbok Dewi menghadapi Shafa, akhirnya orang yang dia tunggu datang. Memeluk Shafa dari belakang dan menahan darah yang keluar ditangannya.
"Cukup, Sayang. Berhenti."
Kata 'sayang' yang terdengar, membuat Shafa langsung berhenti. Menatap pemilik suara dengan seksama. Ketampanan wajah pria itu membuat Shafa sadar kalau ternyata dialah orang yang dirindukannya.
"Mas Alby?"
Sebelumnya, Alby mendekap wajah sang istri. Mengamati kecantikannya walau Shafa terlihat semrawut. Wajah dan rambutnya sangat berantakan.
"Kenapa kamu jadi kayak gini, Sayang?"
"Aku takut, Mas. Semuanya udah pergi. Besok aku mau ikut pergi."
Shafa mulai sering mengatakan hal yang tidak jelas dan sedikit ambigu. Dia suka ngomong sendiri dengan susunan kalimat yang acak dan tidak ada arti.
"Besok kita pergi jalan-jalan, ya?"
"Ke mana?"
"Kamu mau ke mana?" tanya Alby sambil merapikan rambut yang menutupi wajah istrinya, juga mengelap air mata yang membuat wajah Shafa lengket.
"Ke pantai."
"Oke, besok kita ke sana, ya? Tapi ada satu syarat. Kamu harus makan dan minum obatnya dulu. Habis itu istirahat supaya besok bisa jalan-jalan."
Setelah melihat Shafa mengangguk tanda setuju, Alby tidak dapat menahan rindunya lagi. Dia mencium bibir Shafa dengan lembut. Tidak peduli ada ayah dan asisten rumah tangga yang melihatnya.
Yang dia inginkan setelah dapat kembali melihat adalah sambutan dari Shafa yang bahagia. Bukan Shafa dengan kondisinya yang seperti itu.
"Aku enggak akan ke mana-mana. Aku akan selalu ada buat kamu. Cepet sembuh, ya, Sayang?"
***