Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 26 - Chapter 25 : Awaken In The Dark

Chapter 26 - Chapter 25 : Awaken In The Dark

Siapa aku? Dimana aku? Lalu siapa orang-orang ini?

Pertanyaan itu berputar di benakku berkali-kali.

Aku menarik napas panjang dan membuangnya cepat, melihat sekelilingku yang benar-benar asing. Sekalipun sudah sebulan aku berada di tubuh Roselyn, aku masih belum terbiasa juga mendapati sikap penuh penekanan dari keluarganya. Karena bagaimanapun juga aku tidak ingin menjadi antagonis yang membalas mereka, tapi semakin aku diam, mereka semakin menjadi-jadi.

Lalu bagaimana dengan insiden hari ini?

Jadi, saat ini aku sedang duduk di ruang tengah, duduk di sofa berdampingan dengan Allan yang tidak lelah mengirim hawa membunuh yang sangat kental. Di hadapanku duduk Standford Killian, istrinya, dan Pendeta Kyan. Ya, Pendeta Kyan baru saja datang dan langsung ditunjuk jadi hakim tambahan atas insiden konyol yang terjadi dua jam lalu.

"Kau tidak mau minta maaf, Roselyn?"

Standford Killian terus memojokkanku dan aku tetap bungkam, tidak ingin mengemis maaf karena Allan yang mengundang semua insiden ini.

Lidya berdiri di samping sofa yang diduduki kedua pasangan Killian, wajahnya tampak panik dan bingung. Karena dia sebenarnya saksi kunci, tapi tidak bisa mengatakan fakta karena ancaman dari kedua tuannya.

"Aku kira setelah mengalami amnesia kau benar-benar berubah, tapi ternyata tetap tak terkendali seperti sebelumnya." Ibu kandung Roselyn ikut melontarkan kalimat tajam dan aku hanya bisa bungkam.

Semua berawal dari Allan yang menerobos masuk kamarku saat aku masih tidur, dia mengacak-acak kamarku dengan alasan mencari kalung safir pemberian Raja Hardian. Kalung berharga, yang di klaim lebih mahal dari harga sebuah mansion, dan satu-satunya di Lindbergh. Hadiah kebanggaannya dari turnamen pedangnya dua tahun lalu.

Aku tidak peduli berapa harga kalung itu, dan bagaimana dia mendapatkannya, tapi dia terus meracaukan hal yang sama ketika masuk kamar. Dia mulai mengeluarkan semua isi lemariku, meja riasku dan tidak berhenti sampai aku menghardiknya. 

Dia saudara kembar Roselyn, tapi sikapnya tak kalah kekanakan dibandingkan anak usia 5 tahun.

Aku sendiri tidak tahu seperti apa kalung yang dia maksud. Aku bahkan tidak pernah melihatnya.

Kami adu mulut, aku berusaha mengusirnya, tapi dia mendorongku hingga kepalaku (yang baru saja lepas perban) terbentur ke ujung meja rias. Luka lama baru sembuh datanglah luka yang lain.

Sakit? Tentu saja!

Aku marah dan tanpa sadar menggunakan sihir telekinesisku. Aku mengangkat tubuhnya, dan melemparnya keluar kamarku. Allan jatuh dengan wajah bertabrakan dengan lantai, hingga hidungnya sedikit geser, atau mungkin patah jika aku lihat dari bentuknya sekarang.

Dia langsung mengadu ke Ayah dan Ibunya, sementara Lidya yang berdiri di luar kamar, mendengar perdebatan kami tapi tidak bisa menjelaskan dengan rinci, karena dibenturkan dengan kalimat… "Apakah kau benar-benar melihatnya?"

Tentu saja Lidya tidak melihatnya, tapi dia mendengarnya. Pertanyaan bodoh macam apa itu?

"Jika kau tidak bisa memberikan kesaksian, jangan bicara, atau kau mau kehilangan pekerjaanmu?"

Aku ingin bertepuk tangan sekeras-kerasnya mendengar kata-kata yang sangat absurd itu.

Aku melirik Allan yang masih memegangi hidungnya, padahal Pendeta Kyan sudah menyembuhkan hidungnya. Sementara aku masih belum disembuhkan, kepalaku masih berdenyut sakit sekalipun darahnya sudah berhenti mengalir dan ditutup perban. Lidya sempat menutupnya dengan perban sebelum aku diseret ke sidang tidak penting ini.

