Chereads / Di Balik Kematian / Chapter 7 - Chapter 06 : Bertemu Sepupu

Chapter 7 - Chapter 06 : Bertemu Sepupu

Sepulang sekolah, aku tidak kemana-kemana. Selain tubuhku masih lelah, aku juga tidak ada rencana untuk berada di luar. Takutnya jika aku kemana-mana, aku terlibat dengan para hantu lainnya. Kondisiku sedang tidak mungkin untuk membantu mereka.

Aji juga melarangmu keluar, mengatakan padaku untuk istirahat saja. Lagian, lusa aku harus segera memenuhi permintaan Reka, jadi aku tidak boleh lelah dan harus dalam kondisi yang fit.

Reka sendiri, sedang pergi entah kemana, katanya sih, mencari-cari petunjuk tentang dirinya. Siapa tahu, dia tidak sengaja bertemu seseorang yang dia ingat, atau ingatan kembali saat berada di suatu tempat. Aku sih, tidak terlalu peduli, kondisi Reka itu memang agak unik, kalau saja dia tidak kehilangan ingatannya, maka penyelesaian kasus permintaan Reka bisa akh tangani dengan mudah.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang, sambil melihat ponselku. Rencananya aku ingin bertanya soal sekolah Reka dari salah satu sepupu dari pihak ibuku.

Keluarga orangtuaku itu besar. Ibuku saja memiliki 10 saudara sedangkan ayahku 8 saudara. Rata-rata anak saudara orangtuaku itu lebih dari 4 orang, jadi, betapa besarnya keluargaku. Tak heran, kalau aku memiliki sepupu yang bertebaran di mana-mana.

Memang aku tidak terlalu dekat dengan mereka, mengingat kepribadianku yang agak introvert dan dingin, tapi setidaknya, aku hapal semua sekolah dan pekerjaan keluarga besar orangtuaku itu.

Aku sedang mencari nomor sepupu ku itu di grup keluargaku. Aku tak menyimpan nomornya, toh, aku kalau bertemu dengannya paling kalau ada acara keluarga atau hari raya besar lainnya.

"Ketemu!" kataku dingin.

Tanpa basa-basi aku langsung meneleponnya. Malas untuk menundanya lebih lama. Aku cemas pada Reka saat ini. Takutnya, aku gagal dan Reka akan berakhir dengan menjadi roh jahat.

"Halo?" kata sebuah suara di seberang telepon terdengar tidak yakin.

Aku mengangkat alisku heran dengan nada suaranya.

"Ini, Arian anak Tante Nias kan?" katanya lagi.

Aku tersenyum geli, kenapa malah dia yang harus memastikan, seharusnya aku yang bicara siapa yang aku telepon.

"Bang Tommy kan?" ujarku dingin.

Orang yang menerima teleponku mengangguk tanpa sadar. Tampak dia berada di sebuah kafe bersama teman-temannya.

"Ada apa Rian?" tanyanya ramah tak peduli dengan nada dinginku itu.

"Aku punya hal yang ingin kutanyakan dan bicarakan denganmu bang." Aku bangun dari rebahanku, berjalan santai ke beranda kamar.

"Ok, apa itu?" dia tampak penasaran karena tidak biasanya, aku menelepon begini. Bicara saat bertemu saja jarang.

Aku mengerutkan dahiku mendengar suara yang cukup berisik di sekitarnya. "Abang di luar?"

"Kebetulan lagi nongkrong pulang kuliah."

Aku mendesah pendek, mengangkat tanganku untuk melihat jam. Aku tak bisa menunda lebih lama lagi, karena sudah menghubungi, aku harus selesaikan hari ini juga.

"Arian?" ujarnya bingung.

Aku menghela napas pendek, sebelum berkata, "Abang di mana?"

"Di mall WTC," jawabnya polos.

Aku berdecih tanpa sadar, tak suka dengan tempat yang ramai itu. Namun, aku juga tidak bisa meminta Tommy menemuiku karena dia sendiri lagi sibuk.

"Boleh aku kesana? Aku bisa menunggumu selesai nongkrong. Aku tak bisa bicara di telepon. Nanti abang kesulitan mencerna apa yang aku katakan nanti."

Tommy di sana menatap kelima temannya yang lain, sedang mempertimbangkan permintaanku. Terlalu tanggung juga dia pulang sekarang, lagian, dia baru memesan makanan dan hari ini, memang salah satu temannya ulang tahun, jadi tidak enak kalau pamit pulang.

"Ok, abang ada di food court makanan jepang. Kesinilah. Abang juga pesankan kau makanan. Jadi, ikut saja sampai abang selesai."

Aku tidak suka dengan ajakan Tommy. Tapi, telrlau banyak pertimbangan akan membuat kerjaan semakin lama. Aku mendesah panjang, mengangguk malas.

"Aku mengerti. Sampai ketemu nanti."

"Ok, bye Rian!!!"

***

Aku bergegas ganti pakaian sekolahku dengan style kasual dan sederhana saja. Tanktop hitam yang berbalut jaket cokelat dan rok lipat hitam. Sneaker putih menyelerasakannya. Sebuah tas sandang hitam untuk mempercantiknya.

Aku menatap penampilanku dengan dingin. Tak perlu berdandan yang heboh, cukup bedak tipis dan lipgloss saja agar bibirku tidak kering. Rambutku, aku urai saja. Ribet jika harus menatanya. Toh, aku datang menemui sepupuku bukan pacarku. Jadi, tak perlu harus dandan cantik juga.

"Woah, Shely, kau mau kemana?" seru Rela tiba-tiba mengejutkanku.

