Setelah 1 bulan kepergian kedua orang tuanya yang secara berdekatan, Shafa masih merasa duka dan kehancuran dalam hidupnya. Jika tidak ada bayi diperutnya, mungkin Shafa akan mengakhiri hidupnya untuk dapat bertemu ayah dan ibunya.
Alby terus berusaha menguatkan Shafa, memberinya banyak kasih sayang walau Shafa selalu mengabaikannya. Semenjak kehilangan kedua orang tuanya, Shafa jadi banyak diam dan tidak peduli dengan Alby.
"Shaf, aku berangkat dulu, ya? Kalau kamu butuh apa-apa, panggil Mbok Dewi aja. Nanti siang aku pulang, kok."
"Iya, hati-hati."
Setelah mencium kening, pipi, dan bibir Shafa, Alby langsung pergi dengan membawa bekal yang sudah Mbok Dewi siapkan. Mbok Dewi adalah asisten rumah tangga yang Alby pekerjakan untuk menemani dan menjaga Shafa di rumah.
Shafa duduk di ruang tengah sambil menonton televisi dan meminum segelas susu untuk ibu hamil yang Mbok Dewi buatkan.
"Mbok, saya izin ke pasar dulu, ya? Saya mau beli ikan sama buah-buahan. Tadi di tukang sayur enggak ada," ucap Mbok Dewi dengan menenteng tas belanjanya.
"Saya ikut, ya, Mbok?"
"Jangan, Mbak. Nanti Mbak kecapean. Saya enggak lama, kok."
"Saya bosan di rumah terus."
"Mas Alby suruh saya untuk enggak kasih izin kalau Mbak mau keluar rumah tanpa beliau."
Alby terlihat semakin overprotektif saat Shafa sedang hamil. Dia tidak mengizinkan Shafa untuk pergi keluar rumah tanpa ditemani olehnya. Hal itu membuat Shafa merasa sangat diperhatikan, namun juga merasa sedikit terkekang.
Tok, tok, tok!
Ketika hendak pergi ke dapur, Shafa yang masih memegang gelas langsung membuka gorden untuk melihat siapa yang bertamu sepagi itu. Wajah yang tidak asing lagi untuknya, berdiri di depan pintu dan kembali mengetuknya. Shafa membuka pintu rumahnya perlahan dan Sonya langsung mendorongnya sampai terjatuh.
"Aw!"
Sonya masuk ke dalam dan menutup pintu rumah. "Kamu, tuh, egois! Kamu cuma mementingkan kebahagiaan kamu! Kamu yang bikin anak aku menderita! Dia kehilangan ayahnya gara-gara kamu! Kamu sadar enggak, sih, Shaf?!" teriak Sonya penuh emosi.
"Sonya, k-kamu ...."
"Gara-gara kamu, Mas Alby jadi enggak peduli sama anak aku. Itu semua karena kamu!"
"Sonya ...."
"Kapan kamu mau nyerah, hah?! Kapan kamu biarin anak aku dapetin kebahagiaan dari ayahnya?!"
"Aku enggak akan pisah sama Mas Alby."
"Dasar egois! Penjahat!" Sonya menarik Shafa untuk bangun dan kembali mendorongnya sampai terjatuh.
"Dengerin dulu penjelasan aku, Sonya."
"Aku enggak butuh penjelasan! Aku cuma mau kamu pisah sama Mas Alby!"
"Mas Alby selalu sayang sama Daren. Dia selalu mikirin Daren. Kamu jangan salah paham."
"Aku enggak peduli! Aku cuma mau, Mas Alby jadi milik aku dan Daren!"
"Ini semua salah kamu, Sonya. Kalau aja dari awal kamu jujur sama aku soal hubungan kamu sama Mas Alby, aku enggak anak nikah sama dia. Sekarang, kenapa kamu jadi salahin aku?"
Untuk kesekian kalinya, Sonya mendorong Shafa sampai terduduk di sofa. "Kalau kamu enggak mau pisah sama Mas Alby, demi Daren aku akan bikin kamu pisah sama Mas Alby! Gimana pun, caranya! Aku pastiin, kamu akan pisah sama dia! Liat aja nanti!"
***
Rendi datang untuk menjenguk Daren, tapi dia tidak menemukan Sonya di sana. Daren yang sedang tertidur pulas, dengan beberapa selang menempel ditangan dan tubuhnya, dibiarkan sendiri di ruang rawat itu.
"Ke mana, sih, Sonya? Anaknya lagi sakit bukannya ditemenin malah pergi."
Hanya berselang 5 menit, Sonya datang dengan wajah datar. "Ngapain kamu di sini?"
"Mau jenguk Daren. Enggak boleh?"
Sambil duduk Sonya berkata, "Hampir setiap hari kamu dateng. Ayahnya sendiri aja jarang banget dateng."
"Mungkin Alby lagi sibuk kali. Sekarang ini anak sekolah lagi ulangan kenaikan kelas. Kali aja dia sibuk ngurusin itu."
"Enggak ada alasan apapun buat jenguk anaknya yang lagi sakit. Intinya, dia lebih peduli sama Shafa dari pada sama Daren."
"Jangan gitu, lah. Lagi pula, Alby tetep tanggung jawab, kok, sebagai seorang ayah. Dia, 'kan, yang bayarin semua perawatannya Daren?"