Aku mengutuk Roselyn yang menggunakan sihir hitam, bahkan saat seperti ini aku harus menahan sakit karena kesalahan yang dilakukannya. Andai saja dia tidak menggunakan sihir hitam, aku bisa disembuhkan dengan sihir Penyembuh.

Bagi mereka, Allan, anak pertama, calon penerus, dan ahli pedang, harus menjadi prioritas utama dalam hal kesehatan dan keselamatan.

"Marquis, sebaiknya kau biarkan Roselyn istirahat."

"Tidak! Dia tidak berhak beristirahat setelah melakukan kesalahan sebesar ini!" Standford Killian berseru hingga suaranya menggema di seluruh ruangan, membuat Pendeta Kyan mengerutkan kedua alisnya.

"Kesalahan?!" aku mencemooh dengan suara sinis. "Dia yang datang sendiri dan mengacak-acak kamarku, menuduhku sudah mencuri kalungnya, membuat kepalaku terluka. Lalu aku tidak berhak mengusirnya dari kamarku?!"

"Demi Dewa! Kau membuatnya terluka, Roselyn!"

"Itu balasan untuknya. Dia membuat kepalaku terluka lebih dulu!" balasku sengit seraya berdiri dari sofa, menunjuk wajah Allan tanpa gentar.

"Dia kakakmu, jangan kurang ajar! Kau akan dikurung di ruang bawah tanah selama seminggu!"

"Hanya aku yang dihukum? Apa yang salah dengan keluarga ini? Kenapa selalu menyalahkanku sekalipun kami berdua sama-sama salah? Kenapa tidak kau hukum dia juga?!"

"ROSELYN!"

Allan menarik tanganku hingga tubuhku hampir limbung, tapi aku berusaha tetap berdiri tegak dan menahan sakit karena cengkramannya begitu kuat. Akupun menatapnya garang.

"Lepaskan tanganmu, Sialan!" ancamku sungguh-sungguh. 

Allan tidak melepaskan tanganku, tapi dia malah menyeringai, menarik sudut bibirnya hingga tinggi, dan ketika aku hendak menghentakkan tangannya, tiba-tiba sesuatu menghantam pipiku, keras dan panas. Aku menoleh dan mendapati tamparan lain di sisi lain pipiku. Belum sempat aku mengerti apa yang terjadi, aku menerima tamparan yang ketiga hingga telingaku berdenging keras, menulikan, hingga tubuhku limbung.

"Marquis Killian!"

Sekelilingku mendadak gelap seiring dengan bagian dalam mulutku yang terasa kental dengan darah. Kemarahan yang mengelilingi hatiku dengan cepat naik ke puncak kepala. Rasa terbakar di seluruh tubuhku bercampur dengan ledakan aura yang memaksa keluar dari tubuhku.

Setiap tarikan dan helaan napasku dipenuhi kemarahan. kebencian dan dendam. Gelombang besar menghantam ulu hatiku, dadaku terasa penuh, bercampur dengan sakit dari kepala dan pipiku yang begitu nyata sekalipun aku berada dalam kegelapan.

Hidup seperti apa yang harus aku jalani dengan para iblis dalam rumah ini?

Mereka tidak pernah berhenti berlaku tidak adil bahkan saat menghadapi seseorang yang tak pernah melawan seperti Roselyn.

Jika mereka berpikir aku akan tinggal diam, maka mereka salah besar. Aku tidak akan tinggal diam menerima perlakuan tidak adil ini.

Mereka yang harusnya enyah dari dunia ini, bukan Roselyn.

Mereka membuat Roselyn terpojok hingga menjadi seseorang yang rusak dan merasa harus merusak orang lain seperti yang orang tuanya lakukan padanya.

Mereka yang menjadi sumber malapetaka ketika benih kebencian itu mereka tanamkan pada Roselyn.

Mereka menghukumku karena berpikir aku lemah.

Aku tidak akan membiarkan mereka. Aku tidak akan-

'Ash!'

'Latasha!'

Aku menggeleng kuat, berharap kegelapan ini segera hilang dan membalas semua perbuatan mereka. Aku harus keluar dari kegelapan ini.

Panas membakar di tubuhku berpusat di tengkukku, seperti ada lempengan besi panas yang ditempelkan di sana. Panas itu menjalar hingga ke setiap bagian dari diriku, api ini memelukku begitu erat. Menginginkanku semakin besar mengobarkan kemarahan dan kebencian.

