Ketiga gadis itu saling berpelukan di teras rumah kos Zoya. Mereka akan terpisah selama kurang lebih 2 bulan. Masing-masing akan pulang kampung. Zoya ke Jombang, Fatimah ke Medan, Anisa ke Garut.
"Eh, Zoy. Siapa sih yang bawain kamu martabak semalam? Ada yang ngaku ngga?" Fatimah bertanya penasaran. Anisa mengangguk-angguk pengen tahu juga.
Zoya menggelengkan kepala. Dia benar-benar tidak tahu siapa dan dengan alasan apa.
"Jangan-jangan pengagum rahasiamu nambah satu, Zoy!" Anisa niatnya berbisik tapi karena dilakukan dengan setengah menjerit jadinya malah berisik. Fatimah menoleh.
"Emang selama ini berapa pengagum rahasia Zoya, An? Kok udah nambah satu aja." Anisa mengangkat tangannya. Nol! Zoya mendelik. Anisa dan Fatimah tertawa terkekeh-kekeh.
Zoya merasakan getar hape di saku jaketnya. Gadis itu melirik sekilas nama yang tertera di layar. Pak Abdul! Zoya ragu-ragu. Apalagi saat melihat Fatimah dan Anisa memandangnya dengan serius. Ah! Kalau mereka tahu bisa heboh ini nanti.
Tapi Zoya tidak tega mengacuhkan panggilan itu. Diangkatnya sambil berjalan ke halaman kecil rumah kos. Fatimah dan Anisa membuntuti seperti dua ekor anak ayam. Zoya menggerakkan tangannya mengusir kedua sahabatnya. Fatimah dan Anisa berhenti mengikuti. Tapi mereka berdua memasang telinga baik-baik.
"Assalamualaikum, ya Pak?" Zoya berkata pelan.
"Jadi pulang liburan, Zoya?" terdengar suara lembut di ujung sana. Zoya mengerutkan kening. Darimana Pak Abdul tahu dia akan pulang liburan. Zoya lupa kalau hari ini memang mulai masuk musim libur semester.
"Eh, iya Pak. Ini Zoya sudah mau berangkat."
"Oh, sekarang? Saya sebenarnya juga mau pulang ke Surabaya. Kalau Zoya mau bisa lho bareng saya nanti sore. Jangan khawatir, saya juga bawa adik perempuan saya yang seangkatan denganmu tapi kuliah Di Fakultas Kedokteran Hewan."
Zoya mengangkat alisnya. Masih terheran-heran. Beberapa bulan belakangan, Doktor Wira memang beberapa kali pernah chat via WA. Hanya sekedar bertanya hal biasa di luar perkuliahan. Zoya pun menanggapi dengan biasa.
"Eh, saya sudah terlanjur pesan tiket kereta api Pak. Maaf. Terimakasih atas tawarannya." Zoya merasakan ada dengus nafas di tengkuknya. Zoya menoleh. Astaga! Tanpa disadarinya, wajah Fatimah dan Anisa sudah nyaris menempel di belakangnya. Wajah kedua sahabatnya terlihat sangat penasaran.
Sambungan putus setelah terdengar salam dari Doktor Wira. Fatimah dan Anisa hampir berbarengan bertanya; siapa?
Zoya tersenyum penuh rahasia. Sengaja membuat mereka kesal. Lagian mau tahu aja urusan orang. Fatimah dan Anisa menggerakkan mulut cemberut. Zoya tak ambil pusing. Dia menarik koper ke pintu pagar. Berat sekali! Perasaan dia tadi tidak membawa barang banyak. Kenapa seperti menarik truk tronton? Zoya berhenti dan hendak memeriksa kopernya. Matanya tertumbuk dengan pemandangan aneh. Fatimah dan Anisa sama jongkok dan menggelayuti kopernya di kanan dan kiri. Huh! Pantas aja!
"Siapa dulu? Kalau tidak kami akan menumpang kopermu sampai Jombang!" Anisa bertanya mendesak. Nadanya tetap setengah menjerit. Zoya menghela nafas. Dasar sahabat gelo!
"Doktor Wira! Dia menawarkan tumpangan sama-sama pulang ke Jawa Timur." Zoya menjelaskan pendek.
"Mana? Mana fotonya?" Kali ini Fatimah yang mengejar dengan pertanyaan. Tangannya yang kuat tetap memegangi koper Zoya. Untuk kedua kalinya Zoya menghela nafas panjang. Dia yakin kalau pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban, kopernya tidak akan dilepaskan. Zoya mencari profil Doktor Wira di hapenya.
"Nih! Puas?!" Zoya memperlihatkan foto Doktor Wira kepada dua sahabatnya. Kedua gadis itu seperti tersengat listrik. Masing-masing menanggapi.
"Aaaahhh!" pipi Anisa bersemu merah. Matanya nampak bersinar-sinar.
