Aku benci kalau sudah bertemu dengan para roh jahat. Mereka sangat menyukai jenis sepertiku untuk kepuasan mereka. Meskipun aku memiliki aura positif yang sangat besar, tidak membuat roh-roh jahat itu takut. Malahan, mereka sangat senang, karena energi positifku ini, bisa menjadi makanan mereka untuk mempertahankan bentuk roh jahat mereka.
Catatannya, energiku hanya berguna bagi roh jahat, tapi bagi dalam proses menjadi roh jahat, jika aku memberikan energiku, maka itu akan memurnikan mereka.
Aku menghela napas panjang, menatap kosong liar jendela. Sudah sekitar 5 menit berlalu, aku dan Tommy meninggalkan parkiran mall. Tubuhku masih lemah dan sakit. Roh-roh jahat itu sangat menyusahkanku kali ini.
"Inilah kenapa aku malas keluar rumah," bisikku lesu dalam hati.
Kepribadianku memang intovert, tapi aku tidak menolak kalau harus keluar rumah, hanya saja, karena aku memiliki kemampuan ini, terkadang aku terlibat masalah atau aku dalam masalah.
"Aku ingat, dulu kau juga seperti ini," kata Tommy membuka pembicaraan setelah diam cukup lama.
Aku membawa pandanganku ke Tommy, mengernyitkan dahi memikirkan ucapan itu.
"Waktu kau lulus SD," sambungnya lelah. "Ingat, kita para sepupu yang lain, liburan ke pulau berhala. Kondisimu sama, hanya yang waktu di pulau berhala sangat parah. Tapi aku tidak melupakan sedetik pun ekspresi u kala itu."
Aku tersentak, ingat kembali akan kenangan pertama kalinya aku berurusan dengan roh jahat. Pertemuan itu juga membuatku bisa mengontrol kekuatan anehku ini. Di sana aku bertemu seorang guru yang mengajariku caranya memanfaatkan kekuatanku dan juga bagaimana caranya menghadapi para roh jahat.
"Kalau pun aku beritahu, apa kau percaya?" sinisku membuang mukaku.
Tommy bergeming, ragu untuk menjawab iya. Dia ingat, saat itu sepupunya itu terdengar sedikit gila mengatakan kalau dia akan di bunuh oleh hantu jahat. Tak ada yang bisa membuktikan omongan sepupunya itu kecuali raut wajah ketakutan dan wajah pucat yang terlihat.
"Aku memang tidak menentang tentang ide alam gaib," helanya mengetuk-ngetuk stir mobilnya berkerut tajam, "hanya saja Rian, itu terdengar tidak masuk akal sama sekali."
Aku melirik dingin, agak aneh dengan penjabaran kalimat Tommy yang entah kenapa membuatku kesal. "Bilang saja itu gila!"
"Jangan marah!" dengkusnya geli. "Mau bagaimana lagi, aku orang yang realistis sayang!"
Aku berdecih ringan, bersandar di jok menatap lurus jalanan. "Aku pun kalau tidak memiliki ini, tidak bakal percaya," kataku datar. "Orang memang tidak akan percaya pada hal aneh kalau tidak mengalaminya!"
Tommy mengangguk setuju, namun terlihat wajahnya agak tertarik dengan hal-hal gaib yang di alami oleh sepupunya itu. "Jadi, kau benar bisa melihat hantu?"
"Kau mau aku jawab apa? Iya? Kau pasti skeptis. Tidak? Kau pasti mengatakan aku berbohong."
Tommy tertawa membenarkan. "Aku tahu kau bukan orang yang akan berbohong untuk hal seperti ini. Maklumi saja pemikiran modernku ini."
Aku tak menjawab tapi wajahku agak masam.
"Apa yang ingin kau bicarakan padaku ini berhubungan dengan penglihatanmu?"
Aku menegang langsung menoleh Tommy yang kebetulan juga sedang menatapku.
Deg
Entah kenapa jantungku berdetak tidak nyaman. Kilat mata Tommy mengisyaratkan kalau dia menaruh kepercayaan tinggi padaku. Arti mata yang sama ketika Aji dan keluarga intiku melihatku.
"Kau bilang, kau orang yang realistis," sinisku sebal.
Tommy menyunggingkan senyum dingin yang jarang dia perlihatkan. "Rian, kelakuanmu tadi mengejutkanku. Mau tidak mau aku percaya. Setelah berpikir tadi, aku jadi yakin. Kau benar-benar bisa melihat mereka kan!"
"Seperti yang kutanyakan, kau mau aku jawab apa?"
Tommy malah tertawa keras mengangkat bahunya santai. "Sejak 4 tahun lalu, aku telah memperhatikanmu. Hari ini, adalah kesimpulan akhirnya!"
Aku mengusap wajah lelahku, tersenyum tulus dalam diam. Tidak menyangka kalau perasaan di percaya itu sangat hangat. Sedikit banyak, bebanku terasa ringan. Tak dianggap gila dan pembohong oleh orang yang berharga ternyata sangat menyenangkan dan terasa nyaman sekali.
Tommy tersenyum kecil, menepuk kepalaku sekilas. "Pasti berat," komennya santai. "Jadi, sekarang, kerumahmu atau rumahku?"
"Rumahmu saja. Kalau ke rumahku kau harus memutar lagi."
"Ok!"
***
Tak lama, kami pun sampai di sebuah perumahan elite yang hanya memiliki 10 unit rumah saja. Keluarga kakak ibuku itu memang sangat kaya, jadi tak heran hunian mereka tak kalah mewahnya.