'Ash! Kau bisa mendengarku? Ash!'

'Kau harus memanggilnya lebih keras, Bodoh! Latasha tidak boleh lepas kendali lagi!'

Tanganku terangkat, dan membiarkan aliran aura yang begitu kuat menggerakkanku. Setiap alirannya mengirim gelombang kekuatan besar yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

Suara-suara itu terus memanggilku, suara yang terdengar sangat familiar.

Siapa? Siapa yang bicara padaku?

Desakan dalam diriku semakin hebat.

Dalam kegelapan ini aku menemukan kemarahan yang tidak pernah aku rasakan.

Dalam kegelapan ini aku merasakan kebencian yang membuncah.

Dalam kegelapan ini aku merasa harus membalas semua perbuatan tidak adil yang aku terima.

"ARGH!" aku berteriak keras membiarkan diriku semakin dalam tenggelam dalam kegelapan.

'Ash!'

'Latasha!'

Kegelapan itu mencengkramku bersamaan dengan arus kekuatan yang mengalir, keduanya saling berbaur hingga akhirnya panas itu teredam dalam selimut arus kekuatan. Aku menyadari bahwa inti sihirku baru saja lepas kendali, tapi aku membiarkan kegelapan itu menguasaiku.

Bagiku yang pernah tenggelam dalam kegelapan Dewa Ahriman, ini bukanlah sesuatu yang baru, namun di saat aku berusaha berdamai dalam kegelapan ada setitik cahaya di ujung pandanganku.

Bisikan yang samar itu semakin jelas seiring titik cahaya itu yang bertambah terang.

"Nona ... As..h?"

Aku melihat sekelilingku yang berantakan. Sofa terlempar beberapa meter dari tempatnya, Lidya tersungkur di lantai menatapku penuh iba bercampur ngeri, ibu kandung Roselyn terbaring tak sadarkan diri di lantai dan di kedua ujung tanganku muncul sulur berwarna silver yang mencengkram tubuh Standford Killian dan Allan di udara.

Tubuhku yang aku kira limbung setelah ditampar berkali-kali, ternyata tengah berdiri tegak dengan tangan terangkat.

"Roselyn!" Pendeta Kyan menatapku lewat lingkaran pelindung yang menutupi seluruh tubuhnya.

Aku hanya meliriknya, tidak ingin menanggapinya yang berusaha mencegahku mengeluarkan aura. Aku terlalu muak dengan keluarga ini. Kemarahan dalam diriku terlalu besar untuk aku redam.

"Kalian menyebut diri kalian keluarga?"

Aku memutar telapak tanganku, menambah kekuatan di aura yang terpancar. Kedua orang yang melayang di ujung tanganku, mengerang kesakitan, menatapku dengan mata basah penuh kengerian.

Kebencian dalam dirinya bergolak seiring nyeri yang masih terasa begitu jelas dari pipi dan kepalaku.

Aku melihat begitu banyak orang yang melakukan perundungan selagi hidup sebagai Iliana, tapi mendapati keluarga sendiri yang memperlakukan anaknya seperti sampah seperti mereka sungguh di luar nalar. Mereka tidak pernah berhenti, dan tidak mengerti apa itu kasih sayang dalam keluarga.

"Setelah menyiksa Roselyn, dan membuatnya menderita selama bertahun-tahun, menjadikannya boneka seumur hidup. Kalian tidak pernah kenal kata cukup."

Kemarahanku atas perlakuan tidak adil selama aku hidup sebagai Iliana, tidak pernah sebesar ini. Aku mengetahui bagaimana putus asanya seseorang yang berharap tapi hanya mendapatkan perlakuan dingin, tapi yang aku rasakan ketika hidup sebagai Roselyn, jauh lebih menyakitkan.

Mereka keluarga, tapi perlakuan mereka jauh lebih mengerikan dari pada algojo penjara.

"Persetan dengan kalian semua, Killian! Kalian bukan manusia! Kalian iblis! Aku muak dengan keluarga ini! Kalian bahkan tidak pernah menganggap Roselyn sebagai bagian dari keluarga ini, kalian tidak pernah menganggap keberadaan Roselyn! Ashley Roselyn Killian sudah mati bagi keluarga ini!"

Aku menggerakkan tanganku dan melempar kedua tubuh ke lantai dengan suara benturan yang keras, keduanya mengerang kesakitan dan berusaha bersembunyi dengan mata dipenuhi ketakutan.

