Seiring berjalannya waktu, Alby mulai ikhlas dengan kondisinya yang baru. Berharap ada seseorang yang rela mendonorkan mata untuknya. Keberadaan Shafa dan Fahri di hidupnya, membuat Alby bisa dengan mudah menjalani hidup.
Tiga bulan setelah dinyatakan keguguran, Shafa mengalami trauma. Dia masih ingat kejadian yang Hera dan Sonya lakukan padanya. Apalagi sampai membuat bayi dikandungnya meninggal.
"Shafa, kenapa belum ada kabar dari polisi, ya? Ini udah hampir 3 bulan, loh?"
Alby benar-benar melaporkan Hera dan Sonya ke polisi. Namun, mereka berdua dinyatakan menghilang dan belum ditemukan keberadaannya.
"Aku juga enggak habis pikir. Ke mana mereka pergi sampai polisi enggak bisa menemukan mereka?"
"Permisi?"
Kedatangan Rendi dan Jasmin yang sedari tadi mereka tunggu. Harum dan suara tangis bayi, Shafa menyukainya. Setelah Sonya menghilang, Rendi dan Jasmin yang baru menikah ikhlas merawat Daren sampai kondisi Alby dan Shafa pulih.
Shafa langsung menggendong Daren dengan hati-hati. "Uh, anak pinter ini, ya? Jangan nangis, Sayang. Cup, cup, cup."
"Daren kurang tidur karena nangis terus. Jujur aja, aku capek ngurusinnya. Mungkin karena belum terbiasa kali, ya?" tutur Jasmin dengan sopan.
"Terima kasih udah jaga anak saya. Maaf udah ngerepotin kalian," ucap Alby.
"Iya, sama-sama, Mas Alby. Kita ikhlas, kok. Lagi pula, Mas Rendi juga suka sama Daren. Iya, 'kan, Mas?" tanya Jasmin pada sang suami.
Entah apa yang lucu, mereka tertawa dengan santai dan mengobrol beberapa saat, sedangkan Shafa masih mencoba menenangkan Daren. Melihat wajah Daren yang sangat mirip dengan Sonya, membuat Shafa teringat kejadian pahit itu.
"Daren, kamu jadi anak yang baik, ya? Jangan contoh keburukan papa kamu dan jangan jadi seperti mama kamu. Daren harus jadi anak yang pintar dan baik, ya?"
Perlahan, Daren berhenti menangis dan mulai tertidur. Shafa mencium keningnya dan menghirup wangi bayi favoritnya.
"Selama mama enggak ada, Daren boleh jadikan Tante Shafa sebagai mamanya Daren. Nanti, mama Daren pasti kembali, kok."
***
Semenjak kejadian yang menimpa keluarga Alby, Jelita jadi jarang melihat pria yang pernah dia cintai itu. Alby dan Shafa lebih sering berada di rumah dan jadi tertutup, tidak seperti sebelumnya.
Setelah pulang kerja, Jelita mampir ke sebuah minimarket dan membeli buah untuk menjenguk Alby. Awalnya Adia ragu karena tidak sanggup melihat Alby yang mungkin terlihat menyedihkan.
"Kalau enggak salah ingat, Mas Alby kayaknya suka buah pir, deh? Semoga aja ingatan aku bener."
Baru saja hendak memasuki taxi online pesanannya, Jelita melihat seorang wanita yang seperti tidak asing baginya. Dia memutuskan untuk mengikutinya masuk ke dalam sebuah gang kecil.
Sambil berjalan cepat Jelita berkata, "Kayak pernah liat. Tapi siapa, ya?"
Untuk menjawab rasa penasarannya, Jelita sampai mengikuti wanita yang akhirnya berhenti di sebuah gang yang lebih kecil. Dia bertemu seorang wanita yang terlihat lebih tua darinya.
"Kok, aku kayak pernah liat dia, sih?"
Jelita bersembunyi tidak jauh dari kedua wanita itu berdiri. Dia mencoba mendengarkan pembicaraan mereka yang terdengar samar.
"Oh, wanita itu ...." Jelita kembali mengintip, memastikan kalau orang yang dia lihat benar. "Iya, aku baru inget sekarang."
