Shafa masih syok dengan kedatangan Sonya yang secara tiba-tiba, padahal polisi sudah mencarinya ke mana-mana. Tangannya gemetar hebat karena takut dengan ancaman Sonya kemarin.
Yang lebih bikin syok lagi, kedatangan Sonya ternyata baik. Dia mengatakan lelah menjadi buronan dan ingin menyerah saja. Sonya meminta maaf sambil bersimpuh di hadapan Shafa dan Alby.
"Tolong maafin aku. Sekarang juga, aku akan menyerahkan diri ke polisi. Tapi, tolong jaga Daren."
Dalam hati, Shafa iba melihat sahabatnya jadi seperti itu. Namun, Sonya sudah membuatnya kehilangan anak dikandungnya.
"Saya bakal maafin kamu. Tapi, kamu tetap harus bertanggung jawab," ujar Alby.
"Iya, Mas. Aku akan bertanggung jawab."
"Kalau gitu, saya mau telepon polisi untuk datang ke sini dan kamu jangan pergi."
Dengan lembut, Shafa meraih tangan Alby yang duduk disampingnya. "Mas, sabar dulu, ya? Sonya datang dengan niat baik."
"Maksud kamu kita harus maafin dia gitu? Anak aku meninggal gara-gara dia, Shaf," ucap Alby dengan nada suara meninggi.
"Iya, aku tau, Mas. Aku juga merasa sangat kehilangan anak yang aku kandung. Tapi kita harus bisa memaafkan orang yang dengan tulus meminta maaf."
Shafa berusaha sabar menghadapi situasi itu. Di satu sisi, ada suami yang harus dia turuti. Di sisi lain, ada sahabat yang harus dia sayangi.
"Oke, kalau gitu. Aku bisa maafin dia. Tapi dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."
Sonya bangun setelah bersimpuh beberapa saat. "Shafa, aku bener-bener udah pasrah. Aku siap kalau kalian mau laporkan aku ke polisi."
Setelah tangan kanannya menggenggam tangan sang suami, tangan kirinya ikut menggenggam tangan sahabatnya itu. "Aku udah tau gimana rasanya kehilangan seorang anak. Maka dari itu, aku enggak mau kamu merasakan hal itu. Lagi pula, Daren masih sangat membutuhkan ibunya. Dia juga lagi sakit. Aku enggak mau dia kenapa-kenapa."
Sonya dan Alby hanya bisa diam setelah ucapan Shafa masuk ke telinganya. Melihat Sonya membuat Alby sangat kesal. Tapi saat mengingat Daren, hatinya yang beku dengan cepat mencair.
"Terima kasih banyak, Shaf. Tapi aku enggak bisa hidup dengan penyesalan kayak gini," kata Sonya sambil menangis.
Seandainya tidak ada Shafa sebagai penengah, Alby rasanya ingin sekali menyiksa mantan istrinya itu. "Dipenjara ataupun enggak, kamu selamanya akan hidup dengan penyesalan!"
Shafa refleks menarik tangan Alby sambil berkata, "Aku minta maaf, Mas. Aku bener-bener minta maaf."
Alby dengan cepat menepis tangan Sonya. "Saya enggak seharusnya berbaik hati sama wanita jahat kayak kamu. Sekarang, kamu pergi dan jangan pernah temui keluarga saya termasuk Daren."
"Mas ...." Shafa mempererat genggaman tangannya pada Alby.
"Enggak apa-apa, Shaf. Aku juga enggak mau Daren tau kalau dia punya ibu kayak aku. Aku akan pergi dan seperti enggak kenal kalian lagi. Aku janji, enggak akan temui kalian lagi."
***
Setelah beberapa menit Sonya pergi, Shafa meminta izin untuk ke warung. Sambil terburu-buru, Shafa menuju ke jalan tikus yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Karena sebelumnya, dia sudah menyuruh Sonya untuk menunggunya di sana. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
Tidak biasanya jalanan itu ramai. Melihat ada mobil polisi, Shafa curiga kalau Sonya telah ditangkap. Tapi datangnya ambulan membuat Shafa bingung dan penasaran.
"Ada apa, ya?"
Jantungnya terpompa lebih kencang dari sebelumnya. Dia berlari mendekati kerumunan tersebut. Mencoba untuk melihat apa yang terjadi, tapi Shafa tidak bisa melewati kerumunan tersebut.
"Bu Shafa?" Seorang polisi wanita menegurnya.
"Oh, ini ada apa, ya, Bu Citra?" tanya Shafa pada polwan yang memang sudah mengenalnya itu.
"Baru saja saya mau memberitahu Ibu kalau kami berhasil menemukan pelaku yang dilaporkan suami Ibu."
"Sonya?"
"Iya, Bu. Mari, ikut saya."
