Shafa merasa sangat trauma. Tangannya gemetar hebat dan keringat terus mengalir membasahi keningnya. Selama diperjalanan menuju rumah sakit, Shafa terus berdoa dengan harapan suaminya akan baik-baik saja.
"Mas Alby pasti baik-baik aja, kok, Mbak," ucap Mbok Dewi yang terus menggenggam tangan majikannya itu.
Sesampainya di rumah sakit, Shafa langsung berlari dan mengabaikan kondisinya yang sedang hamil muda. Tidak peduli dengan pandangan orang-orang terhadapnya.
Bugh!
"Aduh!" rintih Shafa yang terjatuh karena menabrak seorang wanita.
"Shafa? Kamu ngapain di sini? Kenapa kamu nangis gitu?"
"Sonya ...."
"Di mana Mas Alby? Tadi, dia telepon aku. Katanya lagi di jalan mau ke sini. Tapi, kenapa belum sampai juga?"
"Mas Alby kecelakaan pas lagi di jalan mau jenguk anak kamu."
Kembali Shafa berlari dan meninggalkan Sonya yang kakinya terasa berat untuk melangkah. "Apa? Kecelakaan?"
Ada sekitar 3 polisi yang menunggu di depan ruangan UGD tempat Alby dirawat. Shafa mendekati salah satu pria gagah berbaju coklat itu untuk memastikan.
"Pak, yang di dalam ini suami saya?"
"Yang ada di dalam itu korban atas nama Alby Andris Bakhtiar. Mbak siapanya?"
"Saya istrinya, Pak."
"Nama Mbak siapa?"
"Shafa Akdzaa Zahirrah, saya beneran istrinya, Pak. Keadaan suami saya gimana sekarang?!"
"Tadi dokter sempat periksa dan katanya korban kritis. Tapi dokter sedang mengusahakan yang terbaik untuk korban, Mbak."
Seluruh tubuh terasa sangat lemas. Mbok Dewi membantu Shafa untuk duduk di bangku panjang depan ruangan itu. Matanya sembab, napasnya tidak teratur, dan keringat terus mengalir di keningnya.
"Mas Alby," suaranya terdengar sangat pelan. "Jangan tinggalin aku, Mas."
Tidak lama, ayah kandung Alby datang dengan wajah tegang. Dia juga meminta penjelasan polisi atas kecelakaan yang menimpa anak semata wayangnya itu. Lalu dia melihat menantunya yang menangis tanpa suara.
"Shafa? Kamu baik-baik aja?" tanya Fahri sambil memegang lembut tangan Shafa.
"Pa, Mas Alby enggak akan kenapa-kenapa, 'kan?"
"Iya, Shafa. Dia akan kuat demi kamu dan anak kalian. Kamu harus kuat juga demi Alby, ya?"
"Aku takut, Pa. Aku takut semuanya terulang lagi."
Fahri memeluk Shafa dengan hangat untuk beberapa menit. Tangannya menepuk pelan punggung Shafa dan sesekali membelai rambutnya.
"Tenang, Shafa."
Setelah hampir 30 menit Shafa menunggu dokter keluar dari ruangan dan memberikan kabar baik, Hera datang dengan penuh amarah. Dia menarik baju Shafa dan membuat gadis lemah itu segera bangun dari duduknya.
"Semuanya gara-gara kamu!" bentak Hera dengan mendorong Shafa sampai terjatuh.
"Hera! Shafa lagi mengandung cucu kita, kenapa kamu dorong dia kayak gitu?!" Fahri terus membela Shafa.
"Anak yang dia kandung itu pembawa sial!" Hera terlihat sangat setres, dengan wajah yang dibasahi air mata. "Ayah dan ibu kamu mati setelah ada anak itu, 'kan? Apa lagi sebutan yang pantes untuk anak itu, selain pembawa sial?!"
"Hera, cukup! Pergi kamu dari sini!" usir Fahri dengan tegas. "Ini rumah sakit! Jangan bikin kegaduhan di sini!"
"Kamu ngusir aku, Mas? Ada juga kamu yang pergi! Selama ini kamu enggak pernah peduli sama Alby. Kamu cuma mikirin kehidupan kamu sama selingkuhan kamu itu!"
"Cukup, Hera!"
"Aku enggak akan pergi dari sini!" Hera menatap Shafa dengan tajam. "Dan kamu? Kalau sampai anak saya kenapa-kenapa, jangan harap kamu bisa ketemu sama dia lagi!"
***
Kondisi Shafa sangat lemah. Bahkan, dia mendapat sedikit perawatan dari dokter. Dokter menyarankan Shafa untuk segera pulang dan banyak beristirahat. Dia juga tidak bisa menemui Alby selama ada Hera di sana.
Jalanan tidak terlalu macet, membuat Shafa akan cepat sampai di rumah. Sama sekali tidak ada kata yang terucap dari mulutnya. Pikirannya kacau dan hatinya hancur. Apalagi setelah mengetahui mertuanya yang jadi benci padanya.
"Menurut Mbok, yang pembawa sial itu aku atau anak aku?"
Mbok Dewi terkejut mendengarnya dengan tiba-tiba lalu menjawab, "Loh, Mbak Shafa kenapa nanya kayak gitu? Enggak ada yang namanya manusia pembawa sial, Mbak. Semua terjadi karena sudah takdir yang diatur sama Tuhan."
"Tapi ada benernya juga, Mbok. Setelah aku dinyatakan hamil, ayah dan ibu aku meninggal. Terus sekarang Mas Alby kecelakaan."
"Mbak Shafa enggak boleh ngomong kayak gitu. Mending sekarang kita berdoa semoga Mas Alby baik-baik aja."
