Entah berapa lama aku terbaring tak berdaya di ruangan sempit, dingin dan penuh serangga ini. Tidak ada suara manusia yang terdengar, hanya ada suara alam yang memenuhi kesunyian tiap detik yang terlewat. Napasku semakin berat, tenggorokanku kering dan perih. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku minum. Tidak ada lagi percikan sihir yang mampu aku rasakan dari dalam diriku, lagi-lagi aku tidak mampu memanggil ataupun mendengar suara Aslan dan Sqeeth.
Aku kembali sendirian, dan terkurung dalam penjara yang bahkan tidak aku ketahui ada dimana. Apakah aku masih berada di Lindbergh? Apakah aku masih bisa selamat dari sini?
Kenapa aku begitu lemah?
Kenapa aku selalu terluka, dan terpuruk, sendirian?
Entah sudah berapa kali aku hilang kesadaran, siuman, dan kembali ditelan kegelapan. Terkadang aku mendengar suara alam yang begitu jelas, tidak jarang juga aku mendengar suara bisikan yang memintaku menahan napas agar maut segera menjemput.
Di antara sadar dan tidak, aku melihat sekelebat memori yang memaksaku untuk terus berharap bahwa akan datang keajaiban.
Ketika dingin yang amat sangat menyerang, aku hanya terdiam menghitung jumlah napas yang mampu aku lakukan.
Ketika aku kira sudah cukup penderitaan yang aku alami sebagai Iliana, ternyata masih ada siksaan yang jauh lebih menyakitkan yang harus aku rasakan.
Aku tidak pernah membayangkan bagaimana orang-orang yang ingin hidup dalam keabadian, membuat banyak percobaan, membunuh nyawa demi nyawa hanya untuk menemukan formula agar mampu hidup abadi.
Untuk apa hidup lebih lama jika dalam penderitaan?
Untuk apa hidup lebih lama jika harus terpuruk sendirian?
Bukan 'kah sangat menyakitkan ketika satu demi satu orang yang dicintai pergi meninggalkan?
Ah, kenapa kepalaku masih mampu berpikir seperti ini padahal untuk bernapas saja aku sudah sulit?
Aku tidak ingin hidup dalam penderitaan lagi.
Bukankah ini sangat tidak adil?!
Aku hidup dengan sangat baik dan rajin. Aku selalu berusaha menghindari konflik. Aku selalu berusaha tidak menyakiti orang lain. Sekalipun orang lain jahat padaku, aku tidak pernah berusaha membalas dendam. Bahkan ketika ayah kandungku sendiri memperlakukanku seperti orang asing, aku memilih untuk menghilang dari hidupnya.
Lalu kenapa orang lain selalu berusaha menyakitiku?
Jika darah Arkais dalam diriku harus menderita hingga sedemikian rupa demi menjadikanku manusia yang lebih hebat hanya untuk menjadi tumbal, aku lebih memilih maut.
Lebih cepat maut datang, lebih baik dari pada tersiksa berkepanjangan seperti ini.
Sekujur tubuhku sakit!
Aku benci rasa sakit ini!
Aku tidak ingin hidup seperti ini!
Aku ingin bertemu dengan Aslan dan Sqeeth lagi.
Aku bahkan tidak bisa menangis sekalipun aku sudah terpuruk seperti ini, mataku hanya mampu menatap kosong pada langit-langit ruangan yang hitam dan berlumut. Napasku pendek-pendek dan berat, memaksa jantungku terus memacu sekalipun aku merasa begitu payah untuk bernapas.
Semua karena Dewa Ahriman! Aku akan menuntut kembali kematianku!
Aku-
"ROOOOAAAARRRR!!!"
Sekujur tubuhku yang tak bertenaga lagi hanya bisa menoleh ke lubang angin, menunjukkan langit senja yang berwarna sama ketika aku menusuk bahu Allan.
Seingatku aku menusuknya cukup dalam, sekalipun agak tidak mungkin, tapi aku berharap dia akan cacat seumur hidup dan tidak bisa menggunakan tangannya lagi untuk mengayunkan pedang.
Aku bersumpah telah menusuk sendinya sekuat tenaga, tidak mungkin kalau dia tidak cidera.
"ROOOOOAAAARRRR!!!"
Lagi-lagi terdengar suara auman hewan liar yang disusul suara berisik pohon tumbang. Kenapa hewan liar itu tidak menyerang tempat bangunan sempit ini?
