Chereads / A Story in A New World! / Chapter 21 - Bab 10: Suara Warga

Chapter 21 - Bab 10: Suara Warga

Nerville mengubah wujudnya menjadi manusia biasa begitu juga dengan Maria. Nerville memunculkan tongkat sihirnya. "Jadi ini rencanaku. Kita menyerang warga dan ordo kesatria dari dalam. Lalu kita buka gerbangnya."

"Majagada meminta untuk dinobatkan sebagai kerajaan suci baru. Bagaimana?" tanya Maria pada Nerville.

"Mereka kan wargamu dan penyembahmu. Harusnya kamu dong yang bisa memutuskan adikku." Jawab Nerville.

"Aku tidak bisa." Balas Maria. "Kan kakak yang punya pengalaman menciptakan sebuah negara theokrasi."

"Yaudah. Jadi begini, disetujui saja dengan syarat yang bisa menunjuk raja suci hanyalah utusan dewa dan bersama utusan dewa serta dewan rakyat memerintah. Dewan rakyat bisa diisi oleh bangsawan dan warga biasa dengan jumlah 1/4 dari masing-masing populasi." Jawab Nerville. "Lalu setengah suara dari utusan dewa dan setengah dari raja."

"Ah kepalaku pusing mendengarnya." Kata Maria.

"Lalu aku minta pendudukku dan penganutku boleh bebas dan tinggal berkeliaran di kerajaan Majagada." Tambah Nerville.

"Sudah-sudah." Maria memberikan Nerville dan diriku jubah. Kami bertiga mengenakannya dan turun ke bawah.

"Kalian tunggu di sini. Kami akan melakukan sesuatu yang mempercepat kemenangan Majagada." Perintah Maria. "Apabila warga bisa menerobos masuk. Kalian hadang dan hancurkan jembatannya."

Kuti, Romanova, Atmaja menganggukkan kepala mereka. Kami bertiga menutup wajah kami dengan topeng. Lalu keluar melalui pintu utama katedral. Keluarnya kami bertiga disambut meriah oleh warga dan prajurit ordo kesatria yang berada di masing-masing ujung gerbang.

"Aku akan ikut Thomas ke sisi timur lalu bergerak ke gerbang utara. Adikku kamu ke sisi barat sendirian ya. Karena kamu bukan pengguna sihir jadi tidak perlu kesatria pelindung." Ucap Nerville.

"Mari kita lomba siapa yang bisa mencapai gerbang utara duluan bisa mendapatkan tidur bersama Thomas." Kata Nerville. "Nah Thomas ayo!"

"Ah sudahlah." Balas Maria dan berpisah dari kami berdua. Dengan sabitnya dia menebas semua warga dan prajurit ordo kesatria yang berjaga.

Aku memukulkan gadaku ke gerbang dan mementalkan semua warga dan prajurit yang berkerumun menjaga katedral. Para prajurit ordo kesatria kebingungan. "Kenapa kalian menyerang kami? Siapa kalian!"

"Kami adalah hukuman yang diberikan oleh 999." Balas Nerville.

"Baiklah, mundur kalian! Atau kalian akan terbunuh!" teriakku.

Maria mengganas dan menggunakan sabitnya untuk memenggal musuhnya. Sang dewa kematian turun tangan sendiri untuk membunuh pengikutnya. Bagaimana tidak, bila tidak begini dia nanti akan bingung memilih umatnya yang taatnya menyembahnya seperti warga Majagada atau umat yang suka membangkan seperi warga Ludanes.

Aku secara personal tidak ingin membunuh mereka. Tapi melihat para dewa di hadapanku ini membunuh umatnya membuatku mempertanyakan mereka. Para warga berhamburan membubarkan diri bagai domba gembala di kejar serigala.

Para prajurit ordo kesatria bingung. Aku sendiri memilih mengampuni mereka yang menyerah dan kabur. Tapi Maria dan Nerville tidak! Keduanya dengan beringas membantai orang yang menghalangi mereka. Mau menyerah maupun tidak.

Kami bertiga akhirnya bisa sampai di dekat gerbang. Penjaga gerbang kami bunuh dan kami buka segel gerbangnya. Melihat gerbang terbuka, pasukan Majaga merangsek maju dan masuk ke dalam kota. Pasukan ordo kesatria bingung dan panik. Kami bertiga segera terbang dan berpindah tempat ke atas katedral kota dan melihat suasananya.

