Faris memperhatikan dengan teliti setiap bongkaran nelayan yang pulang melaut siang hari. Dia belum menemukan satupun Ikan Barakuda dari berkeranjang-keranjang ikan yang dibongkar. Matanya sampai pedas karena melotot. Ini adalah tempat pembongkaran terbesar di sepanjang pantai Pelabuhan Ratu. Duh! Kemana harus mencari Ikan Barakuda ya?
Pemuda itu coba bertanya kepada salah satu nelayan yang selesai membongkar hasil tangkapannya.
"Bukan musim Barakuda, Jang. Kalau mau mancing saja agak ke tengah di rumpon-rumpon yang ada. Biasanya ada Barakuda di sana. Meski tidak banyak juga."
Nelayan itu menjelaskan panjang lebar yang sesuai dengan dugaan Faris. Faris bertanya di mana kira-kira bisa sewa perahu nelayan yang punya rumpon untuk mancing tempat berburu Barakuda. Nelayan itu menunjuk sebuah perahu yang sedang berlabuh. Pemiliknya sedang mengecat beberapa bagian perahu yang terkelupas karena seringnya terkena air sekaligus sengatan matahari.
Faris berterimakasih lalu berjalan mendekati perahu dimaksud. Telinganya menangkap suara cekikikan tidak jauh di belakangnya. Faris secepat kilat menoleh karena merasa dialah yang ditertawakan. Tidak ada siapa-siapa. Faris termangu. Merasa aneh siang-siang begini ada suara hantu laut.
Fatimah dan Anisa bersembunyi di balik kedai makan yang sedang tutup. Kedua gadis itu menahan diri untuk tidak berteriak memanggil Faris. Tadi mereka berpamitan kepada Zoya akan pergi ke pasar untuk membeli ikan. Malam ini rencana mereka akan membakar ikan. Zoya tidak mau ikut karena ingin beristirahat. Kepalanya agak pusing setelah perjalanan panjang yang seperti menaiki roll coaster tadi dari Sukabumi.
Tanpa sengaja, kembali Fatimah dan Anisa melihat sosok pemuda yang populer sebagai vokalis band Metal Tawakkal itu. Dua gadis sahabat Zoya itu menunda niatnya untuk membeli ikan. Mereka akan memata-matai Faris. Setelah itu mereka berencana menyusun satu laporan utuh kepada Zoya mengenai keberadaan pemuda yang pernah jadi tokoh antagonisnya itu.
Tadi mereka tidak sempat mendengarkan percakapan antara Faris dan nelayan karena tidak bisa mendekat. Anisa mengambil ide brilian dengan membeli caping lebar nelayan dan masker penutup muka untuk mereka berdua. Dengan penyamaran seperti ini, mereka bisa mendekat untuk mendengar perkataan Faris. Laporan ini nanti harus lengkap. Tidak boleh setengah-setengah.
Faris mendekati mamang nelayan yang masih sibuk mencampur cat. Fatimah dan Anisa berhasil mendekat dengan duduk di belakang perahu sebelahnya seolah emak-emak nelayan yang kelelahan sehabis menyiangi ikan di pasar.
"Mamang punten, bisa sewa perahukah untuk memancing Barakuda di rumpon mamang?"
Nelayan itu mendongakkan kepala. Melihat seorang pemuda ganteng bertanya kepadanya. Mata tua nelayan itu juga melihat sekilas dua orang gadis nelayan membelakangi mereka di perahu sebelah.
"Wah, Alhamdulillah. Bisa saja Dek. Kapan mau mancing? Bagusnya sih pagi-pagi ya Dek saat laut masih tenang. Rumpon mamang dekat aja sih. Di sana."
Si Mamang menunjuk ke tengah laut. Nyaris saja ketawa Fatimah meledak. Telunjuk mamang tua itu mengarah ke tengah laut tapi dia bilang rumponnya dekat. Telunjuk itu bisa saja sampai ke tengah-tengah lautan banget!
Faris berkata dengan ragu.
"Pagi jam berapa ya Mang? Teman-teman saya kelihatannya kalau terlalu pagi belum bangun, euy."
Si Mamang tertawa renyah.
"Ya bagusnya mah jam setelah Sholat Subuh berangkat atuh Jang. Barakuda sedang lapar-laparnya teh pagi hari. Kalau siangan dikit nanti yang makan umpan pancing malah Ikan Pogot atuh."
Faris garuk-garuk kepala. Bagaimana ini? Bisakah Cleo dan teman-temannya bangun pagi. Dia harus memastikan sebelum memutuskan sewa perahu si mamang yang menunggu dengan penuh harap. Faris mengangkat hapenya setelah memencet kontak di layarnya.