"Iya, sih. Tapi itu aja enggak cukup. Daren juga butuh sosok ayahnya. Apalagi dia lagi sakit kayak gini."
"Sonya, dengerin aku." Rendi menatap Sonya dengan harap. "Tolong, jangan bawa-bawa Shafa ke dalam masalah kamu dan Alby. Dia enggak salah. Yang salah itu kamu dan Alby. Dari awal, kalian udah salah langkah. Kebohongan enggak akan membawa kebahagiaan. Jadi tolong jangan salahin Shafa soal semua ini."
"Kenapa, sih, semua orang pada belain Shafa? Cowok yang aku cinta, cintanya sama Shafa. Kamu, sahabat aku dari kecil juga percayanya sama Shafa. Terus, siapa yang percaya sama aku? Siapa yang cinta sama aku? Diri aku sendiri gitu?"
"Kamu cuma perlu sadar apa kesalahan kamu."
"Aku korban, Ren. Sama kayak Shafa. Aku dan Shafa itu korbannya Alby. Tapi kenapa jadi aku terus yang disalahin?"
"Aku cuma mau kamu sadar, apa kesalahan kamu."
"Aku enggak punya salah sama Shafa. Dia yang rebut Alby dari Daren."
"Kesalahan kamu adalah mencoba membuat Shafa dan Alby pisah. Padahal, kamu sendiri udah tau gimana rasanya perpisahan. Terus kenapa kamu tega bikin sahabat kamu merasakan itu?"
"Sahabat aku? Dia bukan sahabat aku lagi. Kalau kamu terus-terusan belain Shafa, kamu juga bukan sahabat aku lagi, Ren!"
"Tapi Sonya ...."
"Aku enggak akan biarin Shafa dan Mas Alby bahagia."
***
Sesuai ucapannya, Alby benar-benar pulang lebih cepat. Dia juga selalu membawakan makanan untuk Shafa, walau Shafa tidak pernah memintanya. Kali itu, dia membawakan rujak sambal kacang untuk istrinya.
"Kamu udah makan, Mas?"
"Belum, Sayang. Aku tadi langsung pulang, enggak sempet ke kantin."
"Ini, makan." Shafa menyodorkan nasi dan semur ayam kesukaan suaminya itu.
Hanya dengan memakan sesendok saja, "Ini kamu yang masak, ya?" Alby tau kalau itu adalah masakan sang istri.
Shafa hanya mengangguk dan lagi-lagi mendengarkan Alby menegur Mbok Dewi karena membiarkan Shafa melakukan hal yang dia larang.
"Maaf, Mas. Saya udah saya larang, tapi Mbak Shafa tetep maksa," tutur Mbok Dewi.
Memegang tangan Shafa adalah salah satu hal yang Alby sukai. "Sayang, kalau kamu kecapean gimana? Lain kali jangan masak dulu, ya? Kalau kamu udah lahiran, baru boleh masak lagi."
"Aku enggak apa-apa, kok, Mas."
"Pokoknya, jangan ulangi lagi, ya?" Suara Alby terdengar sangat lembut.
"Tadi Sonya dateng."
"Ngapain dia?"
"Dia minta kamu untuk jenguk Daren lebih sering lagi."
"Aku, 'kan, harus kerja. Kalau ada waktu, aku pasti bakal jenguk, kok."
"Kamu ngomongnya sama Sonya, lah. Jangan sama aku."
"Iya, nanti biar aku ngomong sama dia."
"Mending sekarang kamu ke rumah sakit. Temenin Daren. Kasian, dia pasti lagi nunggu ayahnya dateng."
"Sayang ...."
"Tolong, Mas. Kamu harus adil. Jangan cuma perhatiin aku dan bayi kita. Tapi kamu juga harus perhatiin Daren. Mau gimanapun, dia anak kamu, Mas. Darah daging kamu."
Alby diam sejenak, "Yaudah aku ke sana sekarang. Kamu jangan ke mana-mana, ya?"
Padahal, Alby merasa sedikit lelah karena baru saka pulang kerja. Tapi, dia harus kembali pergi demi sang anak. Jujur saja, Alby ingin selalu bertemu Daren. Tapi, keberadaan Sonya yang membuatnya malas untuk pergi.
"Ah, kenapa jadi gini? Kenapa jadi serumit ini? Aku cinta sama Shafa, tapi aku juga cinta sama Daren. Kalau aja Sonya mau anaknya diurus sama aku dan Shafa, pasti bakal lebih tenang. Aku bisa ketemu Daren, tanpa harus ketemu Sonya."
Mobil Alby berada dibaris ketika saat sedang lampu merah. Dia selalu mengingat salah satu ucapan Shafa untuk tidak berkendara dengan laju kencang. Hal itu membuat Alby selalu santai saat berkendara, sekalipun sendirian.
"Ah!"
Namun, semua sudah takdir. Alby dan beberapa orang yang sudah mentaati aturan lalu lintas, tetap menjadi korban dari kecelakaan beruntun tersebut. Kecelakaan itu diakibatkan oleh sebuah truk pengangkut tanah yang berkendara dengan laju kencang, kemudian oleng dan menabrak banyak pengendara di depannya. Alby menjadi salah satu korbannya.
"S-shafa ...."
***