Chereads / A Story in A New World! / Chapter 22 - Bab 1: Pendirian

Chapter 22 - Bab 1: Pendirian

Jembatan sementara sudah terbangun. Raja Majagada dan beberapa pengikutnya mendekati kuil. Mereka mengambil Indarto dariku dan menawannya. "Untuk eksekusi publik."

Raja Majagada kemudian terpana melihat pohon suci ini. "Apakah kuil masih terbuka? Saya ingin berdoa langsung di pusat kelahiran Dewa 999."

"Kuil masih terbuka asalkan kalian tidak merusuh." Balas Kuti. "Mohon maaf kalau agak kotor Yang Mulia. Mereka baru saja merusuh di dalam kuil."

Kemudian terdengar suara dari dalam kuil. "Hanya Raja Majagada dan utusan dewaku yang boleh masuk. Sisanya tunggu di luar."

Kami bertiga memasuki kuil. Di sana Maria menampakkan dirinya di atas altar. Raja Majagada bersujudan begitu melihat Dewa 999, mengenakan topeng khasnya Maria menerima sujud dari Raja Majagada.

"Terima kasih karena sudah memurnikan ajaranku." Kata Maria. "Sekarang lanjutkanlah untuk merebut wilayahku yang diambil oleh Ordo Kesatria. Bangunlah Kerajaan Majagada Suci dengan beribukota di sini."

"Baik." jawab Raja Majagada.

Aku mendekat kepada Raja Majagada dan memberinya pedang suci kepadanya. "Ini adalah pusaka kerajaanmu. Hanya keturunanmu yang akan bisa mengeluarkan potensinya. Pimpin rakyatmu menuju keemasan dan menuju masa sejahtera. Utusan dewaku akan melantikmu, tetapi soal kekuasaan kamu di atas mereka. Serta tetaplah ingat hanya aku yang berhak melantik utusan dewa."

Raja Majagada menerimanya dan berdiri. Dewa 999 sudah menghilang dari pandangan Raja Majagada dan kami. Kemudian dia keluar dari kuil dan mengangkat pedang sucinya ke atas. "Mulai hari ini, aku dirikan Kerajaan Majagada Suci!"

Sorakan para prajurit Majagada terdengar. Aku berinisiatif untuk memberikan selamat kepada Raja Majagada. "Selamat Yang Mulia. Setelah ini apa yang akan Anda lakukan?"

"Mengkonsolidasikan pengaruh Majagada pastinya. Pusat pemerintahan akan aku pindah ke sini. Aku akan mengutus surat ke daerah Ordo Kesatria lainnya untuk menyerah dan mengirimkan utusan penyerahan kekuasaan." Jawab Raja Majagada.

Kemudian beliau menatap tajam padaku. "Aku juga perlu dirimu. Seperti yang kamu ketahui darah orang suci selalu mengalir ke dalam keturunan raja-raja terdahulu Majagada. Ibuku merupakan putri Majagada yang menikah dengan pria suci utusan terdahulu."

"Jadi, aku ingin kamu menikahi putriku." Raja Majagada menepuk pundakku.

"Ha?" aku terkejut.

"Kamu tidak punya hak untuk melawan juga. Selama otoritasku sebagai Raja dari kerajaan suci lebih tinggi darimu." Raja Majagada tersenyum.

"Ta-tapi... ." Aku mundur beberapa langkah. "Saya sudah punya Kuti."

"Beristri lebih dari satu itu wajar." Raja Majagada mendekat. "Putriku juga sangat cantik sekali. Sayang sekali bila kamu tidak mau menerimanya."

"Aku menolaknya Yang Mulia." Kuti muncul dari kamuflasenya dan mendekatiku.

"Hmmm, bagaimana bila aku tambahi posisi bangsawan bagi kedua orang tua kalian?" tanya Raja Majagada.

"Emm, bagaimana kami mengatakannya Yang Mulia. Kami mendapat mandat dari Dewa 999 untuk ke negeri seberang dan menjemput teman kami yang tersesat. Jadi Thomas harus ikut kami dan tidak bisa menetap tinggal." kata Kuti.

"Kalau begitu bertunangan saja." Raja Majagada tetap memaksa. "Setelah itu kalian berdua bebas untuk pergi menunaikan tugas kalian sebagai utusan dewa."

