Kamar Roselyn terasa jauh lebih hangat dan menyenangkan dari sebelum-sebelumnya. Dunia terlihat jauh lebih cerah dan bersahabat ketika aku menatap ke cakrawala dari beranda kamar. Cahaya matahari sore yang menerobos masuk dari beranda, masuk bersama hembusan angin dan wangi udara, membawa bisikan lemah para peri hutan yang terbang memutar di dahan pohon oak.
Beberapa dari mereka jelas-jelas melirik ke arahku, dan ingin mendekat, tapi tampak takut ketika melihat sosok lain yang berdiri di sebelahku. Aku tidak menyangka akan sebegini melegakannya menarik dan menghembuskan napas sejak jiwaku masuk ke tubuh Roselyn.
'Apakah kau sebahagia itu?'
Aku mengangguk dalam, dan kembali menubruk Aslan yang berdiri di sebelahku. Tangan besar Aslan menangkapku dengan cekatan, hingga kami tidak sampai terjerembab di lantai.
Sqeeth yang berdiri tidak jauh dari kami sambil menyandarkan punggung ke dinding samping jendela beranda, hanya melirik ke arahku sambil geleng-geleng kepala, tapi dengan cepat aku beralih padanya, melompat dan merangkul lehernya erat.
'Woah, kau lihat itu?! Arkais itu berani memeluk Phonenix, kau tahu kan Phoenix...'
'Aku tahu! Tapi aku lebih ingin melihat Aslan dari dekat!'
Para peri hutan berbisik riuh rendah, dan aku semakin erat mengalungkan tanganku ke pinggang Sqeeth.
'Tubuhmu mengecil,' kata Sqeeth seraya mengusap puncak kepalaku.
Perbedaan tinggi badan kami sekarang sangat kentara, padahal sebelumnya aku tidak pernah mendongak sebegini jauhnya agar bisa bertemu tatap dengan Sqeeth.
'Ouw, Latasha, ukhuk, tanganmu! Kau bisa mencekikku!' Sqeeth berteriak sambil menepuk-nepuk punggungku, dan aku tidak menurutinya, malah menggosokkan wajahku di dada bidangnya.
Seperti yang pernah ingat, Sqeeth selalu membawa wangi gunung berapi, ada pancaran aura hangat yang terbawa bersama ketenangan setiap kali aku berada di dekatnya.
"Maafkan aku, Sqeeth. Aku sudah membuat kalian celaka dan melakukan hal bodoh..." bisikku seraya mendongakkan kepala, menatap matanya langsung.
Sekujur tubuh Sqeeth jadi kaku, matanya tampak bergetar lurus ke arahku, dan detik kemudian dia menghela napas panjang seraya menyentuh belakang kepalaku, membawa wajahku kembali terbenam di dadanya.
'Kau tidak salah. Apapun bisa terjadi ketika kau kehilangan kendali. bahkan sihir perlindunganku tidak berfungsi sama sekali.'
Aku menggeleng, tidak mampu berkata-kata untuk menyanggah ucapan Sqeeth.
'Aku sebenarnya belum terbiasa dengan tubuh asingmu ini. Badanmu menyusut, kulitmu terlalu halus, dan suhu tubuhmu jauh lebih dingin dari sebelumnya.' Sqeeth menarik ujung lenganku hati-hati, berharap aku langsung menurunkan lenganku.
Tanganku terlihat sangat kecil dalam genggamannya, bukan hanya karena tubuh Roselyn yang relatif kecil, tapi juga karena aku kehilangan begitu banyak berat badan sejak kembali dari pemakaman.
Para Killian berpikir, dengan menyiksaku akan membuatku serta merta menurut dengan arahan mereka, mengikuti segala ketetapan tidak masuk akal yang mereka buat.
'Apa rasanya berada di tubuh orang lain, Ash?'
Pertanyaan Aslan membuatku tersentak, reflek melepaskan rangkulan dari Sqeeth dan menoleh ke arahnya.
Apa yang aku rasakan?
Aku tidak merasakan apa-apa, hanya ada rasa kesal dan benci yang bertambah hari demi hari. Hidup dalam rumah yang tidak memanusiakan diriku, menerima simpati yang membebani dari Lidya, dan berusaha terus hidup sambil berusaha mencari, berharap aku bisa kembali bertemu dengan Aslan juga Sqeeth.
