"Shafa?"
Semua yang ada di ruangan itu menyebutkan satu nama kala melihat seorang wanita yang duduk di kursi roda, dengan wajah dan tubuh yang dipenuhi luka.
"Shafa?" tanya Alby yang memang tidak bisa melihat. Dia hanya mendengar suara yang indah dan sangat dia rindukan.
"Iya, ini aku, Mas."
Suster yang mendorong kursi rodanya, segera pergi saat Shafa mengucapkan terima kasih. Rendi mundur dan mendekatkan Shafa pada Alby.
"Kamu baik-baik aja, Mas?"
"S-shafa? Ini beneran kamu?" Alby memegang tangan Shafa yang terbalut perban. "K-kamu baik-baik aja, 'kan?"
Sonya dan Hera beberapa kali bertukar pandangan. Rasanya, Sonya ingin sekali mati saat itu juga. Dia hanya ingin pergi dan tidak merasakan kebencian yang akan Alby berikan.
Lain halnya dengan Hera yang mencoba untuk tenang tanpa rasa bersalah. Padahal dia diselimuti ketakutan. Dia akan hancur hanya dengan satu kalimat yang Shafa ungkapkan.
"Aku enggak kenapa-kenapa, kok, Mas."
"Apa yang udah Sonya lakuin sama kamu?"
Shafa melihat ke arah Sonya yang gugup dengan sangat. "Aku enggak tau apa alasannya. Sonya pecahin semua kaca rumah kita. Dia juga bawa aku ke rumah kosong. Di sana, dia ninggalin aku berdua sama mama kamu."
"Mama aku?"
Deg. Hera sungguh tidak menyangka kalau Shafa berani mengatakan semua itu. Sonya merasa sedikit lega karena kejahatan mertuanya yang jahat itu akhirnya terungkap juga.
"Iya. Dia suruh orang buat siksa aku, Mas. Aku luka-luka kayak gini karena orang suruhan mama kamu. Bahkan, dia yang bikin aku keguguran."
"Apa?!"
Seperti tidak ada habisnya. Sedari tadi, mulai dari ungkapan Rendi tentang Sonya sampai ungkapan Shafa tentang Hera, membuat semua yang ada di sana kaget tidak percaya.
Shafa mulai menangis karena seluruh tubuhnya yang masih terasa nyeri dan hatinya yang perih saat mengingat kejadian itu.
"Mama kamu paksa aku untuk aborsi. Tapi aku berhasil kabur dari klinik itu enggak lama setelah mama kamu pergi dari sana. Ada salah satu keluarga pasien yang bantu aku buat kabur. Saat sampai di sini, aku pingsan dan ada suster yang rawat aku. Suster bilang, aku keguguran, Mas."
Alby tidak kuat mendengarnya dan Shafa tidak kuat mengatakannya. Dengan lembut, Alby mulai memeluk Shafa setelah sekian lama.
"Aku enggak akan biarin siapa pun nyakitin kamu. Siapa pun itu, mereka akan dapet balasannya."
***
Sonya mengunci rapat-rapat pintu rumahnya. Dia berniat untuk mengurung diri sampai memiliki waktu untuk pergi jauh dari sana. Dia tidak ingin berhubungan dengan Shafa lagi. Dia takut nantinya polisi yang akan menginterogasinya.
Tapi Daren membuatnya menahan diri untuk pergi. Dia tidak mungkin meninggalkan anaknya yang sedang sakit. Hal itu yang membuat Sonya frustasi.
"Argh! Kenapa jadi rumit kayak gini?! Semuanya gara-gara Shafa!"
Sonya membanting semua benda yang ada di dekatnya. Pikirannya kacau dan hatinya merasa sangat takut. Apalagi saat mendengar suara ketukan pintu.
"Sonya, buka pintunya cepat!" teriak Hera dari luar rumah. "Cepat buka pintunya, Sonya!"
Mengingat kejadian tadi membuat Sonya takut berhubungan dengan Hera lagi. Wanita tua itu menjebaknya dan membuatnya masuk kedalam masalah itu.
"Enggak! Mending, Tante pergi dari sini!" jawab Sonya dari dalam rumahnya.
"Anak kamu ada di rumah sakit, 'kan?"
Apakah Hera mencoba untuk mengancamnya? Karena tidak ingin Daren kenapa-kenapa, Sonya langsung membuka pintunya. Hera segera masuk dan kembali menutup pintu tersebut.
Tangannya mencengkram erat leher Sonya. Kukunya yang tajam, mulai melukai kulit Sonya yang mulus itu.
"Semuanya gara-gara kamu!"
"Kenapa Tante salahin aku? Ini semua karena kecerobohan Tante!" balas Sonya dengan terbata-bata. "Kenapa Shafa bisa kabur? Itu semua salah Tante, 'kan?"
"Kurang ajar kamu!" Hera mendorong Sonya sampai terjatuh dan kepalanya membentur tembok. "Awas kalau kamu sampai kasih pernyataan yang jujur saat nanti diintrogasi polisi! Kamu enggak mau anak semata wayang kamu itu mati, 'kan?"
"Polisi? Apa Shafa udah laporin kita ke polisi?"
"Bukan Shafa, tapi Alby. Dia bakal segera laporin kita ke polisi. Tunggu aja waktunya."
