Chereads / Tak Kenal maka Taaruf / Chapter 8 - Bab 8-Kejutan Besar

Chapter 8 - Bab 8-Kejutan Besar

Zoya turun dari mobil angkutan kota. Dia memang tidak pernah mau dijemput dari stasiun. Setidaknya sopir angkot kebagian sedikit rezeki katanya. Zoya memperhatikan gerbang pondok pesantren di hadapannya. Tetap sederhana. Cenderung agak kusam malah. Sudah waktunya dicat lagi. 

Zoya melangkah masuk sambil menyeret koper besarnya. 

"Mbak Zoya nuwunsewu, saya bantu?" Sebuah suara dari samping membuat Zoya menoleh. Seorang santri muda menawarkan bantuan dengan sopan. Zoya mengangguk. Santri muda itu mengambil alih koper Zoya. Zoya tahu santri muda itu pasti gembira hatinya jika dia mengiyakan. Meski sebenarnya dia masih kuat membawa kopernya hingga ke rumah besar tua bercat putih yang sudah terlihat dari sini.

K.H Sidiq Amrullah dan Nyai Hj. Aminah telah berdiri di teras rumah. Menunggu anak gadis kesayangan mereka tiba. Ketiga putra dan putri pengasuh pondok pesantren itu merantau semua. Putra pertama lulusan dari Teknik Elektro ITB bekerja di kantor pusat PLN Jakarta. Zoya kuliah di Fakultas Kedokteran IPB. Putra bungsu baru semester 2 di Fakultas Hukum UGM. 

Pak Kyai dan Bu Nyai sangat memberikan kebebasan putra dan putrinya untuk menentukan pilihan masing-masing. Meski tidak ada satupun yang berminat untuk berkecimpung di dunia pesantren, tapi Pak Kyai dan Bu Nyai tidak keberatan. Takdir dituliskan untuk dijalankan. Bukan untuk ditentang atau dibelokkan. 

Zoya mencium tangan Ayah dan Ibunya. Gadis ini masuk ke ruang tengah ditemani Pak Kyai dan Bu Nyai. Zoya biasanya tidak rajin bercerita kalau tidak ditanya. Bu Nyai ingin sekali mendengar kisah putrinya selama kuliah di Bogor.

"Gimana tadi di kereta Nduk, capek?" Bu Nyai membuka obrolan.

Zoya menenggak segelas air sekaligus. Haus. Panas sekali di angkot tadi. Dia lupa kalau kehabisan air minum sejak di stasiun. 

"Alhamdulillah enak kok keretanya Bu meskipun ekonomi. Tidak berjubel dan AC nya juga dingin."

Zoya melemparkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada yang berubah. Tapi eh, apa itu? Kenapa ramai sekali orang di dapur? Terlihat banyak sekali ibu-ibu kampung tetangga pesantren sedang rewang. Ada yang sedang mengiris bawang sebaskom besar. Ada yang sedang menggoreng krupuk dan menyusunnya baik-baik dalam kaleng-kaleng besar. Ada pula yang menyiangi ikan dan ayam. 

"Ibu, mau ada acara besar apa di pesantren?" Seingat Zoya, pesantren jarang mengadakan acara kecuali saat Maulidan, Muharram dan hari-hari besar Islam lainnya.

Bu Nyai tersenyum lembut.

"Iya Nduk. Nanti malam akan hadir beberapa tamu agung dari pesantren di Kediri. Teman lama Ayahmu."

Zoya mengangguk. Pantas saja. Ayahnya menimpali.

"Iya. Teman dekat Ayah waktu masih mondok di Ponorogo dan belajar di Maroko. Mereka akan datang sekeluarga. Nanti kamu akan dikenalkan dengan putra dari teman Ayah itu."

Putra? Dikenalkan? Zoya menautkan alisnya heran. Ayah dan Ibunya memang seringkali tidak to the point. Maklum Jawa asli. Muter-muter dulu untuk sampai ke tujuan sebenarnya. Zoya menatap langsung mata Ibunya. Meminta penjelasan. Bu Nyai hanya tersenyum dan berkata singkat.

"Wes to Nduk. Sing penting nanti kamu berdandan yang rapi dan cantik, nggih?"

Ah! Apaan sih ini? Zoya mulai tak sabar. Tapi berusaha menahan dirinya. Dia baru datang. Tidak seyogyanya ngomel-ngomel atau ngambek. Zoya berjalan dan bergabung dengan para ibu-ibu rewang. Gadis itu langsung disambut dengan celotehan ramai dan ramah dari semua yang ada di dapur. Zoya memang populer sejak kecil di kalangan ibu-ibu kampung. Pembawaannya yang ramah dan baik membuatnya disukai banyak orang sekitar pesantren.

"Mbak Zoya kapan datang?"

"Mbak Zoya tambah uayu lhoo."

"Iya. Mbak Zoya ini calon dokter paling cantik di Jawa Timur."

"Aku nanti kalau sakit mau berobat ke Mbak Zoya saja."

