Subuh esok harinya terdengar suara terompet dari penjaga kemah. Ketika aku keluar tenda aku melihat semuanya panik dan bergegas keluar dari tenda menuju ke luar sambil menggunakan perlengkapan mereka dengan terburu-buru. Aku membangunkan Kuti dan memakai peralatanku kembali.
Kami berdua keluar dari tenda kami dan menaiki menara pengawas. Dari arah utara perkemahan kami prajurit dari Ludanes berbaris menuju kemari. Tampak Raja Majagada berkoordinasi dengan bawahannya untuk mengatur pasukan mereka.
Pergerakan pasukan Ludanes sangat cepat dan kini mereka bertempur dengan prajurit Majagada yang belum bersiap dengan formasi mereka. Pertempuran berjalan sangat rapi dari prajurit Ludanes. Barisan tidak teratur dari prajurit Majagada mulai mundur perlahan ke arah perkemahan kami.
"K-Kuti, menurutmu bagaimana? Kita bergabung dengan pasukan atau fokus melindungi Raja Majagada?" tanyaku.
"Fokus melindungi raja!" balas Kuti dan menembakkan panahnya ke udara dan menggunakan kemampuan khususnya. Panah tersebut menjadi ribuan dan menghujani pasukan musuh. Pasukan Ludanes sedikit terhenti karena panah dari Kuti menjatuhkan banyak korban dari mereka. Baju besi mereka tertembus oleh panah obsidian khusus dari Kuti.
"H-hati-hati Kuti. Aku akan bergabung denga Raja Majaga." Kataku dan mengecup dahi Kuti. Aku melompat dari menara pengawas dan terjun tepat di tengah kerumunan pasukan musuh.
BLAR!
Merek terhempas oleh serangan dari udaraku. Gada dan perisaiku aku persiapkan dan membuka jalan bagi prajurit Majagada untuk maju. Prajurit Ludanes ketika melihatku mereka tidak berani maju. Mereka malah melingkariku dengan tombak mereka bertujuan untuk menangkapku.
"Tidak semudah itu!"
Aku menghempaskan gadaku ke tanah dan membuat mereka melayang ke udara. Kuti memanfaatkan momentum ini dan memanah mereka dengan tepat sasaran. Berkat usahaku dan aku bergabung, kini lini tengah prajurit Majagada berhasil distabilkan. Pasukan bertombak panjang dari Ludanes mundur dan kabur.
"Terima kasih utusan dewa!" ucap komandan pasukan tengah kepadaku. "Lini kanan yang dipimpin oleh Paduka sedang dalam bahaya, kamu ke sanalah!"
Mendengar kalimat itu aku berlari ke sisi kanan. Ada seorang kesatria sedang bertarung dan mencoba menerobos masuk menuju ke bagian belakang. Aku melompat lagi dan mendarat tepat di atasnya. Dia terhempas dan berhasil berdiri lagi.
"Siapa kamu?" tanyanya.
"Utusan Dewa 999." Jawabku. "Aku diperintahkan oleh Dewaku untuk membantu Majagada."
"Menarik." Jawab kesatria itu. Diambilnya lagi senjata tombak dua tangan dengan ujung kapak dan lancip di pucuknya. "Aku Atmaja, wakil dari Grandmaster Indarto dari Ordo Kesatria Ludanes."
"Coba saja mengalahkanku." Kataku dan mempersiapkan perisaiku. Kuganti gadaku dengan kapak kecil dan bersiap.
Atmaja maju dengan cepat dan mengayunkan bertubi-tubi tombaknya ke arah atasku. Aku berhasil menahannya dengan perisaiku dan memantulkan serangannya. Atmaja terdiam dan melihat baju pelindungnya yang tiba-tiba rusak. "Apa ini? Kenapa aku yang terluka?"
