Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 6 - Antara Sonya dan Alby

Chapter 6 - Antara Sonya dan Alby

Saat sedang menelpon Alby, Shafa terkejut saat mendengar seperti ada yang melempar sesuatu ke pintu rumahnya. Bahkan, ponselnya sampai terjatuh saking terkejutnya dia.

Walau sebenarnya takut, tapi perasaan kesal berhasil menghalaunya. Shafa mendapati sebuah batu yang dibalut kain putih bertuliskan 'Berniat untuk menyerah sekarang?' yang membuatnya semakin penasaran.

"Pasti dia!"

Dengan langkah tanpa ragu, Shafa pergi ke rumah Jelita. Keringatnya bercucuran karena panik dengan teror itu. Shafa mengetuk pintunya dengan kencang dan Jelita pun, keluar dengan menggendong seorang anak.

"Ada apa? Emangnya enggak bisa, ya, bertamu baik-baik?"

"Pasti ini ulah kamu, 'kan?!" tuduh Shafa yang memang kenyataannya, dia tidak memiliki bukti apa pun, untuk menuduh Jelita.

"Apa? Kenapa kamu tiba-tiba nuduh saya?!"

"Kamu, 'kan, yang sewa kurir buat kirim paket itu?!"

"Paket apa? Saya enggak tau apa-apa. Tolong, ya, jangan tuduh saya sembarangan!"

"Tuduh?! Saya yakin, pasti kamu pelakunya! Kalau kamu enggak mau jujur, saya akan laporin kamu ke polisi!"

"Silahkan! Orang saya enggak tau apa-apa, kok!"

Bayi perempuan yang berada di gendongan Jelita menangis dengan kencang. Walau Shafa membenci ibunya, dia tidak bisa membenci anaknya. Jika tidak ada bayi itu, mungkin Shafa akan menghajar wajah Jelita tanpa ampun.

"Kayaknya, kamu takut banget Mas Alby berpaling ke saya, ya? Sampe segitunya nuduh saya yang macem-macem. Saya bisa, loh, laporin kamu ke polisi atas dasar pencemaran nama baik!" ujar Jelita dengan raut wajah yang membuat Shafa semakin kesal melihatnya.

Tidak seperti saat berhadapan dengan Jelita, Shafa malah menangis di kamar. Dia baru mulai mencintai Alby dan tidak ingin kehilangannya secepat itu.

Mendengar pintu terbuka, Shafa segera berlari menuruni anak tangga. " Mas Alby!" Dia memeluk Alby dengan erat.

"Ada apa sayang?! Kamu enggak apa-apa, 'kan?!" Alby membalas pelukan istrinya itu. Dia juga menggendong Shafa sampai ke sofa ruang tengah.

"Mbak Jelita makin keterlaluan. Dia mulai berani teror aku, Mas."

"Mbak Jelita? Mana mungkin, Shaf?"

Mendengar pernyataan Alby, Shafa mendorong dada suaminya itu dengan cepat. "Mana mungkin kamu bilang? Udah jelas, dia cinta sama kamu dan sangat menginginkan kamu, Mas! Siapa lagi kalau bukan dia?!"

Melihat tangan Shafa yang terluka karena botol kaca teror itu, Alby segera menghisap jari manis Shafa. Padahal, darahnya sudah tidak mengalir lagi.

Shafa memberikan kertas yang tadi membalut botol kaca. "Dia ngancem aku kayak gini. Siapa lagi coba kalau bukan Mbak Jelita?"

Alby membacanya dan mengatakan, "Kamu yakin ini ulah Mbak Jelita?"

"Kita harus lapor ke polisi, Mas."

"Tenang dulu, Shaf. Kita coba selesain baik-baik. Kalau kamu yakin ini ulah Mbak Jelita, coba kita ngomong sama dia."

Apa yang Alby ucapkan membuat Shafa curiga. Dia berpikir, apakah Alby memiliki hubungan dengan Jelita di belakangnya? Tapi, Shafa membuat jauh-jauh pikiran negatifnya itu.

"Kok, kamu kayak ngebela dia, sih?" curiga Shafa.

"Bukannya ngebela, Sayang. Aku cuma ...."

"Enggak ada yang kamu sembunyiin dari aku, 'kan, Mas?"

***

Alby terus berusaha untuk membujuk Shafa yang masih terus mendiamkannya. Bahkan, Shafa tidak mau makan bersamanya. Walau tidak tahu apa makanan kesukaan sang istri, Alby tetap mencoba untuk membelikan sesuatu agar Shafa tidak marah lagi.

Saat hendak memasuki mobil, Jelita bersama bayinya yang digendong keluar dari rumah. "Mas Alby, mau ke mana malam-malam gini?" tanya Jelita.

"Eum ... Mau cari makanan aja. Mbak Jelita mau ke mana?"

"Saya mau ke warung depan komplek."

"Oh, kalau gitu, saya pergi dulu, ya?"

"Saya boleh numpang sampai depan komplek, Mas?"

Melihat bayinya, Alby merasa ingin memberikan tumpangan untuk mereka. Namun, mengingat kejadian antara Shafa dan Jelita, Alby terpaksa menolaknya.

