Chereads / A Story in A New World! / Chapter 18 - Bab 7: Dewa 111

Chapter 18 - Bab 7: Dewa 111

"Perkenalkan, aku Theodora, terus kakakku bernama Haziel yang menangkapmu kemarin." ujar gadis kecil itu dan duduk di atasku.

"Kami berdua utusan Dewa 111." Kata gadis itu lagi.

Melihat diriku semakin dekat dengan api yang membara. Aku mengalami ketakutan yang hebat. Aku teringat kembali kejadian masa kecilku dahulu. Melihat reaksiku, Theodora menyeringai dan semakin mendekatkan wajahku ke api.

"He-hentikan! Aku mohon!" pintaku.

"Kamu phobia api? Bagus." Dia menarikku menjauh dari perapian dan menggendongku. Ini kemampuannya kah? Dari fisik dia kelihatan seperti perempuan berusia 11-12 tahun.

"Kamu terkejut? Meskipun fisikku begini, umurku 23 tahun tahu. Lalu ini kemampuanku dari dewaku." Theodora menaruhku di kasur.

"Apa yang terjadi dengan teman-temanku?" tanyaku.

"Hmmm." Theodora melihatku. Dia berjalan ke perapian dan mengambil kayu yang terbakar dan mendekatkannya ke mukaku. Aku menutupi mukaku dari api tersebut.

Theodora melompat ke atas tubuhku dan memukul wajahku. Melihat diriku yang menangis dia menghentikan aksinya dan duduk di sampingku. "Jangan khawatir, habis ini aku akan menyiksamu habis-habisan hingga kamu tidak bisa mengingat siapa dirimu lagi."

Yang dia ucapkan benar, aku disiksa tanpa henti olehnya. Pikiranku kosong dan hanya berfokus untuk mencoba hidup. "Cukup hentikan. Aku ... aku ... ."

Theodora memelukku dengan erat. "Selamat datang di keluarga kami. Mulai sekarang namamu Argiel."

"Argiel? Kakak Theodora?" tanyaku.

"Panggil saja aku Dora oke?" jawab Theodora.

"Kamu beristirahat sebentar ya. Aku akan bawakan makanan dan baju baru untukmu." Theodora meninggalkanku di dalam sini.

"Argiel ... adalah namaku. Aku adalah anak dari Dewa 111." Aku mengucapkannya berkali-kali dan tanpa henti.

Beberapa waktu berlalu, pintu rumah ini terbuka dan Theodora datang membawakan makanan dan baju. Bau dari makanan tersebut sangatlah enak.

"Sebelum makan. Kakak ingin menikmatimu dahulu." Theodora meletakkan makanan dan bajuku di atas meja dan kini dia mendekatiku.

"Kakak?" tanyaku.

Dia menciumku dengan paksa, "Ayo, Dewa 111 adalah dewa cinta dan kesuburan. Kamu belum melakukan ritual pagi bersamaku."

Kedua tanganku yang berusaha menjauhkannya di tahan olehnya. "Ayo Argiel! Kalau tidak melakukannya kamu dihukum!"

Aku menurutinya dan menikmati ciuman darinya. Kami berdua berciuman cukup lama, terdengar suara perutku yang keroncongan. Dia menyudahinya dan menelan air liur kami yang bercampur.

"Tidak boleh diusap, ditelan." Theodora memaksaku untuk menelannya.

Kuturuti dia dan kini dia mengambil makananku kembali. Dia menyuapiku hingga habis, nasi dengan sup daging ini terasa hangat, nikmat. "Te-terima kasih kakak."

"Ayo, sekarang kita jalan-jalan keluar." Ajaknya.

Dibantu dengannya aku memakai bajuku kembali dan terasa hangat dengan pakaian ini. Aku memeluknya dengan erat. "Terima kasih kakak."

"Mulai sekarang kamu tidak akan tinggal di sini. Kamu akan tinggal di bangunan utama." Dora membuka pintu dan menggenggam tanganku.

Pemandangan di depanku begitu mengejutkan. Pedesaan yang begitu indah, para warga sedang bekerja sama menanam tanaman. Suara siulan burung terdengar, sinar matahari pagi menyinari tempat ini.

Dora mengajakku berkeliling desa ini. Setelah itu kami menuju rumah besar di ujung desa. Begitu masuk ke dalam ruang tamunya aku melihat seorang pria sedang berhubungan badan dengan 3 orang wanita.

"Lho sudah pulang. Bagaimana? Sukses?" tanya pria itu.

"Sudah Haziel. Kini dia adalah Argiel." Jawab Dora. "Argiel, ini adalah kakak tertua kita, Haziel."

"Se-selamat pagi Kak Haziel." Sapaku.

"Oh. Oke." Balasnya. "Sana kalian pergi. Aku masih ingin fokus terhadap wanita di hadapanku ini."

Aku dan Dora kini masuk ke lantai 2. Lantai ini dipenuhi dengan banyak kamar. "Kamarmu bersamaku Argiel. Hei kamu tidak ingin melakukannya?"

