Chereads / A Story in A New World! / Chapter 7 - Bab 6: 999 (2)

Chapter 7 - Bab 6: 999 (2)

Setelah berkuda selama dua puluh menit kami sampai di bagian belakang pasukan. Kami memperkenalkan diri kami sebagai utusan dari 999 dan mereka pun bersorak. Moral mereka sepertinya naik ketika melihat kami datang.

Kapten pasukan yang ada di sini menghampiri kami. "Kami minta tolong utusan dewa! Seseorang dari mereka berhasil menahan kami!"

"Itu Dahlan," Kuti menggunakan teropongnya untuk mengintai area pertempuran. "Rosa mendukung serangannya dari belakang."

"G-gampang dong harusnya." Kataku dan turun dari kuda.

"Karena di dalam game pun kita lebih kuat dari mereka juga. Ditambah lagi kita dapat kekuatan OP dari dewa ini juga." Ucap Kuti dan turun dari kuda. Diberikannya tali kekang kudanya ke kapten. "Tolong jaga kuda kami ya."

Aku dan Kuti segera maju ke medan pertempuran. Dahlan dan Rosa terkejut melihat kami. "Katanya kalian berdua berlindung di tempat aman. Kenapa kalian hadir di sini dan berada di pihak musuh?"

Aku terdiam dan mulai mengambil posisi berjaga. "Kuti seperti biasanya. Strategi kita nomer 1."

Kuti segera menghilang dari pandangan Dahlan dan Rosa. Aku maju dan bertarung dengan Dahlan. Dia menggunakan keris di tangan kanan dan kirinya. Dia menyerangku bertubi-tubi dengan serangannya.

Tapi yang tidak dia ketahui adalah kemampuanku. Aku menyerap serangannya yang berhasil aku tangkis dan memantulkannya kepadanya. Kedua kerisnya menyerang perisaiku, aku mendorong perisaiku dan menghempaskan Dahlan.

Saat dia terhempas dan mencoba mendarat. Kuti menyerangnya dengan panahnya tepat di kakinya untuk mengunci kelincahannya. Aku melompat dan hendak memukulnya dengan gadaku. Rosa membantunya dengan berusaha menyerangku dengan sihir petirnya. Tapi percuma serangan sihir bisa kutahan dan energi sihirnya terserap ke senjataku.

Aku memukulkan gadaku ke arah Dahlan. Menggunakan kelincahannya yang sangat tinggi dia menghindari panah dari Kuti tetapi dia tidak bisa menghindari dari pukulan gadaku. Aku arahkan gadaku ke tanah dan menciptakan getaran besar.

Kuti melihat Rosa lengah dan menyerangnya dengan panahnya. Aku melihatnya juga dan segera meloncat ke sana. Dahlan mencegahku dan memegangi kakiku. Ah sial, aku terpeleset dan Dahlan kini mencoba menyerangku.

Kukembalikan energi sihir dari Rosa yang terserap untuk memantulkan serangan Dahlan. Kulihat Rosa sedang kesusahan di serangan anak panah bertubi-tubi oleh Kuti. Hingga ia tidak sadar kalau Kuti yang asli mendekat dari belakang dan menyerangnya. Kini Rosa telah disandra oleh Kuti.

"Kalau begitu aku juga tidak akan berm-bermain-main." Kataku.

"Ngomong masih sering gagap gitu." Ucap Dahlan.

Aku mengangkat gadaku ke atas dan menarik mereka ke dekatku. Dahlan tidak bisa kabur karena kakinya kini terbenam ke tanah. Lalu aku pukulkan ke tanah gadaku dan membuatnya pingsan. Kulihat bar nyawa dari Dahlan sudah habis dan dia kini pingsan.

Aku menghampiri Rosa yang disandra oleh Kuti. Anggota Kesatria Bulan tidak ada yang berani mendekati kami. Hingga Grandmaster Tiana muncul dengan tombaknya. Dia maju di depan kerumunan pasukannya yang ketakutan melihat kami.

"Hei lepaskan aku. Aku menyerah. Setidaknya kalian bisa membiarkanku untuk berpetualang sendirian kan?" pinta Rosa pada Kuti.

"Ya. Sana cepat pergi Rosa." Kuti melepaskan Rosa.

Dengan cepat Rosa mundur dari kabur. Aku menggendong Dahlan dan melemparkannya ke kerumunan anggota Ordo Kesatria Bulan. Melihat pasukannya kalah, Grandmaster Tiana kini muncul di depan pasukannya.

Dia menggunakan tombaknya dan maju menyerangku. Serangan tombaknya sangat lincah dan cepat. Beberapa serangannya mengenaiku aku menghindar dan melompat mundur dan membuat jarak darinya.