Setiap hari terasa begitu kosong, tapi juga berat oleh harapan yang terkikis sedikit demi sedikit.
"Semua terasa asing." Aku menjawab dengan mata menekuri lantai, bagiku tidak ada yang familiar di sini. Aku bahkan tidak sampai hati membenci Roselyn sekalipun dia sudah berusaha membunuhku. Bagiku, dia hanyalah korban dari manipulasi orang-orang di sekitarnya.
"Tapi aku bersyukur karena kemampuan sihirku tidak hilang. Semua kemampuan sihirku masih berfungsi baik, bahkan beberapa bisa aku tingkatkan dengan meditasi. Telingaku juga masih tajam seperti sebelumnya."
Aslan dan Sqeeth menatapku lekat.
'Kau selalu bisa menunjukkan keteguhan hati sekalipun kau berada dalam keterpurukan. Kau tahu betapa kagumnya aku pada hatimu, kau selalu berusaha menemukan harapan sekalipun hidup berada dititik terendah.' Aslan tersenyum, tapi senyumnya terlihat sedih bagiku, seolah dirinya tengah menyesali sesuatu yang tidak mampu dia ungkapkan.
'Bagiku kau lebih terang dari matahari yang bersinar. Jiwa Arkais terpancar dengan indah dari dirimu, Ash,' tutur Aslan yang kemudian menjulurkan tangannya ke arah pohon oak, sulur keemasan bergerak dari ujung jarinya dan tiba-tiba peri hutan yang terbang beriringan mendekatinya.
Mereka tampak sangat senang dan mengelilingi Aslan, membuatnya bermandikan kerlip yang menyilaukan dan aku ikut tersenyum mendapati peri hutan yang bahkan tidak pernah aku lihat, tampak begitu bahagia bisa bertemu Aslan.
"Aku meminta mereka bersembunyi agar tidak ditangkap."
'Keturunan Vassel...' gumam Aslan dengan mata berapi-api.
"Aslan, kau berhasil keluar dari Pulau Ennius karena melakukan perjanjian dengan Arkais?" tanya salah satu peri yang pernah aku temui sebelumnya, sayapnya yang berwarna emas, berpadu padan dengan pancaran cahaya dari tubuh Aslan, terlihat sangat serasi.
'Kenapa? Kau ingin ke Pulau Ennius. Aku mengenal sepupumu, Syl, yang selalu membuat keributan di sana.'
Aslan bertanya sambil menjentikkan jarinya ke arah peri berwarna emas itu, dan peri itu terbang dengan lihai menghindari sulur aura dari Aslan.
Aku mengingat peri hutan yang aku temui di Pulau Ennius, dia yang pertama kali mendekatiku dan bicara tentang Arkais juga menyebutkan tentang Aslan.
"Setidaknya aku bisa menjaga diri, tidak seperti Arkais yang tidak bisa memanggil Aslan padahal sudah melakukan perjanjian jiwa. Mungkin kemampuan Roselyn kurang kuat karena selalu disiksa. Aslan tidak tahu bagaimana keluarganya menyiksa Roselyn, bahkan perlakuannya lebih rendah dari pada perlakuan pada budak."
Si peri hutan berwarna emas itu terbang di atas kepala Aslan sambil menjulurkan lidah, tapi Aslan justru terdiam, penyesalan yang amat sangat terpampang di wajahnya.
Bahkan Sqeeth yang sedari tadi hanya tersenyum melihat ke arahku, mendekat dan meraih tanganku, tangan besar nya meremas tanganku sambil tersenyum getir. Aslan bahkan tidak bisa berkata-kata, dia seperti akan menangis.
"Aku baik-baik saja. Serius, aku baik-baik saja."
Keduanya tampak tidak percaya dengan kata-kataku sekalipun aku mengatakannya sambil tersenyum.
"Sekalipun aku merasa terasing di sini, aku yakin kalian tidak akan meninggalkanku. Walaupun hidup sebagai Roselyn tidak kalah buruknya seperti hidupku sebelumnya, aku yakin Aslan dan Sqeeth akan kembali."
Pandanganku jatuh pada kedua tanganku yang sempurna dan berwarna putih khas warna kulit porselin para bangsawan. Fisik sempurna yang hanya menjadi aksesories ini hanya dijadikan alat untuk meningkatkan status keluarga lewat perjodohan. Killian memang memiliki putri, tapi bukan anak, melainkan komoditi pernikahan.