"Melakukan apa?" tanyaku.

"Ini." Dora menggenggam bagian kemaluanku. "Aku menginginkannya."

"Ji-jika Kakak mau silakan. Aku tidak akan melawan." Jawabku.

Diriku ditarik olehnya ke dalam kamar kami. Dia langsung menelanjangiku dan menjilat leherku. Puas akan leherku, dia berganti menjilati bagian bawahku.

"Kakak ... ." aku mengerang keenakan.

Pada hari itu aku diperasnya hingga kering. Hingga pagi hari berikutnya baru kami sudahi. Kami berdua tidur dengan nyenyak. Perutku terasa kosong dan aku perlu makan. Dora menyuruhku untuk menahannya dan makan setelah dia bangun.

Aku memeluknya dari belakang dan mengusap rambutnya. Dia memutar badannya dan menatapku dengan senang. Dia mencium bibirku dengan lembut. "Tidur dahulu sayangku."

Aku terasa familiar dengan ucapan itu? Tapi dengan siapa? Begitu aku mencoba mengingatnya kepalaku begitu sakit. Kubenamkan kepalaku ke dadanya dan mencoba memejamkan mata. Begitu hangat dan nyaman, perlahan-lahan aku mengantuk dan tertidur.

Matahari siang menyinari kepala kami berdua dan akhirnya membuat kami terbangun. Selesai mandi berdua Dora menyiapkan makanan untuk kami.

"Apa yang harus dilakukan setelah ini?" tanyaku.

"Mmm... bagaimana kalau melatih kemampuan bertarungmu?" tawar Dora. "Kamu bisa memilih senjatamu."

"Dari statusmu sepertinya lebih baik kamu memakai sihir. Karena fisikmu begitu lemah." Katanya lagi dan memeriksa kartuku. "Jangan lupa meminum obat habis ini."

"Kalian sudah selesai makan jangan lupa latihan." Ujar seseorang dari belakangku. Suaranya begitu menggelegar dan mengagetkanku.

"Oh, kamu Argiel? Senang bertemu denganmu, aku Nerville, Dewa 111." Seorang wanita berambut biru panjang mengusap rambutku. "Bisakah sehabis ini aku berbicara personal denganmu?"

"Bisa Dewa." Balasku.

"Panggil aku ayah saja. Semua yang tinggal di sini adalah anak-anakku." Balasnya dan tersenyum manis. "Theodora, kamu persiapkan arena latihan untuknya. Bawa tawanan itu untuk mengetes dia."

"Baik." balas Theodora. Dia mencium pipiku dan mulai menyiapkan satu pil dan gelas air minum. "Diminum, setelah itu ikuti ayah."

Aku mengikuti apa yang diinstruksikan olehnya. Theodora meninggalkanku di ruang makan bersama Nerville. Selesai meminum obatku, dia duduk di sampingku. "Kamu harusnya sudah tahu situasi negeri kita Argiel."

"Ada apa ayah?" tanyaku.

"Dewa 999 berserta Kerajaan Majagada ingin menginvasi Faore. Pulau kita yang indah ini dalam kondisi yang terancam. Dulu Faore berkuasa atas semua gugusan pulau Faore, hingga ke daratan menguasai Ludanes." Jawab Nerville dan menepuk pahaku.

"Jujur aku tidak bisa melawannya. Karena 999 begitu sangat kuat dan berpengaruh di hadapan X. X menjustifikasi serangan tidak berdasar 999 kepadaku." Tambahnya. "Kamu mau membantuku? Kamu tidak mau utopia ini hancur kan?"

Aku mengangguk-angguk, Nerville tersenyum dan memijati pundakku. "Nanti malam datang ke kamarku. Selera Theodora boleh juga."

"Sudah lama aku tidak melihat pria yang bisa membangkitkan gairahku kembali. Sekarang ikut aku ke arena latihan." Nerville berjalan di depanku. Dari ruang makan di lantai 1 kami keluar menuju halaman belakang rumah.

Di tiang latihan terikat manusia dengan mata kepala ditutup. Dora memberikanku tongkat sihir, begitu aku menyentuhnya. Tongkat sihir tersebut menyatu dengan tanganku.

"Ha? Apa ini?" tanyaku.

Nerville memegang kepalaku dan menatapkan kepalanya dengan kepalaku. Dengan sekejap aku melihat semua gambaran buruk dan hal-hal yang mengerikan. Aku tidak ingin melihatnya tapi Nerville tidak membiarkanku menjauh darinya.

"Nah selesai."

Tubuhku diambil alih oleh Nerville dan menggunakan sihir untuk membunuh orang yang ada di tiang. Di dalam dimensi gelap ini aku menyaksikan Nerville menari-nari karena berhasil mengambil alih tubuhku.

"Terima kasih Argiel." Nerville menciumku. "Sekarang kamu bisa menggunakan kembali tubuhmu."