Serangan panah Kuti dia tangkis tapi hal itu mengakibatkan tombaknya rusak. Saat dia hendak mengambil pedangnya. Aku maju dan mendorongnya dengan hempasan perisaiku. Lalu satu ayunan gada ke tubuhnya.

BUK!

Grandmaster Tiana terlempar ke belakang. Aku mengisyaratkan kepada semua prajurit Majagada untuk maju dan menyerang mereka. Aku membukakan jalan bagi para prajurit Majagada. Gadaku memukul dan melontarkan mereka hingga jauh ke belakang. Ada juga yang pingsan setelah terkena gadaku.

Ordo Kesatria Bulan mundur dan masuk ke dalam gerbang. Para anggotanya yang ada di atas tembok dan gerbang menembaki panah kepada kami. Aku mencoba menghantamkan gadaku ke gerbang yang terbuat dari kayu tebal ini. Kuti dari kejauhan menembakkan anak panah yang semakin dekat ke target semakin membesar.

BRAK!

Anak panahnya berhasil menembus gerbang dan merusakkannya. Para prajurit Majagada merangsek maju dan menyerang para pasukan Kesatria Bulan yang membentuk formasi kotak. Kuti menembakkan anak panahnya sekali lagi. Panah tersebut semakin membesar dan menghancurkan formasi para kesatria.

Ponselku bergetar, ada pesan dari 999. "Bunuh Grandmaster Tiana untukku dong. Aku bosan menonton pertempuran kalian."

"Ha? Wajib kah?" tanyaku.

"Wajib. Ayo Thomas, kamu bisa membunuhnya." Jawab 999. "Nih lokasi terakhirnya dia sedang diungsikan ke rumah sakit."

"Kamu menjadikanku penjahat perang ya." Balasku.

"Lakukan saja!" 999 menjawab.

Aku dan Kuti bergerak menuju ke rumah sakit yang diberitahukan oleh 999. Para staf rumah sakit dan petugas medis ketakukan melihatku dan Kuti.

"Di mana Grandmaster Tiana? Kami dapat perintah untuk menangkapnya!" teriak Kuti. "Atau kalian semua akan kubunuh!"

"Eh? K-kuti? Kami serius berkata seperti itu?" tanyaku pada Kuti. "I-itu berlebihan Kuti."

Aku dan Kuti memeriska ponsel kami. Ada pesan dari 999. "Ah ide menarik Kuti. Aku mau kamu dan Thomas ikut andil dalam membunuh semua orang yang ada di rumah sakit ini."

Tanpa ragu aku melihat Kuti menusuk petugas medis yang menghalanginya. Dia juga membunuh pasien yang berobat dan prajurit yang terluka. Kuti menatapku dan menghampiriku, "Ayo! Kamu tidak ingin bersenang-senang? Kapan lagi kita bisa bebas berekspresi seperti ini! Lagi pula yang memerintahkan kita seorang dewa!"

"A-aku, k-kurasa aku ti-," belum sempat menyelesaikan kalimatku. Kuti mencium bibirku dan menatapku dengan mesra.

"Ayo!" tangannya menggerakkan tanganku dan membuatku memukul seorang anak yang menangis ketakutan di dekatku. Kepalanya hancur di tanganku. "Sekarang kita tidak bisa kembali lagi!"

Aku mengangguk dan menyisir semua ruangan rumah sakit untuk mencari Grandmaster Tiana yang dirawat di sini. Tidak lupa di semua pasien yang ada di sini kami bunuh semuanya. Hingga kami menemukan ruangan tempat Grandmaster Tiana dirawat.

Saat kami memasuki ruangannya, terlihat dia masih dibersihkan lukanya. Membuatku bertanya-tanya, apakah hanya kami berempat yang tidak bisa mati? Tapi orang biasa bisa mati? Akan kutanyakan pada 999 nanti saja.

"Grandmaster Tiana, saatnya menyerahkan nyawamu." Ujar Kuti. "Kamu tadi melukai kekasihku kan? Aku akan membalasnya juga. Berapa kali tadi serangannya yang kena padamu?"

Grandmaster Tiana mengangkat tangannya dan menyerah. "Tangkap aku saja! Jangan bunuh aku! Aku punya adik dan keluarga kecil untuk dirawat!"

Kuti menusuk dokter dan perawat yang merawat Grandmaster Tiana. Belatinya kini siap untuk menusuk Grandmaster Tiana. Aku mencegah Kuti, "Tunggu! Ponsel kita bergetar."