Polwan tersebut dengan mudah mendapatkan jalan diantara kerumunan orang. Kaki Shafa terasa sangat lemas. Dia sampai terjatuh dibelakang garis polisi. Air mata sudah sangat sering membasahi pipinya.
"Sonya?!"
Citra membantunya untuk berdiri sambil terus mencoba menenangkan Shafa. "Kami yakin kalau ini percobaan pembunuhan. Tapi kami belum tau siapa pelakunya."
Wajah Sonya terlihat hancur karena terbakar. Hal itu yang membuat Shafa tidak kuat menahan tangisnya. "Sonya!!!!!"
Beberapa polisi dan tetangga membawa Shafa kembali ke rumahnya setelah Sonya diotopsi ke rumah sakit. Karena tidak dapat melihat, Alby hanya mendengar tangisan Shafa dan suara orang-orang yang masuk ke dalam rumahnya. Bahkan sebelumnya, terdengar sirine mobil polisi dan ambulan.
"Ada apa ini?!" Alby memeluk Shafa setelah istrinya itu duduk disampingnya. "Ada apa, Shaf?"
"Mas ...." Shafa sudah terlalu lemas, bahkan untuk berbicara.
"Ada siapa di sini? Polisi?" tanya Alby.
"Permisi, Pak Alby. Saya polisi Fandi yang mengurus laporan Bapak mengenai pelaku atas nama Sonya dan Hera."
"Ada apa ini, Pak? Kenapa istri saya nangis gini?"
"Saya langsung ke intinya saja, ya, Pak. Kami berhasil menemukan buronan atas nama Sonya, namun dengan kondisi meninggal dunia di jalan tikus tepat belakang komplek ini."
"Apa?!"
"Kami duga, ini adalah pembunuhan berencana. Kami masih mencari siapa pelakunya." Fandi merogoh saku seragamnya. "Saya menemukan surat ini ditangan korban. Silahkan dibaca dulu."
Shafa mengambil surat tersebut. Dia sangat mengenal tulisan Sonya yang tidak terlalu bagus. Isi surat itu membuat Shafa semakin menangis.
"Apa isi suratnya, Shaf?" tanya Alby dengan lembut.
***
Sudah dihari ke-7 setelah kepergian Sonya, tapi polisi belum juga bisa menemukan Hera yang merupakan pelakunya. Duka masih menyelimuti Shafa, namun dia harus menerima kabar buruk yang lainnya.
Kondisi Daren semakin memburuk. Penyakit itu membuat Daren dinyatakan meninggal, tepat dihari ke-7 Sonya meninggal. Mendengar kabar tersebut, Shafa sampai pingsan beberapa kali. Tidak kuat lagi menerima kabar buruk kesekian kalinya.
"Aku pembawa sial, Mas. Ini semua karena aku. Sonya dan Daren meninggal karena aku, Mas," ucap Shafa dengan suara yang serak.
"Sayang, ini semua udah jalannya mereka. Seandainya ada yang salah, itu bukan kamu. Enggak ada manusia pembawa sial, Sayang."
"Aku takut kamu pergi juga, Mas. Aku takut ditinggal kamu seperti mereka tinggalin aku."
"Selamanya aku akan ada buat kamu. Aku enggak akan tinggalin kamu, Sayang."
Pelukan Alby menghangatkan Shafa, tapi hatinya tidak berhasil dihangatkan. Bahkan air matanya masih mengalir perlahan. Mengingat isi surat itu membuat Shafa memiliki sedikit kebahagiaan.
"Mas, kamu udah siap?"
"Demi bisa liat kecantikan kamu lagi, aku siap, Shaf."
"Kamu enggak benci sama Sonya, 'kan, Mas?"
"Aku pernah cinta sama dia. Pernah juga sangat membenci dia. Tapi sekarang mana bisa aku benci sama orang yang rela mendonorkan matanya untuk aku?"
"Berarti, Sonya akan selalu ada di mata kamu, 'kan, Mas?"
"Iya, Sayang."
Sampai malam, Shafa tidak juga bisa tidur. Dia selalu mengingat momen dengan Sonya yang dulu hampir setiap malam menelpon hanya untuk menemaninya mengobrol sampai mengantuk.
Lalu, tangisan Daren yang membuatnya terbangun dimalam hari, sepertinya akan membuat Shafa sangat merindukan anak tampan itu.
Shafa ingin sekali tidur di samping Alby. Tapi, tubuhnya sangat lemas dan hanya bisa berbaring di ranjang rumah sakit. Sedangkan Alby tidur di sofa dekat ranjangnya.
"Tuhan, aku udah kehilangan ayah dan ibuku. Aku juga udah kehilangan sahabat dan anakku. Aku enggak mau kalau harus kehilangan suamiku juga. Alby adalah suami terbaikku."
***