Suasana luar rumah masih gelap meski jam sudah menunjuk pukul 6 kurang. Selesai berbersih diri, aku langsung turun ke lantai pertama rumahku untuk menyiapkan sarapan.
Aku ingat, kalau malam tadi, aku tidak makan sama sekali. Dikarenakan energiku terkuras karena membantu Reka, aku juga malas untuk membuatnya. Terlebih orangtuaku tidak ada di rumah juga. Jadi, aku abaikan saja rasa laparku tadi malam.
Tak hayal, sekarang perutku keroncongan sekali. Sedikit sakit, tapi tak terlalu mengganggu.
"Shely?" sapa ibuku yang ada di dapur agak kaget melihatku.
Aku hanya tersenyum tipis menjawabnya.
"Tumben kau bangun pagi sekali!"
"Terbangun begitu saja," acuhku mengambil teh di rak dapur.
Ibuku hanya mendengkus menanggapiku.
"Ayah mana ma?"
"Masih tidur!"
Aku menuangkan air panas ke dalam cangkir minumanku, lalu menaruh teh hijau celup setelahnya.
"Mama kembali ke kamar dulu. Masih mengantuk. Kalau mau makan buat sendiri saja. Ok!"
Aku hanya mengangguk menatap ibuku yang perlahan menjauh menuju kamarnya.
"Aku selalu tak biasa dengan percakapan kakumu dengan orangtuamu itu Ly!" sinis Reka menopang dagu menatapku aneh.
Aku meliriknya dingin, tak memperdulikan Reka yang sibuk mengoceh mengomentari setiap tindakanku.
"Hei,setidaknya tanggapi kek," sebalnya. "Rasanya kek bicara dengan tembok. Susah sekali sih mengeluarkan kata saja!"
"Diamlah Darmawan!" sergahku dingin.
"Aish,menyebalkan sekali. Dasar gadis kulkas!!!"
Aku berdecak kecil, mengoleskan mentega ke roti tawar. Pagi ini, aku membuat roti isi telur saja sebagai sarapanku.
Tak lama, dua roti isi siap aku buat. Dengan santai aku membawanya ke meja makan dan menikmatinya di sana dengan segelas teh hijau tanpa gula kesukaanku.
"Sekolahmu dengan sekolahku," kataku membuka obrolan, "jaraknya cukup jauh. Aku terlalu malas untuk jalan kaki atau naik motor sekarang. Menurutmu, bagaimana? Haruskah aku pergi sepulang sekolah atau tunggu lusa?"
Reka yang melayang-layang tak tentu arah di sekitar dapurku langsung berhenti bergerak. Melayang santai mendekati dan duduk di atas meja dengan pose berpikir.
Aku mengerutkan dahi kecil, tak suka dengan sikap kurang ajar Reka, tapi malas untuk berdebat jadi aku hanya mendengkus sinis saja.
Reka tampak tidak peduli, dia mengelus dagunya memikirkan pertanyaanku. "Bagaimana kalau lusa saja?" katanya mengangguk ceria.
Aku setuju dengan pendapat Reka, sebab kalau aku lakukan lusa, waktu yang ada cukup panjang. Jadi, lebih cepat lebih baik menyelesaikan permintaan Reka.
Meskipun aku sudah menetralkan aura negatif Reka, itu tak membuat seratus persen Reka terhindar dari kemungkinan berubah menjadi roh jahat. Ada limit yang membatasinya. Semakin lama aku memenuhi keinginan Reka, maka kegagalan semakin besar.
Aku tidak mau, harus mengirim Reka ke alam selanjutnya dengan paksa. Dia harus pergi dengan tenang tanpa penyesalan. Selain itu, melawan roh jahat bukanlah ide bagus. Bukan aku takut, tapi resikonya cukup besar. Tubuhku akan menerima dampak yang cukup besar nantinya, mengingat aura negatif Reka yang sangat pekat itu.
"Nah, malah melamun lagi," sergah Reka menyentil dahiku sekilas.
"Darmawan!" ringisku menatap tajamnya. "Jangan memancing emosiku pagi-pagi begini!"
Reka berseloroh menggoda, langsung pergi melayang keluar dari rumah entah kemana.
Aku menggeretakkan gigi-gigiku menahan amarah. Tak baik emosian pagi-pagi. "Bocah itu, aku bersumpah akan mengulitinya."
***
Aku tahu kalau tadi malam aku menutup telepon kekasihku tanpa penjelasan yang jelas. Tetapi bukan berarti aku harus diabaikan begini. Mendesah pendek, aku mengusap sekilas kepala depanku, menunduk kecil, memikirkan apa yang harus aku lakukan. Hari masih pagi, jadi tak baik untuk bertengkar.
"Bocah, cemberut di pagi hari akan mengurangi ketampanamu," kataku dingin tanpa ekspresi.
Bocah, adalah nama panggilan sayangku pada kekasihku. Membujuk remaja tanggung itu memang tidak sulit, tapi aku terkadang malas untuk melakukannya. Buang-buang energi.
"Ck, bagaimana bisa kau mengatakan itu dengan wajah yang begitu datar tanpa ekspresi. Menyebalkan!"
Aku menaikkan ujung bibirku sedikit. "Masih marah?"
Kekasihku menghentikan laju kakinya, melipat tangannya dan ditaruh di dadanya menatap angkuh diriku yang melangkah perlahan mendekatinya.
"Lihat, ketampanamu berkurang 10% karena cemberut."
Aji semakin memanyunkan bibirnya dengan ekspresi sebal. "Tidak ada penjelasan?"
