Para warga keluar rumah dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mereka bersorak sorai untuk kami. Kami berempat keheranan, tadi bukannya mereka marah karena kita utusan Dewa 999?
Seorang sesepuh kota muncul dan memberikan ucapan selamat kepada kami. Dia mengajak kami untuk masuk ke dalam balai kota dan memeriksa surat tugas kami.
"Ah ya memang. Kami meminta bantuan untuk mengalahkan naga. Tapi saat ini seperti yang Anda lihat. Kami tidak punya banyak hadiah." Kata pria tua itu sambil mengelus jenggotnya.
"Tidak apa-apa. Se-sebagai gantinya bagaimana kalau Kota Singgasana Faore berpindah memuja Dewa 999?" pintaku.
"Itu topik sensitif sekali untuk dibicarakan. Kalian bisa memancing fanatik dari Dewa 111 untuk perang." Jawab sesepuh itu. "Dari dulu mayoritas dari kami ingin berpindah ke Dewa 999 karena kami dijanjikan untuk wilayah kami untuk makmur."
"Tapi fanatik dari Dewa 111 menolak dan menyebabkan kerusuhan. Mereka menciptakan perang dan menimbulkan kekacauan." Tambahnya dan menyuruh kami berempat untuk duduk di depan perapian balai kota.
"Kalian tidak punya utusan dewa?" tanya Kuti.
"Sudah dibunuh dan dipenjara oleh fanatiknya." Jawab sesepuh itu. "Kalian lihat dari jendela balai kota ini?"
Kami melihat ke arah yang ditunjuk oleh tetua itu. Tertunjuk kepada sebuah bukit dengan menara pengawas di luar Kota Singgasana Faore. "Dia dikurung di sana. Entah berapa tahun aku sudah lupa. Naga yang aku minta untuk kalian kalahkan juga ada di sana."
"Baiklah. Di mana kami akan tinggal?" tanya Kuti.
"Di balai kota sini saja. Tempat ini yang paling layak di sini untuk kalian tinggali sebagai utusan dewa dan pahlawan." Jawab sesepuh itu.
"Anda tahu kami utusan dewa?" tanya Kuti.
"Ya. Aku bisa melihat dari aura kalian. Dua orang teman kalian hanyalah manusia biasa. Tapi kalian setengah dewa." Jawab sesepuh itu. "Mohon maaf atas fasilitas terbatas dari kami."
Sesepuh itu memanggil seorang bocah untuk menunjukkan kamar kami. Ternyata kamar kami berada di area reruntuhan benteng kota. Balai kota tersambung dengan reruntuhan benteng ini. Dinding dari batu membuat tempat ini terasa sedikit dingin. Untungnya di kamarku dan Kuti sudah tersedia perapian yang menyala.
"Maaf Atmaja, kamu sendirian di kamar kali ini. Kuti kemarin merajuk kalau aku tinggal." Aku meminta maaf kepada Atmaja.
"Yah tidak apa-apa. Tapi barang bawaanku aku taruh ke sini ya. Aku ada janji untuk menemani para penjaga malam. Mereka kini berubah baik kepadaku." Balas Atmaja.
"Oke." Aku mengambil kopernya dan menaruhnya di dalam kamar kami.
Romanova menggeser kasurnya ke dekat perapian dibantu oleh Kuti. Aku menata barang bawaan kami di lemari dan rak yang tersedia. Kuti menguap dengan lebar, "Sebenarnya aku ingin mandi sebentar. Tapi aku lihat kamar mandi di sini cukup jauh."
"Aku te-temani." Kataku. "Ayo mandi untuk menghilangkan bau laut dan keringat."
"Aku ikut." Romanova menyahut.
Kami bertiga keluar dari kamar kami dan menuju balai kota. Sudah sepi dan tidak ada orang di sana, hanya ada lilin samar-samar menjadi penerangan. Kami pun keluar balai kota dan menemukan warga sedang bergotong royong membangun patung Dewa 999.
"Ah utusan dewa. Apakah kami berisik dan menganggu Anda?" tanya seorang warga yang melihat kami bertiga.