Aku berharap ada Hydra yang lewat dan menghancurkan bangunan ini.
Mungkinkah Pendeta Noah menanamkan sihir lain sehingga tempat ini tidak terdeteksi oleh makhluk lain?
"Jangan banyak melawan, kau hanya akan mati!"
Suara manusia.
"T-" suaraku tidak keluar ketika aku berusaha berteriak.
Arrgggghhhh! Dewa! Aku mohon, biarkan aku berteriak dan meminta mereka membantuku keluar dari sini. Aku tau Hermush sudah membuangku, tapi tidak bisakah dia membantuku sekali ini saja?!
"Tu-tunggu dulu! Aku belum siap! Jangan- ARRRGGGGHHHH!"
Suara benturan yang sangat hebat menghantam dinding tepat di belakangku, berkali-kali, hingga pada benturan yang keempat kali, aku melihat retakan di dinding.
"Tung-"
"BRAAAAAKKKKK!!!"
Dinding di belakangku tiba-tiba runtuh dan bersamaan dengan suara auman yang menggelegar aku mendapati seseorang bangkit dari reruntuhan dinding. Sosoknya yang tinggi dan berotot gempal tampak terbatuk-batuk sambil mengibaskan tangannya di udara.
"Aku sudah bilang belum si- Hah?"
Orang itu menoleh ke arahku dan melihatku kebingungan. Sebelah matanya tertutup penutup mata, dan sebelah matanya lagi yang berwarna hitam legam membelalak sempurna saat bertemu tatap denganku.
Reruntuhan tembok yang hampir menimpaku itu berkumpul di ujung kakiku. Aku tidak lagi memiliki tenaga untuk bicara ketika orang besar itu bertanya lewat sorot matanya. Namun kelegaan yang amat sangat itu membuatku berharap, berharap bahwa orang bertubuh tinggi besar ini adalah orang baik yang mungkin bisa menolongku.
"Ba-"
"RRRROAAAAARRR!!!"
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sesosok beruang besar, hampir berukuran lima kali besar beruang pada umumnya, menyerangnya lagi dengan cakarnya. Gerakan beruang itu sangat cepat, tapi pria berpakaian tebal itu bergerak jauh lebih lincah dan lompat seraya menghindari cakar yang bisa mengoyak tubuh manusia menjadi tak berbentuk itu.
"Kau mulai membuatku kesal, Monster Sialan!"
Kilat penuh amarah memenuhi mata pria itu, rambutnya yang berwarna cokelat pendek bergerak tertiup angin ketika dia bersiap menyerang Sang Beruang Raksasa. Dia menggunakan pedang di kedua tangannya, dan ketika dia mengubah posisi pedangnya di belakang kepala, aku bisa merasakan auranya yang begitu kuat sebagai ahli pedang.
"Rasakan ini!" dia melompat dan bergerak secepat angin, mata telanjangku tidak mampu mengikuti gerakannya yang begitu cepat dan mulus sekalipun tubuhnya sangat besar.
Beruang besar itu kembali mengaum saat pedang mendarat di lehernya, menyayat sisi kiri lehernya. Tangan besar sang beruang terayun menyerang pria tadi, tapi dengan sigap dia menghindar dan mendaratkan satu sayatan besar di bahu kanan sang beruang.
"RRROOOOAAARRRR!!!"
Sang beruang kembali mengamuk dan pria tadi kembali mengubah posisi pedangnya, mengayunkannya dengan cepat ke arah leher si beruang, detik kemudian yang terlihat adalah kepala besar sang beruang menggelinding jatuh di lantai jerami, bersamaan dengan darah merah panas yang menyembur ke segala arah.
Ini pertama kalinya aku melihat pertarungan langsung ahli pedang melawan monster. Gerakannya begitu indah dan anggun, tapi juga mematikan. Sosoknya yang bermandikan cahaya senja dengan kedua pedang berlumuran darah, terlihat sangat menyilaukan mata. Akan sangat menyenangkan kalau aku bisa belajar ilmu pedang darinya.
Ah, aku lupa! Sepertinya aku tidak bisa melakukannya jika aku harus mati di tempat dingin ini. Karena ulahnya, tembok yang jadi satu-satunya pelindungku dari udara dingin musim salju ini runtuh. Meskipun otakku masih berfungsi, tapi tubuhku yang hanya terbalut gaun tidur tipis, tak sanggup melawan dinginnya udara yang menusuk tanpa penghalang.