Aku mengambil lengan Aji, menggandengnya masuk ke dalam sekolah. Tak peduli pada anak-anak lain yang melihat. Toh, sekolahku tidak terlalu ketat soal aturan berpacaran di sekolah.
"Shely," rengeknya sebal.
"Penjelasan apa yang kau mau?" tanyaku balik menatap lurus koridor sekolah.
Aji mendesah panjang, melirik wajah dinginku. Tampaknya dia mengerti maksud dari pertanyaanku itu.
Dari sekian banyak orang yang mengetahui kemampuanku melihat makhluk astral, hanya Aji satu-satunya yang percaya padaku tanpa harus aku meyakinkannya. Kepercayaan Aji itu, adalah salah satu dari banyak hal yang membuatku mencintainya.
"Apa permintaan hantu Reka itu?" tanyanya pelan.
Aku berhenti seketika saat berada di depan tangga naik ke lantai dua gedung sekolahku. Menarik napas pendek, lalu melanjutkan kembali langkahku. Aji masih mengoceh entah apa itu, tak aku dengar karena hantu lelaki yang mengikuti, si Reka menimpanya dengan komentar tak pentingnya.
"Kekasihmu itu sangat unik ya Shel," komentar Reka yang berada tepat di sampingku. "Hanya dengan pernyataan ambigumu, dia langsung tahu!"
Aku melirik Reka sekilas tak menjawabnya. Pendengaranku terbagi dua.
"... pokoknya jangan lakukan semuanya sendiri. Kau harus melibatkan aku. Mengerti nona es!" oceh Aji panjang lebar yang nyaris tak aku dengar.
"Kali ini mungkin bahaya," jawabku setelah aku diam sedikit lama.
Aji cemberut mengernyitkan dahinya tak suka. "Aku tidak peduli. Pokoknya aku harus ikut."
"Aji..." peringatku dingin.
Aji menghentikan langkah kakinya, enggan untuk naik. Berdiam dengan mata berkilat tegas dan kekeraskepalaan yang akrab bagiku. Kalau sudah begitu, aku pasti mengiyakannya.
Namun, permintaan Reka memang sedikit beresiko tinggi. Meninggalnya Reka yang di bunuh, serta aura negatif yang pekat, sudah pasti dendam Reka pada orang yang menyakitinya sangat besar sekali.
"Tidak peduli. Shely, please, jangan tinggalkan aku. Aku juga khawatir padamu!"
Aku diam, menarik Aji untuk melanjutkan perjalanan kembali ke ruang kelas yang berada di lantai 4 gedung sekolahku. Kami tidak sekali, tapi kelas kami bersebelahan. Aku berada di IPA 1 sedangkan Aji di IPA 2.
Aji mengerang kesal karena tidak aku tanggapi. Dia benar-benar ingin membantu.
Aku tengah memikirkan apakah bagus mengajak Aji atau tidak. Jadi, aku sedikit acuh dengan erangan protes Aji.
Ketika aku sudah memutuskan dan ingin mengatakannya pada Aji, tiba-tiba, jantungku berdetak kaget karena aura seram yang aku rasa. Refleks aku menoleh ke kiri dan mendapati Reka yang meremas kepalanya tampak kesakitan.
"Darmawan!" seruku kaget sembari menjangkau Reka, tapi gagal karena tubuh Reka melayang lebih tinggi.
Aji juga terkejut, untungnya di lantai 4 ini sedang tidak ada orang, jadi, takkan ada yang menatap kekasihnya aneh.
Mataku membilas ngeri melihat suara hitam yang menyelimuti Reka, meski tidak tebal, tapi itu berbahaya sekali bagi hantu-hantu kecil di sekitarnya.
"Daramwan!" teriakku memperingati.
Reka tidak mendengar, aura hitam penuh energi negatif itu semakin tebal.
"Shit, Reka, turun sekarang!" benakku marah.
Reka tetap tidak mendengarnya.
Aku menggema kesal, melirik sekitar mencari cara untuk menarik perhatian Reka. "Aji, angkat aku, cepat!"
Aji tersentak kecil, tapi langsung menuruti tanpa bertanya lagi. Dia mengangkat tubuhku dengan menahannya di pinggangku.
Untungnya aku bisa menyentuh kaku Reka da aku langsung menariknya ke bawah agar aku bisa menyentuh tangan Reka untuk menetralkan aura negatifnya.
Tanpa ada jeda, aku menyuruh Aji melepaskan aku dan aku langsung mencengkeram pergelangan tangan Reka. Seketika, aku langsung menyerap energi negatif itu.
Dahiku mengerut tajam, merasakan rasa sakit yang menusuk setiap tulang-tulangku. Energi Reka terasa sangat berbahaya sekali. Dendamnya begitu dalam sekali.
Aku berkedip sekali menstabilkan napasku yang terengah dan sedikit sesak. Wajahku berbuah pucat karena penstabilan dua energi berlawanan itu.
Tak lama, Reka pun berangsur sadar dan perlahan, energi negatifnya menghilang.
"She-Shely..." lirihnya putus asa.
Ekspresinya kosong dan menyakitkan. Tampaknya dia mulai mengingat masa lalu yang dia lupakan itu dan juga, bukanlah hal bagai menilai dari emosinya yang putus asa itu.
Ledakan energi negatif yang aku serap kali ini, membuat tubuhku sakit dan ada gejolak aneh dari perutku. Rasanya mual dan ingin memuntahkannya. Tanpa di duga sama sekali aku memuntahkan darah segar.
Huueekk....