Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 17 - Rencana Sonya

Chapter 17 - Rencana Sonya

Shafa merasa tubuhnya tidak lagi dapat menahan rasa sakit yang teramat itu. Perutnya sudah mati rasa dan seluruh tubuhnya sudah tidak lagi memiliki tenaga.

Darah mengalir keluar dari kemaluannya. Shafa hanya bersandar lemas pada tembok yang kotor akan lumut. Bibirnya pucat dan keringat membasahi keningnya.

"Mama, tolong aku. Tolong bawa aku ke rumah sakit," pinta Shafa dengan lemas.

Hera yang duduk di hadapannya, sama sekali tidak memberi respon saat Shafa berkali-kali meminta tolong. Dia hanya sibuk dengan ponselnya untuk bertukar kabar dengan Sonya.

"Ma, tolong aku. Aku mohon, Ma," pinta Shafa sekali lagi.

"Kamu bisa diam enggak, sih?! Berisik banget dari tadi?!"

"Aku mohon, Ma."

Hera berjalan menjauh dari Shafa yang tidak lagi dapat berdiri, apalagi untuk berjalan dan kabur dari sana.

"Jagain anak itu. Jangan kasihani dia," ucap Hera pada dua pria bertubuh besar yang berdiri di depan pintu.

"Siap, Bu!"

Nama Fahri tertera di layar ponselnya. Ternyata, Hera masih menyimpan nomor mantan suaminya itu. Alasan dia ingin menghubungi Fahri hanya untuk menanyakan kabar tentang putra tercintanya.

"Ada apa kamu telepon saya?" tanya Fahri dengan nada ketus.

"Saya cuma mau tanya kabar Alby. Gimana keadaannya sekarang?"

"Kamu merasa udah jadi ibu yang baik, 'kan? Kalau kamu khawatir sama keadaan Alby, dateng aja ke sini. Tungguin dia di sini."

"Saya enggak mau ribut sama kamu. Gimana keadaan Alby sekarang?"

"Dia lagi operasi dari 1 jam lalu. Ada kerusakan di matanya karena pecahan kaca. Kamu di mana sekarang?"

"Saya lagi ada urusan. Tolong jaga Alby. Langsung kasih tau saya kalau ada kabar terbaru tentang dia."

Tanpa basa-basi lagi, Hera langsung mematikan panggilannya. Dia menangis sambil berjongkok karena kakinya lemas setelah mendengar kabar terbaru tentang anaknya. Hatinya semakin digelapi aura kebencian.

Hera kembali masuk ke ruangan sempit dan kotor itu. Dia mendekati Shafa yang perlahan memejamkan matanya. Kukunya yang tajam, melukai wajah menantunya itu.

"Denger kamu, ya?! Kalau sampai anak saya kenapa-kenapa, anak dikandungan kamu itu juga enggak akan selamat!"

"Kenapa Mama tega banget? Ini cucu Mama sendiri. Ini anak Mas Alby juga, Ma."

"Tapi dia yang bikin anak saya begini! Dia pembawa sial! Saya enggak mau anak itu hidup!"

"Bukannya Mama menantikan cucu?"

"Kamu bisa hamil lagi dan kasih saya cucu. Tapi, saya enggak mau anak itu lahir!"

***

Hari semakin malam. Sonya masih memikirkan bagaimana caranya membungkam mulut Mbok Dewi yang melihatnya membawa Shafa pergi.

Mbok Dewi terlihat sedang kebingungan di depan rumah Sonya. Sonya hanya memperhatikannya dari dalam taksi yang terparkir jauh dari rumahnya.

"Aku harus ngapain, ya?" tanya Sonya pada dirinya sendiri.

Setelah berpikir beberapa saat dan menyiapkan sesuatu, Sonya keluar dari taksi dan menemui Mbok Dewi yang wajahnya terlihat khawatir.

"Mbak Sonya dari mana aja?"

"S-saya dari rumah sakit, lah."

"Mbak Shafa dibawa ke rumah sakit mana? Tadi, saya udah ke rumah sakit terdekat dari sini seperti apa yang Mbak Sonya bilang, tapi enggak ada."

"O-oh, Shafa dirujuk ke rumah sakit lain."

"Kalau gitu, antar saya ke sana, ya, Mbak? Saya bawa baju-bajunya Mbak Shafa." Mbok Dewi menunjukkan tas milik Shafa.

"Ada yang mau saya omongin sama Mbok Dewi. Ayo, kita ngobrol di rumah saya?"

Mereka pun, masuk ke dalam rumah yang sedikit berantakan dan kotor itu. Sonya izin ke kamar mandi lebih dulu untuk mengulur waktu. Sebenarnya, Sonya merasa takut dan ragu untuk menjalankan rencana yang mantan mertuanya rancang itu.

Setelah melihat Sonya kembali, Mbok Dewi mulai memberikan pertanyaan. "Bu Shafa dibawa ke rumah sakit mana, Mbak?"

"Mbok, Shafa baik-baik aja. Dia lagi istirahat sekarang. Tadi sebelum saya pergi, Shafa titip ini ke saya." Sonya memberikan amplop coklat yang ada di tasnya.

Mbok Dewi pun, membuka amplop tersebut. Isinya adalah uang senilai 8 juta dengan pecahan 50 ribu. Mbok Dewi kaget dan langsung melipat kembali amplopnya.

"Uang buat apa ini, Mbak?"

"Shafa suruh saya kasih itu ke Mbok Dewi. Dia juga titip pesan ke saya, katanya isi amplop itu untuk Mbok pulang ke kampung. Karena, Shafa sekarang udah dirawat sama mertuanya. Jadi, enggak perlu Mbok Dewi lagi."

