Sudah hari ke-3 Alby pergi dan Shafa sendiri di rumah. Namun, mereka tetap bertukar kabar dan beberapa kali Alby mengirim foto dan video saat bersama dengan muridnya. Beberapa kali juga, Karina terlihat berada di dekat Alby. Hal itu membuat Shafa semakin penasaran untuk mencari tahu kebenarannya.
Selama Alby tidak di rumah, Shaf sering mengunjungi Kafe Tulip, berharap bisa bertemu Sonya lagi. Nomor telepon dan sosial medianya tidak aktif lagi, membuat Shafa sulit menghubungi sahabatnya itu.
"Sonya mana, ya?"
Karena tidak menemukan Sonya, Shafa pergi ke salah satu restoran kesukaan Alby. Tidak disangka, dia bertemu dengan sahabatnya yang sudah hampir 5 tahun tidak bertemu.
"Rendi?"
"Loh, Shafa? Udah lama banget kita enggak ketemu." Rendi yang juga baru datang, langsung duduk di depan Shafa.
"Kamu apa kabar, Ren?"
"Aku baik, kok. Kamu sendiri, gimana kabarnya?"
"Aku juga baik. Kenapa kamu enggak dateng ke acara pernikahan aku? Undangannya sampe ke kamu, 'kan?"
"Iya, aku terima undangannya, kok. Waktu itu, sekolah tempat aku ngajar lagi ngerayain ulang tahun di Surabaya. Jadi, aku enggak bisa dateng ke acara pernikahan kamu."
"Oh, gitu. Aku sedih, loh, sahabat aku enggak ada yang dateng."
"Sonya? Dia enggak dateng juga?"
Shafa mengangguk dengan wajah sedih dan bibir mengatup. "Dia enggak setuju aku nikah sama suami aku. Jadi, dia enggak dateng."
Rendi, Sonya, dan Shafa sudah bersahabat sejak kecil. Rendi berpisah dengan 2 sahabatnya itu setelah lulus SMA karena harus pindah ke Malang. Mulai saat itu, mereka jarang bertemu lagi.
"Kenapa dia enggak setuju?"
"Katanya, dia punya firasat buruk tentang pernikahan aku."
"Firasat buruk apaan coba? Ngada-ngada aja, tuh, anak. Ada juga pernikahannya dia, tuh. Hancur, enggak jelas."
"Sonya udah nikah?"
"Emangnya kamu enggak tau, Shaf?"
Tiba-tiba, ponsel Shafa berdering menampilkan nama Alby dilayarnya. "Suami aku telepon," ucap Shafa sambil memberi kode ke Rendi.
"Shaf, aku lagi di jalan mau pulang ke rumah." Suara Alby terdengar sangat lelah, namun masih menggoda.
"Oh, yaudah. Kamu hati-hati, ya, Mas?"
Shafa mematikan panggilannya lebih dulu. Sebelum pamit pulang, dia meminta nomor telepon Rendi untuk bertukar kabar.
"Kenalin aku sama suami kamu, dong, biar enggak ada salah paham nantinya," pinta Rendi.
"Iya, nanti aku kenalin."
***
Karena macet, sopir taxi yang Shafa tumpangi mencari jalan lain. Untuk pertama kali, dia melihat sekolah tempat Alby mengajar. Sekolahnya besar dan mewah. Bolehkah Shafa sesekali datang ke sana?
Saat sampai di rumah, Shafa kembali teringat dengan ucapan Sonya tentang Alby. Bukti bahwa Alby ikhlas menikahinya walau mereka tak saling kenal, membuat Shafa berpikir tentang Alby yang mungkin saja selingkuh.
"Mas Alby selalu jujur. Dia pergi ke sekolah pas ada jadwal ngajar doang dan pulang setelah jadwalnya selesai. Dia juga selalu telepon aku disaat jam istirahat. Kalau bosen di rumah, dia selalu ngajak aku jalan-jalan. Mana sempet dia selingkuh?"
Sangat kebetulan, saat Shafa hendak menutup pintu, dia melihat Jelita pergi dari rumahnya. Pakaiannya sexi seperti biasanya. Dia mengabaikan anaknya yang menangis digendongan pengasuhnya.
"Enggak mungkin Mas Alby selingkuh sama dia. Tapi, mungkin aja. Soalnya, pakaiannya aja menggoda kayak gitu. Siapa coba, cowok yang enggak ngelirik?"
"Permisi?" Seseorang mengetuk pintu saat Shafa baru saja ingin pergi ke kamar mandi.
Dengan perlahan, Shafa membuka pintu. "Siapa, ya?"
"Saya Roy, Bu, temennya Pak Alby."
"Oh, ada apa, ya, Pak?"
"Saya mau kembaliin dompetnya Pak Alby." Roy memberikan dompet kulit berwarna coklat.
Shafa berpikir sejenak sambil memegang dompet itu. "Dompet?"
"Iya, kemarin malam pas pulang dari Surabaya, dompetnya ketinggalan di bus. Dia suruh saya untuk simpen aja dulu karena enggak bisa ambil malam itu. Tapi, kebetulan saya lagi lewat sini. Jadi, saya mampir ke sini sekalian."
"Jadi, Bapak ini guru, ya?" Shafa memastikan.
"Iya, saya guru Bahasa Indonesia di sekolah tempat Pak Alby ngajar juga."
