Pagi harinya kami bersiap-siap, perbekalan kami sudah berada di dalam tas kami. Atmaja membantuku membawa perbekalan kami ke karavan kuda kami. Romanova dan Kuti sudah menunggu di luar.
Dari kejauhan aku melihat Raja Majagada datang ke dekat karavan kuda kami. Ditangan kanan dan kirinya memegang tali kekang kuda kami. "Ah sudah bersiap-siap mau berangkat rupanya."
"Ada apa Y-yang Mulia?" tanyaku sesusai menaikkan perbekalan ke karavan.
"Kuda khusus kalian sudah siap." Jawab Raja Majagada. "Semoga perjalanan kalian menyenangkan. Karena sekarang setiap daerah sudah aman. Prajurit Patroli Majagada sudah menyatroni semua markas bandit dan mengajak mereka untuk kembali menyembah Dewa 999."
"Jangan takut bila kerampok bandit." Tambahnya.
"Terima kasih Yang Mulia atas kuda yang bagus dan sehat ini." kata Kuti.
"K-kira-kira berapa lama perjalanannya?" tanyaku.
"Tiga bulan via jalur darat lewat dataran tinggi. Dua bulan bila kalian nanti menggunakan jalur selatan." Jawab Raja Majagada.
"Anda akan aman kan di sini Yang Mulia?" tanya Atmaja.
"Soal apa?" tanya Raja Majagada.
"Kon-konsolidasi kekuasaan. Ba-bagaimana bila nanti kami pergi. Ordo Kesatria bersatu dan menyerang Ludanes? Apalagi k-kondisi pasukan Anda sedang kelelahan." Jawabku.
"Mmmm... . Ada benarnya juga. Kalian jangan berangkat dahulu. Aku akan membahas hal ini dengan para penasihat dan jendralku." Kata Raja Majagada dan pergi.
Setelah pria tua itu hilang barulah kami bisa mengungkapkan kekesalan kami. Atmaja yang terlanjur bersemangat untuk berkelana. "Mau menghabiskan pagi hari untuk latihan? Terutama bagi Thomas."
"A-ayo." Balasku. "Aku ingin b-bisa menguasai banyak senjata."
Atmaja terlihat bersemangat. Kuti menepuk pundakku dan memberikan ciuman di pipiku. "Semangat. Aku dan Romanova akan tinggal di sini. Akan kuberitahu bila Raja Majagada sudah kembali."
"Ya." Jawabku. "L-latihan di mana Atmaja?"
"Untuk pemanasan. Kita akan berlari menuju ke area latihan ordo kesatria." Atmaja berkata dan mengambil posisi untuk berlari. "Yang terakhir sampai ke sana harus push-up 100 kali!"
Atmaja langsung tancap gas dan meninggalkanku. Dengan segera aku berlari untuk segera mengejarnya. Begitu kami sampai ternyata tempat itu kini jadi kamp tawanan perang. Atmaja menoleh kepada mantan rekan-rekannya dan mantan Grandmasternya.
"Kau Atmaja! Kamu pengkhianat!" ujar seorang kesatria.
"Tidak. Aku memilih jalan yang benar dan menjadi pengawal bagi orang suci." Balas Atmaja.
"Atmaja! Kamu wakilku dan kamu membelot!" teriak Indarto. "Kamu juga orang suci memihak kepada musuh!"
Seorang prajurit majagada yang menjaga tawanan mendekati Indarto dan menendang kepalanya. "Hei kamu tidak boleh menghina orang suci. Tahu tempatmu sekarang!"
"Hei bisakah aku memukulnya?" tanya Atmaja. "Dari dulu aku ingin melakukannya."
"Silakan." Jawab prajurit itu.
Atmaja dan aku mendekatinya. Hal yang terjadi berikutnya, Atmaja melampiaskan kekesalannya selama ini. Dia memukul dan menampar mantan atasannya tersebut berkali-kali sembari mengatakan perbuatan buruk Indarto.
"Personal y-ya." Kataku.
"Tentunya." Jawab Atmaja.
Indarto terlihat lemas setelah dipukuli berkali-kali. Pria tersebut dibawa pergi oleh para prajurit. Kemudian kami berdua berpamitan kepada para prajurit yang berjaga. Hingga seorang utusan raja datang kepadaku dan menyuruhku menghadap raja.
Atmaja berpisah denganku karena dia tidak ikut dipanggil. Setelah berjalan selama lima belas menitan. Aku akhirnya sampai di depan kediaman raja sementara di sini. Di luar tampak banyak kuda-kuda kesatria yang parkir.
