Setelah 2 hari di perjalanan, Alby dan Shafa akhirnya sampai di Jakarta dengan perasaan duka. Bahkan, Shafa belum makan apa pun sejak diberi kabar kalau ayahnya meninggal. Bibirnya pucat, tubuhnya lemas, dan wajahnya terlihat berantakan.
Bagaimana tidak? Seorang pria yang menjadi cinta pertama untuk putrinya, meninggal dunia dengan tragis. Shafa hanya bisa menangis di atas batu nisan sang ayah. Saat hari ulang tahunnya, itu adalah kali terakhir dia bertemu Yunus.
"Ayah, Shafa dateng."
Sudah hampir 2 jam Shafa di sana, menangis dengan suara yang telah habis. Alby tidak dapat membujuknya untuk pulang. Benar-benar terlihat kalau Shafa merasa sangat kehilangan ayahnya.
"Sekarang, ayah pasti lagi suruh kamu untuk berhenti nangis. Pasti ayah lagi usap air mata kamu yang terus mengalir. Jadi, kamu harus kuat demi ayah, ya?" ujar Alby untuk menguatkan sang istri.
"Ayah aku udah enggak ada, Mas. Aku udah enggak punya ayah lagi sekarang. Ayah aku udah pergi."
Alby menarik Shafa ke pelukannya, membelai lembut rambutnya, dan mencium pucuk kepalanya berkali-kali.
"Walau aku enggak sebaik ayah kamu, tapi aku akan tetap berusaha menjadi seperti dia. Setidaknya, aku akan jaga kamu walau enggak mungkin sebaik ayah kamu."
Setelah berhasil membujuk Shafa, Alby membawanya pulang ke sebuah rumah yang masih terasa duka citanya. Fatma yang belum sembuh total, terbaring di atas kasur dalam keadaan lemah.
Melihat Fatma seperti itu, Shafa kembali menangis sambil memeluk sang ibu. "Ibu harus sembuh, ya?"
"Ibu mau nemenin ayah, Shaf. Ayah selalu ke mana-mana sama Ibu. Kalau sekarang dia pergi sendirian, kasian dia kesepian"
"Shafa masih butuh Ibu. Shafa enggak mau kehilangan Ibu juga."
Alby, Galih, dan beberapa orang yang melihatnya, ikut menangis dengan apa yang mereka katakan. Kepergian Yunus sangat sulit untuk diterima oleh keluarganya. Bahkan Galih yang ingin menikah bulan depan, harus melaksanakannya tanpa kehadiran seorang ayah.
"Bu, bulan depan Galih mau nikah. Ibu mau liat Galih nikah, 'kan? Galih juga mau ditemenin sama Ibu. Ibu harus sehat lagi, ya?"
Tangan Shafa yang awalnya menggenggam erat tangan sang ibu, tiba-tiba terlepas dan membuat Fatma merasa kosong. Shafa pingsan dan kepalanya membentur lantai dengan cukup keras.
"Shafa?!" teriak beberapa orang di sana.
Dengan cepat Alby mengangkat Shafa dan membawanya ke rumah sakit. Kacau! Perasaan dan pikirannya sangat kacau. Hatinya terasa sangat sakit melihat Shafa tidak berdaya seperti itu.
Setelah beberapa menit dokter memeriksanya, "Tolong dijaga istrinya, ya, Pak? Dia lagi hamil 1 bulan. Kandungannya masih sangat muda. Jadi, harus dijaga baik-baik."
"Hamil?"
"Iya, Pak. Ibunya harus bisa mengontrol emosi dan jangan dibiarkan setres atau banyak pikiran. Itu akan sangat berpengaruh terhadap kandungannya. Apalagi sampai selemah ini, bisa fatal akibatnya, Pak."
"Istri saya hamil, Dok?"
***
Di sisi lain, Sonya yang tidak tau apa-apa merasa sangat kesal saat Alby pergi tanpa memberitahunya. Baginya, Alby adalah pria yang jahat karena tidak peduli dengan anak sendiri.
Berkali-kali ditelepon, namun tidak diangkat. Beberapa kali mengirim pesan, namun tidak di balas. Sonya berusaha untuk menahan amarahnya, demi sang anak yang terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit.
"Sonya?"
Rendi datang bersama calon istrinya. Iya, Sonya memberitahu pada Rendi tentang semua yang terjadi. Setelah kedua orang tuanya meninggal, hanya Shafa dan Rendi sebagai sahabat yang dia miliki. Namun, Sonya tidak lagi mengakui Shafa sebagai sahabatnya.
"Ren? Aku pikir kamu enggak dateng?"
Tanpa ragu, Rendi menggenggam tangan Sonya dengan erat di depan Jasmin. "Kenapa kamu jadi gini?"
"Maksud kamu apa?"
"Kamu punya anak dari Alby? Kenapa kamu sembunyiin semuanya sendiri?"
"Enggak usah dibahas lagi."
"Shafa udah tau semuanya?"
"Iya, dia udah tau. Aku benci sama dia, Ren. Gara-gara dia, Alby jadi enggak peduli sama Daren. Mereka malah pergi disaat Daren lagi sakit parah kayak gini."
"Mereka pergi ke mana?"
Sonya hanya menjawabnya dengan mengangkat cepat kedua pundaknya. Untuk mencari jawabannya, Rendi langsung menelpon Shafa. Setelah panggilan yang ke-3 kali, Shafa baru mengangkatnya.
