Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 18 - Aborsi

Chapter 18 - Aborsi

Bukan tidur, tapi pingsan. Shafa tidak kuat lagi menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Perutnya yang keram, kepalanya yang pusing, dan beberapa luka yang perih, membuat Shafa pingsan dari malam hari.

"Bawa dia ke mobil."

"Siap, Bu!"

Perintah Hera segera dilaksanakan oleh kedua orang suruhannya. Setelah dibekap mulutnya dan ditutup matanya, Shafa dibawa ke suatu tempat yang dia tidak tau dimana.

Sampailah di sebuah klinik yang terpencil dan gelap. Shafa belum juga sadar. Mata dan mulutnya masih tertutup rapat. Langit masih gelap karena baru masuk jam 5 pagi. Hera sudah menyiapkan semuanya, jadi tinggal dieksekusi saja hari itu.

"Permisi, Dok? Saya Hera, yang kemarin bikin janji sama Dokter."

"Oh, iya. Saya udah nunggu dari tadi, loh. Jadi ini yang mau diaborsi?" tanya dokter yang bernama Tiara itu.

"Iya, Dok. Tapi, bisa enggak kalau prosesnya dilakukan tanpa dia liat? Jadi saya mau saat dia sadar nanti, aborsinya selesai."

"Nanti akan saya coba berikan suntikkan obat tidur."

"Terima kasih, ya, Dok?"

"Oh, iya, surat perjanjiannya sudah diisi, Bu?"

"Sudah, Dok."

Hera membuka tasnya dan mengambil map berisikan surat pernyataan dan pernjanjian aborsi. Yang di mana, semuanya palsu karena Hera yang mengisinya sendiri, tanpa meminta persetujuan secara langsung dari Alby selaku ayah dari anak yang akan dibuang.

"Saya harus pergi, Dok. Kalau udah selesai, hubungi saya aja."

Tujuan Hera selanjutnya adalah rumah orang yang dia sebut peramal. Orang itulah yang membuat Hera akhirnya tega melakukan kejahatan tersebut pada menantunya sendiri.

Kepercayaan Hera pada orang tersebut membuatnya kehilangan cucu yang dia idam-idamkan. Alasannya demi nyawa Alby yang diambang kematian karena hadirnya bayi tersebut.

"Permisi, Nyai? Saya datang."

"Masuk aja."

Setelah dipersilahkan, Hera langsung masuk dan tidak lupa mencuci tangan dengan air kembang yang disiapkan di depan rumah wanita tua yang dia panggil Nyai Kelo itu.

"Ada apa lagi? Apa kamu udah lakuin apa yang saya suruh?" tanya Nyai Kelo yang duduk di sofa besar, bersebelahan dengan Hera.

"Udah, Nyai. Setelah ini, anak saya akan baik-baik aja, 'kan? Soalnya setelah operasi mata 2 hari lalu, anak saya belum sadar juga. Padahal dokter bilang, dia akan sadar paling lama 1 hari setelah operasi," tutur Hera dengan sopan.

"Setelah bayi itu keluar dari rahim ibunya, anak kamu akan segera sadar. Sabar aja, Hera."

"Nyai serius, 'kan? Soalnya saya harus kehilangan cucu yang saya idamkan demi nyawa anak saya."

"Kamu enggak percaya sama saya? Kalau gitu, untuk apa kamu minta tolong ke saya?" Nyai Kelo terlihat mulai emosi.

"Bukan gitu, Nyai. Saya percaya, kok, sama Nyai. Tapi apa saya bisa punya cucu lagi nantinya? Cucu yang membawa kebahagiaan untuk keluarganya."

"Cucu kedua akan lahir dari rahim menantu kamu. Dia juga lebih beruntung dari cucu pertama kamu. Setidaknya, dia masih punya 1 orang tua."

"Maksud Nyai apa, ya?"

"Kamu punya cucu yang sudah lahir, 'kan? Menantu kamu juga ada 2, 'kan?"

Hera mengingat sejenak. Iya, benar. Dia punya 2 menantu dan 1 cucu dari Sonya, menantu yang tidak dia anggap.

"Terus, maksud Nyai apa tentang masih punya 1 orang tua?"

***

Hari kedua setelah mengetahui kenyataan itu, Rendi belum mempu untuk mengatakan yang sebenarnya pada siapa pun. Dia tidak ingin Sonya kenapa-kenapa, karena Daren membutuhkan sosok ibu.

Tapi, Sonya sudah keterlaluan dan tidak bisa didiamkan lagi. Rendi bingung harus melakukan apa. Dia ingin melindungi sahabatnya, Sonya dan Shafa. Tapi sulit untuk menyatukan mereka kembali menjadi sahabat, bukan musuh yang kejam.

"Shafa ke mana, ya? Kenapa dia enggak bisa dihubungin beberapa hari ini?"

Rendi menunggu di depan rumah Shafa dari dalam mobilnya selama beberapa hari belakangan. Setelah mengetahui kalau Sonya tidak terlihat di CCTV, Rendi sedikit lega dan tenang. Untuk sementara, dia membiarkan Sonya bebas. Tapi, dia berjanji akan mengungkapkan semuanya diwaktu yang tepat.

Ponselnya berdering dan Rendi segera mengangkatnya. "Halo?"

"Mas Alby udah sadar, Ren." Suara Sonya terdengar bahagia.

"Syukurlah kalau gitu."

"Kamu di mana sekarang?"

"Aku lagi jalan mau ke sana."

