Chereads / A Story in A New World! / Chapter 17 - Bab 6: Singgasana Faore (2)

Chapter 17 - Bab 6: Singgasana Faore (2)

Pagi harinya kami berangkat untuk mengalahkan naga dan para fanatik di pulau ini. Para warga Kota Singgasana Faore mengantarkan kepergian kami. Atmaja bisa bernapas lega karena semalaman dia berhasil mereformasi para penjaga Faore.

Kepuasan terlihat di wajahnya dan dia dengan bangga menceritakan kepada kami bagaimana dia mengubah para penjaga Faore hanya dengan semalaman. Kami hanya mendengarkannya dan melanjutkan perjalanan.

Perjalanan menuju bukit sangatlah mulus dan tidak ada gangguan. Namun di kaki bukit kini kami dihadang oleh puluhan fanatik. Tempat ini juga sudah dipasangi tembok dan gerbang kayu yang mengelilingi bukit. Satu-satunya jalan naik ke bukit hanya melalui gerbang yang kini dijaga oleh puluhan orang.

"Ini hanya kroco kan? Tidak seperti waktu kita ikut Majagada kan?" Kuti menembakkan panahnya ke atas dan menggunakan kemampuannya.

Hujan panah menghantam dan menusuk mereka. Mereka pun tumbang dan bangkit lagi. Aku sedikit terkejut, mereka mayat hidup? Kuti menembakkan panahnya sekali lagi dan mengalahkan mereka lagi. Kali ini mereka menghilang dan lenyap menjadi tanah.

"Kloning?" tanya Kuti padaku.

"Sepertinya iya. Bakal sedikit susah kita nanti kalau melawan fanatik ini." jawabku. "Harus dicari siapa yang menciptakan kloning ini."

Dari semak-semak muncul seorang gadis kecil bermata putih. "Tolong aku! Aku dikejar oleh segerombolan fanatik!"

Atmaja dengan refleks tingginya dia melompat dan melindungi gadis tersebut. Ditusuknya dua kali empat orang yang mengejar gadis tersebut. Fanatik yang mengejarnya menjadi tanah.

"Adik kecil kamu kenapa bisa berada di tempat berbahaya seperti ini?" tanya Romanova.

"Kakakku ditangkap oleh Fanatik di sebelah hutan sana! Aku minta tolong selamatkan dia!" jawab gadis kecil itu.

Aku merasa ada yang tidak beres. Gadis kecil ini sendirian di luar dan tiba-tiba meminta tolong kami? Atmaja dan Romanova mengurus gadis kecil itu. Kuti juga berpikiran sama denganku. Kami memutuskan untuk berunding dahulu.

"Ja-jadi menurutku ini mencurigakan. Kamu lihat gadis kecil sendirian berkeliaran di tengah hutan? Tidak masuk akal sama sekali. Apalagi dia berpikiran untuk menyelamatkan kakaknya." Kataku memulai perundingan.

"Hei, dia anak kecil minta pertolongan tahu. Siapa tahu yang dia ucapkan benar," kata Atmaja. "Utusan dewa masa tidak ingin menolong anak kecil sih?"

"Yaudah. Kita tolong anak kecil ini." kata Kuti.

Atmaja meminta anak kecil tadi menunjukkan jalan. Kami memasuki jalan setapak di dalam hutan yang entah menuju ke mana. Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa menurunkan kewaspadaanku. Karena terlalu aneh apa yang dilakukan kakak beradik di dalam hutan?

Hingga kami pun sampai di tengah hutan, ada tempat terbuka sedikit dengan beberapa kemah di dalamnya. Ada bekas darah baru di sana, kami berempat memeriksa bekas perkemahan ini. Atmaja memanggil gadis kecil itu, "Di mana kakakmu?"

Gadis kecil itu tersenyum dan mundur beberapa langkah. "Di sini."

Gadis kecil itu terbang dan memberi aba-aba. Dari dalam semak belukar muncul puluhan fanatik dan mulai mengepung kami. Dugaanku benar, Atmaja tampak panik dan gugup.

"Aku benar kan?" aku bersiap bertarung.

Dari dalam tanah muncul akar dan melilit kaki dan tanganku. Seorang pria muncul dari dalam tanah dan berdiri di belakangku. "Turunkan senjata kalian. Kami hanya perlu orang ini saja."