Saat sampai di rumah, ada beberapa orang yang mengerumuni rumah itu. Dengan tubuh lemasnya, Shafa mendekati Pak RT untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya.
"Pak RT, ini ada apa?"
"Akhirnya Mbak Shafa pulang juga. Ada yang merusakkan rumah Mas Alby dan Mbak Shafa. Liat aja tuh, kacanya pada pecah semua, Mbak."
Baru sadar saat Pak RT memberitahunya, Shafa kembali terkejut untuk kesekian kalinya. Rumahnya berantakan karena pecahan kaca. Semua tanaman yang dia rawat, hancur berantakan.
"Siapa yang ngelakuin ini, Pak?"
"Kita enggak tau. Makannya itu, saya mau minta izin untuk cek CCTV yang ada di rumah Mas Alby. Soalnya ini bikin warga lain jadi cemas juga, Mbak."
"Oh, boleh, Pak. Ayo, silahkan masuk."
Sambil melangkah masuk ke dalam rumah, Shafa batu ingat tentang CCTV yang ada di rumahnya. Berarti, orang yang waktu itu pernah menerornya kemungkinan tertangkap CCTV?
"Ya ampun, Mbak, siapa yang tega lakuin ini, ya? Semua kaca pada pecah gini." Mbok Dewi tanpa sengaja merekatkan tangannya pada Shafa. Bukan hanya Shafa, Mbok Dewi juga ternyata terkejut melihat ruang tengah dipenuhi pecahan kaca.
"Silahkan di cek, Pak."
Satpam komplek mulai duduk di kursi yang ada. "Kata sandinya apa, Mbak?"
"Kata sandi? Eum ... saya enggak tau apa-apa, Pak. Cuma suami saya yang tau," jawab Shafa.
"Kalau gitu, kapan Mas Alby pulang?"
Kembali terlihat kesedihan dari wajah Shafa. "Saya enggak tau, Pak. Suami saya habis kecelakaan dan sekarang lagi kritis"
"Apa?!"
Pak RT, satpam, dan beberapa orang di sana terkejut mendengar kabar duka tentang pria yang dikenal ramah di komplek itu.
"Untuk sementara ini, apa saya boleh minta tolong Pak RT untuk urus semuanya?"
"Boleh, Mbak. Tapi untuk sekarang Mbak Shafa bakal tinggal di mana dulu? Bahaya, Mbak, kalau masih tinggal di sini untuk sekarang."
"Di rumah saya," ujar seorang wanita yang datang secara tiba-tiba.
***
Sonya membawakan semangkuk bubur dan segelas teh tawar hangat. Sementara Mbok Dewi sedang mandi, Sonya menggantikan untuk menjaga Shafa yang terbaring lemah diatas kasur.
"Shaf, dimakan dulu, nih, buburnya."
Sebenarnya Shafa mendengar Sonya. Namun, sulit rasanya membuka mata yang terasa panas. Itu merupakan salah satu dampak dari demam.
"Kamu kenapa?" tanya Shafa.
Shafa sama sekali tidak mempertanyakan alasan Sonya yang mengizinkan dia untuk tinggal sementara dirumahnya. Padahal, sedang ada masalah serius diantara mereka. Bahkan, Sonya ataupun Shafa awalnya saling menghindar untuk bertemu.
"Kenapa apanya?"
"Tiba-tiba baik sama aku?"
"Mau gimana pun, kamu itu tetep sahabat aku."
"Mas Alby selalu mikirin anak kalian. Jadi, aku harap kamu enggak salah paham sama Mas Alby."
"Oke, kalau gitu. Yaudah, dimakan dulu buburnya. Nanti keburu dingin."
Satu sendok bubur tanpa topping, berhasil mengisi perut Shafa yang kosong. Shafa memakannya tanpa mencurigai apa pun. Saat sudah setengah habis, dia baru merasakan sakit pada perutnya.
"Ah, perut aku sakit," keluh Shafa sambil memegang perutnya dan memukulnya pelan.
"Kamu kenapa, Shaf?"
"Perut aku sakit banget, Sonya!"
"Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"
Sonya menuntun Shafa menuju taksi yang sudah dia pesan secara online. Tapi, Mbok Dewi yang baru selesai mandi, menghadang mereka.
"Mbak Shafa kenapa?" tanya Mbok Dewi dengan sangat cemas.
"Perutnya sakit. Saya mau bawa dia ke rumah sakit terdekat di sini. Mbok mending pulang dan bawa beberapa baju untuk Shafa."
"I-iya. Mbak Shafa, nanti saya susul, ya, Mbak?"
Shafa menahan sakit sambil menggenggam erat tangan Sonya. Dia merasa hidupnya sangat menyedihkan. Orang tuanya baru saja meninggal, suaminya sedang kritis di rumah sakit, dan anak dalam kandungannya sedang dalam bahaya.
"Sonya, kapan kita sampai? Perut aku sakit banget."
"Sebentar lagi."
Mobil yang mereka tumpangi bukan taksi dan mereka juga bukan berhenti di depan rumah sakit. Sonya menarik Shafa keluar dari mobil dan memperlakukannya dengan kasar untuk masuk ke dalam sebuah rumah kosong tengah hutan.
"Sonya, kenapa kita ke sini?!"
"Enggak usah banyak tanya! Ayo, masuk!"
Sonya mendorong Shafa sampai terduduk di lantai yang dipenuhi lumpur dan beberapa serangga. Shafa terkejut saat melihat seorang wanita datang dan berdiri di samping Sonya.
"Mama?"
***