Bisa aku rasakan inti sihirku yang pijarnya semakin pudar.
Jika memang orang ini bisa menolongku, aku tidak serta merta merasa tenang. Pertolongan memang tiba, tapi aku sudah terlalu lemah. Jemariku tak bisa lagi aku gerakan, bahkan bibirku yang kering, menolak untuk dibuka. Setiap tarikan dan helaan napas bagai bara api, membakar dan begitu menyiksa.
Aku lelah.
Mataku terpejam dan memasrahkan napasku yang terasa semakin lemah.
"Hei, Nak! Jangan mati dulu! Hei!"
Dia mengguncang tubuhku berkali-kali, tapi aku tidak bisa meresponnya, tubuhku terkulai begitu saja, dan tenagaku sudah tidak tersisa lagi, habis aku gunakan demi mengagumi kehebatan pedangnya.
.
.
.
Tubuhku terasa begitu ringan, tidak ada lagi sakit yang aku rasakan.
'Latasha?'
Suara Sqeeth.
Suara yang mengirim berbagai macam perasaan padaku ketika mendengarnya. Ada bahagia, kecewa, rindu, tapi aku juga bisa merasakan dengan jelas luka irisan besar di relung hatiku.
'Ash?'
Kali ini Aslan memanggilku.
Ada perdebatan dalam diriku ketika aku ingin menjawab mereka.
Apakah perasaan ini akan kembali seperti semula?
Aku tidak mengerti ketika aku merasakan tembok baru yang hadir dalam kalbuku, membentengi jiwaku dengan mereka.
Ketika aku hampir putus asa karena mengharapkan kehadiran mereka, aku berikrar pada diriku sendiri, bahwa kehadiran mereka bukanlah sesuatu yang bisa aku anggap sebagai milikku.
Mereka bisa menghilang di saat aku membutuhkan mereka. Apapun alasannya, jiwaku dan mereka hanya terikat, bukan berarti mereka akan selalu melindungiku dan aku tidak diperkenankan bergantung pada mereka.
'Latasha, kenapa kau tidak menjawab?'
'Ash? Apakah kau tidak bisa mendengar kami?'
Bukan aku yang tidak bisa mendengar kalian, tapi aku memilih untuk tidak memperdengarkan hatiku pada kalian.
Menyadari bahwa aku mampu membentengi hatiku dari mereka, membuatku semakin yakin bahwa jarak itu masih ada.
Aku harus mengerti, mereka spirit bebas yang hanya terikat karena perjanjian, jika jiwaku benar-benar hilang dari dunia ini, maka aku ataupun mereka tidak akan bisa saling mengikat. Karena itu aku harus terbiasa tanpa kehadiran mereka agar jika waktu itu tiba baik mereka ataupun aku tidak terlalu terluka.
Awalnya aku mengira bahwa aku sudah benar-benar mati di ruangan anti sihir itu, tapi ternyata tidak.
Mataku terbuka, dan mendapati wajah Aslan juga Sqeeth yang hanya berjarak sejengkal dariku. Dadaku sakit melihat wajah keduanya. Aku tidak pernah menyadari kalau kekecewaan itu begitu besar sudah menggrogotiku.
Mereka tidak salah, tidak seharusnya aku kecewa, seharusnya aku yang tidak berharap.
Aku memaksa diri tersenyum, bibirku masih kaku dan perih ketika tertarik ke dua sisi.
'Maafkan aku, Ash! Aku tidak bisa menggunakan kekuatan sihirku karena penghalang di ruangan terkutuk itu.'
Aku mengerjap sambil menggeleng lemah. Sendi di tubuhku berdecit ketika aku gerakkan. Bagai boneka kayu yang lama tak bergerak, semua terasa berat.
"Kalian tidak bersalah, aku yang tidak peka, dan mereka yang terlalu jahat."
Suaraku serak dan terdengar asing. Bukan suara Roselyn yang biasanya aku kenali.
Apakah ini akibat racun yang diberikan Killian?
'Latasha... Inti sihirmu terbuka, tapi racun yang mereka berikan padamu melemahkan kemampuan kami karena jiwamu ikut melemah.'
Aku mengangguk mendengar penjelasan Sqeeth.