Panas membakar dari di kedua pipiku masih terasa, membuatku ingin menghabisi Standford Killian saat ini juga.

"Jangan Ash, jangan turuti bisikan Dewa Ahriman!"

Suara yang sangat aku rindukan itu menyapa telingaku dengan sangat jelas, sontak aku memutar tubuh, mencari keberadaannya, dan sosok transparan Aslan muncul di hadapanku dengan sangat perlahan. Mulai dari partikel yang transparan, hingga benar-benar menunjukkan sosoknya yang berkilauan, wajahnya yang selalu aku bayangkan hadir dalam mimpiku tengah tersenyum ke arahku.

"Aslan?" lirihku dengan mata panas. Senyum Aslan semakin lebar, tapi aku sontak mengerutkan wajah, tangisku tidak mampu aku bendung lagi dan aku berhambur memeluknya. Dadaku yang selalu terasa sesak dan terhimpit perlahan memberi ruang seiring air mataku yang tidak juga berhenti mengalir.

Tangan Aslan merangkulku, membenamkanku sepenuhnya dalam dekapan dan aku makin tidak bisa menahan luapan emosi dalam diriku. Aslan mengusap punggungku berkali-kali dan aku begitu bersyukur bisa kembali melihatnya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika aku tidak bisa bertemu lagi dengan Aslan ataupun Sqeeth. 

Kecerobohanku telah membuat mereka menderita, aku tidak tahu bagaimana aku harus menebus kesalahanku.

"Ternyata Latasha memang harus lepas kendali dulu baru bisa melihat kita. Sial! Kenapa inti sihirnya selalu terkunci?!'

"Sqeeth?"

Aku sontak mengangkat kepalaku dari dada Aslan, melihat Sqeeth yang berdiri di sisi kiriku. Dia berdiri dengan sangat santai dengan kedua tangan terlipat di dada, wajah arogannya tidak juga berubah, aura intimidasi darinya tidak berkurang sedikitpun, tapi aku tidak peduli dan langsung mengulurkan tanganku demi merangkulnya.

Kebahagiaan yang amat sangat mengalir dalam setiap detak jantungku, aku memeluk dua sosok yang sangat aku rindukan ini. Mereka berwajah sama seperti yang aku ingat. Tangan mungilku memeluk pinggang keduanya sangat erat.

"Senang bertemu denganmu lagi, Ash!"

Aslan mengecup pipi kiriku, dan Sqeeth mengecup pipi kananku, keduanya mengirim kehangatan yang sangat aku rindukan.

"Aku rindu kalian!" rengekku. Sekujur tubuhku bergetar menahan gemuruh yang bersumber dari dadaku. Kerinduan yang membuncah, kemarahan yang tiba-tiba padam, kebahagiaan yang terasa begitu hangat berdesir dalam setiap bagian dalam diriku.

Aku hampir putus asa mencari mereka dalam diriku, membuatku berpikir mungkin aku benar-benar telah mencelakakan mereka.

"Maafkan aku..." bisikku diantara isak tangis.

"Maafkan kami karena membuatmu melewati semua hal buruk ini sendirian." Sqeeth mengusap puncak kepalaku dan menepuk punggungku penuh sayang.

Aku menangis sejadi-jadinya, semua kejadian mengerikan yang aku lalui tanpa kehadiran mereka terasa seperti mimpi buruk berkepanjangan. Aku benar-benar sendirian dan berusaha menguatkan diri.

Sungguh mengerikan bagiku, bagaimana diriku yang biasanya akan berusaha tegar sekalipun seluruh dunia memusuhiku, menjadi seseorang yang begitu terluka ketika kehadiran Aslan dan Sqeeth tidak lagi aku rasakan.

Setelah sekian lama aku berusaha memanggil mereka, meditasi tanpa lelah demi mengembalikan ikatan dalam jiwaku, akhirnya aku bisa bertemu mereka lagi. 

"Roselyn?"

Dunia tidak lagi gelap seperti yang pernah aku ingat. Keduanya adalah sosok yang benar-benar teman bagiku, menjadi sebagian dari jiwaku, spirit yang selalu setia menemaniku. Melihat mereka, menjadikanku lebih leluasa bernapas di tempat asing ini.

"Nona Ash?"

