Aku terkejut tidak menyangka kalau rekasi yang aku terima berdampak sangat besar pada tubuhku. Sekujur tubuhku terasa sakit dan dadaku terasa sesak sekali.
"Astaga Tuhan, sayang!" panik Aji bingung harus melakukan apa, dia sedikit ketakutan.
Aku menatap dingin cairan merah yang aku muntahkan itu. Dahiku mengerut meredam rasa tak nyaman yang aku rasakan saat ini.
"Shely, kau..." seru Reka sama kagetnya.
Aku menggeleng sekilas, lalu mengalihkan pandanganku ke Aji yang memucat ngeri. "Aku tidak apa-apa."
Aji tidak percaya, tangannya dengan lembut mengusap sisa darah yang ada di sudut bibirku. "Apa permintaannya sangat berbahaya?"
Aku tak menjawab, hanya bersandar lemah di pagar pembatas koridor menatap datar Reka. Samar-samar aku mendengar langkah kaki dari anak-anak lain yang menuju ke arahku.
"Shely, karena ini berbahaya, maka alasanku untuk ikut sangat tepat."
"Aji..." gumanku lemah.
Aji menggeleng cepat tampak masih khawatir, terlebih melihat wajahku yang kian memucat. "Tolong jangan tinggalkan aku. Urusanmu adalah urusanku. Urusanku adalah urusanmu. Bukankah kita sudah sepakat tentang hal ini."
Aku memilih untuk tidak menjawab saja karena percuma juga. Menolak ataupun menerima, aku sama sekali tidak memiliki kepercayaan untuk Aji yang akan menemaniku dalam pekerjaan ini. Aku selalu paranoid kalau sudah menyangkut keselamatan Aji.
Permintaan Reka ini bukan hanya saja berbahaya dari sisi gaib. Tapi di dunia nyata, aku yakin bahayanya lebih dari yang aku pikirkan. Bayangkan saja, Reka itu mati dalam keadaan terbunuh. Energi negatif yang menyelimutinya dan berusaha merubahnya menjadi roh jahat, juga pertanda kalau dendamnya pada pelaku sangatlah besar.
"Kebencian apa yang kau ingat Reka?" kataku memilih bertanya pada hantu itu.
Reka terkejut, bukan pada pertanyaanku, tapi lebih aku yang memanggil nama depannya bukan nama belakangnya. "Heh, kau memanggil namaku dengan benar. Apa itu berarti kita dekat?"
Aku mendengkus kasar, memberikan tatapan ganas. "Jawab sialan!"
"Sayang, jangan bicara kasar," hela Aji mengelus pelan lenganku.
Reka menyeringai, melayang mendekati dan duduk diatas pagar menatap sendu ke bawah. "Ingatan jelek yang tak mau aku ingat!"
Aku melirik dingin Reka tak berkomentar.
"Oh, hai Rizki," sapa teman Aji santai. "Pagi."
Aji tersenyum lebar mengangguk sekali. "Pagi Zal."
"Apa yang kau lakukan di sini? Tidak ke kelas?"
Aji yang hendak menjawab malah keburu di sela oleh suara lainnya.
"Yo Shely," sapa teman sebangku, Nico namanya.
Aku mengangguk saja, enggan untuk bicara karena tubuhku masih sakit dan tenagaku juga lemah.
"Kau kenapa Ly? Mukamu pucat begitu? Kau sakit?"
"Kurang tidur!" jawabku dingin.
Nico mengangguk mengerti, tampak tidak berpengaruh dengan wajah dinginku dan nada tak bersahabat yang aku dengungan tadi. Menjadi teman sebangku sejak kelas satu membuat Nico sudah biasa.
"Baiklah, aku kelas duluan." Nico tersenyum kecil lalu mengangguk pada Aji. "Duluan Rizki."
Aji membalasnya dengan santai. Agak sedikit cemburu dengan kedekatannya dengan sang kekasih.
"Aku juga Ky, duluan," sambung Rizal, teman sebangku Aji. "Mari Shely!"
Aku hanya memandang datar saja tak bersuara.
"Sayang, apa sebaiknya kau ke UKS saja? Aku khawatir kau pingsan."
Aku menggeleng menolaknya. "Ada ulangan nanti."
Aji tak membahasnya lagi karena jika di jawab, maka perdebatan panjang bakal dimulai. Aji tahu, kekasihnya itu sangat lelah sekarang.
"Reka, jawab!" bisikku datar.
Reka cemberut, terdiam cukup lama.
Aku menunggu dengan sabar.
Sekian menit menunggu, Reka pun mengatakan apa yang dia ingat tadi. Memori yang tiba-tiba muncul adalah kenangan di mana dia menjadi korban peloncoan di sekolahnya. Reka mengingat, kalau dia tidak memiliki kenangan bagus di sekolah. Pelecehan verbal dan non verbal sering dia terima.
"Alasan kenapa aku menerima itu, kau tidak tahu. Memoriku berhenti ketika kau membangunkan aku. Tapi yang jelas, aku merasa perasaan kuat yang ingin membunuh orang yang mebullyku itu."
Aku mengerut tajam, sedikitnya aku sudah menduga kalau Reka adalah korban bully. Entah bagaimana dia mati, tapi itu pasti ada hubungannya dengan perpeloncoan itu.