Mereka tampak sangat cemas, tapi hatiku kosong.
Apakah kekecewaan dalam diriku telah menghilangkan harapanku pada mereka?
Apakah itu akan berpengaruh pada ikatan jiwa kami?
Aku tidak boleh menujukkan pada mereka apa yang tengah aku rasakan. Menarik napas sekali, dua kali, sambil terpejam, berusaha meredakan desir emosi dalam diriku, dan detik berikutnya aku mampu merasakan riak ombak emosi dalam diriku menghilang.
Mataku kembali terbuka dan berusaha mengenali sekelilingku yang terasa begitu asing.
Langit-langit kayu dengan lampu menggantung di tengah ruangan, menerangi kamar yang diisi sekedarnya. Ruangan ini seperti ruang tidur yang dibangun di loteng, struktur bangunan dengan atap miring dan ada bagian yang tertutup kaca tembus pandang, menunjukkan langit yang bertabur bintang. Terlihat butiran salju yang jatuh dari langit, tapi terlalu tipis untuk menutupi keindahan malam.
Aku terbaring di atas tempat tidur empuk dengan selimut tebal hingga mencapai leher, tidak dingin lagi seperti ruangan bersemen di antah berantah seperti yang mampu aku ingat. Rasa sakit itu hilang, bahkan luka-luka di tubuhku sudah menghilang.
Aku hampir berpikir bahwa apa yang aku alami hanyalah mimpi karena mendapati keadaanku sekarang.
Aku berusaha mengingat sosok yang terakhir kali muncul dalam memoriku sebelum menyerah untuk bernapas. Badannya yang tinggi, besar dan berotot, bahkan dengan tutup mata satu, menunjukkan sisi gaharnya, yang sangat bertolak belakang dengan nada cemas ketika berusaha menyadarkanku.
Aku akan mencari tahu nanti, perhatianku kembali pada dua spirit yang masih memasang tampang cemas di hadapanku.
"Aku tidak bisa memanggil kalian selama dikurung. Apakah akan ada kemungkinan ini akan terjadi lagi?"
Tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi, aku hanya perlu memastikan tidak lagi terpuruk dalam lubang yang sama.
Luka ini, hanya aku yang akan menyimpannya.
Baik Aslan maupun Sqeeth sama-sama menegakkan badan dan melihat ke arahku, tertampar dengan pertanyaanku yang terdengar tanpa beban.
"Ummm…. Ash, sebenarnya-" Aslan melirik Sqeeth, tapi Sqeeth membuang wajah dan memberikan raut wajah yang sama padaku.
Keduanya tampak ragu, dan aku tidak ingin memaksa mereka jika mereka juga memiliki hal yang ingin mereka tutupi. "Sebelumnya, kenapa suaraku begini? Apa yang terjadi dengan suaraku? Aku tidak merasakan sakit sama sekali di tenggorokanku," aku berdehem berkali-kali, tapi suaraku masih terdengar asing.
"Mungkin racun yang mereka berikan sudah merubah suaramu. Aku tidak merasakan sihir atau kutukan lain."
"Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Seberapa besarnya pengaruh ruangan anti sihir itu?"
"Tunggu dulu, Ash. Aku bukan tidak berusaha menjagamu. Aku tidak bisa menggunakan sihir ketika jiwamu tidak bisa mengeluarkan sihir. Ketika perjanjian jiwa dibuat, maka sebagian dariku adalah milikmu. Aku mungkin punya kehendak sendiri, tapi seutuhnya aku berada dalam kendalimu."
Aku melirik Aslan tanpa emosi karena tidak ingin menerima penjelasannya yang sangat baru di telingaku. Dia tidak pernah memberitahuku tentang hal ini sebelumnya. Aku bisa mengendalikan spirit? Sejak kapan? Bahkan ketika aku terpuruk sekalipun, aku tidak bisa membuat kontak dengan mereka.
"Aku bahkan meminta peri hutan mengarahkan Beruang Gila itu ke arahmu agar Pemburu itu mengetahui keberadaanmu, bisa membantumu. Kau tahu betapa sulitnya menyakinkan peri hutan tanpa kekuatan sihirku sendiri?" Aslan bicara begitu cepat, sementara Sqeeth mengangguk-angguk di sebelahku.
"Bagaimana jika aku tidak selamat?" tanyaku tetap tenang dan Sqeeth langsung menutup mulutku dengan tangan besarnya.