Karena benar-benar tidak mendengar apapun, Jelita memutuskan untuk pergi daripada nantinya ketahuan. Dia cepat-cepat pulang dan langsung melaksanakan tujuannya untuk menjenguk Alby.
"Permisi?"
Tidak lama, Shafa segera membuka pintu dengan senyuman. "Eh, Mbak Jelita? Ada apa?"
"Mbak Shafa, boleh saya jenguk Mas Alby?"
Tidak seperti sebelumnya, Shafa sudah percaya penuh pada Alby dan tidak takut atau cemburu pada Jelita. "Silahkan masuk, Mbak."
Jelita duduk di sofa yang juga ada Alby di sana. "Mas Alby apa kabar?"
"Saya baik. Mbak Jelita sendiri gimana kabarnya?" tanya Alby tanpa melihat wajah Jelita, namun senyuman yang membuat Jelita jatuh cinta masih terlihat sama.
"Saya juga baik, Mas. Ini saya bawa buah. Semoga Mas Alby suka, ya?"
"Terima kasih, Mbak."
"Oh, iya, ada yang mau saya omongin sama kalian."
"Ada apa, Mbak?" tanya Shafa yang mulai duduk di samping Jelita.
"Sebenarnya, saya sempat lihat orang yang datang ke rumah kalian. Di hari yang sama saat kaca-kaca rumah kalian hancur."
"Siapa, Mbak?" Shafa terlihat mukai serius
"Orangnya itu sama persis kayak yang barusan saya temuin. Tadi, saya ketemu wanita itu di gang kecil. Dia kayak udah janjian gitu sama wanita yang lebih tua. Tapi,l sayangnya saya enggak dengar apa yang lagi mereka omongin."
Shafa mengambil ponsel di saku celananya. Membuka aplikasi galeri dan menunjukkan sebuah foto kepada Jelita.
"Dia bukan orangnya?"
Jelita melihatnya dengan teliti sebelum menjawab. "Iya, dia orangnya."
"Mbak Jelita serius?"
"Iya. Waktu itu, saya lagi nunggu taxi online di depan rumah dan liat wanita itu masuk ke halaman rumah kalian. Gerak geriknya mencurigakan dan kayak menyelinap gitu. Tapi, saya pikir dia mau bertamu dan kebetulan taxi saya datang. Jadi, saya enggak tau kelanjutannya," tutur Jelita samar-samar.
"Siapa, Shaf?" tanya Alby.
"Sonya, Mas."
***
Sudah sore dan Fahri memutuskan untuk pergi ke rumah Alby. Dia masih mengkhawatirkan anak tunggalnya itu. Apalagi disaat Shafa dan Sonya belum juga ditemukan.
Baru saja sampai di depan rumah Alby dan hendak turun dari mobilnya, Fahri melihat dari kejauhan ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh.
"Siapa itu?"
Karena curiga, Fahri segera turun dari mobil dan masuk ke rumah anaknya. Dia mengintip dari jendela, berharap dapat melihat siapa orang berpakaian serba hitam itu.
"Ada apa, Pa?" tanya Shafa dengan sedikit terkejut.
"Shafa, kamu merasa ada yang suka perhatiin kalian?"
"Maksudnya, Pa?"
"Papa liat ada yang memperhatikan kalian dari jauh."
Shafa ikut mengintip, melihat ke arah orang yang Fahri beritahu. "Mana, Pa? Enggak ada, tuh?"
Kembali Fahri melihat ke arah semula, namun orang yang dia maksud sudah tidak ada. "Tadi ada di balik tembok itu, Shaf. Papa yakin, itu pasti Hera atau Sonya."
"Pa, mana mungkin mereka ada di sekitaran sini? Toh, polisi udah cari mereka ke hampir seluruh kota Malang. Mereka enggak mungkin berkeliaran di sini semudah itu. Papa tenang aja. Ada polisi yang pantau mereka, kok. Papa enggak usah khawatir."
"Tapi kamu harus tetap hati-hati, ya?"
"Iya, Pa. Aku pergi dulu, ya? Mau ke pasar sore sama tetangga. Papa mau titip apa?"