"Bagiku, hanya kalian keluargaku. Aku akan hidup bahagia bersama kalian. Aku tidak peduli jika seluruh dunia meninggalkanku, aku merasa bahagia hanya dengan memiliki Aslan juga Sqeeth."
Sqeeth menyentuh puncak kepalaku dan mengacak-acaknya gemas, senyum teduh di wajahnya membuatku mendapatkan jawaban yang aku harapkan. Bahwa dia juga merasakan hal yang sama sepertiku.
'Kau tidak akan sendirian lagi, Ash.' Aslan menyentuh pipiku dan mengerjap perlahan, meyakinkanku lewat sorot matanya yang terang.
"Tunggu dulu!" aku mendongak dan melihat Sqeeth, membuat tangannya yang masih mengacak-acak rambutku berhenti seketika.
"Kemana kalian selama ini?"
Keduanya tidak langsung menjawabku, malah melirik satu sama lain, Sqeeth malah mengambil satu langkah mundur menjauh dariku.
'Aku berusaha, terus berusaha, meditasi dan memanggil kalian, tapi tidak ada satupun yang menjawabku!' aku menatap Aslan dan Sqeeth bergantian.
'Jangan berpikir aku tidak merindukanmu, Latasha!' Sqeeth memelukku lagi, lama dan terasa hangat, membuatku lupa bahwa keduanya adalah spirit yang terkadang tidak memiliki wujud seperti manusia pada umumnya.
'Aku juga takut kehilanganmu, Latasha…' Sqeeth menghela napas sebelum melanjutkan, 'Si Bodoh Penguasa Hutan ini terluka parah, kutukan Dewa Ahriman menyedot separuh dari kekuatannya.'
Aslan meliriknya sengit, tidak terima dengan sebutan bodoh dari Sqeeth, tapi Sqeeth tidak mengindahkan tatapan penuh ancaman itu dan terus melanjutkan ceritanya.
'Aku berusaha menariknya, tapi justru tersesat di dimensi lain. Aku berusaha kembali, tapi lagi-lagi terseret arus sihir hitam, hingga kami terpenjara dalam ruang paralel! Aslan tidak bisa mengikat jiwamu karena terlalu lemah, sementara aku… ah, bagaimana aku menjelaskannya. Satu waktu aku bisa melihat ikatan jiwa denganmu, dan berhasil menemukan jalan kembali ke jiwamu, tapi ketika aku berusaha, aku kembali terseret arus sihir hitam, terus seperti itu, hingga akhirnya aku bisa merasakan ikatan itu sempat terputus. Saat itulah aku sadar bahwa kutukan itu benar-benar menewaskanmu.'
Aslan menundukkan kepala murung. Kepalanya tertunduk dalam saat aku menoleh ke arahnya, berharap dia akan memberikan penjelasan, tapi Aslan malah menggigit bibir bawahnya, menunjukkan penyesalan yang mendalam di dirinya.
'Maafkan aku, Ash. Aku bahkan tidak menyangka kalau kedatanganmu ke Pulau Ennius adalah rencana Raja Lindbergh. Dia bahwa sebagai Arkais, kekuatan sihirmu akan meningkat berkali-kali lipat setelah melakukan perjanjian jiwa dengan spirit. Aku begitu senang bertemu dengan Arkais dan berusaha melakukan perjanjian denganmu, tanpa mengetahui niat busuk mereka.
'Midas dan Raja Lindbergh merencanakan semuanya, dan mereka mengetahui bahwa Spirit akan berusaha membuat perjanjian dengan Arkais, apapun caranya. Bagi kami para spirit-' Aslan melirik Sqeeth yang melipat tangan di dada sambil terpejam, seolah tengah menyusun kalimat yang akan mengurangi efeknya begitu mereka sampaikan padaku.
'Mengikat jiwa denganmu adalah harapan terbesar kami, karena dengan mengikat jiwa dengan Arkais, kami bisa mengembalikan kekuatan sihir kami yang memudar karena tidak berwujud di dunia manusia. Spirit jauh lebih arogan dari bayanganmu, Ash. Harga diri mereka akan terluka seiring sihir mereka yang melemah.'
Ini pertama kalinya aku mendengar bahwa Spirit akan kehilangan kekuatan karena tidak membuat perjanjian. Mataku berpindah antara Aslan dan Sqeeth bergantian, tapi keduanya dinaungi awan gelap yang sama.