"Jangan bicara sembarangan, Latasha! Aku tidak akan membiarkanmu berada dalam bahaya lagi sendirian, karena itu kau harus mengubah pola pikirmu. Sedikitlah lebih ambisius, milikilah sedikit dendam, kau harus punya keinginan untuk mengalahkan orang lain, waspada pada kawan sekalipun. Setidaknya itu bisa membantuku meningkatkan instingmu terhadap bahaya."
Aku menatap Aslan, bertanya dalam diam agar mereka menjelaskan apa maksud dari perkataan Sqeeth yang ambigu, seolah-olah dirinya memintaku menjadi seseorang yang jahat.
"Kau ingat ketika kami bilang kau dan Ratu Elia harus saling membunuh?"
Aku tidak menjawab merea.
"Dewa Ahriman tidak akan mengambil nyawa tumbal begitu saja, dia akan menggunakan tangan manusia lain untuk membunuh tumbalnya. Selamanya kau akan berada dalam bahaya, dan aku tidak ingin membiarkanmu tak siap menghadapi bahaya."
"Latasha …" aku menoleh ke arah Sqeeth. "Yang membunuhmu sebelum ini bukanlah kutukan Dewa Ahriman, tapi kutukan lain yang Ratu Elia kirimkan padamu saat kau berusaha menyembuhkannya. Ketika kau kehilangan kendali pada sihirmu, saat itulah kutukan itu bekerja."
Kutukan lain? Jadi bukan Dewa Ahriman yang membakar tubuhku? Bukan Dewa Sialan itu yang menarik jiwaku ke lautan berwarna gelap pekat itu?
Jika aku harus melawan, berarti aku harus lebih kuat.
Aku mengingat Aslan dan Sqeeth pernah menyebut tentang Valtis Arkais, kakek moyangku. Jika semua jiwa Arkais menjadi incaran, seharusnya ada hal besar yang dilakukan kakek moyangku sehingga namanya menjadi legenda.
"Apa yang dilakukan Valtis Arkais hingga dia ditakuti semua orang?"
Aslan dan Sqeeth sama-sama bungkam.
"Kenapa? Kalian merasa belum tepat bagiku untuk mengetahuinya? Apa kalian akan menjelaskannya setelah aku HAMPIR menjadi mayat lagi?"
"ASH!"
"LATASHA!"
Wajah mereka sekarang terlihat jauh lebih mengerikan dariku yang seharusnya lebih marah.
"Kalau begitu biarkan aku tahu dan berhentilah menutupinya seolah aku orang lemah yang tidak bisa melakukan apapun!"
Aslan menghela napas dan Sqeeth meraih tanganku.
"Latasha sebenarnya-" Aslan mencengkram bahu Sqeeth, tapi Sqeeth hanya menghela napas cepat.
"Aku mengenal Valtis dengan baik. Siapa yang bisa menceritakan semuanya kalau bukan aku?"
Aslan tampak tidak bisa mengembalikan kata-kata Sqeeth.
"Lagipula, urusan menjadi pemeran jahat adalah keahlianku."
Sqeeth bicara seolah-olah dirinya sedang mengambil seluruh beban tanggungjawab dari tangan Aslan. Sorot mata Sqeeth melemah, perhatiannya berpusat padaku.
"Latasha. Kau ingin menjadi legenda seperti Valtis Arkais? Seorang Arkais yang memimpin dengan kejam dan tidak segan-segan membantai siapapun yang melawannya?"
Aku terperangah, tidak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulutku.
"Aku sangat menyukaimu Latasha. Aku mungkin tidak pernah bertemu Raisa Arkais, tapi aku yakin kau adalah jiwa Arkais paling bercahaya yang pernah aku temui. Bahkan sebelum jiwa Valtis Arkais menghitam, cahaya jiwanya tidak seterang milikmu."
Sqeeth mengusap puncak kepalaku, dan senyumnya justru terlihat sedih bagiku.
"Kau adalah jiwa terakhir Arkais di dunia ini, aku tidak ingin kau rusak seperti Valtis Arkais, tapi setidaknya dengan kau memiliki keinginan untuk melawan, dengan sedikit dendam, maka inti sihirmu bisa meningkat. Aku, sebagai satu-satunya spirit yang melakukan perjanjian jiwa dengan Arkais secara turun menurun, mengenal dengan baik apa yang dilakukan Arkais ketika melakukan perjanjian dengan spirit sepertiku."
