Kami dimasukkan ke dalam kamar yang berada di lantai 2. Penjagaan kamar kami sangatlah ketat. Tadi aku melihat ada 5 orang kesatria berjaga di luar kamar kami. Begitu aku melihat ke luar jendela, prajurit yang ada di luar sangatlah banyak.
Ponselku dan Kuti bergetar. Aku membukanya, lagi dan lagi pesan dari 999. "Raja Majagada bodoh. Sudahlah, aku anggap tugas kalian ini berhasil. Kini sekarang kalian akan membantu Ordo Kesatria."
"Lalu bagaimana dengan orang tua kami?" tanyaku.
"Aman. Tidak usah khawatir." balas 999. "Berpetualanglah dengan bebas Thomas. Ini bukannya dunia yang kamu inginkan? Kenapa kamu khawatir akan hal sesimpel itu?"
Kuti menatapku, "Sepertinya kita akan berganti pihak. Tapi Grandmaster Indarto sangat baik sekali memberikan kita kamar seperti ini."
Pintu kamar kami terbuka, masuklah Grandmaster Indarto sendirian. "Jadi bagaimana dengan kamar ini, kalian menyukainya?"
"Ya. Terima kasih atas fasilitasnya meskipun kami ada di pihak musuh." Jawabku.
"Tidak, tidak, tidak, kalian utusan dewa tidak ada kata di pihak musuh. Yang ada kalian dipengaruhi oleh orang yang sesat." Balas Indarto dan mendekatiku. "Aku jadi penasaran, kenapa dewa kami yang sangat kami cintai tiba-tiba membiarkan utusannya berada di tangan orang sesat."
"Jadi bisakah kamu menceritakan bagaimana kamu bisa terpilih jadi utusan dewa?" tanya Indarto dan mengambil kursi dari meja rias dan duduk di hadapanku. Mendengar pertanyaannya aku memutuskan untuk berbohong dan tidak memberitahu kalau kami berasal dari dunia yang bukan dunia ini. Semoga Kuti bisa mengikuti perkataan bohongku bila kami ditanyai di tempat yang berbeda nantinya.
"K-kami hidup sebagai anak biasa. Hingga hari sebelum Majagada menyerang kota kami, Dewa 999 memberi kekuatan pada kami. Lalu kami ditangkap oleh Raja Majagada dan dipaksa ikut." Balasku.
"Hmm, menarik." Indarto kini menggeser kursinya untuk berhadapan dengan Kuti yang duduk di pinggir kasur. "Lalu denganmu?"
"Sama. Karena kami bertetangga dan teman masa kecil. Hingga aku dan Thomas mendapatkan kekuatan dari Dewa 999." Jawab Kuti.
Kini dia mendekatiku lagi dan mengajakku untuk ikut pergi dengannya. Keluar dari kamar kami di lantai dua. Aku digiring menuju ke lantai 1, kemudian masuk ke ruang bawah tanah. Ini dia, introgasi lanjutan. Diriku kini berada di sebuah ruang yang dalamnya berisi banyak peralatan.
"Sesuai janjiku, aku tidak akan menyentuh kekasihmu." Indarto mendudukkanku ke sebuah kursi. Lalu mengikat tanganku ke belakang dengan tali. "Jadi aku akan menyiksamu hingga kamu akan jadi budakku."
Indarto memukulku tapi aku menyimpan gelak tawaku. Dia tercengang ketika memukul perutku yang merasa sakit adalah dirinya sendiri. Dia pun tampak keheranan dan mengambil pisau dan disayatnya pahaku. Tetapi yang tersayat adalah dirinya sendiri.
"T-tunggu! Kamu punya kemampuan ini! Benar-benar utusan dewa!" Indarto panik dan membuka ikatan tali tanganku di kursi. Diperintahkannya para kesatria penjaganya untuk membawaku kembali. Sekilas aku melihat Indarto panik atas apa yang dia lakukan.
Sesampainya di kamar lagi, Kuti tampak khawatir dan langsung menyambutku. "Kamu diapakan? Kamu tidak terluka?"
"Tidak. Tapi seseorang akhirnya sadar kalau kita utusan dewa." Balasku.
Indarto masuk lagi dan kali ini bersama pelayannya membawakan kami makanan. "Ah maafkan saya! Anda benar-benar utusan dewa! Maaf aku telah meragukan kalian? Tolong saat Anda pergi ke pohon suci. Tolong berbincanglah dengan Dewa 999 untuk mengampuni kami! Kami sudah tahu kenapa alasan Dewa 999 mengirimkan utusannya ke pihak musuh kami!"
Melihat perilaku Indarto yang berbeda. Aku terheran-heran, dia meninggalkan kami dan menutup pintu kamar ini. Aku duduk di sebelah Kuti yang masih berada di kasur. Kuti memeriksa tubuhku dan mencari apakah aku terluka atau tidak.