"Yang penting kamu cepat pulang dan baik-baik aja, Shaf."
Mendengarnya saja membuat Shafa terasa bahagia. Dia sudah bisa menganggap Fahri sebagai ayah keduanya. Perhatian Fahri pada Alby dan dirinya, membuat Shafa merasa aman.
Bersama Jelita, Shafa pergi ke pasar sore yang sedikit jauh dari rumah. Mereka pergi dengan angkutan umum dalam 20 menit.
"Mbak Jelita mau belanja apa?"
"Saya mau beli ikan, sih. Kamu?"
"Saya mau cari buah-buahan dulu, Mbak."
Shafa mulai bisa menerima Jelita yang pernah mencintai Alby. Tapi kejujuran jelita tentang perasaannya itu membuat Shafa dapat memahaminya. Ditambah, Jelita bilang kalau dia tidak akan menggangu rumah tangga Shafa dan Alby lagi.
Awalnya Jelita ingin mengantar Shafa mencari tukang buah, tapi Shafa menolak dan memilih untuk pergi sendiri. Pasarnya tidak terlalu ramai dan banyak toko yang tutup.
Setelah beberapa saat, akhirnya Shafa melihat tukang buah yang cukup besar. Karena merasa ada yang mengawasinya, Shafa memutuskan untuk berkeliling pasar itu.
"Ini cuma perasaan aku aja atau gimana, ya?"
Shafa mencoba tenang dan terus berjalan. Tetap saja, tangannya yang gemetar karena ketakutan, tidak dapat disembunyikan.
"Mas Alby, aku takut," ucap Shafa pelan.
Buntu. Kanan kirinya dikelilingi toko yang tutup. Karena sudah sore dan minim penerangan, sekitaran terlihat sedikit gelap. Shafa masuk ke sebuah gang kecil dan memberanikan diri untuk berbalik badan. Namun, dia tidak menemukan siapapun. Perlahan, kakinya melangkah keluar dari gang itu.
"Siapa kamu?"
Dia menemukan seseorang yang berdiri di depan toko baju yang tutup. Orang berpenampilan serba hitam dengan wajah yang tertutup topi dan masker, hanya diam berdiri.
Shafa melihat jari telunjuk orang tersebut dan menemukan bekas goresan. "Sonya, kamu mau apa?"
Karena Shafa dengan mudah mengetahuinya, Sonya menunjukkan identitasnya. "Kenapa kamu bisa tebak semudah itu?"
"Karena kamu sahabat aku. Hampir semua tentang kamu aku tau, termasuk luka dijari tangan kamu itu."
"Tapi, kenapa kamu enggak bisa tau kalau aku pernah menikah sama Mas Alby?"
"Sonya, kenapa kamu jadi kayak gini? Ini semua bukan salah aku, tapi salah kamu sendiri. Kenapa kamu tega ngelakuin ini ke aku?" Air mata Shafa masih bisa ditahan.
"Salah aku? Dari awal aku udah melarang kamu nikah sama Mas Alby."
"Kalau aja kamu kasih tau alasan yang sebenarnya, aku dan orang tua aku enggak bakal melanjutkan perjodohan itu, Nya."
"Intinya aku mau kamu dan Mas Alby pisah!" Teriakan Sonya menggema kencang. "Kamu enggak kasihan sama anak aku? Dia masih kecil dan butuh kasih sayang kedua orang tuanya."
"Ini semua kesalahan kalian, tapi kenapa harus aku dan anak kamu yang menerimanya?"
"Kamu tetap enggak mau pisah sama Mas Alby?"
Shafa hanya diam, memandang Sonya yang perlahan membuat rasa benci hadir. "Enggak. Aku enggak akan mengakhiri rumah tangga aku dan Mas Alby."
"Kalau gitu, aku juga enggak akan berhenti sampai kamu menyerah."
"Silahkan aja. Kamu enggak akan bertemu sama Shafa yang putus asa dan menyerah. Karena aku akan terus bertahan, apapun yang terjadi."
"Besok ... kamu liat aja besok," ancam Sonya.
***