Zoya duduk manis di meja makan. Di tengah-tengah Ayah dan Ibunya. Kakak dan adiknya tidak pulang. Urusan Faris tadi coba dilupakannya sejenak. Tapi Zoya sudah berniat kuat untuk membuat perhitungan dengan Faris kalau sampai pemuda itu berani menghubunginya.
Keluarga Mbah Yai Badar duduk di seberang meja. Mbah Yai duduk di sebelah Mbah Nyai, lalu di jajaran berikutnya Khalid yang sepantaran Zoya dan kakaknya yang tadi memperkenalkan diri bernama Salahuddin.
Hidangan tradisional beraneka rupa sudah terhidang di meja. Aromanya menggugah selera. Zoya sendiri sudah tak sabar untuk mengangkat paha ayam gulai yang tepat berada di depannya. Tapi dia harus bersabar. Mbah Yai Badar akan berdoa terlebih dahulu sebelum mereka bersantap bersama.
Begitu kata aamiin terdengar di seantero ruangan, Zoya bergerak cepat. Paha ayam gulai berpindah ke piringnya dalam hitungan detik. Begitu juga setengah piring urap-urap dan dua potong tahu bacem. Zoya tidak sadar bahwa semua yang dilakukannya diperhatikan oleh semua orang. Gadis itu baru ngeh saat Ibunya menyenggol sikunya. Zoya melihat sekeliling dengan wajah tersipu malu beserta permohonan maaf lewat anggukan kepala. Tapi tangannya tetap bekerja membawa paha ayam gulai itu ke mulutnya. Dia lapar sekali!
Khalid menundukkan kepala sambil menutup mulutnya. Nyaris saja tawanya meledak kalau tidak cepat-cepat ditahannya dengan sekuat tenaga. Salahuddin hanya terpana tapi tidak terlihat ingin tertawa. Salahuddin rupanya tipe pemuda yang serius. Mbah Yai dan Mbah Nyai hanya tersenyum simpul. Ayah Zoya, Kyai Sidiq pura-pura membersihkan sendok dan garpu.
Jamuan makan malam itu tak berlangsung lama. Mungkin karena mereka semua makan dengan khusuk akibat perut sudah sedemikian lapar. Setelah makan, semuanya dipersilahkan pindah ke ruang tamu yang luas.
Pak Kyai dan Mbah Yai asik bercakap-cakap mengenang masa lalu mereka. Mbah Nyai dan Bu Nyai berbincang-bincang tentang perkembangan pondok pesantren masing-masing. Di tempat yang agak terpisah, Zoya berhadapan dengan Khalid dan Salahuddin. Tidak ada satupun yang membuka suara. Zoya sibuk mengunyah kacang rebus. Khalid menikmati rokok lintingnya. Sedangkan Salahuddin yang tidak merokok berkali-kali menghirup teh kental yang telah tersedia sepoci besar di atas meja.
Beberapa kali Pak Kyai dan Bu Nyai melempar pandangan ke sudut ruangan yang begitu hening. Begitu pula Mbah Yai dan Mbah Nyai juga tak luput melihat apa yang terjadi di meja tempat Salahuddin, Khalid dan Zoya berkumpul.
Mbah Yai menghentikan percakapannya dengan Pak Kyai. Begitu pula Mbah Nyai dan Bu Nyai. Mbah Yai memberi isyarat kepada ketiga muda-mudi itu untuk menarik kursi mendekat. Ketiganya patuh. Zoya duduk di kursi samping Ibunya.
"Dik Sidiq, Jeng Aminah. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa kedatangan kami ini bertujuan untuk bersilaturahim sekaligus menyambung tali kekeluargaan di antara kita agar lebih erat lagi dan tidak terputus serta jangan sampai kepaten obor." Mbah Yai terbatuk sebentar lalu melanjutkan.
"Usia Salahuddin putra tertua kami sudah lebih dari cukup untuk membangun rumah tangga. Kami berniat untuk membicarakan kemungkinan menjodohkan Salahuddin dengan Zoya." Terbatuk lagi.
