"Apa yang harus aku lakukan untuk hadiah Barakuda ini?" Faris bertanya pelan. Saking pelannya hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar. Apalagi tempat pelelangan ikan itu memang sedang gaduh-gaduhnya. Zoya hanya melihat bibir Faris bergerak-gerak seolah sedang membaca mantra. Zoya memberi isyarat memegang daun telinga ke arah Faris.
Faris tersadar. Tadi dia hanya menggumamkan isi hatinya tapi rupanya nyetrum ke bibirnya. Faris mengangkat hapenya. Meminta Zoya membaca di WA. Percuma dia teriakpun belum tentu Zoya mendengar. Luar biasa ramai tempat ini. Tidak mungkin juga dia pindah ke samping Zoya. Bisa-bisa gadis itu mengumpankannya ke Barakuda.
Zoya mengerti apa yang dimaksud Faris. Dia meraih hape di kantongnya. Lalu mengangkatnya ke arah Faris. Siap berkomunikasi via WA meski jarak mereka tak lebih dari lima jengkal.
Faris mengetik;
Kau tidak mau kubayar. Apa yang mesti kulakukan untuk menebus Barakuda?
Zoya membalas;
Apakah harus ditebus?
Faris mengetik;
Iya. Aku tidak enak hati kalau ini gratis
Zoya membalas;
Ok. Kalau begitu selesaikan musikalisasi puisiku dan kita impas
Faris mengetik;
Tapi aku belum terima puisinya, Zoya
Lama Zoya baru membalas;
Hah? Rasanya aku sudah posting di WA beberapa hari lalu
Faris mengetik;
Beberapa hari lalu kamu mengirimkan permintaannya. Tapi puisinya belum
Zoya membalas;
Oh oke baiklah. Aku kirim sekarang
Aku Merindukanmu
Aku merindukanmu, Ibu
seperti rindu musim layang-layang terhadap angin
di langit yang cerah
biru dan gagah
Aku merindukanmu, Ibu
seperti rindu tundra terhadap lolongan serigala alfa
di puncak purnama
ketika sunyi adalah raja diraja
Aku merindukanmu, Ibu
seperti rindu lupa terhadap ingatannya
kala dunia menggelap
akibat percakapan yang selalu gagap
Aku merindukanmu, Ibu
seperti doa-doa terhadap Tuhannya
di sepertiga malam
ketika dua pertiganya hanyalah lebam dan balam
Lama terjadi keheningan. Faris sedang membaca bait demi bait. Puisi ini sangat bisa diaransemen menjadi musik yang bagus dan indah!
Faris mengetik;
Indah sekali! Aku akan mulai mengerjakannya ketika kita pulang ke Bogor
Zoya membalas;
Terimakasih. Tapi bukan kita yang pulang ke Bogor bersama. Hanya kamu dan Cleo
Faris kehabisan akal akan menulis apa. Zoya selalu mengarahkan topik pembicaraan ke sana. Apakah kau mau kutantang sekalian hai si mata kejora! Tapi Faris tidak berani mengetikkan tantangannya. Dia hanya mengacungkan jempol ke arah Zoya yang menatapnya aneh.
Pertemuan tak diduga dan dilanjutkan dengan percakapan aneh itu berakhir. Zoya melambaikan tangan ke arah Faris yang masih duduk manis. Percuma mengajak gadis itu bersama-sama balik ke Karang Hawu. Dia pasti tidak mau kalau hanya berduaan saja. Faris hanya bisa berteriak hati-hati dan beranjak menuju parkiran.
Zoya menjalankan motornya pelan. Sambil ke parkiran tadi dia menyempatkan diri membeli beberapa ekor Ikan Kerapu dan Kakap. Rencananya malam ini akan dibakar sebagai penutup liburan yang tidak menyenangkan ini. Besok pagi mereka akan kembali ke Bogor.
Faris tancap gas begitu sudah sampai di jalan utama. Entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman setelah pertemuan dengan Zoya. Meski Ikan Barakuda berhasil didapatkan tapi kalimat-kalimat Zoya yang selalu membicarakan hubungannya dengan Cleo membuat Faris tidak terima.
Uh! Kenapa tidak kutantang Ta'aruf sekalian saja Zoya tadi. Tapi rasanya kurang jantan kalau hal itu disampaikan melalui WA. Sebenar-benarnya Ta'aruf adalah dia pergi menemui kedua orang tua Zoya dan menyampaikan niatnya. Tapi di mana alamatnya? Siapa nama orang tuanya? Lalu apakah Zoya mau? Faris merasakan langit semakin rendah dan hendak menimpa kepalanya. Lengkingan cempreng RX King itu makin garang saat mulai memasuki tanjakan demi tanjakan ke arah vila.
Memasuki vila, Faris langsung menuju ke dapur. Dia harus meletakkan Ikan Barakuda ini di ember besar agar masih tetap hidup. Tapi sebelumnya dia akan memberitahu Cleo bahwa misi sudah selesai dan mereka bisa pulang besok pagi. Faris tidak melihat siapapun di dapur. Juga di ruang tengah. Mungkin mereka semua sedang beristirahat atau tidur. Tapi masa sih tidur jam 9 pagi?
