Fatimah dan Anisa menyaksikan saat kapal Faris mendarat dan mereka juga melihat Cleo dipapah dan digotong masuk ke dalam mobil. Kedua gadis ini tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka di tengah laut sana. Yang jelas lautan terlihat marah hingga ke pantai. Gelombang tinggi saling susul menyusul menghantam pemecah ombak dan berhamburan menjadi buih-buih putih.
Kedua gadis itu bergidik. Untunglah kapten kapal yang mereka sewa tadi bertindak cepat dengan buru-buru balik. Kalau tidak, mungkin saja akan terjadi insiden yang sama seperti yang dialami Cleo. Fatimah dan Anisa benar-benar penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Cleo. Namun tidak mungkin mereka terang-terangan menghampiri saat ini dan bertanya.
"Kita tanya kapten kapalnya setelah mereka semua pulang." Bisik Fatimah. Anisa mengiyakan. Mereka menunggu dengan sabar meski tubuh mereka sudah mulai menggigil kedinginan.
Begitu rombongan Faris telah pergi. Buru-buru Fatimah dan Anisa menghampiri kapten dan anak buah kapal yang masih duduk ngopi di warung dengan wajah yang masih terlihat tegang. Dengan kelihaian investigasinya yang sempurna, Anisa berhasil mengorek semua informasi dari kapten dan anak buah kapal. Fatimah dan Anisa seolah berada di sana dan bergidik ngeri ketika kapten itu bercerita perjuangan heroik Faris menyelamatkan Cleo.
Di vila, Cleo diberikan baju ganti hangat dan minuman panas. Gadis itu masih syok berat. Dia terbaring lemas di sofa ruang tengah di mana semua teman-temannya berkumpul. Faris merokok di luar sambil memandangi lautan yang baru saja mereka tinggalkan di kejauhan. Langit senja kembali cerah dan lautan terlihat tenang. Faris berbisik pelan.
"Subhanallah, kalau Kau sudah berkehendak maka terjadilah. Kun Fayakun."
Faris bangkit berdiri. Masuk ke dalam dan mandi. Keluar dari kamar mengenakan sarung dengan baju koko. Faris melewati ruang tengah untuk sejenak menengok Cleo. Gadis itu memandangnya dengan tatapan aneh. Kalimat lemah keluar dari bibirnya yang masih gemetar.
"Terimakasih Faris. Kau telah menyelamatkan nyawaku hari ini." Faris sedikit tersentak. Baru kali ini dia mendengar Cleo memanggilnya dengan nama sebenarnya. Faris hanya mengangguk.
"Kau mau kemana?" Lanjut Cleo sambil berusaha duduk.
"Masjid. Aku mau Sholat Magrib berjamaah."
Cleo bangkit berdiri dengan lemah. Lengannya dipegangi oleh Juwita agar tidak terjatuh.
"Aku ikut ya. Boleh?" Faris bengong sesaat. Ikut?
"Iya aku ikut. Aku ingin ikut sholat berjamaah. Sudah lama aku tidak sholat berjamaah." Cleo memandang Faris dengan penuh permohonan. Tulus.
Faris berpikir sejenak. Kejutan yang baik. Tapi dengan keadaan Cleo yang masih lemah, tidak mungkin pergi ke masjid yang agak jauh di luar komplek. Faris mengedarkan pandangan di ruang tengah yang luas dan bersih ini.
"Kita sholat berjamaah saja di sini. Aku akan mengimami kalian yang ingin ikut."
Cleo mengangguk gembira. Gadis itu berjalan lemah menuju kamarnya untuk mengambil wudhu dan mukena. Menoleh kepada Juwita yang masih terbengong-bengong mendengar perkataan Cleo baru saja. Gadis club yang gemar berpesta malam itu mau sholat? Sholat berjamaah pula.
"Aku tidak memaksamu Juw. Kalau kau dan yang lainnya mau, kita ikut jamaah bersama Faris."
Ingatan Juwita langsung melayang kepada peristiwa belum lama yang mereka hadapi di lautan. Membayangkan betapa kecilnya mereka di hadapan Sang Pencipta. Atas kehendakNYA pulalah yang memutuskan mereka masih hidup hingga saat ini. Juwita mengangguk mantap diikuti ketiga temannya yang lain.
