Scene mendadak langsung pindah saat jam pulang sekolah. Tampak, Reka yang sedang membereskan buku-bukunya. Tapi sangat di sayangkansekali, Reka kembali di ganggu oleh kelima anak lainnya.
"Apa kau mengerjakan soalnya dengan salah?"
Reka diam hanya menatap saja. Tak mau memberi jawaban karena percuma, mau diam atau menjawab mereka akan memukulnya juga.
"Ck, ditanya kok malah diam!"
"Bosan hidup kau!!!"
Reka mengernyit tajam, masih diam.
Kelimanya tampak kehilangan kesabaran dengan aduh tak acuhnya Reka.
"Anjing, kalau orang ngomong di jawab sialan!" marah si remaja lelaki menarik tas Reka dan membantingnya di lantai.
Reka mendesah dalam diam, masih tak mau menanggapi, dia merunduk untuk mengambil tasnya.
"Bajingan!!!"
Tanpa di duga, salah satu dari mereka malah menendang Reka hingga dia tersungkur, kemudian dilanjutkan dengan yang lain menendang dan menginjak Reka.
Tawa senang dan wajah puas tercetak di raut mereka. Sesekali mengumpat kasar. Anak-anak lain yang melihat hanya diam saja. Bahkan ada yang menvideokan aksi pembullyan ini. Tak ada satu pun dari mereka yang memanggil guru atau menghentikan tindakan tak terpuji kelimanya.
"Awslas saja kalau nilai kau lebih tinggi dari kami!" kesalnya sambil menendang.
Reka hanya diam menerima saja. Tak ada gunanya melawan. Malahan akan semakin parah nantinya.
"Ayo pulang guys, sudah sesak aku di sini."
Seperti datang yang tidak terduga, mereka juga pergi dengan tak terduga pula. Padahal kalau di pikirkan, untuk apa kelima remaja itu membuang energi dengan memukuli Reka.
Aku yang menyaksikan aksi kelimanya tak bisa menahan diri untuk mengumpat mereka. Apa gunanya mereka membully Reka hanya alasan nilai. Untungnya di mereka apa? Beda kali dengan Reka, aku entah kenapa bisa menduga kalau Reka harus menjaga nilainya tetap bagus agar dapat bersekolah di sekolah ini dengan nyaman.
"Para bajingan itu..." aku menggeram menahan amarahku.
Tampak Reka bangun dengan bersusah payah. Wajahnya memar, pakaiannya kotor dan ekspresi Reka sangat sedih dan putus asa sekali.
"Aku tidak tahan lagi. Aku mau mati saj!" lirih Reka yang membuatku terkejut.
Aku yang ingin mendengar lebih lanjut ucapan Reka mendadak terjadi distorsi waktu yang membuat pemandangan di sekitarku menghilang sekejap.
Aku tersentak bangun dengan keringat mengalir deras dari dahiku. Napasku sedikit memburu cepat. Wajahku memucat dan mengerutkan dahiku memikirkan mimpiku barusan.
"Sayang, kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?" cemas Aji yang ada di sebelahku.
Aku diam masih mengumpulkan nyawaku. Melirik sekitar untuk memastikan aku berada di mana sekarang.
Aji tampak membuka botol air mineral dan langsung memberikannya padaku. "Minum dulu sayang!"
Aku menerimanya dan meneguk habis sebotol air mineral itu. Aku kehausan dan masih dalam masa kaget akan mimpi kenangan Reka itu.
Tampak beberapa teman sekelasku yang ada di kelas menatapku ingin tahu, tapi malas untuk bertanya, hanya memandang penuh niat saja.
"Kenapa?" tanya Aji menghapus peluhku.
"Jam istirahat?" tanyaku serak.
Aji mengangguk. "Kenapa? Mimpi buruk?" tanyanya lagi.
Aku tak menjawab, malah melihat sekeliling untuk mencari Reka. Sayangnya, si hantu remaja tidak ada di sana.
Aji menghela napas panjang, bangkit berdiri sambil menarikku untuk tegak juga. "Ayo bicara di tempat biasa!" Aji terlihat mengerti dengan raut wajahku dan bahasa tubuhku.
Aku tidak menolak dan mengikuti Aji yang menarikku untuk membawaku ke sebuah halaman belakang gedung kelasku.
Tempatnya sangat sepi, hampir tak ada anak-anak yang berkumpul atau main di taman belakang ini. Alasannya karena taman ini di kabarkan angker jadi, anak-anak enggan untuk ke halaman ini.
"Apa yang terjadi sayang?" tanya Aji kalem sesampainya kami di halaman belakang.
