Chereads / Di Balik Kematian / Chapter 11 - Chapter 10 : Reka Darmawan

Chapter 11 - Chapter 10 : Reka Darmawan

Sembari menunggu Tommy memakai pakaiannya, aku mengambil ponselku untuk mengirim pesan pada kekasihku dan kedua orangtuaku. Aku punya firasat kalau, aku tidak bakalan pulang malam ini. Selain aku lelah, aku juga sudah malas untuk berkendara pulang. Jadi, kemungkinan aku akan menginap.

"Bagaimana kondisimu?" tanya Reka santai.

Aku melirik sekilas Reka, tidak menjawabnya.

Rekan cemberut hanya memberikan delikan sebal saja. Mau protes juga percuma. Kalau aku sedang malas memang tak minat untuk meladeni Reka.

"Ok, aku sudah selesai," seru Tommy menghempaskan tubuh besarnya itu di ranjang. "Sekarang, kita bisa bicara."

Aku berdecak agak sebal. "Bisakah kau membawaku masuk ke sekolah Tang Kato Pingai?" tanyaku dingin.

Tommy mengerut tajam mendengar nama sekolahnya itu. Agak tidak terduga kalau urusan yang dikatakan oleh sepupunya itu, berhubungan dengan sekolah di nama dia menempa ilmu SMA dua tahun lalu itu.

" Bisa? "tulangku karena tidak mendapatkan jawaban.

"Tergantung, "katanya tidak yakin. "Ada urusan apa kau dengan sekolah itu?"

"Menyelidiki seseorang."

"Hah!? Sejak kapan kau punya teman di sana!"

"Aku tidak bilang aku punya teman bang, aku bilang mau menyelidiki seseorang yang sekolah di sana."

Tommy mendengkus. "Seperti yang aku katakan tadi, tergantung. Aku bisa membawamu kesana, tapi alasannya harus masuk akal. Jika tidak pihak sekolah tidak mungkin mengizinkan."

Aku terdiam memikirkannya. Seperti yang dia duga, memang tidak mudah untuk masuk ke dalam sekolah itu. Alasan apa yang terdengar masuk akal agar aku bisa masuk. Aku di kejar waktu saat ini. Reka benar-benar harus segera menyeberang sebelum terlambat.

"Apa ini ada hubungannya dengan hantu?" tanya Tommy terdengar tidak yakin.

Aku hanya melirik saja, bingung juga menjelaskannya. Mau seperti apa aku katakan, otak Tommy tidak akan bisa menerimanya.

"Rian, jangan sok misterius begitu, katakan saja."

Masih bergeming, bukan menolak, hanya sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan hal aneh ini agar bisa di terima nalar Tommy.

"Rian...."

"Diamlah dulu," ketusku mengerut kecil.

Tommy cemberut lalu berbaring di ranjang menatap langit-langit kamarnya.

"Dia memintaku mencari penyebab kematiannya. Dia lupa akan ingatannya sebelum kematiannya."

Tommy langsung bangun, menatapku ngeri. "Lalu, kau mau bilang kalau hantu itu ada hubungannya dengan mantan sekolahku itu?"

Aku mengangguk tanpa ekspresi. "Memang dia tidak ingat, tapi aku tahu nama sekolahnya dari seragam yang dia pakai."

Tommy terdiam merasakan sebuah perasaan aneh yang mengerikan. Ada rasa bersalah dan kasihan terlintas di matanya.

Aku mengerut tajam dengan perubahan emosi Tommy. Mendadak saja, aku merasakan kalau Tommy sangat salah." Bang?"

Tommy tersenyum miring dan bertanya padaku nama dari hantu yang menggentayangiku itu.

Aku tersenyum miring, mulai menebaknya. Tampaknya, Tommy dan Reka memiliki sebuah garis yang tidak di duga-duga.

"Aku takut apa yang aku pikirkan benar-benar terjadi," komentarnya pelan.

"Aku bisa menebaknya. Tampaknya, pertemuanku dengan dia bukanlah kebetulan belaka. Kurasa ada takdir yang terjalin."

"Rian..."

"Darmawan, Reka Darmawan. Hantu itu tidak ingat namanya, tapi aku tahu dari name tag yang ada di bajunya.

Seketika, saat mendengar nama itu, tubuh Tommy menegang kaku dengan mata terbelalak kaget. Dia termundur syok. Raut wajahnya memucat tidak percaya.

"Abang kenal dia bukan?" pastiki dingin.

