Pintu kamarku digedor dari luar, Kuti mencariku dan mengajakku keluar untuk cari angin. Aku meninggalkan Atmaja yang sedang berusaha untuk tidur dan beristirahat. "Kamu yakin tidak mau ikut di luar?"
"Ti-tidak. Aku mabuk laut." Balas Atmaja. "Kalian duluan. Nanti kalau aku enakan aku akan nyusul."
"Baiklah." Balas Kuti. Romanova menunggu kami di luar kamarku dan Atmaja. Kami bertiga menuju ke dek atas dan menikmati pemandangan lautan biru. Para pelaut sedang bekerja dan memastikan kapal tidak mengalami apa-apa.
Setelah menghabiskan waktu melihat pemandangan. Kini matahari semakin panas, kami bertiga menuju dapur kapal. Para pelaut yang sedang beristirahat kaget melihat kami. Mereka tampak senang melihatku dan Kuti.
"Ah! Sini orang suci, duduklah apakah kamu buka ruang pengakuan dosa?" seru seorang pelaut.
Aku sedikit terkejut, ponselku bergetar. Hei, bagaimana bisa? Aku kan di tengah laut, bagaimana 999 bisa menghubungiku? Ponselku kubuka dan ada pesan dari 999.
"Aku lupa memberitahu kalian kalau kalian sebagai utusan dewa kalian sama seperti pendeta di dunia asli kalian. Kalian bisa memutuskan untuk mengampuni dosa mereka atau tidak dengan cara merekam suara pengakuan dosa mereka dan kirimkan padaku."
Apa lagi ini? Sekarang kami jadi pendeta juga? Ponselku bergetar sekali lagi.
"Oh ya. Pulau Faore dulu merupakan wilayah Dewa 111 yang menghilang. Kalau kalian bisa mengajak warga Faore menyembahku aku akan memberimu dan Kuti kemampuan lagi."
Hah baiklah. Aku dan Kuti duduk di tengah-tengah pelaut yang sedang makan. Meja makannya berbentuk bulat melonjong dengan kursi melingkari meja ini. "Apa yang kalian mau akui dosa kalian?"
Para pelaut bergantian bercerita dengan tertib dan rapi. Kebanyakan dari mereka hanya mencuri dan terlalu mabuk, serta berbohong kepada kapten mereka. Waktu siangku habis mendengarkan mereka bercerita akan dosa mereka.
Di luar dugaanku, 999 memaafkan dosa mereka semua. Dewa Kematian bisa begini juga ya. Setelah kemarin mengamuk di Pohon Suci. Para pelaut kembali bekerja, barulah aku dan Kuti, Romanova makan siang.
Atmaja muncul dengan wajah yang sangat muram dan lesu. Di duduk di depan kami dan meminta air putih serta bubur hangat dan jeruk. "Su-sudah baikan?"
"Tidak." jawab Atmaja. "Ah aku masih pusing."
Terdengar suara terompet dari luar. Aku segera keluar dan melihat para pelaut mempersiapkan senjata mereka. Terdengar teriakan Kapten Fandlan untuk menghindari setelah melontarkan serangan pertama.
Terdengar dentuman meriam ke arah kabut di sisi timur kapal. Kuti dan Romanova, Atmaja menyusul untuk melihat apa yang terjadi. Peluru meriam tadi meledak di dalam kabut dan menghilangkan kabut itu terlihat siluet sosok ular besar di dalam kabut.
"Tambah kecepatan kita harus menghindar!" teriak Fandlan. "Bila tidak kita bisa di bawa ular itu nantinya ke Abyss!"
"Ah! Makhluk itu, kita pernah kalahkan." Bisik Kuti padaku. "Itu yang hanya ilusi kan? Kalau kita dekati dia hanya sebesar manusia saja. Dia menjatuhkan material sisik ikan yang bisa memperkuat perisaimu."
"Tapi kita tidak punya kemampuan berjalan di atas a-air." Bisikku.
Kuti mengambil panahnya dan memanah ke arah kabut itu dengan hujan panah apinya. Makhluk tersebut mendekat dan membuat semua kru kapal terkejut. Aku bersiap dengan belatiku saja dan perisaiku.