"Ganteeenggg!!" Fatimah lebih heboh. Dia merebut hape di tangan Zoya. Melihat foto Doktor Wira dengan tatapan terpana.
Zoya jadi kesal.
"Kalian naksir? Ntar deh aku kasih nomor kalian ke dosenku itu!" Zoya terlambat. Fatimah sudah mengirimkan kontak dirinya dan Anisa ke akun WA Doktor Wira. Fatimah menyodorkan hape Zoya.
"Nih, sudah!"
Zoya nyaris tak percaya dengan penglihatannya. Dia tadi bilang begitu hanya basa basi saja. Ya ampuunn! Tapi perhatiannya teralihkan oleh sesuatu yang melekat di ingatannya. Atau lebih tepatnya melekat di gendang telinganya.
Suara kaleng loak! Terdengar dari kejauhan. Suaranya mendekat. Fatimah dan Anisa masih belum menyadari.
Faris menghentikan motornya di depan pintu pagar rumah kos Zoya. Tatapannya bertemu dengan Zoya. Faris merasakan jantungnya melorot hingga dengkul. Kakinya sedikit gemetar. Sorot mata itu tetap berkejora meski hari sudah terang.
Faris berusaha tersenyum seganteng-gantengnya. Zoya tetap menatap dingin. Fatimah dan Anisa mendekat. Langkah mereka sengaja dihentak-hentak ke tanah untuk membuat ciut nyali Faris.
"Hai! Zoya kan? Boleh kenalan nggak?" Faris menangkupkan tangan di dadanya. Zoya tetap sedingin kulkas dua pintu. Fatimah dan Anisa berdiri menjajari Zoya. Menjaganya dengan ketat. Takut pemuda ganteng yang ramah itu menculik sahabat mereka.
"Ehm, suaramu bagus banget. Penampilanmu juga oke lho kemarin!" Faris mengangkat dua jempolnya tinggi-tinggi. Zoya tidak menanggapi. Gadis itu semakin dingin seperti kulkas empat pintu. Fatimah dan Anisa memegang erat-erat pintu pagar. Takut kalau pemuda yang mirip artis korea itu tiba-tiba menerobos masuk.
"Eh, martabak semalam enak? Maaf ya aku lompat pagar kosmu." Faris berusaha keras mempertahankan keramahannya. Zoya hanya mengangguk kecil. Tatap matanya berucap terimakasih. Gadis itu sedingin kulkas satu pintu. Fatimah dan Anisa kali ini memegangi lengan Zoya. Seperti memohon agar Zoya menanggapi perkataan Faris. Kasian.
"Enak. Terimakasih. Lain kali kirim aja lewat pos atau Tiki jadi tak perlu lompat pagar." Zoya akhirnya membuka mulut. Faris bengong sesaat lalu pecahlah suara tawanya yang khas. Fatimah dan Anisa menutup mulut. Suara tawa pemuda ini merdu! Kembali keduanya menarik-narik lengan Zoya. Zoya sekarang mirip robot mainan anak-anak. Berbunyi setelah dituasnya diungkit.
"Lain kali juga kalau pergi ke masjid jangan pakai kaleng loak itu lagi. Berisik! Mengganggu fokus ibadah orang." Zoya menjatuhkan tatap matanya ke motor RX King yang masih diduduki oleh Faris.
Untuk kedua kalinya Faris bengong. Ah! Ini rupanya pangkal permasalahan kenapa gadis ini menanggapinya dengan dingin. Faris mengangguk.
"Oke. Deal!" Faris menangkupkan lagi kedua tangannya di dada. Zoya tidak lagi sedingin kulkas sekarang. Dia tersenyum tipis membalas kesanggupan dan janji Faris. Fatimah dan Anisa seolah sedang menonton drama korea. Tubuh keduanya melorot di kanan kiri Zoya. Seperti sangat tersentuh dan sedang menahan keharuan teramat sangat. Padahal raut muka Fatimah dan Anisa menahan tawa yang tak lama lagi pasti meledak. Mereka menahannya sekuat tenaga. Takut dikira tidak sopan oleh Faris.
Fatimah dan Anisa hendak bersama-sama menarik pintu pagar. Sebelum keduanya membuka mulut mempersilahkan Faris masuk, Zoya mendelik dan berdehem keras. Fatimah dan Anisa membatalkan niatnya sambil memasang muka sedih. Sepertinya yang mendalami peran drama korea pagi itu malah Fatimah dan Anisa.
Faris menggelengkan kepala. Matanya terpaku pada koper besar Zoya.
"Mau kemana? Pulang liburan semester? Pulang kemana? Mau diantar?" Faris yang makin pede coba bertingkah centil seperti biasa.
Zoya melotot. Gestur tubuhnya kembali ke kulkas sepuluh pintu.
*******