Aku merasa begitu lega melihat Aslan dan Sqeeth. Aku tidak memerlukan siapapun lagi dalam hidupku, mereka berdua sudah cukup bagiku. Aku hanya perlu pergi dari segala hal yang membelenggu sebagai putri dari keluarga Killian. Jika aku terbebas dari semua drama konyol ini, aku akan hidup sebagai diriku sendiri seperti mimpiku selama ini.

"NONA ASHLEY!!!"

"Ah?"

Aku mengerjap berkali-kali. Sosok Aslan juga Sqeeth tersenyum lebar meledekku sebelum melambaikan tangan.

'Kau harus menyelesaikan urusanmu dulu, kita bicara lagi nanti, Ash.' Aslan berbisik seraya mengusap puncak kepalaku.

'Kau baru saja membuat kekacauan yang sangat fenomenal, lanjutkan usahamu!' Sqeeth tersenyum seraya menyentuh pipiku yang masih basah, jemarinya bergerak lambat mengusap jejak air mataku, dan aku merasakan pipiku seketika kering.

Keduanya menghilang bagai serpihan debu yang terbawa angin, tapi kehadirannya bisa aku rasakan dalam jiwaku.

Aku tidak sadar berapa lama waktu berlalu sejak melihat sosok Aslan dan Sqeeth, hingga aku mendapati Pendeta Kyan berdiri di sebelahku, menatapku penuh takjub. Sementara Lidya menangkup wajahku penuh cemas, wajahnya yang dipenuhi keringat bercampur air mata terlihat sangat bingung dengan semua kekacauan yang terhampar di seluruh bagian ruangan.

"Ayah, ibu dan kakakmu tertidur setelah aku berikan sihir penenang."

Pendeta Kyan melirik ke arah tangga, sumber suara gaduh langkah kaki banyak orang yang panik berlarian. Beberapa pelayan nampak membawa sapu dan kain lap, mereka melirik ke arahku dan sempat bertemu tatap, tapi kemudian mereka menurunkan pandangan dengan wajah penuh ketakutan.

Lantai dua sangat gaduh, dan aku mendengar kepala pelayan berteriak agar seseorang memanggil Penyembuh secepatnya.

Bising di sekitarku justru mengirim ketenangan dalam diriku. 

Ya, bagiku tidak ada yang lebih mendamaikan dari pada melepaskan diri dari keluarga Killian yang amat sangat beracun ini.

Lidya menyentuh tanganku yang masih meninggalkan jejak sulur berwarna silver, wajah Lidya yang basah dengan air mata tengah menatapku penuh iba.

"Nona Ash yang malang," gumamnya seraya menyentuh pipiku yang masih sedikit bengkak. Standford Killian mungkin tidak memiliki ilmu sihir, juga bukan ahli pedang, tapi tenaganya cukup besar hingga bisa membuatku pingsan hanya dengan tiga kali tamparan.

"Aku tidak apa-apa, Lidya." Aku berusaha meringankan duka di mata Lidya, tapi dia malah terlihat makin terguncang.

"Apanya yang tidak apa-apa. Lihat luka Nona berdarah lagi. Hiks... bagaimana bisa mereka memperlakukan Nona Ash seperti ini. Nona bahkan pingsan karena hanya diizinkan makan sup. Bagaimana bisa Nona Ash baik-baik saja, hati Lidya hancur melihat Nona Ash yang selalu pasrah menerima perlakuan tidak adil dari Tuan dan Nyonya!"

Lidya menangis sejadi-jadinya, kedua tangannya menggenggam jemariku yang hanya seperti kulit membungkus tulang.

Ah, ternyata aku yang tidak peduli dengan perlakuan mereka diartikan sebagai 'pasrah' oleh Lidya.

Aku bukannya tidak mau melawan, tapi bagiku ada hal yang jauh lebih penting dari pada menanggapi perlakuan mereka yang sangat kekanakan.

Lidya mengangkat tanganku ke keningnya, menangis dengan tubuh gemetar seolah dukaku adalah duka baginya. Sosoknya yang menangisiku mengingatkanku pada Annabelle.

Kenyataan ini menyadarkanku, bahwa dimanapun aku berada, sebenarnya aku tidak sendiri, ada orang-orang yang selalu berusaha menguatkanku sekalipun kehadiran mereka sering kali tertutup oleh luka yang tidak pernah usai.

"Aku sunguh baik-baik saja, Lidya. Maafkan aku sudah membuatmu takut, aku lepas kendali," bisikku seraya merangkul bahu Lidya, dan membiarkannya tangisnya yang perlahan reda.