Tiba-tiba Rendi berpikir, "Alby udah sadar? Apa aku harus kasih tau semuanya ke dia? Tapi dia emang harus tau, sih."

Mobil Rendi melaju dengan lancar, karena memang macet tidak terlihat. Untuk kesekian kalinya, Rendi datang ke rumah sakit itu dan kembali izin dari pekerjaannya sebagai guru di salah satu SMA swasta.

"Iya, aku harus kasih tau semuanya ke Alby. Dia harus tau semuanya," ucap Rendi sambil berjalan cepat menuju ruangan tempat Alby dirawat.

Di depan ruangan, terlihat ayah Alby menangis sambil menundukkan kepala. Jantung Rendi kembali berdetak kencang. Rasa penasaran kembali dia rasakan.

"Permisi, Om?"

Fahri mengangkat kepalanya sambil menyeka air matanya. "Oh, ada apa, ya?"

"Kenalin, saya Rendi temannya Shafa."

"Oh, temannya, Shafa?"

"Iya. Saya ke sini kau jenguk Alby. Gimana kondisi Alby sekarang, Om?"

"Setelah operasi, dia udah lebih baik. Tapi dia mengalami buta dikedua matanya."

"Buta?!"

"Iya. Syukur bukan buta permanen. Seiring berjalannya waktu dan ikut terapi secara rutin, dia akan bisa melihat lagi."

Mendengar pernyataan itu membuat Rendi akhirnya menggugurkan niatnya untuk mengadu tentang Sonya pada Alby. Dia takut Alby akan kenapa-kenapa saat mendengarnya. Karena jujur, Rendi pun kaget saat mengetahui kenyataan kalau Sonya sejahat itu pada Shafa.

***

Alby hanya diam, tak mau bicara pada siapa pun sama sekali. Padahal, ada Hera dan Sonya yang terus bertanya tentang kondisinya. Tapi Alby terus diam karena Shafa tidak ada di sana.

"Sayang, jangan diemin Mama kayak gini, dong? Shafa pasti nanti ke sini, kok."

Hera mengatakan semua itu seakan tidak terjadi apa-apa pada Shafa. Padahal, Shafa sedang meringis kesakitan karena dipaksa melakukan aborsi.

"Mas, aku akan jemput Shafa. Tapi kamu sabar dulu. Jangan kayak gini, dong, Mas?" Sonya juga berbicara seakan dia tidak mengetahui apa pun.

"Jemput dia sekarang! Sekarang juga!" teriak Alby dengan frustasi.

Tiba-tiba, Rendi masuk dan Alby menyangka kalau itu Shafa. "Shafa?" panggil Alby.

"Ini aku, Rendi. Gimana keadaan kamu sekarang?"

"Ren, tolong jemput Shafa. Bawa dia ke sini sekarang."

Rendi melirik ke arah Sonya yang panik. Walau begitu, Sonya yakin kalau Rendi tidak akan mengatakan apa pun, pada Alby yang kondisinya baru saja pulih.

"Shafa hilang beberapa hari ini. Aku enggak tau ke mana dia pergi. Aku udah coba cari, tapi belum ketemu juga."

"Apa?!" Alby terkejut bukan main. Bahkan, dia sampai bangun dari tidurnya.

"Hey, kamu! Jangan ngomong macem-macem, ya? Anak saya baru pulih! Kamu jangan buat anak saya sakit lagi!" tutur Hera dengan tegas.

"Maaf, Tante. Tapi, Alby berhak tau semuanya." Rendi mendekati Alby dan memegang pundaknya pelan. "Shafa pergi setelah Sonya hancurin rumah kalian. Setelah itu, aku enggak tau ke mana dia."

"S-sonya?" Kembali Alby terkejut. "Apa yang udah kamu lakuin sama Shafa?! Ke mana Shafa sekarang?!"

"Mas, kamu jangan percaya sama Rendi. Dia cuma ngarang, Mas." Sonya mencoba membela diri dengan gugup.

"Di mana Shafa sekarang?!"

Teriakan Alby membuat Fahri kembali masuk ke ruangan itu. "Ada apa ini?"

"Di mana Shafa sekarang?! Kamu bawa Shafa ke mana, Sonya?! Ke mana?!"

Teriakan Alby semakin kencang. Bahkan, Rendi mencoba menahan tubuh Alby yang memberontak. Sonya dan Hera hanya diam ketakutan.

"Kamu bawa ke mana menantu saya?! Kalau sampai dia kenapa-kenapa, saya akan laporin kamu ke polisi!" ancam Fahri.

"Apa yang udah kamu lakuin ke menantu saya, hah?!" tanya Hera tiba-tiba.

Tentu saja Sonya kaget saat Hera melempar kesalahan padanya. Padahal, Hera adalah dalang dibalik semuanya. Bahkan, Sonya tidak tau di mana Shafa berada. Karena Hera yang melakukan rencana selanjutnya, tanpa sepengetahuan dia.

"T-tante?"

"Dasar perempuan jahat!" ungkap Hera pada Sonya yang berdiri di sampingnya.

"Di mana Shafa sekarang?!" Alby masih berteriak tidak jelas. Bahkan, saat Fahri memeluknya erat.

Sama sekali Rendi tidak menyesal mengatakan semua itu. Sonya memang harus tau akibat dari kelakuannya agar tidak melakukan hal yang lebih lagi.

"Di mana Shafa sekarang? Di mana dia, Ren?" tanya Alby yang mulai merasa lemas.

"Aku di sini, Mas."

***