Seharusnya aku sudah menduganya, kalau hal seperti ini bakal terjadi. Tapi, aku mengabaikan rasa tidak nyaman itu karena tingkah Darmawan yang biasa saja bagiku. Dia bersikap layaknya hantu yang tak memiliki dendam. Lelaki itu sangat ceria, suka menggodaku, dan juga memiliki hati baik karena senang sekali membantu.
Sungguh, aku tak menyangka kalau pada akhirnya, dia mati karena di bunuh dan sekarang, aura negatif itu perlahan melahap aura positifnya. Aku pikir, kenapa Darmawan sangat tenang bukanlah karena kematiannya yang bagus namun dia memang orang baik. Karma baik itu menutupi aura jahatnya.
"Shely, aku tidak mau seperti ini. Aku tidak nyaman!" serunya menggeleng keras dengan tubuh gemetar.
Aku melangkah maju, menatap dingin Darmawan. "Dengar Darmawan, seperti kataku tadi, kau harus mengucapkan permintaanmu!"
Darmawan terdiam, menatap aku dengan raut wajah putus asa. Perlahan namun pasti, aura negatif itu mulai terasa sangat berbahaya. Raut wajah pucat nan polos itu, mulai berubah dingin dan jahat.
"Darmawan!" teriakku marah. Aku menoleh menatap para hantu yang menggigil takut, mendesah pendek. "Kalian, pergilah ke kamarku. Jangan berada di sini. Dia mulai berubah! Berbahaya!!!"
Keenam hantu itu mengangguk mengerti dan tanpa menjawab, mereka langsung melayang pergi menuju kamarku yang da di lantai dua rumahku.
Aku menghela napas kasar, berkedip sekali, mendekat perlahan. "Darmawan, dengarkan aku, sebelum aura negatif itu memakan pikiranmu, kau harus segera mengucapkan permintaanmu!"
Darmawan menatap tangannya, dia memang merasa pikirannya mulai tidak bisa dia kendalikan. Rasa haus darah yang menyakitkan, sangat tak tertahankan sekali. Dia takut kalau bakalan menjadi sesuatu hal yang bakalan dia sesali nantinya.
"Astaga, Darmawan!" ujarku kesal. "Aku tak mau harus mengirimmu dengan paksa." Meski malas mengakui, aku tidak mau Darmawan ke akhirat sebagai roh jahat. Bocah remaja itu, terlalu baik untuk berubah menjadi sesuatu hal yang mengerikan.
Darmawan masih bergeming tampak bingung.
Aku mengerut tajam, mengepalkan tanganku. "Kata..."
"Shely," selanya lemah menatapku sedih.
Aku diam dengan wajah dinginku, tapi hatiku terasa sakit melihat ekspresi itu. Seberapa putus asanya Darmawan.
"Kau bilang aku di bunuh, bukan?"
Aku tak menjawab, hanya memandang mata hitam itu dengan sendu.
Darmawan tersenyum miris, menghela napas mantap, matanya berkedip beberapa kali untuk mempertahankan kesadarannya yang mulai hilang di telan kegelapan.
"Temukan pembunuhku dan hukum mereka serta ucapkan selamat tinggal pada keluargaku jika sudah selesai."
Aku memejamkan mataku, menarik napas panjang, lalu membuka mataku setelah menghembuskan napas panjang itu. Aku melangkah mendekat, menjulurkan kepalan tanganku untuk beradu tinju dengannya.
Darmawan sedikit bingung tapi menerima aduan tinju itu dengan mantap.
"Aku tidak janji," ucapku dingin. Sebuah kalimat yang akan aku ucapkan ketika menerima permintaan dari para hantu.
Seketika, setelah aku mengatakan kalimat persetujuan atas permintaan Darmawan, aura positifku melahap habis aura negatif Darmawan. Aura yang aku punya itu, menghentikan Darmawan berubah menjadi roh jahat.
Salah satu dari kelebihan yang aku miliki setelah terbangun dari koma. Aku memiliki aura positif yang jauh lebih banyak dari kebanyakan orang dan mampu menetralkan aura para hantu yang akan berubah menjadi roh jahat.
"Wow, Shely, kau..." Darmawan terkejut tidak bisa berkata-kata. Terlalu takjub dengan apa yang terjadi.
Aku berkedip cepat dan langsung jatuh terduduk karena kelelahan. Aura negatif Darmawan sangat besar. Ini menandakan betapa mengerikannya dendam yang dimiliki sang hantu. Wajahku pucat pasi, dengan keringat mengalir deras.
"Eh, Shely..." seru Darmawan menghampiri. "Kau tidak apa-apa?"
Aku menatap Darmawan aneh, menggeleng sekali. "Bagaimana bisa kau kehilangan ingatanmu?" kataku datar. "Seharusnya dengan aura negatif yang begitu pekatnya, kau sudah lama menjadi roh jahat!"
Darmawan cemberut mengangkat bahunya sekilas, "Mana aku tahu. Kalau aku tahu, tidak mungkin aku berkeliaran sangat lama begini."
"Um, kau benar. Berharap saja kematianmu tidaklah lama."
"Kenapa?"
Aku mengerut dingin, menatapnya dengan kilat mata 'apa kau bercanda?' . Pertanyaan yang dilemparkan Darmawan membuatku ingin memukul kepalanya. Tentu saja, akan membutuhkan waktu lama kalau kematiannya sudah lebih dari dua tahun lamanya.