Dia menempelkan pedang pada leherku. Heh, coba saja menebas leherku, yang terputus adalah lehermu. Kuti sedikit enggan menurunkan senjatanya dan tetap mengincar panahnya ke pria di belakangku.

"Hati-hati Thomas, dia bisa membisukan kemampuan khusus kita." Ujar Kuti padaku dan menurunkan senjatanya.

Pria tersebut tersenyum dan bersiul, memberikan instruksi kepada semua fanatik dan gadis kecil yang menjebak kami untuk mundur. "Kamu ikut kami yak. Dewa kami ingin bertemu denganmu."

Aku ditariknya masuk ke dalam tanah, pandanganku gelap dan aku perlahan kehilangan kesadaran. Begitu aku membuka mataku lagi, kini aku berada di dalam sebuah penjara. Kedua tanganku dirantai ke dinding dan semua peralatanku tidak ada padaku. Hanya celana kolor saja yang aku pakai.

"Aku di m-mana?" tanyaku.

Aku tidak mendengarkan jawaban satupun, hanya suaraku yang menggema. Terdengar juga suara deburan ombak. Lalu aku sadari air perlahan naik dari dalam penjara dan meninggi hingga setinggi dadaku.

"AKH!" Aku mencoba untuk keluar.

Hampir 2 jam aku terjebak di dalam penjara air ini dan tidak ada tanda-tanda kalau air mau surut. Tapi malah semakin meninggi hingga ke leherku dan aku merasa kedinginan. Tapi untungnya berikutnya airnya surut drastis.

Tubuhku menggigil, kesadaranku mulai habis lagi. Hingga semua pukulan menyadarkanku lagi. Aku tatap siapa yang memukulku, gadis kecil yang menjebak kami kini berada di hadapanku. Gadis kecil tersebut membawakan sebuah roti dan daging.

"Waktunya makan." Katanya dan menyuruhku untuk membuka mulut. Begitu aku membuka mulutku, dijejalkannya roti dan daging itu ke dalam mulutku. "Habiskan!"

Aku tersedak dan dia memukulku lagi. Gadis tersebut mengambil teko air dan mengguyurnya ke dalam mulutku dengan paksa.

"Apa yang kamu lakukan? Bukannya Dewa menyuruhmu memperlakukannya dengan baik. Dia alat negoisasi Dewa kita dengan Dewa 999 tahu." Suara seorang pria dewasa terdengar.

"Aku hanya mengetes mainan baruku." Jawab gadis kecil itu. "Bagaimana rasanya terpenjara dengan air setinggi leher?"

"Buruk se-sekali." Jawabku.

"Oh kamu gagap." Gadis tersebut menendang perutku.

"He-hentikan." Pintaku.

"Tanamkan di kepalamu kalimat ini. Aku cinta Theodora." Jawab gadis kecil itu. "Jangan melawan dan jangan memberontak. Kalau kamu melawan terus kamu tidak akan siap bertemu dewaku."

"Airnya mau naik lagi. Ayo pergi. Sampai jumpa besok mainanku." Gadis kecil itu mengecup leherku.

Mereka berdua pergi meninggalkanku lagi. Hawa dingin mulai menyerang dan air perlahan mulai naik lagi. Ah sial, apa-apaan ini. Kemampuan khususku tidak bisa aku gunakan karena terkena efek bisu dari pria itu dan rantai yang mengikatku ini.

Air mulai meninggi hingga setinggi leherku. Aku tidak bisa tertidur dan beristirahat. Aku pasrah dan memejamkan mataku hanya berharap kalau ini sudah berakhir. Begitu aku tersadar lagi kini aku berada di dalam sebuah rumah. Jendelanya terpalang besi dan perapian yang menyala.

Secara langsung aku mendekati perapian itu untuk menghangatkan diri. Tapi gadis kecil itu muncul lagi dari belakangku. "Tiga hari dan tidak mati, rekor baru."

"T-terima kasih." Balasku. "To-tolong hentikan siksaan ini. Apa yang kalian inginkan?"

"Kamu pikirkan sendiri." Gadis tersebut duduk di punggungku. "Aku melihat mangsa yang bagus. Juga sedang menghitung berapa lama hingga dia sadar kalau utusannya hilang."