"Oh, terima kasih, ya, Pak. Maaf, jadi ngerepotin."
"Iya, sama-sama, Bu. Pak Alby lagi enggak di rumah, ya, Bu? Saya sekalian mau nanya sesuatu ke dia.
"Oh, d-dia lagi ke luar. Barusan banget, mau beli makanan."
"Kalau gitu, nanti aja di telepon, deh. Salam buat Pak Alby, ya, Bu? Saya permisi."
Sambil menutup pintu rumah, Shafa berjalan pelan menuju sofa. "Udah pulang dari kemarin? Mas Alby bilang, perginya 3 hari? Tapi, bapak itu bilang, udah pulang dari kemarin? Terus, Mas Alby pergi ke mana selama hampir 2 hari ini?"
***
Hampir 30 menit Shafa menunggu dengan perasaan kesal dan akhirnya Alby pulang. "Sayang, aku pulang." Wajahnya terlihat sangat tampan walau sedikit berkeringat.
Shafa mencoba menyembunyikan apa yang terjadi. Dia menyembunyikan dompet Alby didalam tasnya. Awalnya, dia ingin memeluk dan mencium saat suaminya itu pulang. Tapi, Shafa hanya diam di sofa sambil tersenyum saat Alby menghampirinya.
"Kamu, kok, enggak seneng aku pulang?"
"Seneng, kok. Kamu bawa oleh-oleh, 'kan?"
"Bawa, dong. Ada di dalam tas, kamu cari aja. Aku capek banget. Mau mandi dulu, deh."
"Yaudah, mandi aja dulu. Nanti, aku siapin bajunya."
Alby pergi ke kamar mandi yang ada di kamar tidur mereka. Entah kenapa, hati Shafa terasa sangat sesak. Air mata kembali mengalir, setelah susah payah dibendung. Tangannya mulai mengambil tas Alby dan membawanya ke kamar.
"Tahan, Shafa, tahan."
Shafa tidak ingin bertengkar dengan Alby. Jujur saja, dia terlalu takut untuk bertengkar dengan suaminya. Berpikir singkat dan akhirnya memutuskan untuk meletakkan dompet Alby di dalam laci. Kesannya seperti dompet itu tertinggal di rumah, bukan di bus.
"Sayang, kamu masak apa?" tanya Alby yang membuat Shafa terkejut. Untung saja, Shafa sudah mengusap air matanya lebih dulu.
"Aku enggak masak apa-apa. Aku mau makan makan sama kamu di luar."
"Tapi, aku capek. Aku mau makan di rumah aja. Gimana kalau kita pesen makanan online?"
"Terserah kamu aja."
"Kamu kenapa, sih, Sayang? Ada masalah? Soal Mbak Jelita lagi?"
Kesempatan untuk Shafa menyindir Alby. "Banyak gosip tentang Mbak Jelita yang katanya jadi wanita simpanan."
"Terus, kamu curiga sama aku?"
"Sama sekali enggak, kok. Aku percaya sama kamu."
Tidak, Shafa berbohong. Kepercayaan untuk Alby sudah luntur setelah mendengar apa yang Sonya ucapkan kemarin. Bukan Jelita lagi yang dia curiga, tapi wanita yang bernama Karina itu. Usianya lebih mudah dari Alby dan sesuai dengan apa yang Sonya ucapkan.
Entah kenapa, Shafa rasanya percaya saja dengan apa yang Sonya ucapkan. Padahal, belum tentu benar dan tidak ada bukti apa pun.
"Terima kasih, ya? Aku janji akan selalu jujur sama kamu," ucap Alby dengan lembut, sambil membelai rambut Shafa.
Shafa menatap Alby dan berkata dalam hati, "Kalau gitu, ke mana kamu pergi setelah pulang dari Surabaya?"
"Eum? Langsung ke rumah, lah. Ini sekarang aku ada di rumah, 'kan?"
Shafa diam sejenak, menatap mata Alby untuk mencari tahu kebenaran. Tapi nyatanya, tidak ada kebohongan yang terlihat.
"Gimana jalan-jalannya? Seru?" tanya Shafa untuk mencari topik lain.
Melihat Shafa semangat mendengarkan, Alby juga ikut bersemangat untuk bercerita. "Hari pertama, kita pergi ke hotel dan mengadakan acara di sana. Hari kedua kita pergi ke Museum TNI AL Loka Jala Crana dan tadi pagi, kita mampir sebentar ke toko oleh-oleh. Kamu udah ambil oleh-olehnya, 'kan?"
"Enggak ada di tas kamu."
"Masa, sih?" Alby mencarinya dan benar-benar tidak ada. "Kayaknya ketinggalan di sana."
"Dimana?"
"Oh, di bus."
"Ada yang kamu sembunyiin dari aku, ya, Mas?"
"Sembunyiin apa? Enggak ada apa-apa, kok, Sayang." Alby tidak terlihat mencurigakan. Dia sibuk sendiri dengan tasnya.
"Kamu ke mana aja setelah pulang dari Surabaya kemarin malem?
"Kemarin malem?"
"Kamu nginep di mana, Mas?"
"Nginep?"
"Kenapa enggak jawab?" Air mata Shafa mulai mengalir. "Kenapa kamu bohongin aku? Apa yang sebenernya kamu sembunyiin? Jujur aja, Mas."
***