Aku refleks menoleh ke kiri, dimana Reka melayang dengan wajah polosnya. "Kau ini, bisa tidak muncul itu memberi peringatan!" desisku tajam.

Reka hanya tertawa saja. Tampak tidak peduli sama sekali.

Aku berdecih kasar, menaikkan tudung jaketku untuk menutupi kepalaku dan memasang masker putih. Berjalan santai menuju halte.

" Ne, kau mau kemana?"

"Menurutmu?" desisku datar.

"Kencan?" ujarnya polos.

Aku melirik dingin Reka. "Diamlah. Kau pikir siapa yang berkencan di sore hari begini!"

"Nah, siapa tahu, kau terlalu rapi Shely. Ketemu dengan Aji saja kau tidak serap ini. Jadi, ya..."

"Tidak, aku mau bertemu dengan sepupuku," kataku bersiap menyambut bus yang akan berhenti di halte.

Tak lama, aku masuk ke dalam bus, dan memilih bangku paling belakang, menyudut dekat jendela. Agar tidak ada yang menatapku aneh karena bicara sendiri. Untungnya penumpang bus hanya ada lima orang, di tambah 3 makhluk halus yang memang biasa berada di bus ini.

"Oh,sepupumu yang pernah sekolah di sekolahku begitu!" pastinya ikut duduk di sebelahku.

"Siapa lagi?" aku berkata sinis menatap luar jendela. "Kalau tidak penting, mana mau aku keluar rumah. Buang-buang energi."

"Telepon saja kan bisa."

"Kau pikir, pembicaraan mengenai dirimu ini bisa di katakan lewat telepon?" sinisku dingin. "Yang ada aku dianggap gila. Siapa yang bakal percaya aku bisa lihat hantu?" aku terdiam menyunggingkan senyum miring. "Ah, kecuali orangtuaku, saudaraku, dan Aji. Mereka percaya tentu saja."

Reka mendengkus menyetujuinya. Jika saja dia masih hidup dan mendengar kalau ada yang bisa lihat hantu, tentu saja dia akan menyangkalnya.

"Terus, kau mau bilang apa?"

Aku diam sebentar. "Lihat saja nanti. Dijelaskan juga, aku cape bicara panjang-panjang."

Reka memberikan tatapan aneh menggeleng memutar matanya bosan.

"Kau sendiri, habis dari mana?" tanyaku dingin.

"Sekolah," jawabnya singkat. "Tapi sayang, aku benar-benar tidak ingat. Aku juga bertanya sama hantu lainnya, mereka sama sekali tidak tahu juga."

Aku memilih tidak mengomentarinya. Tentu saja, para hantu tidak tahu, memang mereka sepeduli itu dengan makhluk yang masih hidup. Tentu saja tidak, mereka pasti mengabaikannya.

Sekitar 15 menit kemudian, bus berhenti di halte dekat mall. Aku langsung turun dan melangkah cepat menuju mall besar yang ada di kotaku ini.

"Shely, aku pergi dulu ya, hantu-hantu di sini membuatku tidak nyaman."

Aku mengangguk datar. Memang, aura di mall ini terlalu tak enak. Aku bisa melihat banyak sekali hantu-hantu yang bweaura negatif berkeliaran. Untungnya, tidak mencapai tahap roh jahat. Mereka hanya jahil dan juga tidak baik untuk hantu yang bersuara positif.

Setelah masuk mall, aku berusaha mungkin mengabaikan berbagai hantu yang ada di sekitar. Jangan sampai mereka menyadari aku yang bisa melihat mereka. Bakal merepotkan nantinya.

Aku bergegas menuju lantai dua mall, di mana food court yang dimaksud Tommy tadi. Aku tahu letaknya, tapi memang tak pernah masuk ke sana. Aku tidak suka makan di luar, jadi cukup asing dengan cafe-cafe dan restoran mewah.

"Astaga, ini menyebalkan!" seruku malas.

Aku mengerut tajam, bingung, haruskah masuk atau membiarkan Tommy menjemputku. Malas merepotkan, aku pun memilih untuk masuk saja.

"Selamat Datang kak," sambut salah satu pelayan restoran.

Aku mengangguk dingin.

"Ada reservasi kak?"

Aku menggeleng dingin. "Temanku sudah ada di dalam."

Pelayan itu mengangguk ramah. "Baiklah kak, teman kakak ada di meja berapa?"

Aku diam mengerut kecil. Tommy tak memberitahu, aku juga lupa bertanya.

Si pelayan tersenyum mengerti dengan keterdiamanku. "Baiklah kak, silahkan masuk, dan kakak cari sendiri, kalau ada yang bisa dibantu, kakak bisa memanggil saya atau waiters yang lain."

Aku tersenyum tipis di balik masker putihku. Mengangguk santai, aku pun masuk ke dalam restoran yang tak terlalu besar itu, mencari di mana Tommy.

Tatapanku berhenti melihat, seorang lelaki berkemeja hitam duduk di dekat jendela bersama lima orang lainnya. Mereka sedang asyik bicara.

Aku menghela napas panjang, melangkah santai menuju mereka. Setibanya di sana, teman-teman Tommy yang duduk di seberangnya menatapku kaget dan ingin tahu. Aku berada di belakang Tommy.

"Bang," kataku dingin menepuk pundak Tommy.

Tommy terkejut dan langsung menoleh. Dia pun tersenyum lebar, berdiri dan langsung memelukku singkat. "Lama tidak bertemu."

Aku tersentak kecil, tapi tak mempermasalahkannya lalu menepuk punggung Tommy, masih mempertahankan wajah datarku, tapi senyum tipis terukir di balik maskerku. Tommy dan kebiasaannya dalam kontak fisik.