"Apa yang terjadi pada mereka?" tanyaku polos.
"Mereka menjadi serakah, menjadi seorang pendendam, haus darah. Jiwa Arkais yang tidak melakukan perjanjian, diburu untuk menjadi tumbal dan ritual sihir hitam, sementara yang lain, menjadi lebih kuat dan menerima karma atas keserakahan mereka seperti Valtis Arkais. Hanya kau, satu-satunya jiwa yang tidak memiliki keserakahan itu, aku ingin kau bisa meningkatkan inti sihirmu, dengan begitu spirit seperti kami bisa memaksimalkan kemampuan kami. Kau memiliki jiwa yang terlalu lemah, mungkin karena terlalu lama berada dalam harapan kosong, tapi aku ingin kau berhenti, hiduplah untuk dirimu sendiri, lawan mereka yang menyakitimu, buat mereka merasakan apa yang telah mereka perbuat padamu!"
Sqeeth tampak sangat frustasi, dan aku menyadari diriku yang terlalu skeptis dalam menjalani hidup.
"Aku tidak ingin kau sampai seperti Valtis Arkais, tapi aku mohon, jangan biarkan dirimu hidup dalam duka berkepanjangan."
Ah...
Pandanganku jatuh ke pangkuan. mengingat segala macam duka yang aku lewati semenjak kepergian ibu.
Apakah selama ini aku membiarkan diriku hidup dalam duka berkepanjangan?
Mungkin benar, mungkin juga salah.
Aku akan melawan ketika kesabaranku benar-benar mencapai puncaknya, tapi bukan berarti aku membiarkan diriku terluka.
Sqeeth terdiam, tampak mengingat hal yang sangat jauh dari dasar memorinya.
"Valtis seorang Arkais berdarah murni dan satu-satunya pemimpin bertangan besi yang berhasil membuktikan pada dunia bahwa Arkais bukanlah buruan lemah. Dia berhasil melindungi suku Arkais selama bertahun-tahun. Menghukum siapapun yang berani menyentuh suku Arkais. Saat itu aku adalah satu-satunya spirit yang melakukan perjanjian jiwa dengannya.
"Valtis akan menghukum Arkais yang berani melakukan kontak dengan dunia luar, begitu juga sebaliknya. Baginya, membuka diri pada dunia luar sama saja membiarkan dunia melihat kelemahan suku Arkais. Kau tahu apa yang dilakukan Valtis Arkais ketika seorang anggota suku membawa kutukan dari luar pulau?"
Aku terdiam.
"Dia memenggal kepala orang itu di depan warganya."
Aku terkesiap dan menutup mulut dengan kedua tangan.
"Bahkan saat ada kapal lain bersandar di Pulau, dia menghabisi seisi kapal dan membuang semua mayatnya di lautan. Mayat-mayat mengambang di lautan yang berubah warna menjadi merah."
Sekujur tubuhku bergidik ngeri.
"Sekejam itulah Valtis hingga seluruh dunia menakuti suku Arkais. Tindakannya bukan tanpa hasil dan selama bertahun-tahun suku Arkais hidup dalam damai. Tidak ada pertumpahan darah dan darah murni Arkais tetap terjaga. Hingga suatu saat dia jatuh cinta pada wanita dalam mimpinya dan melihat wanita itu di atas kapal yang melintasi laut selatan pulau. Buta karena cinta, Valtis menikahi wanita itu hingga darah campuran pertama terlahir.
"Sumpahnya untuk tidak mengotori darah Arkais telah menjadi karma yang berbalik padanya. Inti sihirnya melemah. Dia memintaku memutuskan perjanjian kami sekalipun nyawanya harus melayang, dan memintaku mengikat perjanjian baru dengan anaknya. Aku menolanya."
Kesedihan terlihat jelas di wajah Sqeeth, dan ini pertama kalinya aku mendengar kisahnya. Dia pasti merasa sangat terluka setelah Valtis lebih memilih anaknya.
"Akhirnya Valtis mengakhiri perjanjian jiwa kami dengan menusuk dirinya sendiri menggunakan artefak belati Arkais. Aku menolak perintahnya untuk melindungi anaknya dan terikat sepenuhnya di Pulau Ennius sejak hari itu. Sejak kepergian Valtis, tidak ada satu orangpun yang bisa melindungi Arkais dari sihir hitam atau incaran tumbal kutukan."