"Ini bukan salah kalian, aku yang memutuskan untuk menolong Ratu Elia. Aku yang jatuh pada perangkapnya, dan membiarkan diriku dijadikan tumbal. Jangan salahkan diri kalian! Aku yang salah, kalian harusnya menyalahkanku!"
'Tapi, Latasha, kami-'
Aku menggeleng.
'Aku juga merasa begitu bodoh, tidak mengenali teh beracun yang diberikan Midas padamu. Teh yang berisi campuran kulit pohon Rost, bunga Lyst, dan mantra sihir hitam buatannya itu, telah melemahkan kendali sihirmu. Mungkin kau merasa jauh lebih tenang setelah meminumnya, tapi sebagai efeknya kendalimu menjadi lemah, dan aliran sihir kami tidak mampu kau bendung.'
Aslan memegangi kepalanya, matanya terlihat basah seolah ingin menangis, tapi aku menggeleng cepat dan meraih tangannya, berusaha meyakinkannya bahwa semua sudah berlalu, aku baik-baik saja, dan yang terpenting, sekarang aku bisa bertemu mereka lagi.
'Persetan dengan keluarga kerajaan. Mereka semua iblis berkedok manusia! Dia sengaja mengincar jiwamu karena tidak ingin penerusnya tidak lagi memegang tahta kerajaan Lindbergh! Keserakahannya tidak mengenal batas!' umpat Sqeeth penuh kebencian.
Aku mengingat bagaimana paniknya Raja Hardian saat aku hilang di Hutan Terlarang. Semua bukan karena dia adalah sosok Raja yang berhati hangat, peduli pada rakyatnya, apalagi peduli pada anggota ekxpedisi, dia hanya takut calon tumbalnya tewas sebelum waktunya.
'Satu hal yang harus kau ketahui, Ash. Kutukan Dewa Ahriman tidak akan hilang sebelum benar-benar mendapatkan Jiwa Terjanji.'
Otakku mendadak buntu, ada hal yang mengganjal dari kata-kata Aslan.
"Jiwa Terjanji?" tanyaku dengan lidah kelu.
'Iya, perjanjian sihir hitam dengan Dewa Ahriman mengharuskan siapapun memberikan jiwa yang terjanji, baik itu jiwa mereka sendiri, atau mereka harus mengorbankan orang-orang yang mereka sayangi demi memperpanjang masa perjanjian sebelum akhirnya jiwa mereka sendiri yang diminta Dewa Ahriman, atau... mereka bisa mengakhiri perjanjian dengan cara menjadikan jiwa Arkais sebagai tumbal.'
Aku terkesiap dan menatap Sqeeth tidak percaya. Dia menjelaskan sesuatu yang sangat mengerikan itu dengan kata-kata yang jauh lebih menakutkan dari kematian.
Peri hutan yang berterbangan di sekeliling Aslan sampai berhenti mengepakkan sayapnya dan melihat ke arahku.
'Raja Terkutuk itu melakukan perjanjian dengan Dewa Ahriman demi bisa menguasai Lindbergh, dan dia tidak segan-segan mengorbankan keluarganya sendiri.'
'Aku tidak akan membiarkan Latasha menjadi tumbal! Dewa Ahriman harus mendapatkan jiwa Raja Terkutuk Lindbergh untuk bisa menuntaskan perjanjiannya.'
Lalu ... Jika aku tidak dijadikan tumbal, akan ada banyak jiwa lain yang menggantikan sebelum akhirnya Raja Hardian kehilangan nyawanya sendiri?
Apakah ini artinya aku akan diburu seumur hidup?
'Ya, semua persis seperti pikiranmu sekarang.' kata Sqeeth yang kemudian mengangguk cepat seolah menjawab keraguan dalam diriku.
"Tapi Dewa Ahriman-" Lidahku terasa kelu mengingat apa yang aku lihat di lautan kegelapan dan kata-kata Dewa Ahriman sebelum aku terbangun di tubuh Roselyn.
Dewa Ahriman benar-benar sedang bermain dengan nyawa manusia. Dia sengaja menjadikanku umpan lagi bagi Raja Hardian, dan ingin menjadi penonton atas apa yang mungkin terjadi padaku di kemudian hari.
Semua akan menjadi mimpi buruk berkepanjangan jika Raja Hardian mengetahui jiwaku berada dalam tubuh Roselyn.
