Chereads / Di Balik Kematian / Chapter 8 - Chapter 07 : Para Roh Jahat yang Tak terduga

Chapter 8 - Chapter 07 : Para Roh Jahat yang Tak terduga

"Aku pikir kau bercanda tadi," seringainya lebar melepaskan pelukan singkat itu.

Aku memberikan tatapan malas dan datar.

"Ayo duduk dulu."

Tommy menunjuk kursi kosong di sampingnya yang berada tepat di dekat jendela.

Aku tampak menjawab langsung duduk lalu mulai memandang teman-teman Tommy yang menatapku ingin tahu. Untuk kesopanan, aku hanya mengangguk saja. Lagian, aku juga malas untuk berinteraksi dengan mereka.

"Aku pikir cowok tadi," kata salah satu teman Tommy tersenyum sopan padaku.

Tommy mengerutkan dahinya. "Memang kapan aku bilang cowok?"

"Memang kau bilang tadi, sepupumu mau ikut gabung, tapi..."

"Di telepon tadi, kau memanggilnya Rian."

Tommy tertawa kecil, meletakkan tangannya di belakang leherku, sedikit merangkul bahuku.

Aki melirik tangan Tommy dingin, tapi tak memprotesnya, percuma juga. Kelakuannya itu memang sudah mendarah daging.

"Panggilan sayangku padanya."

Teman-teman Tommy yang laki-laki tertawa memutar mata mereka dengan kelakuan sok playboy Tommy, sedangkan yang cewek hanya menatapku aneh, satunya, agak cemburu.

"Yang benar saja," desisku malas agak jijik dengan ekspresi teman Tommy yang cemburu itu. Pasti itu cewek punya perasaan pada Tommy.

"Nah, guys, kenalin nih, sepupuku, Aria," kata Tommy memperkenalkan diriku.

"Xanzani," sanggahku datar. "Kita tidak dekat untuk memanggil nama tengahku."

Kelima teman Tommy tersentak kaget dengan nada dingin tak bersahabat itu, sedikit tersinggung, tapi tak mau membuat masalah bagi Tommy, jadi demi teman, mereka hanya tersenyum paksa saja.

"Ck, Kau ini, masih saja tidak suka di panggil dengan nama itu," ringis Tommy.

"Orang asing," kataku singkat.

Tommy mengangkat bahu saja.

Aku sedikit haus dan tak ada minuman yang menurutku punyaku, tapi aku malas untuk memesan, jadi, aku tanpa bicara mengambil minuman Tommy. Kurma lebih, selera kami sama, jadi aku yakin, dia memesan yang juga seleraku.

Benar saja, itu adalah es kopi tanpa gula. Aku menyesapnya, tak memperdulikan pandangan kaget teman-teman Tommy. Apalagi yang cewek, menatapku iri. Biar bagaimanapun, tampang Tommy itu memang cukup tampan dan menarik. Lalu Tommy sendiri, dia acuh tak acuh saja.

"Aku ambilan pesananmu dulu," kata Tommy beranjak berdiri.

Aku hanya mengangguk, lalu membuang muka, menatap luar jendela. Malas, untuk beramah tamah dengan temna-teman Tommy itu.

Kelakuanku ini, membuat teman-teman Tommy, berbisik sedikit tidak suka. Meski suara mereka kecil, aku bisa mendengarnya, namun aku mengabaikan itu, karena ya, untuk apa juga di ladeni, dengan aku sendiri yang malas untuk berinteraksi dengan mereka.

"Rian, minumanku," seru Tommy tiba-tiba mengejutkan semuanya. Dia menarik gelas minuman yang hampir habis aku minum.

"Kaitani, sialan!" desisku dingin.

Tommy memasang wajah polos, menyerumput minuman hingga habis dan tersisa es batu saja.

Dahiku berkerut kesal. Tommy ini, memang suka sekali membuatku kesal, tapi anehnya, aku tak tersinggung, cuma sebal saja.

"Kalian, kalau Tommy tidak bilang kalian sepupu, aku bisa menganggap kalian ini pacaran!" ejek teman Tommy menggoda.

Tommy mneyeringai, mendekatkan kepalanya ke leherku dan mengusapnya dengan kepalanya, layaknya seekor kucing dan berkata menggoda, "Benarkah? Apakah kami serasi?"

Aku merinding geli, menepuk pelan kepala Tommy. "Kaitani, ini geli sialan! Ini, ni aku malas kalau ketemu denganmu!"

Tommy cemberut, tapi tak mengindahkan peringatanku, dia malah menyadarkan kepalanya di bahuku. "Ck, diamlah, salah mu juga, susah sekali kalau ketemu. Jadi, jangan protes kalau aku bermanja-manja." Tommy mengeluh sebal, mengingat sudah hampir sebulan lebih, dia tidak bertemu dengan sepupunya itu. Meski tidak dekat, tapi Tommy, sangat nyaman berada di dekat sepupunya itu." Dan juga, Rian, jangan memanggilku Kaitani, aku merasa kau sedang memanggil ayahku!"

Aku mendengkus kasar menanggapinya. Meladeni Tommy, sangat menguras energiku.

Setelahnya,Tommy pun asyik mengobrol dengan teman-temannya. Aku mengabaikan mereka dengan bermain ponsel. Aku sedang bertukar pesan dengan Aji. Pacarku itu, sedikit cerewet kalau aku keluar dari rumah.

"Bang, bisa tidak kau diam." Aku berdecak datar atas kelakuan Tommy, yang entah bagaimana bisa, sibuk bermain dengan tanganku.

Tommy hanya terkekeh ringan saja.

