Malam hari seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk Shafa beristirahat. Tapi, kehadiran Daren akan membuatnya lebih sering begadang. Tangisan Daren membuat Shafa tidak bisa tidur tenang. Di usianya yang baru menginjak 1 tahun, Daren masih membutuhkan ASI, bukan susu formula.
"Yang sabar, ya? Nanti mama Daren pulang, kok."
Shafa terus berbicara pada Daren yang tidak berhenti menangis. Menggendongnya sambil berjalan bolak-balik. Walau sudah berkali-kali menguap karena kantuk, tapi Shafa tidak mungkin tidur sebelum Daren pulas.
"Shafa?"
Suara Alby membuat Shafa terkejut. Suaminya yang sudah tidur pulas karena obat, terbangun mungkin karena suara tangisan anaknya.
"Ada apa, Mas?" tanya Shafa sambil duduk dipinggir kasur. "Kamu haus?"
"Enggak, kok. Daren nangis terus, ya?"
"Iya, Mas."
"Sini, biar aku gantian gendong dia. Kamu istirahat aja."
Tidur mungkin Shafa menyerahkan tugas itu pada Alby yang kondisinya fisiknya tidak baik-baik saja. "Enggak usah, Mas. Kamu tidur aja. Daren juga udah mulai ngantuk kayaknya, nih."
Kembali Shafa menggendong Daren sambil berjalan-jalan di dalam kamar itu. Tidak lama, Daren mulai tertidur pulas. Shafa langsung menaruhnya dikasur kecil yang dibelikan Rendi.
Setelah beberapa jam, akhirnya Shafa dapat merebahkan tubuhnya yang terasa hampir remuk. Itu pertama kalinya dia mengurus bayi. Jadi wajar saja bukan?
"Terima kasih, ya, Shaf?"
Alby yang Shafa pikir sudah kembali tidur, tiba-tiba memeluknya erat. Wajah mereka berhadapan. Bahkan, Shafa bisa merasakan napas Alby yang teratur.
"Buat apa, Mas?"
"Kamu mau mengurus anak aku."
"Dia anak kamu, berarti anak aku juga, Mas. Lagi pula, Daren enggak punya salah apa-apa sama aku."
Sudah lumayan lama Shafa tidak merasakan bibir Alby yang mencium keningnya. Kali itu Alby mencium kening dan bibir Shafa dengan lembut. Shafa bingung, kenapa air matanya keluar dengan deras, padahal dia merasakan kebahagiaan.
"Aku sayang sama kamu, Shaf. Aku enggak mau kehilangan kamu. Maaf, aku enggak bisa jadi suami yang baik dan berguna buat kamu."
Tangan Shafa dengan perlahan mendekap wajah Alby. "Aku bisa terima kamu apa adanya karena aku udah sayang sama kamu, Mas. Aku akan berusaha untuk jadi istri yang baik buat kamu."
"Tapi Shaf ...."
Untuk pertama kalinya Shafa memulai lebih dulu. Dia mencium bibir Alby beberapa saat. Air matanya terus mengalir karena bahagia. Shafa benar-benar telah jatuh cinta pada pria yang dijodohkan orang tuanya itu.
"Shafa, apa kamu masih mau punya anak dari aku dengan keadaan aku yang kayak gini?"
"Kamu suami aku, Mas. Walau keadaan kamu enggak seperti dulu, kita tetap bisa ngelakuin itu, kok."
***
Shafa merasa tubuhnya seperti remuk. Pinggul dan kakinya sangat linu. Mereka sampai bangun kesiangan padahal hanya bermain bentar semalam. Tapi tetap saja, Shafa yang bangun lebih awal dari pada Alby.
"Mas Alby?"
Shafa masih rebahan dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Dada bidang Alby adalah favorit Shafa. Karena Shafa melempar baju Alby sembarang tempat, jadi Alby tidur tanpa baju semalam.
"Pagi, Sayang?"
"Pagi juga, Mas."
Mereka saling memandang dengan sangat dekat. Cahaya matahari yang masuk, membuat Shafa bisa dengan melihat wajah Alby yang tampan. Tapi tiba-tiba Alby menangis tanpa suara. Dengan spontan, Shafa mengelap air mata itu.
"Kenapa, Mas? Ada yang sakit?"
"Aku enggak bisa liat kamu, padahal kamu ada dihadapan aku."
Shafa mengarahkan tangan Alby ke wajahnya. "Kamu bisa raba wajah aku sambil bayangin aku. Sama aja, kok, aku masih tetep cantik."
Cuaca yang cerah dan senyum Alby membuat pagi hari Shafa terasa indah. Beberapa menit Shafa membiarkan Alby memeluk dan menciumnya. Lalu, Shafa mandi lebih dulu karena harus mengurus rumah dan Daren.
Sambil menunggu Shafa selesai mandi, Alby mencoba menenangkan Daren yang sudah bangun dan menangis.
"Aw!"
Jeritan Shafa membuat Alby panik. "Ada apa, Shaf?"
"Enggak ada apa-apa, Mas."
Shafa menangis dikamar mandi. Dia menjerit sakit karena luka gores di lengan kanannya. Luka itu karena ulah Sonya. Hati Shafa kembali tak tenang. Dia teringat kembali dengan ancaman Sonya kemarin. "Apa yang bakal Sonya lakuin ke aku hari ini?"