Desahan napas berat terdengar dari sisiku, dan aku benar-benar melupakan Pendeta Kyan yang masih melihat ke arahku dengan mata menatap skeptis.

Aku bertanya lewat sorot mata ke arahnya, dan Pendeta Kyan malah memutar bola matanya sambil menurunkan tangan terlipat dari dada.

"Kekuatan macam apa yang kau miliki, Roselyn? Seumur hidup aku belajar sihir, tidak pernah melihat sihir seperti ini. Kau belajar sihir hitam baru?"

Pendeta Kyan tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya, sepasang matanya yang memikat tampak mengilat dengan keingintahuan yang sangat kental. Dia tampak sedang menganalisa kemampuan sihirku, tapi aku tidak ingin menjawab pertanyaannya yang selalu terdengar menuduh.

Dia bahkan langsung memberikan label sihir hitam padaku.

Aku melihat sekelilingku yang berantakan. Banyak pajangan, guci dan koleksi mahal Killian yang hancur, bersamaan dengan lemari kaca yang jatuh terbalik. Sofa yang tadi aku duduki juga sudah terbelah dua, kaca beranda sampai ikut lepas, membawa hawa sejuk wangi hutan masuk ke ruangan.

Banyak pelayan yang tengah membersihkan kekacauan yang baru saja terjadi, tapi tidak ada satupun dari mereka yang berani bicara, mereka bekerja seperti robot, seolah kekacauan adalah hal yang lumrah di rumah ini.

Banyak serpihan kaca pula yang berserakan di lantai, dan saat aku melihat kaki Lidya, ada rembesan darah di sepatunya yang tipis dan usang.

"Maafkan aku, Lidya." Aku reflek mengarahkan tanganku ke kakinya, dan memusatkan pikiran, dalam sekejap aku menyembuhkan lukanya. 

Lidya terkesima, hingga tidak mampu bicara saat aku mengalirkan sihirku dan memindahkan lukanya ke kakiku.

Seperti biasa, aku hanya memindahkan luka dari orang yang aku sembuhkan dan aku sudah terbiasa dengan rasa sakit, sehingga luka ini terasa tidak terlalu sakit, hanya perih sedikit, dan aku tidak terlalu peduli dengan luka seperti ini.

Kekacauan ini terjadi karena aku lepas kendali, dikuasai kemarahan. Dewa Ahriman benar-benar berusaha menjadikanku bonekanya. Aku melihat kedua telapak tanganku yang masih menyisakan sulur berwarna silver.

Bagaimana jika Aslan dan Sqeeth tidak menyadarkanku? Tanpa sadar, mungkin aku sudah meratakan mansion Killian dengan tanah.

Bagaimana aku akan menjelaskan semua kekuatan yang tidak sengaja aku tunjukkan pada orang-orang ini? Roselyn tidak pernah menguasai telekinesis, aku yakin itu.

Aku harus menyiapkan kebohongan lain jika mereka bertanya. Seperti Pendeta Kyan yang bahkan masih menungguku menjawabnya. Matanya berbinar penuh harap agar aku menjelaskan apa yang baru saja terjadi.

"Maafkan aku, Lidya."

"Tidak! Tidak! Jangan minta maaf, Nona Ash. Nona tidak bersalah, Tuan Killian yang terlalu berlebihan menghukum Nona, padahal Nona tidak bersalah." Lidya panik dan memelukku erat.

"Berhenti melihatku seperti itu Pendeta Kyan, aku membuatku terlihat seperti gajah sirkus yang baru saja mengamuk."

"Demi Dewa, Roselyn. Kau-"

Pendeta Kyan tergagap dengan mata membulat sempurna ke arahku.

"Sebelum bertanya, bisakah kau sembuhkan aku dulu? Kepalaku sakit, dan aku tidak bisa menyembuhkan lukaku sendiri." Aku meminta dengan nada memelas.

"Kau tahu aku tidak bisa menggunakan sihir Penyembuh karena-"

"Aku tidak menggunakan sihir hitam," potongku cepat.

Pendeta Kyan mengerutkan alis.

"Kau bisa mengeceknya sendiri." Aku bicara sambil menunjuk ke luka di kepalaku yang tidak juga berhenti mengalirkan darah.

Pendeta Kyan menghela napas panjang dan langsung mengarahkan tangannya ke kepalaku, membaca sebaris mantra yang familiar di telingaku sebelum mengalirkan aura.