"Bukankah kesehatan Ratu Elia sudah membaik?" suaraku bergetar, masih mengharapkan ada celah untukku hidup tenang begitu melepaskan diri dari keluarga Killian.
'Kondisi membaiknya hanya kebahagiaan sesaat. Hanya menunggu waktu hingga kutukan itu kembali bereaksi.'
'Tujuan Dewa Ahriman hanya satu, melihat manusia saling membunuh dan mengemis ampunannya. Hingga akhirnya dia menjadi satu-satunya Dewa yang disembah manusia.' Sqeeth menjawab dengan mata menyala penuh kemarahan.
Ini kah yang Dewa Ahriman maksud dengan menunggu waktu hingga berhasil memiliki jiwaku?
Dia ingin jiwaku menghitam dipenuhi dendam, kemarahan dan melakukan hal buruk sesuai harapannya. Menghidupkanku kembali dan merasakan perburuan yang tiada akhir, hingga aku menyerah dan terbawa bisikan iblis?
Sama sekali tidak masuk akal.
Aku harus menutupi kenyataan bahwa aku Iliana Latasha Brainne yang masuk ke badan Roselyn seumur hidup. Jika ada yang mengetahuinya dan membuat Raja Hardian kembali memburu jiwaku, habislah aku.
'Dan bukan suatu kebetulan jiwamu berpindah pada tubuh yang sekarang.'
Tanpa sadar alisku bertaut mendengar kata-kata Aslan.
'Kau ingat apa yang dikatakan Roselyn di Hutan Terlarang Pulau Ennius?'
Aku mengangguk dalam tapi juga sedikit tidak yakin, ingatanku seperti tumpang tindih.
'Dia mengatakan sesuatu yang sakral di depan artefak kuno, dan semua terjadi sesuai kata-katanya. Kalian bertukar tempat. Tidak bisa dipungkiri pula, dia menjadi korban atas ucapannya sendiri. Bahkan tubuhmu hangus terbakar karena sihir hitam yang bersumber dari jiwa Roselyn yang sudah ternodai sihir hitam.'
Aku terdiam, menggali ingatan apa yang terjadi di Pulau Ennius, semua kekacauan yang harus aku alami sejak Roselyn membawaku teleportasi ke tempat yang salah.
Dia mengejekku yang selalu iri padanya dan berharap kami bertukar tempat? Karena itu jiwaku berakhir di tubuhnya?
Lalu ingatanku berpindah ke Callisto yang harus meregang nyawa karena ulah Sqeeth. Sifat kekanakan Sqeeth yang mengancam akan membunuh Callisto jika saja aku tidak mau membuat perjanjian jiwa dengannya. Kalau aku pikir-pikir kisah awalku dan Sqeeth tidak lah indah. Kepalaku menoleh cepat ke arah Sqeeth yang memberikan wajah polos menatapku bingung.
'Kenapa? Kenapa kau melihatku sengit begitu?' Sqeeth bertanya sambil mengangkat alisnya.
"Lupakan saja!" tandasku menelan habis kekesalan di ujung lidahku.
Sekarang terjawab sudah kenapa aku bisa berada dalam tubuh Roselyn. Dari sekian banyak manusia di Lindbergh, sialnya aku berlabuh pada Roselyn. Dia orang yang sangat aku hindari selama hidup, bukan karena aku takut padanya, tapi aku tidak ingin menjadi manusia berhati kotor karena membencinya. Tapi sekarang aku bahkan tidak bisa membencinya. Ironis sekali.
"Apakah ada cara lain agar aku terbebas dari incaran Raja Hardian?"
'Kau harus membunuh Raja Hardian, biarkan Dewa Ahriman mendapatkan Jiwa Terjanji.'
Sqeeth menjawab dengan sangat lugas. Sementara aku tertegun, merinding seluruh tubuh, membayangkan tanganku yang bermandikan darah Raja Hardian.
'Raja Hardian harus memberikan jiwa Arkais, atau orang yang disayanginya, dan Dewa Ahriman tidak akan berhenti hingga semua orang yang disayanginya benar-benar mati.'
"Tapi bagaimana dengan Pangeran Henry?" tanyaku bingung, menatap Aslan tidak percaya.
'Kau mungkin tidak tahu, kalau bocah itu bukan anak kandung Raja Lindbergh? Jadi wajar saja bocah itu tidak akan menjadi sasaran.' seloroh Sqeeth cepat, dia mengatakannya dengan sangat enteng, seperti menyampaikan berita bahwa besok mungkin akan turun hujan.