Pasukan Majagada mulai masuk dan bertarung mati-matian dengan pasukan ordo kesatria. Para warga berlarian dan mencoba menghindari amukan pasukan Majagada. Semuanya pembantaian massal terjadi di dalam kota ini.

"Nah sekarang saat kamu bersiap di dalam kuil Thomas." Pinta Maria. "Aku akan memberikan penglihatan kepada Raja Majagada untuk menemuimu di kuil."

Thomas menuruti permintaan dewinya tersebut masuk ke dalam kuil. Kuti di sana sudah menunggunya dan memakai pakaian keagamaannya. Diberikannya baju ganti kepada Thomas dan membantunya berganti pakaian.

Pintu kuil terbuka dengan paksa. Grandmaster Indarto dan beberapa pasukannya yang tersisa masuk ke dalam kuil. Yang terluka ditaruh di dalam kuil dan diobati oleh pasukan medis mereka.

"Kalian berdua tidak mau berdoa untuk membantu kami? Atau menyembuhkan kami yang terluka?" tanya Indarto pada kami berdua.

"Tidak. Ini adalah hukuman kalian dari Dewa 999." Balas Kuti. "Kehendak Dewa menginginkan ini terjadi. Tindakan pembangkangan kalian sudah kelewat batas. Jangan harap Dewa mau mendengarkan doa kalian."

Terdengar suara keramaian di luar kuil. Lalu terdengar suara ledakan dan suara gemuruh. Indarto tersenyum, "Dengan begini kita aman di dalam kuil. Jembatan di luar sudah dihancurkan. Manfaatkan barang-barang yang ada di kuil untuk membuat sampan! Kita akan kabur melalui sungai."

"Tidak akan bisa. Kalian merusak kuil ini, akan memancing lebih amarah dewa kalian." Kataku.

Tetapi mereka tidak mendengarkan. Aku melihat Maria terkekeh di hadapan kami berdua. Yang bisa melihatnya dalam wujud dewa adalah kami. Patungnya yang ada di dalam kuil bergerak dan hidup menjadi raksasa batu.

Para prajurit ordo kesatria yang dari tadi sibuk mencongkel kayu dari kursi dan perabotan kuil terkejut. Mereka tidak punya pilihan lain selain melawan raksasa batu tersebut. Pedang dan panah mereka tidak melukai raksasa batu ini. Sihir mereka juga tidak mempan, dalam pandangannku aku melihat raksasa batu tersebut mempunyai status kebal terhadap serangan apapun dan dalam perlindungan suci Maria sebagai dewa.

Raksasa batu tersebut mengusir para prajurit ordo kesatria hingga ke luar kuil. Maria memerintahkanku untuk mengikuti raksasa batu tersebut. Aku berjalan mengekor di belakangnya, di luar para prajurit Majagada bersujud begitu melihat aku keluar di balik raksasa batu tersebut.

Tampak Raja Majagada sedang menyuruh tukang di pasukannya untuk membuat jembatan sementara untuk menuju ke sini. Grandmaster Indarto dan pasukannya yang tersisa kebingungan. Mereka hendak melompat ke sungai, namun sungai sedang mengalir deras.

"Bunuh atau tangkap?" bisik Maria kepadaku.

"Kamulah sang dewa. Kamu yang memberikan keputusan." Balasku.

"Bunuhlah dia. Di balik raksasa ini ada pedang suci. Nanti kamu berikan pedang suci itu kepada Raja Majagada seusai membunuh para pembangkang." Perintah Maria dan menghilang. Raksasa batu tersebut berubah menjadi patung kembali, sesuai dengan perintah Maria aku mengambil pedang yang berada di belakang patung tersebut.

Aku berjalan perlahan mendekati Indarto dan rekan-rekannya yang ketakutan. Aku menggunakan pedang suci ini untuk menusuk mereka satu persatu. Hingga tersisa Indarto, aku memberinya kesempatan untuk berbicara untuk terakhir kalinya.

"Tunggu utusan dewa! Jangan dibunuh!" pinta Raja Majagada dari seberang sungai. "Biarlah saya yang mengeksekusinya di hadapan warganya!"

Aku mengangguk dan menurunkan pedangku. Indarto berdiri dan hendak menyerangku, tapi sebelum dia menyerangku aku menjegalnya. Pria tersebut jatuh ke tanah dan aku menginjaknya.

"Jangan sekali-kali melanggar perintah dewa." Kataku.