Aku memiringkan kepala, tidak begitu yakin apakah aku harus senang, sedih, ataukah bersimpati pada kisah kakek moyangku ini. Masa lalu suku Arkais jauh lebih kelam dari perkiraanku. Ibu sendiri tidak pernah cerita tentang kehidupannya sebelum bertemu Ayah. Seolah Ayah adalah seluruh dunianya, Ibu hanya bercerita bagaimana dia sangat menyayangiku dan ayah. Aku tidak mengerti Ibu yang memintaku berusaha mengenal Ayah, karena pada akhirnya aku membawa sakit hati hingga maut menjemput.
"Valtis melakukan apa yang dia mampu untuk melindungi diri dan sukunya, karena itu aku ingin kau memiliki tekad yang sama."
"Tapi aku tidak mau jadi pembunuh."
"Kau harus membunuh jika tidak ingin dibunuh!" Sqeeth mencengkram bahuku erat, matanya menuntut dalam diam. "Aku mohon, Latasha. Kau satu-satunya yang ingin aku lindungi, dan aku tidak bisa melindungimu jika kau terus lembek seperti ini!"
"Tidak adakah cara lain?" aku bertanya dengan suara bergetar, mengiba pertolongan mereka agar aku tidak perlu membuat tanganku bersimbah darah. Membayangkannya saja sudah sangat menakutkan, aku tidak ingin membunuh siapapun.
"Ash-" Aslan meraih tanganku setelah bungkam sekian lama, dan berkata, "Apakah kau berniat bersembunyi selamanya?"
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Aku yang selalu menjadi korban bully, sangat mengerti bagaimana rasanya tersisih seperti aku tidak ada.
"Ash. Aku ataupun Sqeeth tidak akan memaksamu jika itu pilihanmu, tapi kau harus membangkitkan inti sihirmu."
"Inti sihirku..."
"Jiwa Arkais yang sesungguhnya memiliki potensi sihir yang besar dan sihir yang kau miliki saat ini belum ada setengahnya. Kami harus menunggu waktu yang tepat untuk membangkitkan sihirmu. Kau tidak bisa membangkitkan sihir dengan pikiran dan tubuh yang tidak sejalan. Aku mengerti kau tidak bisa menerima jiwamu yang berada dalam diri Roselyn, tapi kau harus berdamai dengan dirimu sendiri untuk bisa membangkitkan inti sihirmu sendiri."
"Bagaimana jika aku tidak bisa melakukannya?"
Aslan dan Sqeeth bertukar pandang cepat.
"Tubuhmu akan mengalami penurunan fungsi karena tidak bisa menampung luapan sihir dari jiwamu."
Awalnya aku hanya terdiam, namun dalam hati aku mengerti benar kemana arah dari semua kemungkinan ini menyetirku, dan tawa mencemooh yang tidak bisa aku tahan lolos begitu saja.
Sejak awal, apakah aku punya pilihan?
"Latasha?"
Aku tidak bisa menghentikan tawaku, hingga akhirnya aku tertawa keras sambil memegangi perutku yang perlahan kram. Pada akhirnya tidak ada jalan yang lebih baik yang bisa aku pilih. Semua bagai jalan berkerikil yang tidak akan berhenti menyakitiku, tidak akan membiarkanku lolos tanpa berkorban. Mataku panas, tapi tidak ada air mata yang menetes, sementara hati kecilku lagi-lagi bertanya... kenapa harus aku?
"Nak?"
Suara berat dan serak terdengar dari ujung ruangan, dan di puncak anak tangga loteng, aku mendapati seseorang yang terakhir kali aku lihat sebelum aku hilang kesadaran di pengasingan.
Di tempat dengan penerangan yang cukup, aku bisa melihat dengan jelas penampilannya. Sosok yang sepertinya sekitar 40 tahun-an itu memiliki rambut cokelat yang mengingatkanku pada rambut lamaku, jenggotnya yang tipis menutupi sebagian dari dagu dan rahangnya. Matanya yang tertutup penutup mata berwarna cokelat, menutupi bekas luka parut yang menjalar hingga pelipis dan ujung sisi matanya yang masih berfungsi.