Tangisan Daren mulai terdengar nyaring. Shafa mempercepat mandinya, lalu membantu Alby masuk ke kamar mandi. Sambil menggendong Daren, Shafa bergegas ke dapur, memasak air untuk membuat susu dan sarapan anak tirinya itu.
"Sabar, ya, Sayang? Enggak lama, kok. Cup, cup, cup."
Walau belum punya pengalaman mengurus bayi, tapi Shafa bisa mengurus Daren dengan telaten. Menenangkannya saat menangis, menyuapi, memandikan, dan membuatnya tertidur pulas.
"Shafa?" panggil Alby dari dalam kamar.
"Iya, Mas. Tunggu sebentar, ya?"
Setelah selesai menggoreng telur, Shafa kembali ke kamarnya di lantai dua untuk membantu Alby. Membantunya keluar kamar mandi dan mengambil pakaian yang akan Alby kenakan.
Saat hendak memakai baju, tangan Shafa ditahan oleh sang suami. "Maaf, ya, aku jadi selalu ngerepotin kamu?"
"Mas, ini tugas aku sebagai istri kamu. Aku ikhlas, kok." Perlahan, Shafa memakaikan bajunya. "Yang penting, kamu nurut kalau aku suruh makan, minum obat, dan istirahat."
Tok, tok, tok!
Mendengar suara ketukan pintu, Shafa menitipkan Daren pada Alby dan segera berlari menuju lantai satu. "Iya, sebentar."
Shafa mengira kalau itu adalah Jelita, tapi yang datang ternyata Sonya. Dia mendorong Shafa masuk ke dalam rumah sampai terjatuh dan menutup pintunya rapat-rapat.
"Sonya?"
***
Hera bersembunyi di rumah Nyai Kelo. Hanya dia yang saat itu Hera percaya. Disaat suaminya lebih memilih bersama wanita lain, itu adalah kali pertama Hera mengenal dan berteman dengan Nyai Kelo. Dia banyak meminta bantuan dukun itu untuk memberikan pelajaran pada suaminya.
Tapi pada akhirnya Hera menggunakan kemampuan Nyai Kelo untuk menghancurkan keluarga anak kandungnya sendiri. Disaat menjadi buronan polisi, Hera meminta Nyai Kelo untuk membantunya lagi.
"Seperti biasa, saya akan bantu kamu tapi harus ada bayarannya," ucap Nyai Kelo.
"Apa yang Nyai mau?"
"Kamu masih berhutang sama saya karena wanita bernama Sonya itu ternyata tidak mati, 'kan?"
"Iya. Dia hanya hampir tertimpa pohon tua itu. Saya akan kasih semua yang Nyai mau, asalkan Nyai bisa tolong saya supaya enggak jadi buronan lagi."
"Saya mau wanita dan bayi itu."
Setelah membicarakan rencananya, Hera dengan yakin langsung menjalankan rencana itu. Ternyata yang Fahri liat hari itu adalah Hera. Wanita itu memang sudah beberapa kali mengawasi Shafa dari jauh.
"Aku harus lakuin apa, ya?"
Melihat Shafa keluar dari rumah yang entah ingin pergi ke mana, Hera yakin kalau itu semua sudah diatur oleh Nyai Kelo. Shafa pergi sendiri dengan terburu-buru.
Hera mengikutinya dari jauh. Mencari tempat yang pas untuk menjalankan aksinya. Namun, ramainya orang berlalu-lalang membuat Hera kehilangan Shafa.
"Di mana dia? Haduh, udah capek-capek ngikutin sampai sini."
Karena sudah kehilangan jejak, Hera berniat untuk mencari cara lain. Tapi, dia malah kembali melihat Shafa yang melewati jalan tikus untuk menuju ke pasar.
"Nah, itu dia."
Melihat jalan tikus itu sepi karena memang sudah siang hari, Hera memberanikan diri untuk berlari mendekati Shafa. Dia merogoh saku celananya dan mengambil kain yang Nyai Kelo berikan.
Saat sampai tepat di belakang Shafa, didukung keadaan sekitar yang sangat sepi, Hera langsung melancarkan aksinya. Dia membekap wajah Shafa dengan kain tersebut.
"Argh! Sakit!"
Entah apa yang Nyai Kelo berikan pada kain itu. Hera hanya melakukan apa yang Nyai Kelo suruh. Katanya, Hera harus menutup wajah Shafa dengan kain tersebut selama beberapa menit. Nantinya, wajah Shafa akan terbakar dan mengelupas.
Lalu, bau kain tersebut akan terhirup dan bisa menyebabkan sesak pada saluran pernapasan. Tentu saja dengan bantuan Nyai Kelo dari kejauhan, Shafa akan meninggal sesuai dengan rencana mereka.
"Gara-gara kamu, hidup saya dan anak saya jadi kayak gini!" tegas Hera penuh amarah.
Setelah hampir 8 menit, Shafa terjatuh tak sadarkan diri dengan wajah yang terbakar penuh darah. Namun, Hera terkejut setengah mati melihat wanita yang terkapar dihadapannya itu.
"Sonya?!"
***