Kubuka pintu guild dan mendapati Kuti sedang berdebat dengan raja. "A-ada apa? Ken-kenapa kamu marah-marah begitu?"
"Thomas awas!" seru Kuti.
Seorang kesatria menahanku dari belakangnya. Dia masih memakai baju zirah. Tangannya merangkul leherku. "Jadi ini yang akan menikah denganku?"
"Maaf sekali, kalau begitu dia akan aku bawa pulang ke ibukota lama."
Kuti melemparkan sebuah pisau ke arah kesatria yang menahanku. Raja Majagada menahan tangannya dan pisau tersebut meleset. "Tangkap Nona Kuti karena berusaha mencelakai putriku."
Raja Majagada tersenyum, "Kita hanya perlu orang suci laki-laki saja. Jika kamu tidak melepaskan Thomas. Maka aku akan mengucilkanmu atau orang tuamu akan aku penjara."
"Tidak akan bisa." Kuti menghilang menggunakan kamuflasenya.
"Hen-hentikan! Ada apa ini?" tanyaku.
"Kamu diam saja. Kehendak Dewa menginginkanku mendapatkanmu dan memasukkanmu ke dalam darah kerajaan." Raja Majagada mendekatiku.
Aku mendengar suara Maria. "Turuti saja Thomas. Dengan begitu aku bisa mendapatkan sesuatu yang akan mempermudah dirimu di turnamen antar dewa. Kamu bisa bernegosiasi dengannya untuk nasib Kuti."
"Le-lepaskan aku." Pintaku.
Kesatria yang menahanku melepaskan tangannya. Dia membuka helm kesatrianya. Rambut panjang putihnya terurai. Muka putih pucat, mata birunya terlihat. "Perkenalkan aku Iris Wardhana Majagada. Putri Mahkota Majagada juga seorang kesatria tangguh."
Kuti muncul di belakang Iris. Dia menjegal kaki Iris, tapi Iris tidak bergeming sama sekali. "Kamu itu pemanah memang lincah dan punya sihir kamuflase bagus. Tapi sayang sekali kamu kalah pengalaman dan tingkat status."
Iris menendang Kuti dan dia terpental jauh. Para prajurit Majagada yang ada di dalam mengurumuninya. Iris merangkulku dan membawaku mendekati Kuti. "Berbaik hatilah karena aku mengampunimu dan tetap bisa tinggal di Majagada."
"Lakukan sesuatu Thomas." Seru Kuti.
"Aku tidak membawa senjata apapun. Ju-juga disituasi seperti ini lebih baik kita diam." Jawabku.
"Cerdas." Jawab Iris. "Kamu marah karena akan berpisah dengan kekasihmu?"
"Kalau semuanya sudah tenang mari kita bicara." Ujar Raja Majagada. "Lalu Thomas, inilah Putriku, Iris. Ternyata dia ke sini membawa pasukan bantuan sepulang dari patroli perbatasan. Dia juga melihat pasukan bersatu Ordo Kesatria menuju Ludanes."
"Ini salah putri Anda dahulu karena memprovokasiku Yang Mulia." Kata Kuti. "Mana bisa saya diam mendengarkan dia berkata terang-terangan soal apa yang ingin dia lakukan kepada Thomas."
"Oh maksudmu ini?" tanya Iris. Tangannya menggerakkan kepalaku dan dia mencumbuku dengan paksa. Aku tidak bisa mengelak dan terpaksa menerima ciumannya. "Fwah. Bukannya wajar karena dia nanti akan menjadi suamiku?"
"Arrgh." Kuti emosi lagi. "Sudahlah. Saya akan pergi tidak ikut rapat hari ini."
Kuti menembus kerumunan para prajurit dan pergi dari bangunan guild. Aku berniat mengejarnya tapi Iris menahan tanganku. "Kamu tidak boleh pergi sayang. Kemari lah dan kita ikut rapat strategi sebentar. Lalu kita rapat spesial khusus kita."
"Kamu jangan memperlakukannya seperti itu. Orang suci setara dengan raja." Kataku dengan tegas.
"Ya memang begitu. Maafkan aku tapi aku terlalu bersemangat untuk bertemu dengan calon suamiku hingga akhirnya terjadi situasi seperti ini." Iris mendekapku dan menatapku. Wajah perempuan gantengnya membuatku terpesona sedikit.
Aku merasakan pipiku memerah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Iris melepaskanku dan mengajak Raja Majagada untuk memulai rapat pentingnya.