Ternyata di luar dugaanku dan Kuti. Makhluk ini 3x lipatnya ukuran manusia. "Kuti! A-apa yang kamu lakukan!"
Aku melompat ke atas kepala ular laut ini dan menusuk matanya dengan belatiku. Kuti memanah mata yang satunya lagi dan membuat kepala ular ini terjatuh ke atas dek. Romanova dan Atmaja menyerangnya. Karena sedang mabuk laut serangan dari Atmaja beberapa kali meleset. Para kru kapal membantu kami dengan pedang dan panah mereka.
Setelah matanya pulih, Ular ini menyelam lagi dan mencipratkan air ke atas kapal. Aku memegang tangan Kuti, lalu dia memegang tangan Romanova dan Atmaja supaya tidak keseret air yang dicipratkan olehnya. Ular tersebut memuntahkan duri-duri es yang tajam. Aku berlari dengan perisaiku untuk menangkis semua serangannya.
Tentu saja supaya kapal ini tidak tenggelam. Perisaiku terasa dingin karena menyerap serangan esnya. Aku melontarkan kembali energi serangannya kepadanya dan ular tersebut membeku. Kuti menembakkan panah yang dialiri sihir petirnya dan membuat ular tersebut menjatuhkan kepalanya lagi di dek atas kapal.
"Sekarang sera-serang lagi!" Perintahku dan berusaha memotong kepala ular ini.
Ular ini menjatuhkan beberapa sisiknya dan kemudian kabur meninggalkan kami. Dari pengamatanku nyawanya tinggal sedikit sekali tapi makhluk tersebut kabur. Mini boss kah? Ini baru tidak seperti dalam dunia permainan.
Dari muntahan duri-duri es tadi berisi beberapa perhiasan dari emas. Para pelaut segera berebut untuk mengambilnya. Namun aku dan Kuti berfokus kepada mengambil material yang dijatuhkan oleh ular laut tadi. Kapten Fandlan datang dan mengendalikan anak buah kapalnya. Dia membagikan sama rata perhiasan dari duri es beku ular laut tadi kepada anak buahnya.
Romanova tidak memilih untuk mengambil apapun. Sedangkan Atmaja hanya mengambil satu buah gelang emas untuk kekasihnya nanti.
"Oke. Sekarang siapa yang punya ide untuk melawan Ular Laut tadi!?" tanya Fandlan.
"Kami b-berdua." Jawabku.
"Terima kasih! Akhirnya kami dapat pengetahuan kalau Ular Laut itu tadi ada harta karunnya! Lain kali saat kami berlayar lagi akan kami perkuat senjata kapal ini dan bisa mengalahkannya." Kata Fandlan dengan bangga. Diliriknya para pelautnya yang sedang mengagumi harta mereka. "Sekarang kalian kembali bekerja dan melihat kerusakan apa saja yang timbul!"
"Jangan lupa bagi yang jaga malam di kapal!" kata Fandlan dan mengorganisir anak buahnya. "Untuk utusan dewa dan temannya. Kalian boleh beristirahat, besok pagi pasti sudah terlihat Pulau Faore."
Kami berempat berjalan bersama menuju kamar kami. Tapi Kuti menahan tanganku dan tidak membiarkanku masuk ke dalam kamarku dan Atmaja. "Aku ... maukah kamu tidur denganku? Aku sedikit lebih tenang kalau tidur di sampingmu."
Aku mengangguk dan memasuki kamar Kuti dan Romanova. Kasur Romanova berada di atas sedangkan kasur Kuti di bawah. Kuti melirik kepada Romanova, "Maaf ya Nova. Aku tidak bisa tidur tanpa ditemani dia."
"Ti-tidak apa-apa! Kalian orang de-dewasa." Balas Romanova dan naik ke atas kasurnya.
Kuti dengan senang hati menarikku untuk masuk ke dalam kasurnya. Dia memeluk erat diriku dan menguap, kemudian tertidur begitu saja dengan tenang. Tapi aku merasakan ada yang salah dengan diriku. Aku merasa kehausan sangat berlebih. Aku berusaha menyimpan rasa kehausan ini hingga pagi.