Ketika aku ingin membuka mulut membalas perkataan Reka, bel berbunyi pertanda jam sekolah di mulai.
Aku menutup mulutku kembali, melirik Aji lalu Reka. "Kita bicarakan nanti."
Aji mengiyakan ucapanku. "Kau sanggup berjalan?"
Aku tersenyum miring dengan nada khawatir itu. "Aku tidak sekarat!"
"Siapa yang tahu!?"
"Dianlah!!!"
***
Aku lelah sekali karena kejadian tadi pagi. Jadi, setelah selesai mengumpulkan kertas ulangan fisikaku, aku langsung tidur, tak memperdulikan tatapan aneh dan ingin tahu Nico, teman sebangku. Aku ingin mengisi tenagaku. Toh, jam selanjutnya nanti adalah pelajaran muatan lokal yang bertajuk pendidikan lingkungan hidup.
Tanpa sadar aku langsung tertidur dan mengembara ke alam mimpi. Tetapi, aku tidak menyangka jika aku malah terjatuh dalam sebuah ingatan seseorang. Tepatnya, ingatan samar Reka. Sedikitnya aku tahu, kalau aku bakal berjalan-jalan kedalam ingatan, tapi tak disangka akan secepat ini.
"Kasus Reka cukup unik," hela ku datar menatap sebuah gerbang besar yang merupakan pintu masuk ke sekolahan Reka. "Tingkat kesulitannya tidak besar, tapi bahayanya yang besar. Menyebalkan."
Aku pun melangkah masuk, berjalan perlahan memperhatikan setiap detail dari sekolah Reka. Mencari petunjuk yang bisa memudahkannya menyelesaikan kasus yang dia terima ini.
Sekolah Reka adalah sekolah elite dan bergengsi yang bertahap internasional. Aku sedikitnya tahu, kalau sekolah berbasis swasta ini berisi anak-anak orang kaya dan terpandang lainnya. Aku tidak tahu tentang sistem sekolah ini, tapi sedikitnya aku bisa menebak, sistem hierarki begitu kental di sekolah ini.
Aku melangkah, membiarkan kakiku membawaku ke tempat yang di tuju. Meski ini hanyalah sekadar ingatan, penampakkan sekitar seratus persen asli.
"Ingatan apa yang aku lihat nanti?" gumanku dingin.
Tak berapa lama, langkah kakiku berhenti di sebuah halaman belakang gedung. Mataku sedikit membola melihat seorang remaja yang aku kenal sedang di kerumuni lima orang. Remaja itu berlutut dengan baju berantakan, rambut yang acsk-acakan dan lebam di beberapa wajahnya.
"Reka..." desisku mendekat.
Benar saja, remaja itu adalah Reka. Dia terlihat menyedihkan sekali. Bahasa tubuh yang aku tangkap adalah Reka ingin melawan tapi tak berdaya, seperti menahan sesuatu.
"Hahaha, dasar sampah," ejek salah satu remaja putra menarik rambut belakang Reka. "Berapa kali aku katakan padamu untuk tidak menonjol di kelas!"
"Sampah menjijikan sepertimu, tidak pantas bersekolah di sini."
"Benar, gara-gara adanya kau, setiap hari aku selalu di bandingkan!"
Remaja lainnya mendengkus kasar, lalu menyiram Reka dengan minuman yang dia pegang tadi. Sepertinya itu adalah minuman boba sejenis kopi.
Reka hanya diam saja, wajahnya mengerut saat air dingin mengenainya.
" Pokoknya saat ulangan nanti kau harus mendapatkan nilai jelek. Aku tidak mau kau melampauiku!"
Reka menatapnya dingin. "Kalau kau tidak mau di lampaui, kau harus melampaui!"
Pernyataan Reka barusan menyulitkan amarah si remaja putri itu. Tanpa peringatan dia menendang lutut Reka dengan keras.
Reka meringis tapi menolak untuk berteriak keras.
"Sialan kau!" amarahnya kesal. "Hajar dia, supaya dia tidak bisa mengikuti ulangan!"
Para remaja itu langsung menurut dan langsung mengeroyok Reka. Anehnya Reka tidak melawan. Dia hanya meringkuk melindungi kepala dan badannya. Jadinya, punggungnya menjadi sasaran dari tendangan kelima remaja itu.
Setelah puas dan merasa Reka tidak bergerak lagi, kelimanya tertawa jahat tersenyum bahagia. Mereka pun meninggalkan halaman belakang seolah tidak melakukan hal jahat dan bersikap santai.
Aku yang melihat kejadian itu, hanya bisa menahan napas marah. Tanganku terlepas geram ingin ikut campur tapi sayangnya ini hanyalah sebuah ingatan saja.
Aku melangkah mendekati Reka yang terengah-engah meringis kesakitan. Tampak dia terlentang menatap langit. Kondisinya sungguh miris sekali.
"Aku tidak sanggup lagi," keluhnya sedih. "Ma, apa yang harus aku lakukan?"
Aku mengerut sedih. Tidak menyangka sama sekali kalau Reka di bully hanya karena dia lebih pintar darinya. Sepertinya, aku bisa menebak identitas Reka di sekolah elite ini.
"Anak-anak bajingan itu, kalau aku melihat mereka, aku pasti akan menghajar mereka." Aku bergumam marah dengan aura membunuh. Aku harap, kelima orang ini tidak bertanggung jawab atas kematian Reka.