"Jadi maksudnya saya dipecat sama Mbak Shafa, ya?"

***

Dinginnya malam menyelimuti suasana rumah sakit. Rendi duduk di bangku depan ruangan, setelah menjaga Daren yang telah tertidur lelap. Dia berkali-kali menghubungi Sonya, namun tidak ada tanggapan sama sekali.

Rendi sampai tertidur sambil duduk karena lelah menunggu Sonya. Dia juga tidak bisa meninggalkan Daren sendirian. Dia terkejut saat seseorang menepuk pundaknya.

"Ren, bangun."

Sedikit terkejut, Rendi segera bangun. "Kamu dari mana aja, sih?"

"Tadi ada kerjaan, Ren. Gimana keadaan Daren?"

"Masih gitu aja."

"Oh, iya, kamu udah tau kabar tentang Mas Alby? Dia kecelakaan dan sekarang lagi dirawat di rumah sakit ini."

"Apa?! Terus, gimana keadaannya sekarang?"

"Aku juga belum cek lagi. Informasi terakhir katanya lagi operasi mata."

"Shafa gimana? Dia enggak apa-apa, 'kan?"

"Aku enggak tau."

"Coba aku telepon, deh."

Setelah menemukan nama Shafa di ponselnya, Alby segera meneleponnya. Namun, ponsel Shafa mati sehingga tidak dapat dihubungi.

"Sonya, aku pergi dulu, ya?"

Rendi berlari menuju mobilnya. Dia langsung tancap gas menuju rumah Shafa yang baru dia ketahui kalau rumahnya hancur. Ketika ingin bertanya pada Sonya, sahabatnya itu tidak dapat dihubungi.

"Ada apaan ini, ya? Kenapa kacanya pada hancur gini?"

Ketika hendak pergi meninggalkan rumah Shafa, Rendi bertemu bapak-bapak yang datang ke rumah itu bersama beberapa polisi. Tentu saja hal itu membuat Rendi semakin penasaran.

"Permisi, Pak. Ini ada apa, ya?" tanya Rendi.

"Mas siapa, ya? Ada urusan apa datang ke sini?"

"Oh, saya sahabatnya Alby dan istrinya. Nama saya Rendi, Pak. Kalau boleh tau, ini ada apa, ya?"

"Tadi, ada orang yang hancurin semua jendela rumah ini. Warga di sini takut dan panik. Jadi, saya panggil polisi buat selidiki penyebabnya."

Bapak-bapak lain datang sambil memberikan flashdisk pada pak RT yang dipercaya oleh Shafa untuk mengurus masalah itu. Hanya pak RT dan polisi yang boleh melihat CCTV tersebut.

Sambil menunggu kabarnya, Rendi berkeliling dan menemukan sesuatu di belakang rumah itu. Sepertinya, itu adalah barang bukti yang polisi inginkan.

"Bukannya ini dompet Sonya, ya?"

Untuk memastikan, Rendi membuka dompet tersebut. "Bener, 'kan! Kenapa dompet Sonya bisa ada di dalem kresek ini, ya? Ada paku sama obeng segala lagi. Apa jangan-jangan ...."

Tanpa pamit, Rendi langsung pergi dengan membawa barang bukti tersebut. Dia berkali-kali menelpon Sonya, namun tidak ada balasan. Bertemulah mereka di rumah sakit. Dengan kasar, Rendi membuka pintu kamar tempat Daren dirawat.

"Sonya, kamu pergi ke mana tadi?"

"Maksudnya?"

"Tadi kamu pergi karena ada kerjaan, 'kan? Kerjaan apa?"

"Aku, 'kan, kerja di toko bunga. Ada apa, sih, Ren?" tanya Sonya yang sebenarnya jantungnya sudah berdegup sangat kencang.

Rendi mendekati Sonya dan berbicara bertatap dengannya. "Apa yang udah kamu lakuin?"

"L-lakuin apa? Aku enggak paham maksud kamu."

"Kamu udah terlalu jauh, Sonya. Sadar, Shafa itu sahabat kamu dan Alby itu suami sahabat kamu. Berhenti ganggu mereka!"

Sonya berdiri dengan cepat setelah mendorong Rendi sampai terjatuh. "Maksud kamu apa, sih?!"

"Ini!" Kantong kresek hitam berisi beberapa paku dan obeng, dilempar Rendi ke atas sofa rumah sakit. "Semua ini ulah kamu 'kan?!"

Merasa Rendi telah tau semuanya, "Iya, itu aku yang lakuin! Terus kenapa?!" jawab Sonya tanpa mengelak lagi setelah melihat bukti yang Rendi bawa.

"Aku udah bilang, jangan ganggu rumah tangga Shafa dan Alby!"

"Aku enggak akan berhenti sebelum Shafa menyerah!"

"Sonya, tolong berhenti. Kamu bakal nyesel nantinya," ucap Rendi dengan sedikit frustasi.

"Aku cinta sama mas Alby, Ren! Aku belum rela mas Alby bersatu sama cewe lain. Apalagi sama sahabat aku sendiri."

"Kenapa dari awal kamu enggak jujur?!"

"Aku juga nyesel, Ren! Saat itu, aku terlalu susah buat jujur ke Shafa."

"Yaudah, sekarang kamu relain Alby karena dia udah jadi suami orang!"

"Aku enggak akan berhenti sebelum dapetin Mas Alby lagi. Atau minimal, liat Shafa dan Mas Alby berpisah."

***