Tak terasa, obrolan Tommy memakan waktu lebih dari dua jam. Waktu sudah menunjuk pukul 7 malam lewat. Tommy dan lainnya pun memutuskan untuk pulang dan mengakhiri tongkrongan tak penting ini.

Setelah berbasa-basi bertukar salam perpisahan, aku dan Tommy berpisah dengan teman-temannya yang lain. Dikarenakan aku ada urusan dengan Tommy, teman-temannya, tidak memaksa Tommy untuk ikut nongkrong ke tempat lainnya.

"Jadi, begini kelakuanmu setelah pulang kuliah?" sinisku berjalan santai sambil merangkul lengan Tommy.

"Tidak juga. Ini tadi, si Jamal ulang tahun, makanya, dia ngajak nongkrong."

"Bawa kendaraan?" tanyaku tak yakin karena langkah kaki kami menuju bassement.

"Kebetulan bawa mobil, tadi aku ngantar mami ke bandara."

Aku tak menanggapi lagi. Kakak ipar ibuku itu memang seorang wanita karir, jadi sering pergi keluar kota.

"Ck, tahu lama begini, aku minta kau kerumah saja. Terlalu malas aku keluar!"

"Kau ini, di rumah terus. Keluar sesekali tidak apa-apa kan!"

Aku yang ingin membalas, langsung terdiam mendadak karena hawa bassement yang menyesakkan dadaku. Refleks aku menyentuh dadaku, melirik ragu sekitarku.

"Ya ampun, bassement ini penuh dengan roh jahat. Mereka pasti tertarik dengan aura ku dan mereka akan tahu kalau aku..."

"Arian?" bingung Tommy melihat wajah pucatku.

Aku meneguk ludah paksa, berpikir cepat untuk menghindari para roh jahat yang tampaknya mulai menyadari kehadiranku yang berbeda ini.

"Hei, Arian, apa kau sakit? Wajahmu pucat sekali dan kerin..."

Omongan Tommy terpotong dengan aku yang mendadak melompat kedalam pelukan Tommy memaksanya untuk menggendongku. Refleks Tommy melingkarkan tangannya ke tubuhku agar aku tidak jatuh.

"Astaga Rian, kau kenapa sih?" erangnya kaget.

"Diamkah. Gendong saja aku. Aku lelah!" sergahku dingin.

Tommy mengerut tidak paham, tapi langsung menurutinya.

Jantungku berasa berdebar kencang, saat kaki Tommy mulai memasuki tempat parkir mobil. Sayup-sayup aku mendengar geraman tak jelas dari para roh jahat di tempat parkir gelap ini.

Aku mengeratkan tanganku yang melingkari leher Tommy tampak gugup. Sepertinya, mereka mulai memperhatikanku tapi ragu untuk mendekatiku.

"Kheeekkk, Ri-Rian, kau mencekikku," kata Tommy tampak tercekik.

Aku meringis melonggarkan tanganku. "Maaf!"

"Kau kenapa sih? Kok jadi aneh gini?"

"Jangan banyak tanya, ayo pulang, aku benar-benar lelah!"

Tommy menghela napas panjang, mengangguk mencari mobil yang dia parkir.

Tak lama, mereka sampai di mobil.

"Ayo turun, aku tidak bisa mengambil kunci dan membuka pintunya."

Aku meneguk ludah sekali lagi. Dengan enggan aku pun turun. Memejamkan mataku berharap, para roh tidak menyadariku.

Tommy bingung dengan kelakuanku. Dia ingin tahu, tapi aku memilih untuk diam saja. Toh, tidak mungkin aku bilang sebenarnya, karena aku yakin, Tommy tidak percaya dan akan menganggapku gila.

Tapi, harapan hanyalah harapan, para roh jahat yang berjumlah sekitar 10 itu langsung menyadariku. Mereka serentak menatapku tajam dengan aura negatif yang sangat pekat sekali. Tingkah mereka seolah ingin memangsaku.

"Bang, buka pintunya cepat," teriakki tertahan karena para roh jahat itu mulai mendekat.

Tommy mengerut tajam, tapi merasa cemas dengan wajah pucat pasiku.

Sebelum para hantu berhasil mendekat, aku membuka pintu mobil dan langsung masuk, menutupnya dengan cepat dan dalam gumanan pelan, aku membaca sebuah mantera kuno yang aku kuasai untuk memasang pelindung, agar para roh jahat tidak bisa mendekat padaku dan masuk ke dalam mobil.

Aku terengah lelah, menutup mata menahan rasa sakit akibat pembacaan mantera yang terlalu menguras energi positifku karena aku harus menahan 10 roh jahat.

"Rian, kau benar-benar membuatku cemas. Kau kenapa sayang?" kata Tommy menyentuh wajah pucat berkeringatku. "Apa kau sakit? Perlukah kita ke dokter? Apa kau salah makan tadi?"

Aku menggeleng lemah, bersandar di kok mobil sambil mengatur napasku dan mengendalikan gejolak mual di perutku. Aku merasa akan muntah dan aku yakin itu darah. Aku tak mau membuat Tommy cemas dan bertanya-tanya, jadi aku meneguk kembali darah yang akan ternuntahkan itu. Rasa besi menyeruak di mulutku.

"Wajahmu pucat Rian!"

Aku tak mendengar Tommy karena suara berisik dari roh jahat yang memaksa ingin masuk. Geraman penuh kebencian, membuat telingaku sakit. "Pulang!"

Tommy diam, jika dia berargumen, dia yakin akan kalah. Dalam urusan kekeras kepalan, aku adalah orang yang sangat batu.

"Ok, kita pulang," angguknya menyerah. "Pakai sabuk pengamannya."

Aku melirik saja, tak ada tenaga untuk menggerakkan tubuhku.

"Rian..." hela Tommy, memakaikan sabuk pengaman.