***
Alby meminta agar Shafa dirawat di ruangan yang sama dengannya. Ranjang mereka bersebelahan. Walau begitu, Alby tetap tidak bisa melihat Shafa. Dia hanya mengeratkan tangannya, bahkan saat tidur.
Alby masih tidak percaya kalau wanita yang selama ini dia hormati, yang selama ini dia cintai, ternyata adalah wanita yang kejam. Wanita bernama lengkap Hera Putriana itu telah salah mempercayai orang, sampai akhirnya kehilangan kepercayaan dari anaknya sendiri.
"Kenapa mama lakuin itu? Kenapa mama bisa sejahat itu?" Alby bertanya pada dirinya sendiri.
Matanya terus terbuka, namun tidak ada yang dapat dia lihat. Hanya bayangan wajah mamanya yang penuh kasih sayang. Apakah semua itu hanya tipuan?
Ceklek.
Pintu terbuka dan Alby menyadari hal itu. Sejak mengetahui anaknya itu kecelakaan, Fahri segera pergi ke Malang dan belum kembali ke Jakarta sampai saat itu. Tidak mungkin dia meninggalkan Alby dan Shafa, apalagi setelah semua masalah itu terjadi.
Fahri duduk disamping Alby dan memegang pundak putranya. "Ini Papa, Al. Gimana keadaan kamu?"
"Begini aja, Pa."
"Kamu yang sabar. Nanti semuanya akan kembali seperti semula, kok."
"Maafin aku, ya, Pa? Dulu, aku pernah benci sama Papa. Sekarang, aku udah bisa maafin Papa, kok."
"Itu salah Papa, Al. Papa yang seharusnya minta maaf sama kamu."
"Kenapa mama sekejam itu, Pa? Mama udah bikin anak aku meninggal dan bikin istri aku kayak gini."
Fahri mulai memeluk Alby dengan tenang. Tentu saja Alby menangis. Dia merasa cobaan datang bertubi-tubi padanya.
"Pa, apa aku salah kalau laporin mama ke polisi?" tanya Alby dengan ragu.
"Kamu harus bisa maafin kesalahan mama kamu. Tapi dia harus tetap menerima hukumannya."
"Papa mau bantu aku, 'kan?"
"Papa dan Rendi udah coba cari bukti-buktinya. Tinggal kamu yang buat laporan ke polisi."
***
Hera mengajak Sonya dengan paksa untuk ikut dengannya. Mereka pergi ke sebuah rumah yang dalam beberapa hari terakhir sering Hera kunjungi.
"Ini rumah siapa, Tante?" tanya Sonya dengan wajah takut.
"Nanti kamu bakal tau."
Hera terus menarik Sonya untuk masuk ke dalam rumah itu. Seperti biasa, terlebih dahulu mereka mencuci tangan dengan air kembang yang disediakan.
"Permisi, Nyai?" sapa Hera yang mulai duduk dihadapannya.
"Kamu lagi? Ada apa?" tanya Nyai Kelo.
"Rencana saya gagal. Apa Nyai bisa tolong saya supaya saya enggak masuk penjara?"
"Enggak bisa," jawab Nyai Kelo tanpa ragu.
"Nyai, tolong saya. Saya enggak mau masuk penjara," ucap Hera dengan penuh permohonan.
"Siapa wanita yang kamu bawa itu?"
"Dia ...."
"Saya Sonya, menantunya Bu Hera," sambung Sonya.
"Lalu, apa yang kalian mau?"
"Tolong bantu kita supaya enggak dipenjara, Nyai," pinta Hera sekali lagi.
"Apa yang bisa kamu kasih ke saya?"
Pertanyaan Nyai Kelo membuat Hera bingung. "Nyai mau apa? Uang?"
"Saya bisa bantu kamu. Tapi, bisakah kamu kasih apa yang saya mau?"
"Iya, saya bisa. Saya akan usahakan," jawab Hera dengan yakin.
"Kalau gitu, kalian pulang aja. Nanti, saya akan bantu kalian."
"Terima kasih, Nyai."
Sonya segera pergi tanpa basa-basi. Dia merasa takut dan terus merinding. Rumah itu terasa panas dan dingin secara bersamaan. Seumur hidup, tidak pernah Sonya mengunjungi dukun, peramal, atau semacamnya.
"Tante, nyai itu serius akan bantuin kita? Jadi, kita enggak akan dipenjara, 'kan?" Sonya bertanya sambil terus berjalan menjauhi lokasi itu.
"Iya, dia enggak mungkin bohong. Kamu liat aja nanti."
Mereka harus berjalan sampai menemukan jalan raya yang lumayan jauh. Kanan kiri mereka tumbuh banyak pohon tua yang sangat besar.
"Terus, apa yang dia mau sebagai imbalannya?"
"Mana saya tau. Dia kan, enggak ngomong apa-apa tadi."
Sonya sengaja berjalan lambat agar Hera yang berjalan lebih dulu. Selain tidak tahu jalan, dia juga takut jika harus berjalan paling depan.
Sebuah pohon yang mungkin berumur paling tua, tiba-tiba terjatuh dan jatuh tepat menimpa Sonya yang berjalan dibelakang Hera.
"Arghhhh!"
Jeritan Sonya terdengar nyaring dan membuat Hera ikut terjatuh sambil menutup kedua telinganya. Suara pohon yang jatuh dan jeritan Sonya terdengar sangat kencang.
"Sonya?!" teriak Hera.
***