"Apa?" sinis Darmawan karena ditatap aneh begitu.
Aku menggeleng, terlalu malas untuk menjelaskannya, lalu beranjak berdiri. Rasa lelahku membuatku ingin segera tidur. Aku butuh mengisi tenaga sebelum memenuhi permintaan Darmawan karena aku tahu, penyelesaian permintaan ini akan lama dan menguras energiku.
"Ng, kau tidak apa-apa kan?"
"Berhentilah bertanya dengan pertanyaan bodoh!" sungutku mengusap peluh di dahiku. "Kau, bantu aku berjalan!"
Darmawan dengan sigap menahan tubuhku yang oleng setelah berdiri. Benar-benar aura negatif yang pekat sekali. Seberapa dendamkah Darmawan pada orang yang telah membunuhnya? Aku berharap ini tidak akan menjadi masalah yang berat untukku.
Aku melirik sang hantu dengan kasihan, lalu berjalan perlahan naik ke lantai dua di mana kamarku berada. Nanti saja berpikirnya, aku sudah mengantuk dan ingin segera beristirahat.
"Ne, Shely," kata Darmawan ragu.
Aku hanya melirik dingin saja. Terlalu lelah untuk menjawab.
Darmawan cemberut kesal. "Kenapa sih kau selalu memanggilku Darmawan? Kan namaku Reka." Sejak awal dia ingin bertanya begitu, tapi selalu lupa, dia heran kenapa temannya itu selalu memanggil nama belakangnya.
Aku mengejek dingin, "Apa kita dekat?"
Darmawan mendengkus sebal, memberikan tatapan tajam padaku. "Menyebalkan!"
Aku tak menanggapi lagi. Mau bagaimana lagi, kebiasaan dari kecil yang membuatku selalu memanggil nama belakang orang kalau aku tidak dekat atau orang yang baru aku kenal.
Setelah sampai di depan pintu kamarku, aku langsung masuk dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang kamarku. Sekilas aku melihat para hantu penunggu rumahku sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Darmawan yang telah kembali seperti semula, langsung meminta maaf pada bocah yang hampir dia makan dan tak butuh waktu lama, Darmawan kembali akrab dengan mereka.
"Jangan mengangguku! Aku lelah!"
***
Pengisian energiku benar-benar membuatku tidak sadar kalau aku telah tidur hingga subuh menjelang. Aura negatif yang aku terima dari Darmawan terlalu banyak. Ini adalah pertama kali aku mengalaminya.
Aku memijit pelipisku karena kepalaku agak berdenyut sakit saat aku bangun tidur. Duduk di atas ranjang, aku melihat sekeliling kamarku. Tak ada siapapun, entah pergi kemana para hantu tersebut.
Mendesah malas, aku merengangkan tubuhku, menguap sekilas lalu beranjak bangun. Tidak ada gunanya untuk tidur lagi, aku sudah terlalu lama tidur.
Mata cokelat gelapku melirik jam di dinding yang menunjuk pukul 5 pagi. Hari di luar masih gelap, sayup-sayup aku mendengar suara orang mengaji. Rumahku dekat dengan masjid jadi tak hayal suara tersebut terdengar, meski hanya samar-samar saja.
"Oh, aku lupa menutup jendela rupanya," gumanku dingin ketika melihat jendela dan pintu balkon yang masih terbuka lebar.
Tak mau mempermasalahkan itu, aku langsung mandi dan berbersih diri. Meski dingin, tapi menundanya lebih lama akan membuatku malas untuk mandi nantinya.
"Pagi Shely," sapa Darmawan muncul tepat di belakangku yang sedang duduk menyisir rambutku.
Aku tak menjawab hanya fokus pada kegiatan menyisirku.
Darmawan atau Reka memutar matanya malas, melayang ke kanan kiriku dengan ocehan tidak bergunanya.
"Berhenti mengangguku!"
"Tidak mau!!"
Aku berbalik menatap tajam Reka, "Ada apa? Katakan saja apa maumu?"
Reka tersenyum lebar, mengangguk antusias. "Aku ingat sesuatu tadi malam Ly."
Aku mengangkat alis menjawabnya.
"Usiaku. Aku ingat kalau aku baru 17 tahun," katanya bangga.
Aku mengedip malas, pernyataan Reka bukanlah hal yang spesial bagiku. Bukan sebuah petunjuk yang berharga, tapi demi menyenangkan Reka, aku memilih untuk ikut bahagia saja.
"Itu berarti aku lebih tua satu tahu darimu. Ayo panggil aku kakak!"
Tidak, seharusnya aku tidak perlu sok senang dengan pencapaian murahan Reka kalau ujung-ujungnya membuatku kesal.
"Ayo panggil kakak!"
"Pergi!"
"Ayo Shely, ya, ya, ya..."
"Diamlah, sebelum aku menghajarmu!" ketusku datar.
Reka mencebil sebal, "Kau tidak asyik sekali!"
"Pergi!!!"
Reka tertawa senang, lalu menghilang dalam sekejap. Tampak puas karena sudah memancing emosiku.
"Cih, bocah itu," sinisku berbalik menatap cermin. "Jika dia bertemu dengan Aji, aku rasa mereka akan menjadi teman baik! Sangat serasi saat memancing emosiku!"