Ada pesan dari 999 yang menginginkan kita untuk melecehkan Grandmaster Tiana dahulu di hadapan keluarganya sebelum membunuhnya. Kuti menyarungkan kembali belatinya dan menangkap Grandmaster Tiana.

Di luar terdengar suara sorakan kegembiraan. Bendera Ordo Kesatria Bulan berganti dengan Bendera Majagada dan bendera dengan angka 999. Aku dan Kuti menggiring tawanan kami keluar dari rumah sakit.

"Cih kalian benar-benar manusia barbar! Kalian membunuh warga sipil tak berdosa?" tanya Tiana kepada kami.

"Tawanan tidak berhak untuk bicara." Kuti menampar mulut Tiana dan menendangnya untuk berjalan. "Di mana rumah keluargamu? Kami akan memperlakukan keluargamu dengan aman asal kamu tidak akan membuat ide untuk memberontak."

"Kalian pasti berbohong. Kalian hendak berbuat sesuatu padaku dan keluargaku kan?" tanya Tiana. Kuti menendangnya dengan keras hingga keluar dari rumah sakit.

"Jika kamu tidak memberitahukannya. Maka aku akan mencari mereka dan membunuhnya." Jawab Kuti dan memaksa Tiana untuk berdiri lagi. Tiana menyerah dan memberitahukan alamatnya.

Aku dan Kuti kini membawa Tiana ke arah kumpulan tawanan lainnya. Kuperintahkan prajurit untuk ke alamat kediaman Grandmaster Tiana dan menculik keluarganya. Raja Majagada kini memasuki kota ini.

"Terima kasih telah membantu kami utusan dewa 999! Sebagai gantinya aku akan mempersembahkan tawanan ini kepada 999." Ucap Raja Majagada pada kami.

Heh? Persembahan? Maksudnya apa? Kalian mau mengorbankan mereka semuanya. Bisa-bisa kota ini penuh dengan bau busuk mayat nantinya. Ponselku bergetar lagi, ada pesan dari sang dewa. "Kalian tidak tahu kalau aku perlu persembahan?"

"Kamu mau apa?" balasku.

"Darah dan mayat." Jawabnya. "Suatu saat, jika kamu sudah menemukan kuilku. Aku akan mengundangmu ke alam dewa dan akan meminta darahku sebagai gantinya aku pinjamkan kekuatanmu."

Tidak lama kemudian prajurit yang kami perintahkan untuk menangkap keluarga Grandmaster Tiana muncul. Raja Majagada memerintahkan prajuritnya untuk merudapaksa Grandmaster Tiana di hadapan keluarganya. Semua keluarganya dipaksa untuk melihat peristiwa ini.

Kuti tampak tenang melihatnya dan menikmatinya. Aku sendiri merasa jijik melihat ini, berjalan demi menghindari kerumunan ini aku menuju ke belakang dan duduk di bangku kayu depan rumah warga.

Kuti menghampiri dengan membawa sebuah botol anggur merah. Dia duduk di sampingku dan membuka tutup botol tersebut. "Akhirnya, aku bisa puas melihat wanita yang melukaimu dihukum begitu."

"K-kuti aku tidak mengira kamu bisa berbuat seperti itu." Kataku pada Kuti. "Menurutku tindakan kita tadi berlebihan dan salah."

"Kamu berbicara apa sih sayang," Kuti menempel padaku dengan manja. "Aku melakukannya demi kamu."

"T-terima kasih." Balasku. "Kamu t-tidak merasa bersalah sekali karena telah membunuh warga tak bersalah."

"Mereka bersalah. Lagi pula bila 999 mengutus kita sudah pasti mereka bersalah." Kata Kuti dan menyodorkan botol anggurnya padaku. "Cobalah, enak sekali."

"Aku tidak mau mabuk." Aku menolaknya, tapi Kuti tetap mencoba memaksaku untuk minum. Berkat usaha Kuti aku menengguk 3 kali anggur itu dari botolnya. Kami berdua minum hingga kami merasakan mau mabuk.

Kuti mengajakkan kembali ke rumah. Setelah berpamitan kepada sang raja untuk pulang. Kami beserta keluarga kami pulang ke rumah kembali. Tanpa kami ketahui, sang Raja Majagada juga menginap di rumah orang tuaku dan orang tua Kuti untuk membahas siapa yang akan menjadi penguasa kota. Aku yang masih terjaga menguping pembicaraan mereka, akhirnya keluarga Kuti yang ditunjuk sebagai penguasa baru kota ini. Sementara keluargaku menjadi wakilnya.

Karena tidak kuat menahan kantuk lagi, aku bergabung dengan Kuti yang sudah mengorok di kasur kamarku. Kulepaskan peralatanku dan berganti baju dan ikut tidur di sampingnya.