Petang itu, vila yang selama beberapa petang ini hanya dihiasi dengan gelak tawa dan musik keras, mengalunlah suara adzan yang merdu bukan main. Penjaga gerbang yang mendengar suara itu sampai memiringkan kepala untuk memastikan bahwa adzan itu betul-betul keluar dari dalam vila megah itu.
Tepat bersamaan pula saat Fatimah dan Anisa berhenti di luar gerbang yang tertutup rapat. Mereka hendak singgah dan menanyakan keadaan Cleo. Bagaimanapun gadis itu adalah teman sekampus mereka. Fatimah dan Anisa saling berpandangan saat hendak memencet bel di pintu gerbang. Mereka mengenali suara merdu Muadzin yang sedang adzan itu sama persis seperti yang mereka dengar di Masjid Al-Hurriyah tempo hari. Jadi itu dulu suara merdu Faris?
Fatimah dan Anisa membatalkan niatnya. Pasti penghuni vila ini hendak Sholat Magrib. Lebih baik mereka cepat kembali ke vila di mana Zoya pasti menunggu-nunggu mereka dengan cemas. Fatimah dan Anisa memang tidak berkirim kabar apapun saking asiknya melakukan pengintaian.
Zoya yang baru saja selesai menunaikan Sholat Magrib mendengar derit pintu gerbang dibuka oleh Mang Juha, penjaga vila. Suara motor berhenti di depan vila membawa Zoya keluar. Terbelalak kesal kepada dua sahabatnya yang terlihat sangat mengenaskan. Pakaian dan jilbab keduanya sangat berantakan. Seolah habis terserang badai hebat.
Mata Fatimah dan Anisa bertemu dengan tatapan Zoya yang melotot. Mengangguk bersamaan sambil masuk dalam rumah.
"Iya kami terkena badai di lautan saat mengintai Faris dan Cleo."
Zoya tertegun. Bayangan Cleo dan Faris berduaan membuat hatinya memanas dengan cepat. Tapi cepat-cepat ditutupinya perasaan itu dengan menegur kedua sahabatnya.
"Mengintai sih mengintai. Tapi apa iya kalian tidak sempat memberi kabar sedikitpun supaya aku tidak cemas menunggu."
Fatimah dan Anisa sontak memeluknya secara bersamaan. Anisa berbisik. Tidak menjerit seperti biasa.
"Maafkan kami ya, Zoy. Tadi ada insiden hebat di tengah laut. Cleo nyaris tenggelam kalau tidak diselamatkan oleh Faris."
Zoya berusaha mengangguk sambil mengeluarkan suara ah uh. Nafasnya tercekik. Pelukan Fatimah kembali seberat stoom walls. Apalagi ini ditambah Anisa.
Sesungguhnya hati Zoya tersentak kaget bukan main mendengar berita singkat dari kedua sahabatnya. Cleo kecelakaan? Kasihan. Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Apakah Faris baik-baik saja?
Fatimah melepaskan pelukan dan setengah berlari menuju kamarnya. Diikuti oleh Anisa yang melakukan hal yang sama.
"Nanti kami ceritakan ya, Zoy! Mau sholat dulu. Keburu Magrib habis!"
Zoya menghela nafas. Mereka ini memang pintar mempermainkan perasaannya. Ini baru pukul 18.05. Sempat saja kali kalau mereka memang berniat menceritakan poin-poinnya.
Zoya menunggu di meja makan. Menunggu Fatimah dan Anisa untuk makan malam bersama. Istri Mang Juha memasak sup ayam. Kelihatannya enak dan segar. Zoya mengangkat kepalanya. Fatimah dan Anisa berjalan tersaruk-saruk menuju meja makan.
Saat makan malam, Fatimah dan Anisa yang biasa suka berceloteh hanya berdiam diri. Zoya yang lebih banyak ke rasa penasaran daripada heran membuka suara.
"Cleo bagaimana keadaannya? Apakah Faris baik-baik saja? Seperti apa sih kejadiannya?"
Secara bersamaan Fatimah dan Anisa tertawa tergelak-gelak. Ini yang mereka tunggu. Rupanya Zoya tidak bisa lagi menahan desakan hatinya.
Zoya melotot marah melihat kedua sahabatnya itu tertawa terbahak-bahak. Jadi mereka sengaja diam untuk memancing dirinya? Sialan!
--***