"Entahlah." Aku maju menyerang dan menabrakkan perisaiku kepadanya. Dia kehilangan keseimbangan dan aku mengayunkan kapakku untuk merusak tombaknya. Tombak milik Atmaja rusak dan terbelah menjadi dua.
Terjatuh di tanah, dia menjegalku dan aku menjatuhkan perisaiku untuk menindihnya. Tangan dari Atmaja mengambil belati yang merupakan senjata keduanya dari pinggangnya. Dia berusaha menusuk leherku. Tetapi aku membenturkan kepalaku dengan kepalanya dan dia tidak sempat menusukku. Helm pelindungnya rusak dan aku membalikkan posisi badanku untuk menyikut kepalanya dan dia pingsan atau mati aku tidak bisa mengetahuinya.
Kemudian aku melihat sekelompok prajurit musuh berhasil menembus para pengawal Raja Majagada. Aku segera ke sana dan menghentikan serangan mereka. Kapakku berhasil memotong tangan seorang prajurit yang hendak menusuk Raja Majagada yang sedang berfokus mengatur pasukannya di sisi kanan.
"Anda harus lebih berhati-hati Paduka." Ujarku padanya.
AKH!
Terdengar suara teriakan dari belakang. Ada Kuti yang berhasil membunuh seorang musuh yang hendak menebasku. "Jangan lengah, belum usai!"
"Ya." Balasku dan berusaha sekuat tenaga memukul mundur dan membeli waktu bagi Raja Majagada mengkoordinasikan pasukannya.
Melihat kami yang masih bertahan, pasukan Ludanes akhirnya mundur. Sisi kiri dan sisi kanan kami mengalami banyak korban jiwa. Sementara sisi tengah aman karena berkat aku tiba dan memberi waktu bagi mereka untuk membentuk formasi.
Raja Majagada tampak kelelahan juga. "Sialan! Menyerang pada waktu subuh! Sungguh bukan hal yang kesatria! Hitung semua korban dan kerusakan kita. Lalu atur barisan dan bersiap apabila ada serangan kedua!"
Aku dan Kuti membantu petugas survei dan para perwira untuk menghitung jumlah korban di pihak kami. Dari pihak kami ada 683 korban, dari Ludanes hanya 358 orang. Kami semua bersiap apabila ada serangan kedua. Namun serangan itu tidak kunjung tiba.
Namun ada utusan dari Kota Nesbakki mengundang Raja Majagada untuk ke sana dan menerima penyerahan kota. Penduduk Kota Nesbakki menyerah kepada kami. Raja Majagada segera membagi dua pasukannya. Satu untuk menjaga perkemahan kami, satu lagi menemaninya memasuki Kota Nesbakki.
Aku dan Kuti diperintahkan oleh Raja Majagada untuk ikut dengannya. Kedua kuda kami diantarkan kepada kami oleh bawahan dari Raja Majagada. Dengan 5rb pasukan, kami bergerak memasuki Kota Nesbakki. Kami memasuki Kota Nesbakki dari sisi barat, bagian luar kota tampak kosong dan tidak berpenghuni.
Bertanyalah aku kepada utusan dari Nesbakki. "Ke mana warga kota?"
"Mereka berada di aula kota bersiap untuk menyambut pemimpin baru mereka." jawab utusan tersebut.
Kuti dan Aku merasa ada yang janggal dan meminta kepada Raja Majagada untuk tidak melanjutkan masuk ke dalam kota. Tetapi Raja Majagada tetap ingin masuk ke dalam kota. Benar saja dugaanku, saat kami tiba di tengah kota tepat di depan aula kota. Terdengar suara ledakan dan kepulan asap hitam di seluruh kota.
"Jangan panik! Tetap dalam formasi!" perintah Raja Majagada. "Kita tunjukkan kepada mereka taktik licik seperti ini tidak mempan kepada kita! Berjalan secara perlahan untuk ke luar kota!"