"Cleo, ada titik terang pencarian Barakuda nih. Tapi kita harus pergi memancing. Bisakah kalian bangun pagi dan berangkat setelah Subuh?"
Anisa nyaris terjungkal mendengar nama Cleo disebut oleh Faris. Fatimah menutup mulutnya. Setengah teriakan terlanjur keluar dari mulutnya.
"Kunaon neng?" Si mamang bertanya cepat kepada kedua gadis yang memunggungi mereka. Khawatir ada apa-apa karena teriakan tadi bernada kaget atau ketakutan.
Fatimah dan Anisa diam saja. Berharap si mamang tidak melanjutkan pertanyaan. Anisa mengangkat tangannya dan digoyang-goyangnya pertanda tidak ada apa-apa. Si mamang lega.
"Kumaha Jang? Jadi mancingnya besok?"
Si mamang bertanya kepada Faris yang masih diam menunggu jawaban dari Cleo di ujung sana. Faris memberi isyarat bahwa dia masih menunggu jawaban. Untungnya Faris sedang fokus pada tanggapan Cleo di telepon sehingga sama sekali tidak mencurigai keberadaan dua emak nelayan yang sedari tadi duduk di pinggir perahu tanpa melakukan apa-apa. Padahal hari sedang panas-panasnya. Hanya caping lebar itu saja yang melindungi mereka dari sengatan matahari.
"Tidak bisa atau tidak sanggup? Aku sudah mencari di tempat bongkaran nelayan. Jarang sekali yang mendapatkan Barakuda. Kalaupun ada tapi sudah mati. Kita mesti pergi memancing kalau mau." Suara Faris terdengar agak kesal. Sudah berpanjang-panjang mendengarkan hasilnya hanya kalimat tidak mau dari Cleo yang mendapatkan bisikan dari Juwita.
Faris menghela nafas.
"Kalau gitu kapan bisanya? Atau kita balik saja jadwalnya? Besok kita menyelam dan lusa baru pergi memancing?"
Fatimah dan Anisa mendengar nada suara Faris sangat disabar-sabarkan. Ada apa sih dengan Faris dan Cleo? Kenapa ada acara memancing dan menyelam segala? Bukankah Cleo kuliah Teknologi Pangan? Kenapa mendadak sekarang mengurusi perikanan? Fatimah dan Anisa semakin penasaran. Laporan ini bisa jadi 10 halaman folio buat Zoya. Suara Faris terdengar melemah.
"Oke. Kalau begitu besok menyelam ya? Sebaiknya pagi setelah sarapan kalian bersiap. Kita menyelam di spot Karang Antuk."
Fatimah dan Anisa mencatat baik-baik nama tempat itu di dalam hati. Anisa bahkan menuliskannya di WA pada hapenya dengan terburu-buru. Faris terdengar berpamitan kepada si mamang.
"Jadi Mang. Tunggu di sini lusa ya? Setelah Subuh kami akan kesini."
Si Mamang bersinar matanya. Alhamdulillah, yang namanya rezeki tidak akan kemana.
"Berapa orang Jang? Nanti mamang siapkan peralatan mancing dan umpannya. Sekalian mamang bawakan sarapan."
Faris tersenyum senang. Baik sekali si Mamang.
"Kami berlima Mang. Cewek 4 dan saya. Tidak perlu bawa sarapan. Kami nanti yang bawakan sarapan buat Mamang."
Tanpa sadar Fatimah dan Anisa saling berpandangan dengan mata melotot. Faris bersama 4 cewek? Pasti Cleo bersama dayang-dayangnya.
Faris meninggalkan si Mamang yang sedang bahagia karena mendapatkan sewa. Lumayan. Bisa untuk menambah biaya beli cat. Perahunya ini perlu cat yang banyak agar sedikit kinclong.
Fatimah dan Anisa menunggu sampai Faris menjauh. Setelah Faris tak terlihat lagi, barulah keduanya turun dari perahu. Si Mamang hanya melihat dua gadis bercaping lebar itu meninggalkan caping masing-masing di lantai perahu. Terlihat dua orang gadis muda. Cantik-cantik berjalan tergesa-gesa ke arah yang sama si pemuda kasep tadi.
Mamang perahu melanjutkan acara mengecat perahu. Dia tahu ada yang aneh tapi tak mau pusing memikirkan. Kalau kepalanya pusing, dia tak bisa melanjutkan mengecat perahu.
--