"Aku sudah bertanya kepada 999. Jadi alasan dia sebenarnya ingin kita membantu Majagada adalah Liga Kesatria Flokian telah menyimpang jauh. Tapi dia ingin berbicara lebih lanjut nanti saat kita ke pohon suci." Ucap Kuti dan menunjukkan percakapannya dengan 999 di ponselnya padaku.
Sekilas aku melirik ada permintaan dari Kuti bahwa dia meminta kepada 999 agar aku terus bersamanya. Aku cukup lega berhasil melihat itu secara sekilas. Kupeluk dia dan mencium bibirnya. "Terima kasih. Aku capek sekali. Aku ingin tidur."
"Tidurlah, aku yang akan berjaga." Kata Kuti dan mengusap rambutku. Kucoba memejamkan mata sambil mendengar senandung lagu kecil dari Kuti.
Ketika aku membuka mataku, hari sudah sore. Aku menemukan Kuti juga tertidur di sampingku. Kuambil buah dari keranjang makanan yang diantarkan oleh Indarto tadi dan memakannya. Kuti yang mendengar suaraku terbangun juga ikutan bangun.
"Sudah sore. Aku ingin mandi," ucapnya sambil menguap. "Jika tidak bisa aku tidur lagi saja."
"Hei makan dulu ... ." Aku memberikan apel bekas gigitanku pada Kuti. Secara cepat, Kuti memakannya dan menghabiskannya. Lalu kembali berbaring dan mengajakku untuk tidur lagi.
Pintu kamar kami diketuk dua kali. "Mohon maaf mengganggu waktu kalian berdua. Tapi saya hanya ingin mengabarkan kalau pemandian sudah siap untuk kalian gunakan."
"Grandmaster Indarto?" tanyaku.
"Benar, ini saya. Anda bisa memanggil saya Indarto saja." jawabnya.
Pria botak itu kini berbuat baik kepadaku dan berbicara dengan nada yang lembut. Dengan tulus ia kini mengantarkan kami ke pemandian yang ada di luar mansionnya. Aku mempersilahkan kepada Kuti untuk membersihkan diri dahulu. Barulah aku kemudian yang membersihkan diri. Karena pemandian ini adalah pemandian campuran.
Tapi ajakan dari Kuti membuatku tergoda dan akhirnya aku mandi bersamanya. Untungnya mandi kali ini tanpa terjadi insiden. Selesai mandi, kami mendapati dua pakaian baru yang disediakan oleh Indarto. Ada sebuah secarik kertas di atasnya, berisi permintaan maaf darinya serta penjelasan bahwa baju kami sedang dicuci dan dibersihkan.
"Wow, ketika dia meragukan kita sebagai utusan dari dewa. Perlakuannya tidak seperti ini," kataku dan menggunakan baju darinya.
Selesai mandi, kami pun diajak berkeliling keluar dari mansion ini. Kami disuguhkan pemandangan yang indah dari ladang sayuran Indarto. Mata kami seperti dibersihkan ulang melihat pemandangan yang begitu indah ini. Tanamannya tumbuh dengan subur dan sehat di tanah ini.
"Para pekerja ini, apakah budak atau bukan?" tanyaku begitu melihat para pekerja yang ada di ladang.
"Budak." Jawabnya.
"Bukannya budak sudah dilarang?" tanyaku lagi.
"Untuk menghemat biaya." Jawab Indarto dan terdiam.
"Bukannya aturan Dewa tidak boleh memperbudak bangsa sendiri? Bangsa kita hanya diperbolehkan untuk memperbudak bangsa lainnya?" tanya Kuti secara tiba-tiba.
Indarto terdiam dan kini mengajak kami menuju peternakannya. "Lalu ini peternakan mlik saya. Bisakah kalian memberkati peternakan saya supaya hewan-hewan ternak saya melimpah ruah hasilnya?"
Aku dan Kuti menghentikan langkah kami di depan pintu peternakan. Aku biarkan Kuti saja yang menjawab. "Kami tidak tahu bisa memberkati atau tidak."
Ponselku bergetar dan ada pesan dari 999. "Jangan berkati. Jangan sentuh apapun di dalam sana. Biarkan aku besok sendiri yang menemui mereka."
"Hei, bukannya seharusnya kamu memberikan kami penjelasan lebih lanjut? Kenapa jadi seperti ini? Katamu ini dunia game dan kami hanya bersenang-senang." Tanyaku.
"Besok kujawab." Jawab 999.
Aku turuti pesan darinya dan menghalau Kuti untuk masuk ke dalam sana. Kami memutuskan kembali ke mansion untuk mengambil peralatan kami dan berniat kabur dari sini. Sepanjang perjalanan, Indarto meminta-minta kepada kami untuk terus memberkati tempatnya. Tetapi aku menolaknya karena perintah dari 999 dan bagaimana dia memperlakukan para budaknya.