Terdengar suara teriakan untuk menyerbu dari dalam kota. Prajurit dan Kesatria dari Ordo Kesatria Ludanes keluar dan maju menyerang kami. Kami terkepung di dalam kota yang terbakar ini. Mereka bertempur layaknya orang gila yang sudah tidak punya apa-apa dan siap untuk mati.
Melihat api ini, aku sedikit ketakutan karena dulu ...
TANG!
Seseorang menyerangku dengan pedangnya. Untungnya perisaiku secara reflek menangkis serangannya dan membalikkan serangannya. Kuti memanah orang tersebut dan melindungiku, "Kamu tidak apa-apa? Kamu kenapa?"
"Api besar ini membuatku takut dan teringat sesuatu." Kataku.
"Fokus!" Kuti memukul helmku. "Meskipun kita tidak bisa mati. Lucu kalau kita kalah di sini."
Aku mengambil gadaku dan menghempaskannya ke tanah. Menciptakan debu yang memperparah suasana di sini. Aku dan Kuti kini berada di sekitar Raja Majaga sembari mencari titik terlemah kepungan musuh.
Debu dan asap, hawa panas menghalangiku untuk menemukan jalan keluar. Aku mencoba menerobos ke sisi timur. Aku gunakan perisaiku dan menabrak semua prajurit musuh yang menghadang kami.
Aku dan Kuti melihat jalan keluar, para prajurit Majagada yang melihat kami langsung mengisi kekosongan yang kami buat untuk membuat jalan keluar. Raja Majagada melihat aksiku dan memerintahkan pengawalnya beserta dirinya untuk keluar melalui sini.
"Kerja bagus!" puji Raja Majagada. "Kini kalahkan mereka semua sembari mundur keluar!"
Raja Majagada sudah dalam posisi aman. Akan susah jika tidak ada yang menahan mereka. Aku memerintahkan Kuti untuk ikut bersamaku dan menahan pasukan Ludanes. Kami bertarung mati-matian menahan laju pasukan Ludanes.
Pasukan Ludanes terhenti begitu melihat kami berhasil mengalahkan rekan mereka dengan jumlah yang banyak. Seseorang dari kerumunan muncul, "Kamu utusan dewa? Atmaja memberitahuku."
"Ya." Jawabku dan Kuti bersamaan.
"Aku Indarto, Grandmaster dari Ordo Kesatria Ludanes." Ucapnya dan menyiapkan pedangnya untuk bertarung denganku dan Kuti.
Sebuah bangunan roboh dan memisahkanku dengan Kuti. "K-Kuti! Ka-kamu kabur saja!"
"Tidak!" Kuti menerobos puing-puing bangunan yang terbakar dan kembali bersamaku. Terlihat ada api yang membakar jubahnya dan aku memeluknya dan memadamkan apinya dengan tepukan tanganku. "Aku tidak mau berpisah."
Kini jalan mundur kami tertutup. Api semakin membesar di belakang kami. Pasukan Ludanes berserta Grandmaster Indarto mendekati kami. "Ordo Ludanes kebal dengan api. Api adalah bagian dari kami. Rajamu salah memutuskan untuk berperang dengan kami. Karena Api Ludanes tidak pernah padam!"
Kulihat Kuti sudah kehabisan anak panah dan kelelahan. Dia tampak pasrah dalam pelukanku. Begitu juga dengan diriku, kepalaku sudah pusing dan staminaku menipis meskipun nyawa kami berdua masih banyak.
Karena melihat api yang semakin membesar. Aku teringat kejadian pada masa kecilku saat rumahku terbakar. Kepalaku menjadi sakit, "Akh."
"Te-tenang Kuti." Aku menenangkan Kuti dan memakai peralatan tempurku lagi. Mereka mengeroyokku habis-habisan. Tetapi mereka sendiri yang terluka karena kemampuan khususku untuk membalikkan serangan mereka. Aku bertarung dengan sengit melawan mereka.