Setibanya di halaman rumah Tommy, aku dengan pelan, membuka sabuk pengamanku dan turun dari mobil. Tubuhku masih lemah dan sakit, namun tak membuatku tidak bisa bergerak juga.
"Tunggu di teras, aku masukin mobil ke garasi dulu!"
Aku mengangguk, melangkah sa ati menuju teras. Halaman rumah Tommy sangat luas. Penuh dengan berbagai macam tanaman yang entah apa itu. Aku melihat sekeliling rumah dan tak pernah ada perubahan sama sekali.
Rasanya sudah lama aku tidak ke sini. Terakhir aku ingat, sekitar 2 atau 3 bulan lalu. Itu pun saat acara keluarga. Aku memang tipikal orang yang jarang berkunjung ke rumah keluarga bewsarku kalau tidak penting-penting sekali.
"Oh,Shely, tumben ke sini?" sapa seorang lelaki dewasa yang mirip sekali dengan Tommy agak terkejut dengan kedatanganku.
Sepertinya, ayah Tommy hendak keluar. Di sampingnya seorang lelaki lainnya mengangguk sopan dan dua sepupuku lainnya yang merupakan saudara Tommy.
"Pakwo Demian, selamat malam," anggukku mendekat dan bersalaman dengan beliau.
"Iya, malam. Ada urusan apa Ly?" tanyanya. "Makwo-mu sedang tidak ada di rumah. Pakwo juga ada urusan."
Sebelum aku menjawab, tiba-tiba aku di rangkul oleh Tommy. Sontak aku mendelik tajam, tapi Tommy terlihat santai dengan wajah tanpa dosanya.
"Rian ada urusan denganku Pi," jawabnya santai.
Ayah Tommy mengerut kecil, lalu mengangguk. "Baiklah kalau begitu."
Tampak kedua saudara Tommy memutar mata malas. Aku tidak dekat dengan mereka. Bicara saja hampir tidak pernah apa lagi bertegur sapa. Selain usia mereka yang cukup tua, aku memang tak nyaman dengan mereka karena tingkah mereka agak angkuh.
"Ok, papi pergi dulu, masih banyak urusan," sapa ayah Tommy santai menepuk sekilas pundak Tommy. "Pakwo pamit dulu Shely, mari!"
"Hn, hati-hati!"
Aku menatap punggung kakak ibuku itu dengan datar. Sikapnya ramah dan tidak sombong sekali. Aku lumayan dekat dengan beliau. Jadi, aku tidak terlalu tegang.
"Mau sampai kapan kau memelukku," sinisku meronta risih.
"Jangan begitu sayang!" godanya sambil mengajakku masuk. "Abaikan saja!"
Aku malas mengomentari lagi. Buang-buang energi saja. Aku sudah cukup lelah dengan para roh jahat tadi, tak mau tambah lelah dengan berdebat pada hal tak berguna.
"Tumben cepat pulang," sapa salah satu kakak perempuan Tommy yang sedang duduk di sofa. "Ugh, kau bawa pacar?"
Aku memutar mata dalam diam, bagaimana mungkin sepupuku itu tidak mengenaliku. Ah, aku baru ingat, dia memang lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri untuk bekerja.
"Kalau kau datang ke Indonesia, sebaiknya kau menghapal dan mengingat nama keluarga besarmu," sinisku. "Bagaimana mungkin kau lupa wajahku, Keisha!"
Dah kakak perempuan Tommy berkerut tajam. Tak suka dengan nada dingin tak bersahabtku dan tidak sopan itu. Berusaha juga mengingatbsiaoa gadis dalam rangkulan adiknya itu. "Tunggu, nada bicara dingin itu, wajah tanpa ekspresi itu. Satu-satunya orang yang memanggilku tidak sopan," ujarku mengerut semakin dalam dengan wajah kaget terbelalak itu, "Kau Zani, adik Abe kan!"
Aku memutar mataku malas. "Kenapa kau ingat kakakku tapi tidak ingat padaku. Padahal aku dan dia beda satu tahun!"
Keisha menyeringai sombong. "Mau bagaimana lagi, dia dan aku satu frekuensi!"
Aku tidak menjawab, hanya memasang wajah dingin saja. Tapi, memang sih, kakak laki-lakiku dari dulu memang dekat dengan Keisha, meski terpaut jarak umur 10 tahun.
Keisha menggeleng berdecak sebal. "Andai saja aku orang asing, aku bakal memukulmu melihat wajah dingin menyebalkan itu."
"Aish, kenapa Uni malah ngajak ribut!" seru Tommy malas.
Keisha yang ingin membantah terpotong dengan seruan adiknya yang lain.
"Uni, aku pinjam tasmu, aku mau jalan dengan teman-temanku," katanya dari tangga rumah.
Keisha mendesah kasar, cemberut kecil. "Kau kan sudah punya tas sendiri."
Adiknya itu tertawa kecil, menatap manja kakak perempuananya. "Tas uni lebih cantik!"
Keisha mendengkus, bangun dari duduknya untuk mengambilnya.
"Oh, Tommy, tumben sudah pu..." adik Keisha itu terdiam, wajahnya tampak kaget dengan kedatanganku. "Eh, Shely kah, tumben ke sini."
Aku tersenyum dingin penuh provokatif sebelum menjawabnya. "Um, aku sedang berkencan dengan adikmu?" Aku memang paling benci kakak Tommy yang satu ini.