"Atau aku akan menggunakan kekerasan." Raja Majagada mengancam.

Mata Kuti melirikku memintaku untuk mendukungnya. Aku melihat para pasukan pengawal Raja Majagada mulai mendekat. "Baik Yang Mulia, saya terima tawarannya. Bukan hanya bertunangan saja. Langsung menikah tidak apa-apa. Selepasnya saya akan berkelana dan akan kembali bila Putri Anda hamil anak saya."

Kuti nampak terkejut mendengar jawabanku. Muka marahnya terlihat jelas, aku mendekatinya dan memegang tangannya. "Akan aku jelaskan malam nanti."

Raja Majagada tersenyum puas dan mengajakku pergi. Kami meninggalkan area kuil suci dan menuju ke markas ordo kesatria yang kini telah disulap menjadi hunian bagi Raja Majagada. "Selama tempat ini dalam perbaikan. Aku akan mengirim rombonganmu ke ibukota yang lama. Bawa suratku ini dan tunjukkan kepada putriku di Dunsestra."

"Baik." jawabku. "Saya juga diminta menyampaikan pesan khusus dari Dewa 999. Bahwa warga yang menyembah Dewa 111 tidak akan dipersekusi dan mendapatkan perlakuan yang setara dengan umat Dewa 999."

"Itu saja? Kurasa tidak akan berbahaya membiarkan pengikut dewa cinta dan hawa nafsu untuk tetap ada." Raja Majagada membalas. "Baik akan aku laksanakan. Kamu boleh pulang dan terima kasih telah menerima tawaranku."

Aku pamit undur diri dari gedung ini. Di luar para warga Ludanes yang selamat dipaksa untuk memperbaiki ulang kota mereka sendiri. Para prajurit mengawasi mereka dengan serius. Secara tidak sengaja mataku melihat Atmaja yang sedang berbicara dengan kapten prajurit Majagada yang sedang menghitung tawanan.

"H-hai." Sapaku pada Atmaja.

"Halo, kenapa gagap lagi? Kita berteman sekarang." Tanya Atmaja. "Kuti sedang marah besar. Kurasa kamu harus segera pulang. Pakai sepedaku sana."

"Oke, te-terima kasih atas informasinya. Ah! Aku lupa kalau besok kita akan berangkat ke Densestra. Akan kuberi tahu detailnya nanti malam." Balasku dan menunggangi sepeda milik Atmaja.

Kukayuh sepeda itu dengan cepat menuju kuil. Terlihat Kuti menungguku di depan kuil suci. Aku menghampirinya dan mengajaknya masuk ke dalam. "A-ada pertanyaan?"

"Banyak, kamu dulu yang harusnya mulai cerita." Kata Kuti.

"Maafkan aku," aku memeluk Kuti. "Kita tidak punya pilihan lain."

"Ya aku tahu. Tapi aku tetap marah mengetahui kalau kamu akan menikah dengan orang lain." Kata Kuti.

Aku teringat akan cincin artefak yang aku temukan di Pulau Faore. Aku berlari ke lantai dua dan mengambilnya dari dalam laci. Kemudian turun ke bawah menemui Kuti lagi. Cincin artefak dari permata merah itu aku berikan kepadanya.

Aku berlutut di hadapannya, "Supa-supaya kamu tidak merasa nomer dua. Ini aku lamar duluan." 

Raut muka Kuti menjadi tenang dan tersenyum. Dia menerimanya dan membantuku memasangnya ke jari manisnya. Kemudian aku menggendongnya ke atas dan meletakkannya di kasur kami.

"Terima kasih." Bisik Kuti. "Sebelum itu mari kita memasak makanan dahulu. Aku belum memasak makan malam. Kita juga belum mandi."

"Cukup ciuman saja dulu ya." Kuti mencium mulutku dengan mesra. Setelah itu bergegas ke dapur. "Tolong isikan air ke bejana untuk air hangat buat mandi. Lalu jangan lupa bangunkan Romanova di kamarnya."

"Ya, akan kulakukan." Aku turun ke lantai 1 sambil membawa ember. Kemudian menuju sumur di bawah pohon suci. Pemandangan di Ludanes sedikit berbeda, api sudah dipadamkan. Para warga yang menolak Majagada disuruh bekerja paksa memperbaiki kota.