"Kita tidak mengenal yang namanya pacaran dan pertunangan. Kita bisa melalui proses Taaruf sesuai ajaran Kanjeng Nabi. Bagaimana Dik Sidiq? Jeng Aminah?"
Pak Kyai dan Bu Nyai saling pandang sembari melirik Zoya yang sekarang sibuk mengupas ubi goreng!
"Ehm begini Kangmas. Sesuai dengan prinsip keluarga kami bahwa anak-anak kami beri kebebasan untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri, termasuk jika menyangkut perjodohan, maka kami menyerahkan kepada Nak Salahuddin dan Zoya untuk menjawab apakah proses Taaruf ini akan dilanjutkan atau tidak. Setidaknya sekarang mereka sudah saling mengenal secara fisik." Ganti Pak Kyai Sidiq yang terbatuk-batuk.
"Bagaimana Nak Salahuddin? Zoya?" Bu Nyai melanjutkan perkataan Pak Kyai karena batuknya belum berhenti juga.
Salahuddin mengangkat muka. Mudah sekali untuk memutuskan hal ini. Dia yakin telah jatuh cinta pada pandangan pertama saat tadi berkenalan dengan Zoya.
"Saya bersedia lanjut Abi dan Paman Sidiq." Salahuddin menjawab tegas.
Semua mata sekarang tertuju kepada Zoya yang telah menghabiskan waktu lebih dari 5 menit mengupas ubi rebus tapi tidak selesai-selesai juga. Zoya batuk sedikit untuk menenangkan hatinya. Salahuddin lelaki yang gagah dan tampan. Dia harus mengakuinya. Tapi hatinya sama sekali tidak tergerak.
"Saya..saya tidak bisa memutuskan saat ini juga Mbah Yai, Mbah Nyai, dan Ayah serta Ibu. Ini perkara besar yang tidak bisa sak deg sak nyet. Mohon waktu untuk berpikir."
Semua orang manggut-manggut setuju. Tidak adil jika mereka mendesak Zoya untuk memutuskan saat ini juga. Gadis itu harus punya cukup waktu untuk mempertimbangkan keputusan terbaik baginya.
Mbah Yai berkata dengan nada sabar.
"Iya Nduk tidak apa-apa. Ini memang perkara besar. Apalagi untuk ukuran zaman sekarang. Silahkan berpikir masak-masak Nduk. Kami akan kembali ke sini 3 bulan lagi. Bukan begitu Dik Sidiq, Jeng Aminah?"
Kyai Sidiq dan Bu Nyai mengangguk bareng. Keputusan yang bijak. Rapat singkat itu selesai.
Zoya mohon pamit kepada Salahuddin dan Khalid untuk pergi ke kamarnya setelah Mbah Yai dan Mbah Nyai diantar ke kamarnya oleh Kyai Sidiq dan Bu Nyai. Dia ingin cepat-cepat menghempaskan tubuh ke kasur. Pikirannya diliputi kekagetan, kebingungan dan penat. Dia ingin tidur cepat dan pulas.
Setelah berganti baju tidur, Zoya langsung terjun ke kasur untuk tidur sesuai rencananya tadi. Tapi suara getar dari hapenya di meja membuat Zoya bangkit dan meraihnya. Ada nomor tidak dikenal mengiriminya pesan WA. Zoya malas sekali membukanya. Pesan itu ada beberapa. Duh! Kenapa sih? Siapa sih?
Zoya telentang sambil iseng membuka pesan tersebut.
Assalamualaikum (pesan ke-1); Zoya enggan menjawab.
Maaf mengganggumu ya (pesan ke-2); Zoya masih enggan menjawab.
Ini aku si majnun (pesan ke-3); Hah?
Izinkan aku memperkenalkan diri dan juga mengenalmu (pesan ke-4); What?!
Zoya buru-buru duduk. Faris rupanya. Zoya mengepalkan tangannya. Apa yang harus ditulisnya ya? Eh, kenapa dia tahu julukannya si majnun ya?
Zoya memutar biji matanya. Ini pasti bocoran dari dua sahabatnya yang telah dipacari dua anggota band si Faris! Duh!
-