Aku terkesiap, reflek menutup mulut dengan mata membelalak sempurna.
"Tapi tadi bukannya kalian bilang Raja Hardian ingin penerusnya menguasai Lindberg?" aku tergagap demi bisa mengatur kata yang saling tumpang tindih dalam benakku.
"Bagaimana kalian-?"
'Jangan tanya kenapa aku bisa tahu, terlalu panjang ceritanya, tapi aku bisa mengetahui ini semua karena aku bertemu jiwa-jiwa lain yang tersesat dalam ruang parallel.'
"Tapi bagaimana jiwa-jiwa ini bisa tersesat? Apakah karena kutukan Dewa Ahriman? Berapa banyak jiwa yang sudah dikorbankan Raja Hardian?"
'Semua itu tidak penting, Ash. Yang terpenting jiwamu tidak kembali ke Dewa Ahriman!' Aslan meraih kedua pipiku, membuatku berhenti berpikir untuk sesaat karena kaget mendapatinya yang terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaanku.
'Dunia ini lebih membutuhkan Arkais untuk melawan manusia-manusia lain yang terlalu tamak.'
Aslan mencengkram bahuku erat.
"Kenapa kami harus saling membunuh?" tanyaku tidak mengerti dengan semua penjelasan ini. Sebagai manusia, bukankah mereka menginginkan hidup yang damai, lalu kenapa kami harus saling membunuh?
Seharusnya Dewa Ahriman bisa mengambil nyawa Raja Hardian dengan tangannya sendiri, kenapa harus aku?
"Kenapa harus Arkais? Kenapa harus aku? Ada banyak jiwa manusia lain yang bisa menjadi pengganti tumbal. Kenapa aku? Kenapa bukan Pangeran Henry? Kenapa bukan Raja Hardian sendiri?!" mulutku bergerak cepat seperti sedang membaca mantra.
'Ash-'
Aslan menangkup wajahku dan menatap mataku lekat. Keraguan sempat terlihat di matanya saat dia melirik Sqeeth, tapi Sqeeth hanya bungkam seribu bahasa.
'Manusia adalah makhluk paling mengerikan yang ada di muka bumi. Mereka bisa mengorbankan apapun dan siapapun untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Di antara semua manusia, hanya Arkais yang memiliki jiwa bersih, satu-satunya ras manusia yang memiliki sihir murni dalam jiwa mereka.
'Naluri seorang Arkais yang menjaga alam, menjaga kemurnian darah keturunan, menghindari perselisihan, bersedia berkorban dan menahan kesulitan macam apapun, menjadikan jiwa mereka mampu memancarkan cahaya yang menyilaukan, tidak hanya bagi manusia, tapi juga para spirit.' Aslan mengatupkan mulut dan melirik Sqeeth, keraguan tergambar jelas dalam sorot matanya yang lemah.
'Kau tahu kenapa kau menjadi darah Arkais yang terakhir?' Aslan bicara begitu pelan, hingga suaranya bergetar masuk ke hatiku yang paling dalam.
Aku menggeleng, namun keraguan dalam sorot mata Aslan membuat sekujur tubuhku merinding. Auranya berubah kelam seiring dengan turunnya pandangan Sqeeth ke lantai.
'Semakin murni darah Arkais, semakin besar sihir yang dibawanya, hingga darah murni Arkais bisa menjadi penawar kutukan. Arkais terkenal menjadi wadah inti sihir yang besar sejak lahir. Sihir bisa menjadi sangat kuat dalam jiwa Arkais. Bahkan bagi pengguna sihir hitam, mereka bisa menukar nyawa seseorang yang sekarat dengan jiwa Arkais sesuai keinginan mereka. Karena itu pula, suku Arkais diburu seperti hewan langka.'
Napasku tercekat di tenggorokan.
'Kehancuran Arkais dimulai saat pendatang memasuki Pulau Broshi. Setelahnya, Arkais mulai diburu, darah campuran Arkais menyebar ke seluruh dunia, tapi perburuan tidak pernah berhenti.' Sqeeth bicara tanpa mengangkat pandangannya dari lantai.
'Suku Arkais bersembunyi dan berusaha menutupi identitas mereka, tapi bagaimanapun, ciri fisik mencolok yang mereka miliki tidak bisa ditutupi dengan mudah.'