"Tidak. Kalian sudah yakin berganti dewa?" tanya Kuti. "Bukannya tadi pagi kalian sangat menentang?"
"Ah... yang tadi pagi membuat keributan itu Fanatik. Mereka sudah meninggalkan kota begitu para tetua mengumumkan penggantian dewa." Jawab warga itu.
"Oh begitu. Apakah di sekitar sini ada pemandian dan sejenisnya?" tanya Kuti lagi.
"Untuk pemandian tidak ada karena pipa saluran air kami rusak dan tidak pernah diperbaiki. Kami kalau membersihkan diri selalu ke Mata Air Faore." Jawab warga itu. "Tapi kalau sudah malam begini sangat berbahaya ke sana karena gelap."
Mendengar kata itu, saking capeknya bila nanti bertarung dengan Siren lagi. Kami memutuskan untuk kembali ke kamar. Romanova kelihatan sedang mencari Atmaja, "Lho, ke mana Atmaja?"
"M-mungkin sedang melatih para penjaga di sini. Dia sepertinya gatal melihat ketidakmampuan para penjaga tadi dan melatih mereka dadakan." Balasku.
Kuti membuka pintu kamar kami dan menguncinya kembali begitu kami bertiga sudah masuk. Diamatinya tembok sekitarnya dan ventilasi ruangan ini. "Sebenarnya cukup luas juga kamar ini. Aku jadi penasaran seperti apa dulu Kerajaan Faore. Maksudku, lihat batu ini bukan batu murahan dan dipakai untuk membuat bangunan benteng."
"Ya." Romanova mengamati. "Perang saudaranya pasti sangat hebat sekali sehingga mampu membuat dewa meninggalkan mereka."
"Kalau k-kita telusuri pasti akan lebih dari 2 minggu. Kita punya waktu dua minggu," aku menyela.
"Memangnya kenapa dua minggu?" tanya Romanova.
Ah sial, aku lupa kalau hanya aku dan Kuti yang tahu. Aku harus mencari alasan lain. "Persedian uangku dan Kuti. Kalau lebih dari itu aku h-harus mengambil kembali ke bank. K-kami selalu membawa uang pas saat berpergian."
"Lebih dari dua minggu dong." Kuti menyerangku dan mendorongku hingga jatuh ke lantai. tanganku dibekapnya ke atas dan dia menjilat telingaku.
"!!!" Romanova kaget dengan perlakuan Kuti padaku. Dia menutup matanya karena tidak ingin melihat. "Ka-kalian melakukan hal yang mesum!"
"Kamu ingin bergabung? Aku tidak keberatan untuk berbagi." Kuti melucuti pakaian bagian atasku dan mencium mulutku.
"Ku-kuti!" aku meronta-ronta untuk melepaskan diri. "Kamu kenapa kok akhir-akhir ini berubah?"
"Perjalanan ini terasa seperti bulan madu kita kan?" Kuti melepas bagian bawahku dan kini membuatku telanjang. "Ruangan ini cukup kedap suara."
"Sini Romanova," Kuti mengenggam tangan Romanova dan membuatnya mendekat kepadaku. "Ngomong-ngomong sayang, kamu dulu pernah bilang kan kalau kita kekurangan penyihir sebagai penyerang jarak jauh tambahan?"
"Bagaimana kalau Romanova?" tanya Kuti kepadaku. "Jadi Romanova, ini yang namanya tubuh laki-laki."
"Lalu untuk memuaskan diriku." Kuti membuka tas kecilnya yang berisikan obat. "Hehe... ."
Kuti membuka paksa mulutku dan meminumkan sebuah obat. Beberapa menit kemudian aku mulai mengantuk dan tertidur, sebelum tertidur aku melihat sebuah senyum kepuasan di wajah Kuti. Dia mengajak Romanova untuk berbuat sesuatu kepada tubuhku.
Pagi harinya aku menemukan kepalaku sangat pusing dan menemukan mereka berdua dalam keadaan telanjang dan tertidur di sampingku. Aku mengingat kejadian semalam dan menyembunyikan diri di dalam selimut. Ah! Aku malu sekali!