"Halo, Shaf? Kamu di mana sekarang?"
"Aku pulang ke Jakarta. Ayah aku meninggal."
"Apa?! Kenapa kamu enggak kasih tau aku?! Kenapa?!"
"Aku lupa."
"Kalau gitu, aku ke Jakarta sekarang."
"Hati-hati, ya, Ren?"
"Turut berdukacita, ya, Shaf?"
"Iya, terima kasih."
Mendengar Rendi mengucapkan dukacita, Sonya dan Jasmin terkejut. "Siapa yang meninggal, Ren?" tanya Sonya.
"Om Yunus."
***
Seharusnya, Shafa bahagia mendengar kabar kalau dia akhirnya bisa memberikan keturunan untuk Alby. Tapi, perasaan duka cita masih menyelimuti hatinya. Air matanya mengalir, entah karena sedih atau bahagia.
"Aku tau kamu masih berduka. Tapi, kamu harus pikirin anak dikandungan kamu." Alby mengelus perut buncit Shafa. "Kalau kamu sakit, dia juga bakal sakit."
"Mas, mending sekarang kamu balik ke Malang. Kasian anak kamu, Mas. Dia pasti butuh ayahnya. Apalagi disaat dia lagi sakit. Sonya juga pasti butuh orang untuk menguatkan dia. Mau gimana pun, Sonya itu ibu dari anak kamu. Kamu enggak boleh biarin anak kamu kehilangan kasih sayang dari ayah dan ibunya. Kasian Daren, Mas."
"Tapi kondisi kamu aja sekarang lagi kayak gini, Shaf. Aku enggak mungkin pergi, dong?"
"Ada Kak Galih yang bakal jagain aku. Aku juga masih punya ibu yang bisa bikin aku kuat. Kalau Sonya? Dia enggak punya siapa-siapa, Mas. Tolong, ya?"
Alby tidak memberikan jawaban apa pun. Setelah 3 jam lamanya di rumah sakit, Shafa memutuskan untuk pulang karena tidak betah berlama-lama di sana. Dia minta untuk dirawat di rumah saja agar bisa menemani ibunya.
Walau hanya diceritakan oleh Galih tentang kecelakaan yang menimpa ayahnya sampai meninggal, Shafa tetap merasakan trauma. Dia meminta Alby untuk mengemudi dengan pelan.
Berkali-kali Alby mengelus kepala Shafa dan mencium tangan sang istri dengan lembut. Iya, Shafa sangat menyukai perhatian dan rasa cinta yang Alby berikan. Tapi, kenapa sekarang rasanya berbeda?
"Terima kasih, ya, Sayang?" ucap Alby sambil tersenyum manis.
Saat sudah sedikit lagi sampai di rumah, Shafa baru sadar kalau Galih berkali-kali menelponnya. Hal itu membuat Shafa semakin tidak sabar untuk segera memberitahu kabar tentang kehamilannya pada ibu dan kakaknya. Dia berharap, kabar itu bisa sedikit menghilangkan kesedihan yang menyelimuti keluarganya.
Banyaknya orang di rumah membuat Shafa kebingungan. Padahal, pengajian untuk kepergian ayahnya diadakan malam nanti. Tapi kenapa orang-orang sudah datang siang hari itu?
"Kenapa rame banget, Shaf?"
"Ada apa ini, Mas?"
Keluarlah mereka dari dalam mobil dan mulai masuk ke dalam rumah. Galih yang menunggu di depan pintu, langsung memeluk Shafa erat-erat.
"Shaf, ibu meninggal."
Tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibir mungil Shafa. Tubuhnya yang lemas, terasa semakin lemas. Hatinya yang hancur, terasa semakin hancur.
"Ibu meninggal?!" teriak Alby yang langsung berlari masuk ke dalam rumah.
Fatma terbaring tak berdaya di atas kasurnya. Wajahnya yang putih bersih, terlihat sangat pucat. Alby menangis disamping Fatma, sambil memeluk untuk membangunkannya.
"Bu, bangun, Bu!" teriak Alby.
Tentu saja Alby merasa kehilangannya. Karena Fatma, Alby bisa mengenal Shafa yang telah menjadi istri tercintanya. Galih menuntun Shafa untuk melangkah menuju kamar sang ibu.
"Ibu?" Shafa mendekati ibunya yang sudah tidak bernyawa. "Ibu kenapa? Ayo, bangun, Bu."
Tidak ada air mata yang terlihat atau teriakan yang terdengar dari Shafa. Dia hanya menangis dalam diam, menyembunyikan wajahnya di dada sang ibu.
"Bangun, Bu. Ayo, bangun. Aku mau kasih kabar bahagia ke Ibu."
Shafa duduk dengan tenang di samping Fatma. Merapikan rambut yang menutupi wajahnya. Lalu, menarik napas panjang untuk mengatakan, "Ibu, aku hamil. Ibu bakal punya cucu, Bu. Ibu pernah bilang sama aku, kalau Ibu bakal bantu aku belajar cara ngurus bayi, 'kan? Ayo, Bu, ajarin aku! Sebentar lagi, aku bakal punya bayi. Ayo, ajarin aku, Bu! Ayo, Bu! Ayo! Bangun, Bu! Jangan tinggalin Shafa, Bu! Kenapa ayah sama ibu pergi tinggalin Shafa secepat ini?! Kenapa?!"
***