Tommy bergetar meneguk ludak sekilas, berkedip lemah. "Rian, kau bilang hantu itu bernama Reka Darmawan kan?" ulangnya yang aku balas dengan anggukan dingin.

Tommy malah tertawa miris penuh kesedihan.

"Hei..."

"Ti-tidak mungkin dia mati Rian," gelengnya todka percaya.

"Kenapa kau berpikiran begitu?" tanyaku datar.

Tommy terdiam tak menjawabnya

Aku yang sudah memastikan identitas Reka di mata Tommy, aku tanpa sadar mengumpat tajam. Dua tahun, dua tahun setelah kematian. Ini akan sulit menyelidikinya dengan waktu yang singkat ini. Sedikitnya aku tidak menduga kalau Reka telah mati selama dua tahun. Pantas saja, aura negatif itu pekat sekali, namun aku juga heran, kenapa dia tidak berubah menjadi roh jahat. Kematiannya pasti tidak adil dan penuh dendam, di tambah sudah dua tahun berlalu.

"Dia,dia mantan teman sekelas."

"Hah?!" kataku kaget.

Tommy mendesah, mengusap kasar wajahnya sedikit frustasi. "Aku tidak dekat dengannya. Tapi aku sekelas dengannya dari kelas satu sampai kelas 3."

Aku diam mendengarkan.

"Rian, katakan itu tidak. Hantu itu bukan Reka kan?"

"Bang, jangan bertanya dengan pertanyaan sama. Itu menyebalkan."

Tommy menghela napas panjang. "Dia dinyatakan hilang setelah seminggu tidak sekolah dan pihak ibunya mengadu ke sekolah."

"Hilang? Maka besar kemungkinan dia mati kan!" kataku dingin.

Tommy menggeleng tidak terima. "Aku malah mendengar dari anak-anak lain saat reunian setahun lalu, mengatakan kalau Reka ternyata tidak hilang tapi kabur bersama pacarnya. Si Hendra bertanya sendiri saat bertemu dengan Reka."

Aku merasa janggal dengan pernyataan Tommy. Pertama dia mengatakan kalau Reka hilang, tapi setahun yang lalu, Tommy bilang Reka ada. Kedua, nama Hendra itu, kalau tidak salah ingat, itu nama salah satu anak yang membully Reka. Meski dalam ingatan itu tidak ada penyebutan nama, aku bisa melihat dari name tag mereka.

Aku melihat Reka yang tak kalah kagetnya. Dia melayang mengitari Tommy menatap dekat wajahnya, berpikir keras mengingat sosok sepupuku itu.

"Laki-laki yang kau sebut itu, pernah merundung Reka kan?"

Tommy terkejut mengangguk. "Bagaimana kau tahu? Kau bilang hantu Reka tidak ada ingatan?"

Aku sedikit bingung menjelaskannya, tapj pelan-pelan dia berkata. "Aku bisa melihat ingatan seseorang secara random."

Tommy memandangku aneh tapi tidak berkomentar.

"Seberapa dekat kau dengan Reka?"

Tommy mengerut kecil. "Dia anak yang pintar. Selalu juara kelas dan juara umum. Meski non akademik sedikit lemah, tapi akademiknya hampir setara denganmu Rian."

Aku mendengarkan dengan santai. Memang aku bisa melihat kalau Reka itu cerdas, meski agak ngeselin karena tingkah abstraknya.

" Dia, dia siswa beasiswa kan?"

Tommy mengangguk.

Sudah kuduga, alasan Rela bertahan dengan semuanya karena dia masuk dari jalur beasiswa. Jika prestasinya turun makan beasiswanya di cabut. Lagian, sekolah itu memang memudahkan untuk mendapatkan pekerjaan jika alumni sana.

"Di kelas aku memang selalu ketiga, tapi itu tidak masalah. Aku tidak dekat dengannya. Pernah satu atau dua kali menjadi teman satu kelompok. Tapi, dia itu agak introvert jadi, dia selalu menyendiri."

Aku mendesah panjang, menatap Reka yang mengerutkan keningnya mencoba mengingat sesuatu. Tapi, tampaknya dia tidak bisa mengingatnya.

"Tak punya teman, satu pun?" Aku berkedip sekali, agak kasihan dengan Reka.

"Ya, mau bagaimana lagi Rian, sekolahku itu berisi anak-anak elite. Kalangan biasa jarang bisa masuk, apalagi beasiswa penuh. Persaingan cukup ketat juga."

"Apa kau tidak membantunya? Bang, aku benci perundungan."