Aku bisa merasakan nyeri yang perlahan hilang dan jaringan kulit yang perlahan bergerak menutup menghentikan darah yang merembes.

Pendeta Kyan memusatkan konsentrasi sihirnya pada lukaku. Dia tampak heran dan bingung mendapati sihir penyembuh bekerja padaku.

"Apakah kau punya sihir yang bisa menghapus ingatan?" tanyaku datar.

Pendeta Kyan mengerutkan alis, bertanya lewat kerutan wajahnya.

"Setidaknya aku ingin membuat orang-orang tidak mengingat insiden hari ini. Terutama ketiga orang Killian."

Tangan putih pucat Pendeta Kyan turun dari kepalaku, dan sakit menusuk sudah menghilang, tapi anehnya kerutan di dahi Pendeta Kyan makin banyak.

"Apakah kejadian ini hal yang harus dirahasiakan?" Pendeta Kyan melipat tangannya di dada, melihatku dengan sorot menusuk layaknya hakim yang meminta penjelasan pada terdakwa.

"Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa melakukan ini. Sampai aku tahu jawabannya, aku ingin merahasiakannya."

Aku harus menutupi kenyataan bahwa kemampuan sihir Roselyn bukanlah milik Roselyn. Kebohongan ini membuatku harus mengerahkan banyak tenaga untuk menutupi perasaan canggung dan bersalah dalam diriku.

"Kau tidak tahu?"

Aku mengangguk lemah, dan menunduk untuk menyembunyikan wajahku. Takut sandiwaraku kurang cukup meyakinkan.

"Kau benar-benar aneh." Pendeta Kyan menyentuh puncak kepalaku dan mengacak-acak rambutku yang sudah berantakan.

"Kau-! Kau membuat rambutku berantakan!" protesku seraya menurunkan tangannya.

Aku menatapnya dengan wajah bersungut-sungut. Dia memperlakukanku seolah aku ini anak kecil, sekalipun aku akui dia jauh lebih senior dariku.

"Ha ha ha! Ini pertama kalinya aku melihatmu tampil berantakan dengan gaun kusut. Kau benar-benar tidak seperti Roselyn yang aku kenal, tapi aku lebih menyukai kau yang sekarang."

Deg!

Jantungku berdetak aneh mendengar kata-kata Pendeta Kyan. Mataku terangkat melirik ke arahnya, dan dia hanya tersenyum seraya berbalik meninggalkanku. 

"Kau melakukan aksi pemberontakan yang heroic, dengan begini mereka akan berhenti menindasmu! Aku sejak lama bertanya-tanya kapan kau akan melawan, ternyata sekaranglah waktunya! Pertahankan egomu, aku menyukainya!"

"Apakah kepalamu terbentur tadi?" tanyaku seketika. Pendeta Kyan yang tiba-tiba bersikap seperti ini justru sangat aneh bagiku. Dirinya yang selalu menjaga jarak, mengeluarkan komentar-komentar menusuk, dan tidak segan-segan menunjukkan wajah sinis padaku, sekarang justru memujiku setelah aku membuat kekacauan.

"Kau tidak seburuk saat aku baru mengenalmu. Ha… Aku akan memeriksa keadaan Allan, sepertinya dia sangat terguncang setelah kau lempar seperti tikus jalanan. Roselyn, Roselyn, kau membuatku tertawa untuk pertama kalinya sejak datang ke mansion Killian."

Kepalaku miring secara reflek, bingung kenapa Pendeta Kyan malah tertawa.

"Apakah dia jadi sedikit gila setelah melihat aku mengamuk, Lidya?" tanyaku polos dan Lidya hanya tersenyum ke arahku.

"Pendeta Kyan tidak gila. Nona Ash memang berubah jadi lebih hangat akhir-akhir ini, bahkan semua pelayan menyetujuinya."

Aku makin bingung, dua orang yang seharusnya curiga melihat perbedaan sikapku malah terlihat senang dan lega melihatku seperti ini. 

Lidya membantuku berjalan ke kamar, dan aku menahan sakit di kakiku akibat luka Lidya yang berpindah padaku. Dalam hati aku berdo'a semoga Allan dan pasangan bangsawan Killian mengalami guncangan hebat, dan sadar bahwa mereka tidak bisa menindas Roselyn lagi. Jika mungkin, aku berharap mereka juga tidak bisa ingat apa yang sudah terjadi.

.

.

.