Chereads / Di Balik Kematian / Chapter 10 - Chapter 09 : Kemampuan Shely

Chapter 10 - Chapter 09 : Kemampuan Shely

Sebuah kejutan melihat keluarga inti Tommy malam ini. Biasanya rumah besar dan mewah ini kosong. Tak aku sangka, aku bertemu dengan ayah Tommy, kedua kakak lelakinya, dan dua kakak perempuannya. Jangan sampai aku bertemu dengan adik Tommy yang kebetulan seumuran denganku.

Tommy terlihat memutar mata malas. Dia tahu, betapa aku tidak nyaman dengan saudaranya itu. Terutama dengan kakak keempatnya ini. Tommy tahu sekali, kalau keduanya memiliki kebencian yang dia sendiri tidak mengerti kenapa mereka saling membenci.

Tampak sepupuku itu berdecih kasar, memandangku hina. "Dek, bagaimana bisa kau bersama rubah licik ini?" ketusnya.

"Jangan aneh Ni," kata Tommy datar. "Tak sering Rian main kerumah kita."

"Iya makanya uni tanya, ni rubah nyebelin, kok tumben ke sini. Pake acara bilang kencan lagi. Kau beneran tidak pacaran dengan dia kan?" gerutunya dan memasang wajah horor di akhir kalimatnya.

Tommy terkekeh ringan lalu mengacak kasar rambutku. "Siapa yang tahu!"

"Kaitani sialan! Rambutku!" sergahku meronta tak suka.

Tommy tak memperdulikan itu.

Kedua kakak Tommy mengerut marah dengan kata-kata kasar yang aku lontarkan barusan.

"Shely, kau punya sepupu aneh juga," komentar sebuah suara yang sangat aku kenal sekali.

Tubuhku sedikit menegang kaku, tidak menyangka kalau Reka ada di sampingku. Sejak kapan dia muncul? Aku benar-benar tidak menyadarinya. Berdebat dengan saudara Tommy membuat kewaspadaanku menurun.

" Kau..." desisku tertahan, melirik tajam Reka yang melayang-layang itu.

Reka tampak tidak peduli. Salah sendiri, tidak sadar. Dia sudah ada di samping Shely sejak dia masuk ke rumah super mewah ini.

"Sudah ya Uni-Uniku sekalian, aku ada urusan dengan Rian. Jadi, aku masuk duluan!"

Tommy langsung menarikku naik ke tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua.

Kedua kakak perempuannya sedikit tidak setuju, tapi tak bisa melarang juga. Biar bagaimana pun ketidaksukaan mereka dan rasa benci, aku tetaplah sepupu mereka dan bagian dari keluarga kandung. Aku ini adalah anak dari adik ayah mereka.

"Bagaimana bisa kedua perempuan itu membencimu Ly?" tanya Reka mengerut ingin tahu setelah melihat ekspresi garang keduanya.

"Mau tahu?" sinisku tanpa sadar menjawab.

Tommy terkejut menatapku aneh. Perasaan dia tidak bicara apa-apa.

Reka cemberut menggeleng keras. "Tidak perlu. Sepertinya aku sedikit mengerti kenapa raut wajah mereka begitu."

"Oh, benarkah?" keluhku jijik.

Tommy berdecak agak ngeri dengan kata-kata yang aku lontarkan itu. "Rian, please jangan berkata apapun. Kau nenakutiku!"

Aku tersentak sadar langsung menoleh ke Tommy yang memasang wajah aneh dan mulut yang enggan tersenyum. Aku benar-benar lupa keberadaan Tommy. Jadi, tanpa sadar aku bicara dengan Reka.

"Tutup telinga!"

"Itu bukan solusi!" cibirnya datar.

Tak lama, aku pun tiba di depan pintu kamar Tommy. Dia membuka pintu, tapi tak di duga sebuah suara manja menghentikan laju tangan Tommy.

"Abang, pinjam cas-an ponselmu. Casanku rusak." Seorang perempuan seumuran denganku berjalan menghampiri Tommy.

"Kau ini, pinjam dengan Uni sana. Abang juga mau pake!"

Perempuan itu cemberut tidak suka, saat dia ingin membalas, perhatiannya teralih padaku. Dia agak kaget dan memasang wajah tidak suka.

"Bagaimana bisa abang membawa orang aneh ini?" katanya menunjukku kasar.

"Rena," sergah Tommy kesal. "Tidak sopan begitu."

"Ugh, abang begitu, selalu saja memihaknya. Dia kan memang aneh!" sebalnya manja.

"Hei Ly, kau ini memang ahlinya membuat orang-orang membencimu," komentar Reka tersenyum miring.

Aku tidak menjawab. Aku juga kadang aneh, kenapa orang-orang tidak terlalu menyukaiku. Anehnya, jika dengan saudaraku yang lain, orang-orang itu baik-baik saja. Meski tidak suka, mereka tidak harus menyebarkan aura permusuhan. Nah denganku? Mereka menunjukkan dengan jelas.