Keheningan yang menyelimutiku terasa mencekik, menutup katup udara yang seharusnya membantuku bernapas normal. Kepakan sayap peri hutan tak lagi terdengar, aku hanya mampu mendengar suara detak jantungku sendiri yang berdebam di telinga.
Ingatanku kembali ketika Ibu tiba-tiba jatuh sakit dan semakin lemah tanpa penyebab, tanpa pengobatan, merenggut keceriaannya, namun dia terus berusaha menunjukkan dirinya kuat dan tidak terbeban.
Mungkinkah kepergian ibuku juga karena ada orang jahat yang mengincarnya?
Degub jantungku semakin memburu seiring mataku yang panas, mengingat senyum terakhir ibu yang memintaku tidak membenci ayah. Aku tidak bisa melakukannya, aku tidak ingin kembali menyimpan dendam dalam diriku.
'Aku bertemu Raisa saat dia datang ke Pulau Ennius, pertemuan yang membuatku begitu senang setelah penantian yang begitu panjang, tapi Raisa menolak melakukan perjanjian denganku. Kau tahu apa yang dia katakan saat menolakku?'
"…"
'Saat itu dia kehilangan separuh dari inti sihirnya karena melawan troll demi mendapatkan tanaman langka untuk mengobati seorang pendeta. Raisa menahan sakit sambil tersenyum, dan berkata...'
Aslan tampak berat melanjutkan ceritanya, tapi matanya menatapku penuh nostalgia yang menyakitkan. Hatiku berkata bahwa pendeta yang disebutkan Aslan mungkin saja ayahku, tapi aku tidak pernah mendengar kisah ini dari kedua orang tuaku.
Sqeeth mengangkat wajahnya setelah sekian lama, dan aura teduh memenuhinya, dan berkata, 'Ada jiwa yang lebih berharga dan lebih bercahaya untuk kau lindungi. Jiwa yang rela aku lindungi sekalipun harus memberikan nyawaku sendiri. Jiwa paling bersih dari seluruh Arkais, jiwa yang lebih bercahaya dari Arkais pertama.'
Wajah ibu melintas dengan cepat dalam benakku. Napas yang tercekat itu mencekik dan membuat pandanganku kabur akibat genangan air yang merembes tiba-tiba.
Kelembutan dalam suara Sqeeth mengembalikan sosok yang bahkan sangat aku rindukan. Rasa rinduku pada Ibu yang hampir terlupa tiba-tiba terkuak bagai panggung yang disibak tirai penutupnya. Wajah pucat ibu yang selalu tersenyum sekalipun sambil menahan sakit.
'Raisa sudah mengetahui bahwa kau akan datang dalam hidupnya. Kemampuannya melihat masa depan, telah membuatnya menjadi Arkais yang kuat, mencegah sekian banyak kehancuran di muka bumi. Dia sudah mengetahui kematian seperti apa yang akan datang padanya, karena itu dia menginginkan perlindungan spirit padamu karena dia tidak bisa melindungimu ketika maut menjemputnya.'
Tangisku pecah sejadi-jadinya. Tanganku merenggut ujung jubah Sqeeth dan membiarkan isak tangisku terdengar, menggema dan menusuk dadaku, lagi dan lagi. Dewa Hermush tidak pernah menolong ibuku. Dewa Ahriman mengincar jiwaku. Lalu kepada siapa aku harus berharap? Dewa tidak pernah membantu kami.
Hidup seperti apa yang dijalani ibuku ketika dia mengetahui kematian seperti apa yang akan datang padanya?
Kenapa ibu masih bisa tersenyum?
Kenapa dunia ini begitu kejam pada ibuku?
Kenapa Dewa menciptakan Arkais jika hanya menjadikan mereka buruan, tumbal dan korban keangkuhan manusia?
Kemarahan menggantikan kesedihan yang memenuhi relung dadaku.
'Latasha?' Sqeeth menarik bahuku dan membawa tangisku dalam pelukannya. Aku terisak sambil mengatupkan bibir rapat-rapat, tidak ingin suara tangisku terdengar oleh mereka.
Selama beberapa saat kesunyian menyelubungiku, seolah memisahkan kehadiranku dari perputaran dunia. Tidak ada lagi suara kicau burung, desiran angin, ataupun gesekan daun. Hanya ada diriku dan hangatnya lengkungan tangan Sqeeth.