Aku menyandarkan tubuhku di pohon mangga berdaun rimbun ini sambil memijit pelipisku yang berdenyut tidak nyaman.
"Sayang?"
"Ingatan Reka," kataku datar lalu menatap sendu Aji. "Sayang, ingatan itu sangat menyedihkan!"
"Maksudnya?"
Aku menggenggam erat tangan Aji dan menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Aji mendengarkan dengan sabar dan sesekali mengerut marah lalu wajahnya berubah sedih dan kaget.
"Jadi, maksudmu, kemungkinan Reka itu bunuh diri?" seru Aji tak yakin.
Aku menggeleng terlihat ragu juga. "Kemungkinan itu pasti. Tapi itu tidak menjelaskan tentang aura negatif penuh dendam dan hilangnya ingatan Reka."
Aji merenung memikirkan sebentar, lalu berkata, "Dendam Reka pasti berhubungan dengan kelimanya. Jadi, dua kemungkinan di bunuh atau bunuh diri, kita hanya bisa menyelidikinya. Tapi yang pasti kelima remaja itu berhubungan erat dengan kematian Reka."
Aku setuju dengan pendapat Aji. Tak bisa mengandalkan ingatan saja. Aku harus menyelidiki lebih dalam lagi tentang kematian Reka. Entah itu bunuh diri atau pembunuhan, roh Reka harus segera di tenangkan dan kembali ke sang pencipta. Berada lebih lama dengan dendam yang besar bisa membahayakan semua orang.
"Tapi sayang, tidak mudah mengorek informasi dari sekolah elite itu."
"Kau benar!" anggukku. "Tanpa orang dalam, kita tak bisa menyelidiki."
"Jadi, bagaimana kita memulainya?"
Aku terdiam sebentar lalu mendesah pendek. "Bagaimana kalau kita mulai dengan identitas Reka. Maksudku, kita bertanya pada keluarganya?"
Aji mengangguk setuju. "Itu bisa jadi awal yang baik. Sekarang, apa kau dimana keluarganya?"
"Mana mungkin aku tahu!" selorohku dingin.
"Terus?" cemberut Aji.
Aku menghela napas panjang, melirik Reka yang mendadak muncul disaat Aji bertanya soal keluarga Reka.
"Kenapa sih kau hobi sekali muncul tiba-tiba begini?" dengkusku sebal.
Reka tertawa saja ikut duduk di sampingku.
"Reka di sini?" tanya Aji penasaran.
Aku hanya melirik samping kiriku saja.
"Kalau gitu, Reka, apa kau ingat tentang keluargamu?" tanya Aji semangat. "Um, minimal alamat rumahmu deh!"
Reka yang mendengarnya menatap diriku ingin tahu. Kenapa Aji bertanya seperti itu?"
" Tidak bisa langsung ke sekolahmu. Sekolahmu terlalu elite dan akses masuk sulit kalau tidak ada orang dalam."
Reka mengangguk tak peduli lalu terdiam memikirkan pertanyaan Aji itu.
"Ingat tidak?" tanyaku dingin.
Reka menggeleng dengan dahi berkerut tajam. Dia benar-benar tidak ingat apapun.
"Dia tidak ingat," kataku datar.
Aji bersandar bingung harus melakukan apa.
"Kalau begitu, bagaimana tempat kau muncul pertama kali? Tidak mungkin kau tidak ingat bukan?"
"Kalau itu sih aku ingat. Tentu saja di sekolahku. Emang di mana lagi."
Aku mengerut mengingat kembali pertemuan pertamaku dengan Reka. "Ah, ya, aku ingat kita bertemu saat aku lewat gedung sekolahmu saat memenuhi permintaan hantu lainnya."
"Jadi, haruskah ke gedung sekolah?" celetuk Aji.
"Kau kenal seseorang di sana?" tanyaku dingin.
Aji menggeleng polos.
Aku diam karena sudah buntu ide. Tak ada cara lain selain pergi ke sekolah Rek. Tapi sayangnya, dia tidak punya orang dalam.
"Bagaimana dengan saudaramu? Atau keluargamu Ly?" saran Aji. "Kalau keluargaku sih, tak ada kurasa. Lagian aku juga tidak terlalu dekat dengan para sepupuku."
Aku memandang Aji dingin, tapi memikirkan perkataannya. Benar juga kata Aji, aku meski tidak dekat dengan keluarga besar ibu dan ayahku, setidaknya aku tahu tentang sekolah dan pekerjaan mereka.
" Ah, aku ingat, sepupuku yang kuliah, kalau tidak salah pernah bersekolah di sana. Dia sudah lulus dua tahun lalu."
Aji menyeringai senang mengangguk semangat. "Kalau begitu tanya dia saja."