Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 12 - Meninggal

Chapter 12 - Meninggal

Selain karena panik, dinginnya suasana di rumah sakit membuat Alby menggigil. Bukannya menenangkan Sonya yang sedang mengkhawatirkan anaknya, Alby malah duduk di samping Shafa, menggenggam tangan sang istri dengan erat.

"Shaf, maafin aku," ucap Alby pelan.

"Kita bahas itu nanti aja, Mas."

Padahal hatinya sedang menangis tersedu-sedu. Shafa merasa hancur dan terluka setelah mengetahui kenyataan yang membuat tubuhnya semakin lemas, kepalanya pusing, dan berkunang-kunang.

"Kamu kenapa, Shaf?" Alby mendekap wajah Shafa yang terlihat sangat pucat.

Tidak lama, Shafa ambruk dipangkuan suaminya. Alby baru merasakan kalau seluruh tubuh Shafa terasa sangat panas, kecuali telapak tangannya. Dengan cepat, Alby memanggil perawat untuk memeriksanya.

Ketika hendak pergi menemani Shafa, Sonya menarik tangan Alby dengan kuat. "Daren butuh kamu, Mas. Tolong, jangan mikirin Shafa terus. Daren lagi kritis, Mas!"

"Kamu enggak liat? Shafa pingsan!"

"Tapi Daren sekarat, Mas. Mana yang lebih penting? Daren atau Shafa?"

"Semuanya penting, kecuali kamu."

"Sebenci itu kamu sama aku, Mas?"

"Kalau sampai rumah tangga aku dan Shafa hancur, kamu akan tau akibatnya. Aku enggak bakal diam aja, Sonya."

"Aku juga enggak bakal diam aja saat kamu dan Shafa hidup bahagia. Aku enggak ikhlas, Mas! Kamu enggak adil!"

Keluarnya seorang dokter dari ruang rawat Daren, membuat Alby dan Sonya berhenti bertengkar. Beliau memberi kabar kalau kondisi Daren perlahan kembali normal. Hal itu membuat Sonya merasa jauh lebih tenang. 

Mereka harus menunggu 3 jam lagi untuk dapat bertemu putranya. Sambil menunggu waktu, Alby pergi ke tempat Shafa dirawat. Walau Sonya melarangnya dengan kuat, Alby tetap pergi.

Melihat Shafa tertidur dengan wajah pucatnya, Alby hanya bisa menangis sambil menggenggam erat tangan sang istri. "Maafin aku, Shaf. Aku enggak bermaksud mengkhianati kamu. Maafin aku."

Ternyata, Shafa memang sudah sadar dan hanya memejamkan mata. "Kenapa kamu enggak jujur sama aku dari awal, Mas?"

"Shafa? Aku minta maaf."

"Jawab, Mas."

"Emang sejak awal, aku udah salah langkah, Shaf."

"Sekarang, jelasin ke aku. Aku ini istri kamu. Aku berhak tau semua tentang kamu, Mas. Apalagi ini berhubungan sama rumah tangga kita."

"Aku cuma takut kehilangan kamu."

***

Sudah 2 hari Fatma berada di rumah sakit. Padahal, dia selalu sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit apa pun. Namun, hari itu dia pingsan setelah mimisan secara tiba-tiba. Dokter mengatakan kalau Fatma mengalami darah rendah.

"Ibu mau ketemu sama Shafa, Yah." Suara Fatma terdengar sangat pelan dan lemah.

"Kalau gitu, biar Ayah suruh Shafa ke sini, ya?" usul Yunus kesekian kalinya.

"Tapi nanti aja, Yah. Setelah Ibu sembuh, baru suruh Shafa dateng ke sini."

"Kenapa, Bu? Kali aja kalau Shafa datang sekarang, Ibu bisa cepat sembuh, 'kan?"

"Ibu enggak mau Shafa khawatir. Mereka juga baru nikah, takut nanti dijalan ada apa-apa."

"Ibu jangan ngomong gitu, dong? Mending sekarang Ibu istirahat. Udah malam, loh? Besok lagi kita ngobrolnya, ya?" ucap Yunus sambil merapikan selimut untuk menutupi tubuh istrinya itu.

Yunus meminta Galih---anak sulungnya---yang baru datang untuk bergantian menjaga Fatma. Dia ingin pulang untuk mengambil beberapa pakaian sang istri. Selama Fatma sakit, Yunus jadi kurang tidur karena harus menemaninya. Hal itu membuat Yunus sangat mengantuk.

"Huh, semoga Fatma cepet sembuh. Sedih juga liat dia sakit gitu. Padahal, awalnya dia selalu sehat."

Setelah terus berusaha untuk membuka mata, Yunus yang mengemudikan mobilnya sendiri tidak sanggup lagi menahan kantuknya. Dia menerobos lampu merah yang membuat mobilnya ditabrak sebuah truk besar dari sisi kanan.

"Hua!"

Bugh!