"Maaf, Mbak, saya enggak bisa. Ini udah malem, saya enggak enak sama Shafa dan tetangga kalau nanti ada yang liat."

"Oh, iya, enggak apa-apa."

"Satu lagi, Mbak. Tolong jangan ganggu saya dan Shafa lagi, ya? Maaf, bukannya maksud apa-apa. Tapi ... Iya, intinya gitu aja. Maaf, ya, Mbak?"

Tanpa mendengar jawaban Jelita, Alby langsung masuk ke dalam mobilnya. Dia mengemudi perlahan, sambil mencari makanan apa yang ingin dia beli.

"Shafa suka es Boba, enggak, ya? Eum ... kalau burger? Kebab? Aduh, apa, ya?"

Berhentilah dia di sebuah kafe yang dipenuhi pasangan muda-mudi yang sedang kasmaran. Namun, wajah Alby tidak kalah tampan dan muda seperti mereka. Dia memesan 2 es Boba spesial, 1 cheese cake, 1 oreo cake, dan 2 burger jumbo.

Berkali-kali mencoba untuk menelpon Shafa, namun tidak juga direspon. "Eum, cewe kalau udah marah, susah banget dibujuknya."

"Kak Alby?"

"Loh, Karina?"

"Sendirian aja, Kak?"

"Iya. Kamu juga sendirian?"

"Iya, nih."

Tidak sempat mengobrol, pesanan Alby sudah siap. Dia langsung membayarnya dan segera pamit pergi pada gadis muda bernama Karina Mahaputri tersebut.

"Saya duluan, ya?"

"Hati-hati, ya, Kak?

"Kamu juga. Jangan malam-malam pulangnya, ya?"

"Iya, Kak."

Baru beberapa langkah keluar dari kafe, "Mas Alby?!"

"Sonya?" Alby pun, menghentikan langkahnya.

***

Sebenarnya, Shafa takut saat Alby meninggalkannya sendirian di rumah. Tapi, dia juga gengsi jika harus mencegah Alby untuk pergi. Toh, dia masih marah dan tidak mau berbicara dengan suaminya yang tampan itu. Untuk mengangkat telponnya pun, Shafa tetap mempertahankan gengsinya.

Pada akhirnya, dia yang membutuhkan Alby. Berkali-kali menelponnya, namun tidak ada jawaban. Bahkan, Alby sampai mematikan ponselnya. Hal itu membuat Shafa kembali curiga.

"Mas Alby ke mana, ya? Apa jangan-jangan ...."

Shafa berlari menuruni anak tangga, keluar dari rumah dan melihat ke rumah Jelita. "Mbak Jelita kayaknya enggak ada di rumah. Jangan-jangan, dia pergi sama Mas Alby?"

"Ada apa ngumpet-ngumpet kayak gitu?"

Jelita bersama bayinya datang dan membuat Shafa terkejut. "Oh?"

"Mas Alby pergi sendirian. Katanya mau beli makanan. Dia enggak pergi sama saya. Jadi, enggak usah, deh, curiga kayak gitu."

"Wajar, dong. Orang kamu godain suami saya terus. Wajar aja kalau saya curiga sama kamu."

Jelita seperti lelah untuk berdebat. Dia memutuskan masuk ke dalam rumahnya. Shafa duduk di kursi depan untuk menunggu Alby. Sudah 2 jam Alby pergi dan tidak bisa dihubungi.

"Ke mana, sih, Mas Alby?! Bikin khawatir aja malam-malam gini!"

Tidak lama setelahnya, Alby datang dan memarkirkan mobilnya ke halaman rumah. "Kamu kenapa di luar, sih? Nanti masuk angin, loh?"

"Abisnya, kamu lama banget! Ke mana aja, sih?!"

"Beli makanan buat kamu, lah. Nih, aku beli banyak. Ayo, kita masuk."

Mereka kembali masuk ke dalam rumah. Shafa mulai membuka dan mencoba satu persatu makanan yang Alby belikan.

"Kenapa enggak beli cimol atau bakso bakar?" tanya Shafa sambil melahap burger jumbo.

"Aku beli makanan di kafe."

"Kenapa lama banget? Sampe 2 jam, loh?"

"Iya, ngantri banget."

"Jangan bohong!"

"Bohong apa? Aku jujur, kok."

Padahal, Shafa sedang enak makan. Tapi, rela berhenti hanya untuk mendekap wajah Alby dengan tangan kotornya.

"Mas, aku udah mulai cinta sama kamu. Tolong, jangan pernah bohongin aku, ya? Jangan pernah kecewain aku. Kalau kamu belum bisa cinta sama aku, bilang aja. Jangan malah cari wanita lain."

Alby kembali mendekap wajah Shafa. Tanpa jijik, dia menjilat jari mungil Shafa yang kotor karena saus. "Aku juga udah mulai cinta sama kamu. Aku enggak mungkin berpaling dari kamu."

Mereka sudah berbaikan dan kembali makan bersama. Saat sedang asik berduaan, ponsel Alby berdering karena panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

"Siapa, Mas?"

"Enggak tau. Kalau kayak gini, biasannya murid aku, nih."

"Yaudah, angkat aja dulu."

Alby mengangkatnya, "Hallo?"

"Mas, ini aku, Sonya."

***