Grandmaster Indarto yang melihatku bertempur kagum dan memerintahkan anak buahnya untuk mundur. Kini dia menghadapiku, tapi tenagaku sudah mau habis. "K-kamu curang, baru mau maju saat aku kelelahan."
"Kamu hebat. Aku tidak akan menyerangmu. Tekadmu sangat kuat. Kamu tadi bertarung mati-matian karena melindungi gadis di belakangmu itu kan? Sia-sia kamu ada di Majagada. Seharusnya kamu bergabung dengan Ordo Kesatria bukan ikut kepada raja." Indarto menyarungkan kembali pedangnya.
"Tangkap mereka berdua dan perlakukan mereka dengan baik." perintahnya kepada anak buahnya. "Jangan coba merampas senjata mereka berdua. Itu ada kutukannya bila yang memegangnya bukan utusan dewa. Ditali mereka juga percuma, ajak mereka berjalan masuk ke dalam kerangkeng penjara."
Mungkin ini yang terbaik, aku dan Kuti dikawal oleh para prajurit Ludanes keluar dari kota Nesbakki. Grandmaster Indarto memasukkan kami berdua ke dalam gerbong kereta kudanya. "Raja Majagada sudah mundur. Sayang sekali dia menyia-nyiakan berkah dari Dewa 999."
"Pasukan yang berjaga di kemah kalian sudah kalah juga." Indarto duduk di hadapan kami. "Apakah gadis itu adikmu?"
"Bukan. Ini kekasihku," balasku.
"Aah," balas Indarto. "Tenang saja, aku tidak akan melukai kalian. Karena aku tahu aku tidak bisa menang melawan kalian kalau kalian tidak kelelahan."
"Dewa bisa saja mengirim utusannya yang kuat sekali. Tetapi strategi kami menang," Indarto menyombongkan dirinya. Seorang kesatria masuk dan membawakan tiga buah cangkir teh yang kini ditaruh di atas meja.
"Aku tidak akan melukai seorang wanita, kamu bisa memegang ucapanku. Kamu akan dijadikan tahanan rumah hingga para dewan liga kesatria menentukan nasibmu." Kata Indarto lagi. "Kami masih sangat menyayangkan kematian Grandmaster Tiana. Kamu tidak terlibat dalam kematiannya kan?"
"Tidak." balasku. "Raja Majagada mengeksekusinya dengan cara yang memalukan."
"Terima kasih karena tidak membunuh kami." kataku padanya.
"Jika aku membunuh utusan dewa, apa kata liga kesatria nantinya." Balas Indarto dia memperhatikan mukaku. "Kamu adalah kunciku untuk memajukan Ordo Ludanes nantinya. Ada pohon suci di Kota Ludanes, nantinya kamu bisa memanggil Dewa 999 ke kota kami."
"Sekarang, kamu mau minum teh ini dipaksa atau minum sendiri?" tanya Indarto.
"Tehnya beracun?" tanyaku.
"Bagaimana menurutmu?" Indarto balas bertanya. "Dari pengamatanku kamu takut api, mau melakukan apapun untuk kekasihmu."
Aku meminum tehnya hingga habis. Aku merasakan kalau ini ada obat penenangnya. "Teh ini ada obat penenangnya kan?"
Mataku semakin berat dan aku tidur sambil memeluk Kuti. Ketika aku terbangun lagi aku dan Kuti masih berada di dalam kereta kuda dan sampai di depan sebuah rumah. Grandmaster Indarto tersenyum melihatku, "Selamat datang di mansionku. Kamu akan kutahan di sini hingga para dewan kesatria tiba."
"Kenapa pakai obat penenang?" tanyaku.
"Lokasi ini rahasia." Jawab Indarto.
Kuti terbangun dan memelukku dengan erat. "Selamat pagi. Kita ada di mana? Kalau tidak salah, terakhir aku pingsan di pelukanmu."
"Kita ditawan sebentar." Balasku dan mengusap rambut Kuti. "Y-yang terpenting kita tetap bersama."