Kecelakaan terjadi tepat di jam 12 malam. Beberapa orang yang menjadi saksi kejadian itu, langsung menelpon ambulan dan polisi. Tidak ada yang berani mendekati mobil Yunus yang sudah hancur tak berbentuk lagi.

Setelah ambulan datang, tubuh Yunus yang sudah terpisah-pisah segera dimasukkan kedalam kantung jenazah. Polisi langsung memeriksa tempat kejadian untuk mencari informasi tentang korban.

***

Kelopak mata Alby bergetar saat menatap Shafa. Terlihat kalau dia masih ragu dan belum siap untuk menjelaskan semua. Rasanya sangat malu jika harus mengingat kejadian 1 tahun lalu, antara dia dan Sonya.

"Ayo, Mas. Jelasin ke aku."

"Aku malu, Shaf. Aku merasa jijik setiap inget hal itu."

Shafa hanya menatapnya tanpa berpaling. Dengan susah payah, dia menahan air matanya untuk jatuh. Walau terlihat air mata berlinang hendak jatuh membahasi pipinya.

"Kamu menghamili Sonya?"

Alby mengangguk dengan ragu. "Aku yakin, kamu pasti sekarang jijik sama aku, 'kan? Tapi, aku bener-bener udah sadar, Shaf. Aku nyesel."

Bukan hanya Shafa, tapi Air mata Alby juga berhasil tumpah. Dia memegang dadanya yang terasa sesak karena merasa sangat takut untuk mengungkapkan semua yang selama ini dia rahasiakan.

"K-kenapa bisa sampai gitu, Mas?"

"Aku gagal ikut tes kuliah di Korea yang aku udah yakin banget bakal lolos. 1 hari sebelum tes, papa aku ketahuan selingkuh. Saat mama aku tau, dia syok dan koma di rumah sakit selama beberapa bulan karena kecelakaan. Aku hidup sendiri, dengan penuh kebencian dalam diri. Bahkan, aku punya niat untuk bunuh diri." Alby terus memegang dadanya sambil menundukkan kepala. Suaranya terdengar serak dan bergetar karena tangisan.

Shafa kaget mendengar penjelasan itu. Tidak bisa membayangkan, seorang Alby yang selama ini terlihat murah senyum, hangat, dan penuh kasih sayang, ternyata menyimpan banyak luka di hidupnya.

"Ceritain aja semuanya ke aku, Mas." Shafa mengelus pundak Alby untuk menenangkannya.

"Banyak obat yang aku konsumsi dan mulai ketergantungan. Aku makin setres setiap harinya, Shaf. Aku juga sampai datang ke diskotik yang belum pernah aku datangin sebelumnya. Di sana aku ketemu dan mulai mengenal Sonya. Dia yang selalu ada buat aku, selalu dengerin semua keluh kesah aku. Dia juga yang bikin aku menggagalkan rencana bunuh diri itu. Singkat cerita, Sonya hamil dan minta aku tanggung jawab. Bahkan, sampai saat ini aku enggak sadar kalau pernah melakukan hal keji itu tanpa ikatan yang sah. Aku merasa itu bukan diri aku, Shaf."

"Terus kamu nikahin dia secara siri?"

"Iya. Karena saat itu, mama aku masih koma dan papa aku entah di mana. Aku merasa kayak udah enggak punya siapa-siapa kecuali Sonya dan Daren. Beberapa bulan setelah Daren lahir, aku liat Sonya masih kerja di diskotik itu. Dia juga punya hubungan sama salah satu laki-laki berumur."

Alby semakin menangis. Dia belum bisa mengangkat kepalanya untuk menatap Shafa. Menceritakan semua hal itu membuat Alby merasa sangat malu. Shafa malah jadi merasa bersalah karena telah membuat Alby membuka kembali luka lamanya.

Namun, bibirnya malah menampilkan senyuman. "Mas, aku seneng kamu mau jujur sama aku. Walau kejujuran itu bikin hati aku sakit, tapi aku seneng bisa jadi orang yang kamu percaya. Karena kamu jujur tentang rahasia besar yang selama ini kamu simpan sendiri."

"Aku minta maaf, Shaf. Aku bener-bener udah enggak cinta sama Sonya. Aku cuma cinta sama kamu sekarang. Aku enggak mau kehilangan kamu, Shaf. Tolong, maafin aku."

Perlahan, Shafa mengangkat pundak Alby untuk dipeluknya. "Aku maafin kamu, Mas, karena aku cinta sama kamu. Aku juga enggak mau kehilangan kamu. Aku percaya kalau kamu sebenernya adalah pria yang baik. Aku akan bantu kamu untuk berubah dan menyelesaikan urusan kamu sama Sonya," tutur Shafa sambil menepuk pelan punggung sang suami.

"Terima kasih, Shaf. Terima kasih banyak."

Setelah beberapa saat saling berpelukan erat, ponsel Shafa berdering dan membuatnya melepaskan pelukan itu. "Halo, Kak Galih? Ada apa telepon malam-malam gini?"

"Ayah meninggal, Shaf. Ayah meninggal," ungkap Galih dengan suara yang terdengar bergetar.

"A-apa?"

***