'Ibumu sangat menyayangimu, Latasha. Di dunia ini tidak ada satupun yang bisa mengalahkan besarnya rasa cinta ibumu padamu. Bahkan ketika aku dan Aslan melihat ingatanmu, kami mengerti bahwa kau telah melalui begitu banyak hal sejak kepergian Raisa.'
"Aku tidak pernah menjadi anak yang baik, aku ingin menyembuhkan ibu tapi tidak pernah bisa, bahkan meringankan sakitnya pun aku tidak mampu."
Sebuah tangan besar menyapu punggungku berkali-kali, mengirim kehangatan lain padaku.
'Raisa tidak akan menyalahkanmu, Ash. Baginya kau adalah seluruh hidupnya. Karena itu, jangan pernah menyerah untuk berjuang. Kau harus bahagia, jangan biarkan ibumu bersedih karena kau tidak bisa bahagia.'
Aslan mengecup puncak kepalaku, dan aku menangis lebih keras lagi, membiarkan pandanganku menggelap.
'Aku sangat bersyukur bisa kembali padamu, Ash. Jika tidak, aku tidak tahu seperti apa aku akan mengacak-acak dimensi lain.'
'Makanya jangan sekali-kali kau menurunkan kewaspadaanmu. Kau begitu bodoh sampai tersesat di dimensi lain!' Sqeeth bicara sengit tanpa sedikitpun menurunkan tangannya dariku.
'Diam kau, Phoenix Tua!'
Ah, mereka mulai berdebat lagi. Airmataku seketika mengering seiring suasana hatiku yang berubah.
'Kenapa? Kau merasa tersinggung?! Makanya sejak awal aku tidak ingin melepaskan Latash! Aku merasa jiwa Arkais akan turun derajat jika terikat oleh Pelindung Hutan lembek sepertinya.'
'Tutup mulutmu, Pheonix Tua!'
"Menyebutku tua, kau bangga lebih muda dariku, heh?!'
Tangisku berhenti seketika melihat perdebatan keduanya, keduanya selalu berdebat tentang hal-hal sepele. Keduanya adalah sosok teman yang selalu aku rindukan, keluarga yang selalu aku dambakan, bagian dari diriku yang selalu aku butuhkan.
'Apa? Kau mau adu kekuatan, Tua Bangka?!'
'Kau menantangku?'
'Siapa takut?'
'Maju sini!'
"CUKUP!!!" aku berteriak sekuat tenaga dan langsung merangkul leher keduanya, hingga mereka terbengong saat terjepit di lengkungan tanganku, wajah mereka bahkan hampir bertabrakan.
"Mau sampai kapan kalian berdebar?" aku mendelik pada keduanya bergantian, dan kedua spirit itu langsung bungkam. Mulut mereka memang sama-sama tertutup, tapi mata mereka mengirim aliran sengit kepada satu sama lain.
Aku menghela napas panjang.
"Teruslah berdebat, aku rindu suara kalian." Aku menatap keduanya lekat-lekat, dan mengecup pipi Aslan juga Sqeeth bergantian.
Sontak kedua spirit kuat itu membeku, menatap ke arahku dengan mata terbelalak.
'Wah, wah, waah…. Ash!' Aslan berteriak histeris dan tiba-tiba menghilang setelah wajahnya memerah hingga mencapai telinga.
"Eh?" aku terbengong melihat reaksi Aslan.
'Kau melakukan hal yang tidak pernah dilakukan Arkais lain. Kalau sampai Valtis tahu, dia pasti akan menyebutku Spirit Tidak Bermoral.'
"Bagaimana bi-" kata-kataku terhenti ketika Sqeeth tiba-tiba mendekatkan wajahnya namun berhenti tepat sebelum bibirnya menyentuh bibirku.
'Jangan lakukan hal yang sama pada laki-laki lain kalau kau tidak mau aku mencabik-cabik tubuhnya dan menjadikannya makanan serigala.'
Aku terbengong dan merasakan otakku tidak bisa mengerti apa maksud dari kata-kata Sqeeth.
'Kau terlalu polos untuk dunia yang kotor ini, Latasha.'
Sqeeth menyentuh puncak kepalaku sebelum menghilang bagai serpihan debu berwarna merah keemasan. Wajah tampannya yang tersenyum, membuatku kembali tertegun.
Kenapa makhluk bukan manusia seperti mereka memiliki pancaran ketampanan yang menyilaukan begini?
Sekarang pipiku yang mendadak panas.
.
.
.