Faris kebingungan mencari ember besar. Saat sedang sibuk mencari-cari itulah sosok Cleo dan Juwita muncul.
"Cari apa Faris? Bisa aku bantu?" Cleo menyapa ramah. Faris tersenyum. Gadis ini penuh dengan kelembutan sekarang.
"Aku mencari ember besar untuk meletakkan ini." Faris menunjukkan plastik besar berisi Barakuda yang meringkuk di dalamnya. Plastik itu terlalu sempit. Zoya mendekat sambil mengintip ikan yang berada di dalam plastik.
"Ini apa, Faris?" Zoya menunjuk ikan yang memiliki deretan gigi tajam itu sambil bergidik.
"Barakuda, bukan?" Faris menyahut. Matanya masih mencari-cari di atas lemari dapur. Barangkali ada ember di sana.
Cleo melongo. Oh, jadi ini to bentuk Ikan Barakuda itu? Gadis itu meringis. Membayangkan reaksi Faris saat dia berterus terang bahwa mereka pergi ke Pelabuhan Ratu bukan karena misi apapun. Mereka datang kesini karena dia ingin berlibur ditemani oleh pemuda itu.
Faris tidak memperhatikan raut muka Cleo. Dia menemukan apa yang dicarinya. Sebuah ember besar. Faris memindahkan ikan tersebut ke dalam ember lalu meletakkannya di wastafel besar agar ember itu mendapatkan aliran air secara terus menerus sehingga ikan itu tidak mati kekurangan oksigen. Faris benar-benar lupa bahwa air kran itu mengalirkan air tawar dan bukan air laut yang merupakan habitat alami Barakuda.
Faris khilaf karena bunyi pesan di WA dari Anisa membuatnya gembira bukan main;
Faris kamu datang ya setelah Isya. Kami bakar-bakar ikan di vila Pancur Laut. Dua rumah dari tempatmu. Zoya yang masak loohh!
Sesuai dugaannya, Zoya pasti tidak datang sendirian ke Pelabuhan Ratu. Dua pengawal galak itu pasti ada di sekitarnya. Dan benar saja.
Malam menjelang. Fatimah dan Anisa sibuk mempersiapkan pesta bakar ikan. Zoya cukup banyak membeli ikan. Gadis itu juga sudah mengulek bumbu serta sambal. Giliran Fatimah dan Anisa yang bekerja. Keduanya membakar ikan di halaman rumah menggunakan arang. Membakar di kompor akan mengurangi cita rasa dan kelezatan ikannya.
Setelah menunaikan Sholat Isya, makanan telah siap. Mang Juha telah menyiapkan meja panjang tempat beberapa helai daun pisang digelar. Ikan bakar, nasi, dan lalapan telah disajikan di atas daun pisang. Beberapa piring juga sudah disiapkan oleh Anisa.
Zoya yang datang belakangan iseng menghitung piring yang disiapkan. 4? Mang Juha dan istrinya memang tidak mau makan bersama. Ikan untuk mereka juga sudah disisihkan oleh Fatimah.
Zoya mengerutkan keningnya. 4 piring? Bukankah mereka hanya bertiga? Zoya akhirnya tidak mau pusing memikirkan. Mungkin untuk cadangan. Zoya mengambil piring dan mengambil nasi serta potongan ikan dan lalapan di atas daun pisang. Kelihatannya ini lezat sekali! Zoya memandang heran Fatimah dan Anisa yang tidak segera mengambil piring dan menikmati makan malam. Mereka malah sibuk melongok-longok ke arah gerbang.
Terdengar derit gerbang dibuka. Fatimah dan Anisa bangkit berdiri bersamaan. Zoya yang sudah memasukkan beberapa suapan ke mulutnya ikut berpaling. Faris berdiri di sana sambil menenteng beberapa helai petai di tangannya. Zoya sampai lupa menutup mulutnya. Pantas saja Fatimah dan Anisa tidak segera makan. Ternyata mereka menunggu kedatangan Faris. Zoya terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa. Tatapan galak Fatimahlah yang menyadarkan Zoya.
"Eh, oh. Ayo Faris! Kita makan malam bersama." Zoya mempersilahkan sambil menunjuk ke arah meja. Faris mengangguk dan tersenyum. Pemuda itu langsung saja mengambil piring dan mengisinya dengan tumpukan nasi dan ikan. Juga sambal terasi yang tadi dibuat oleh Zoya.
Zoya terpana. Porsi makan Faris adalah porsi raksasa. Mungkin ukurannya setara dengan dua porsi makan seorang Kuli Panggul di Pasar Merdeka. Faris tersenyum lagi ke arah Zoya.
"Maaf ya aku ambil banyak-banyak. Aku lapar. Selain itu Anisa mengatakan bahwa kamulah yang menyiapkan bumbu ikan dan mengulek sambal. Aku harus mencobanya. Demi masa depanku." Faris berkata sambil nyengir selebar Barakuda.
--******