"Putra Mbah Yai Badar dari Kediri ganteng lho, Mbak Zoya."

"Pas wes. Sing siji ayu koyo Sembodro, sing lanang nggantheng koyo Janoko."

Mendengar dua kalimat terakhir barulah Zoya paham apa yang sedang terjadi. Gadis itu menyomot kerupuk sambil berlari masuk ke dalam rumah. Dapur dan rumah utama dipisahkan oleh lorong yang cukup panjang. Rumah yang besar dengan dapur yang besar.

Zoya nyaris menabrak Bu Nyai yang sedang berjalan mengarah ke dapur. Untunglah Zoya sigap dan segera memegangi lengan Ibunya agar Bu Nyai tidak terjatuh. Zoya memeluk hangat Ibunya sambil meminta maaf berkali-kali.

Bu Nyai mengelus kepala putrinya. Membimbingnya masuk lagi ke ruangan tengah. Pak Kyai sudah tidak ada. Mungkin sedang mengajar ngaji.

"Begini lho Nduk. Ibu mau berterus terang kepadamu." Bu Nyai menepuk sofa di sebelahnya. Meminta Zoya duduk manis.

"Lha, mbok ya dari tadi to Bu." Zoya meruncingkan mulutnya. Dia memang anak paling manja di antara saudara-saudaranya. Maklum perempuan satu-satunya.

Bu Nyai memegang tangan Zoya dengan lembut.

"Begini Nduk. Nanti malam itu keluarga besar Mbah Yai Badar akan bersilaturahim ke sini. Selain kangen-kangenan dengan Ayahmu, juga ingin menyambung tali persaudaraan dalam sebuah ikatan."

Zoya mengedip-ngedipkan matanya seperti kelinci yang sedang ketakutan. Bu Nyai paham. Dipeluknya Zoya erat-erat.

"Ini kehendak Ayahmu, Nduk. Jangan salah paham dulu. Semua untuk kebaikan pada akhirnya. Ayahmu ingin mengikat keluarga Badar dengan keluarga Sidiq. Satu-satunya cara hanya melalui dirimu, Nduk. Mbah Yai Badar hanya punya dua orang anak laki-laki."

Zoya mendadak pusing tujuh keliling. Dia sudah meraba maksud Ibunya dari tadi. Tapi kalimat terakhir inilah yang membuatnya 100% mengerti. Zoya tahu bahwa Ayah dan Ibunya tidak pernah melarang atau mengharuskan sesuatu. Paling penting bagi mereka adalah anak-anaknya mengikuti pakem wajib yang telah ditetapkan dalam Al-quran.

Dia bisa saja membantah saat ini juga dan mengatakan tidak mau. Ayah dan Ibunya pasti tidak akan memaksanya. Tapi alangkah buruknya tabiatnya sebagai seorang anak jika sampai dia melakukan hal itu. Zoya akan mengikuti proses dan melihat apa yang akan terjadi. Terutama tentu saja, seperti apa muka dan perilaku putra Mbah Yai Badar.

Zoya berusaha keras mengingat-ingat. Mbah Yai Badar punya dua putra laki-laki. Yang kedua seumuran dengannya. Kalau tidak salah namanya Khalid. Sedangkan kakaknya yang berselisih usia sekitar 5 tahun, Zoya lupa namanya.

Beberapa kali dulu dia pernah diajak silaturahim ke Kediri. Saat masih SD, SMP, dan kemudian SMA. Tapi dia sama sekali tidak pernah memperhatikan putra-putra Mbah Yai Badar. Mungkin karena waktu itu masih kecil. Mbah Yai Badar mengasuh sebuah pondok pesantren besar di Kediri. Santrinya ribuan dan berasal dari berbagai pelosok Indonesia. Mbah Yai Badar kurang lebih sama dengan Kyai Sidiq. Tidak kolot namun juga tidak liberal. Seperti pada umumnya kyai-kyai di Jawa saja.

Zoya melepaskan lamunannya. Dia ingin menghibur Ibunya yang menatapnya dengan harap-harap cemas.

"Ibu jangan khawatir. Zoya akan berdandan secantik mungkin malam ini untuk menyambut tamu. Tapi Ibu ingat kan? Apa yang selalu Ibu ajarkan kepada kami bertiga. Bahwa kami mempunyai kebebasan untuk memilih selama hal itu tidak melanggar syariat dan amanat. Bener kan Bu?" Zoya ganti yang memeluk Ibunya dengan hangat.

Bu Nyai Aminah mengangguk-angguk mengiyakan. Perasaannya tidak enak. Sudah muncul benih-benih pemberontakan di hati putrinya. Dia harus berbicara dengan Kyai Sidiq mengenai hal ini dari hati ke hati sebelum para tamu berdatangan dan jamuan dihidangkan. Zoya bisa saja mengacau kalau dia terlalu ditekan.

Bu Nyai sedikit bergidik ngeri. Kalau sudah urusan percintaan, mereka semua seolah sedang berada di sebuah perempatan jalan.

********