"Sudah ah dek," ujar Tommy malas. "Pinjam dengan Uni Dhea saja."

Tanpa menunggu jawaban dari adiknya itu, Tommy langsung membuka pintu dan membawaku masuk dengan cepat. Doa takut kalau adiknya dan sepupunya itu berdebat panjang. Ribet dan merepotkan nantinya. Walau nanti, dia kurang lebih akan. membela aku, Tommy tak mau juga menyakiti adiknya itu. Sedikit tahu, aku menyadari kalau Tommy itu terlalu sayang dan memanjakan.

"Kau memang pencari masalah Rian," keluh Tommy membuka jaketnya.

Aku mengangkat bahu tudka peduli, melepas jaketku juga dan langsung berbaring di ranjang besar Tommy. Aku sedikit lelah jadi, rebahan adalah solusi terbaik mengumpulkan energi.

"Aku mandi dulu, gerah," katanya menuju kamar mandi.

"Hm!"

Tampak Reka berkeliling santai di kamar Tommy. Dia menyelidiki kamar itu dengan penuh minat.

Aku terbaring memandang langit-langit kamar dengan malas. Telingaku sesekali mendengar komentar tidak penting Reka soal kamar Reka.

"Oh ya, kau kenapa lelah begini? Seharusnya kau baik-baik saja kan? Kondisimu ini kurang lebih sama seperti pagi tadi."

Aku langsung bangun, duduk di ranjang menyilakan kakiku sebelum menjawab. "Tidak menduga bakal bertemu roh jahat."

Reka cukup kaget. "Itukah kenapa aku tidak nyaman saat dekat dengan mall itu." Dia mengerut tajam, merinding ngeri.

Aku mengangguk. "Kalau hanya satu tidak masalah. Roh-roh itu cukup banyak. Mereka hampir memakanku hidup-hidup."

"Hah? Bagaimana bisa? Bukankah kau seharusnya bisa memurnikan mereka?"

Aku menggeleng lemah dan berkata. "Kemampuanku juga punya kekurangannya. Ada juga aturan berlakunya."

"Jadi bagaimana itu?" Reka bertanya penasaran. Dia ingin tahu kemampuan temannya itu seperti apa.

Aku terima memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya. "Aura postifku berguna untuk membantu hantu-hantu untuk menyebrang ke alam mereka seharusnya dengan membuat perjanjian lisan. Aura ini juga bisa menghentikan roh yang bakal berubah ke roh jahat. Jika sudah berubah tapi belum lama, aku bisa memurnikan mereka, memaksa mereka menyebrang dengan rasa sakit dan penyesalan. Rentangnya hanyalah belum satu hari. Jika lebih, auraku adalah makanan enak untuk mereka menjadi lebih kuat dan bahkan mampu menyakiti manusia biasa."

Reka terpana kaget dengan penjelsanku. Tidak menyangka akalu kemampuan temannya itu bagaikan pedang bermata dua. Baik tapi juga buruk. Reka terlihat sedih dan kasihan denganku. Khawatir juga karena siapa yang tahu, kalau kemampuan ini kemungkinan bisa membunuhnya juga.

" Aku tidak selemah itu sampai aku membahayakan diriku." Aku sedikit hangat dengan kilat mata iba.

Reka mengangguk sedih, masih merasa kasihan. Walau dia tidak tahu, sudah brapa lama aku memiliki kemampuan ini. Tapi dia tetap saja merasa iba, pasti temannya itu mengalami penderitaan yang sangat menyakitkan akibat kemampuan yang dia miliki itu.

Aku pun hanya bisa tersenyum datar saja. Tidak perlu untuk menjelaskan lebih lanjut lagi.

Aku dan Reka pun membahas hal lain. Topik berat tadi terasa tidak menyenangkan jadi aku merubahnya.

"Kalau aku memutuskan tidak percaya padamu Rian, aku pasti menganggapmu gila karena bicara sendiri." Tommy sedikit merinding takut mendengar sepupunya itu berbicara. Padahal dia tahu, di kamar ini hanya ada aku sendiri.

Aku menoleh, menatap Tommy yang selesai mandi. Wajahku masih tetap datar tanpa ekspresi, meskipun penampilan Tommy sangat menggoda begitu. Bertelanjang dada dan tetesan air menetes sungguh sangat seksi. Lagian juga wanita mana yang tak suka abs laki-laki, namun aku sudah biasa jadi, rekasiku biasa-biasa saja.

Tommy cemberut, mengusap rambutnya dengan handuk kecilnya. "Tidak bisakah wajahmu itu lebih ekspresif? Tidak lihat aku sudah seksi begini?" narsisnya bangga.

Aku refleks melempar bantal yang berhasil di hindari oleh Tommy. "Pakai bajumu sialan! Aku sudah lelah menunggumu saja."

Tommy terkekeh bahagia. "Baiklah, baiklah."