Mata normalnya dengan manik berwarna hitam legam melihat ke arahku penuh tanya.
Dia menyebutku apa tadi? 'Nak?'
Apakah aku tampak seperti anak kecil? Ataukah dirinya yang sebenarnya sudah sepuh?
"Penyembuh bilang kau sekarat dan hampir kehilangan inti sihir, aku kira kau baru sadar seminggu lagi. Karena selama 3 hari ini kau tidak sadarkan diri dan berhenti bernapas beberapa kali sampai aku tidak berani meninggalkanmu terlalu lama. Baru hari ini aku meninggalkanmu sampai setengah hari, makanya aku kaget ketika mendengar suara tawa asing dari loteng. Apa yang kau rasakan? Kau masih waras 'kan? Kau bisa bicara 'kan? Kau bisa mendengarku kan?"
Aku memiringkan kepala, bingung bagaimana harus menjawab pertanyaannya. Aslan dan Sqeeth menghilang tepat ketika suara orang ini terdengar, hingga aku tidak bisa bertanya pada mereka siapa orang ini?
"Te-terima kasih sudah menyelamatkanku, Tuan." Aku membungkukkan badan hingga wajahku hampir menyentuh permukaan selimut.
"Oh, kau bicara juga. Ah! Kau tidak perlu memberi hormat sedalam itu. Bagaimana mungkin bangsawan Lindbergh memberi hormat pada kacung sepertiku?!"
Aku terkesiap, dan tidak yakin dimana aku berada, tapi dia mengetahui aku adalah bangsawan dari Lindbergh. Saat mata kami kembali bertemu, dia sudah duduk di kursi samping tempat tidur. Kursi berukuran normal itu tampak sangat kecil dan kesulitan menopang badannya yang tinggi besar. Melihat wajahnya dari dekat, aku langsung bergidik mendapati beberapa bekas luka yang saling tumpeng tindih.
"Jadi, bagaimana bisa Putri dari Bangsawan Killian bisa berada di hutan Oak?"
Aku tetap menutup rapat mulutku, menilai situasi. Mempertimbangkan apakah aku harus jujur ataukah mengarah cerita lain?
Bagaimana aku harus menghadapi orang ini, dan bagaimana jika orang ini menolongku hanya untuk mengirimku lagi pada Standford Killian?
Mataku bergerak cepat melihat sekeliling ruangan, mencari benda yang bisa aku gunakan untuk melindungi diri.
Itu dia! Ada pajangan berbentuk belati di dinding tepat di belakangnya.
Aku mengangkat tangan dan memusatkan konsentrasiku pada belati, tanganku terangkat bersamaan dengan belati yang terlepas dari kait.
"Oho!" Pria itu mencengkram tanganku dan tangannya yang bebas terarah ke belati yang tengah melayang di udara dan mengembalikan ke tempatnya. "Hah... kenapa kau sangat agresif, Nak? Jujur saja, aku muak dengan bau darah lagi setelah menguliti beruang gila selama dua hari. Asal kau tahu, kesabaranku sangat tipis, Nak!"
Aku membelalak kaget, tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Seseorang yang bisa menggunakan telekinesis, sama sepertiku. Reaksinya begitu cepat dan tahu apa yang aku tuju sekalipun objeknya ada di belakangnya tanpa mengalihkan pandangan.
Apakah dia punya mata di belakang kepala?
Dia melepaskan tanganku ketika aku menurunkan mata ke pangkuan, sengaja menunjukkan padanya bahwa aku tidak akan menyerang.
"Aku dengar kau menghilang dua minggu lalu, tapi sepertinya menemukanmu tidak ada gunanya bagiku. Marquis Killian tidak membuat sayembara sama sekali. Kenapa ayahmu sangat pelit? Apakah tambang batu sihir dan emas milik mendiang Marquis Killian berhenti menghasilkan uang? Kerajaan Lindbergh bahkan hanya mengambil 20% sebagai pajak, dan semua kekayaan melimpah itu akan menjadi milikmu setelah menikah dengan Duke Avallon. Lalu kenapa kau tiba-tiba menghilang? Bahkan ada rumor mengatakan kau membatalkan pertunanganmu dengan Duke Avallon."
Kenapa orang ini bisa menceritakan semua tentang hidup Roselyn dengan sangat detail? Dia bahkan mengetahui tambang emas dan batu sihir dari Marquis Albert De Killian. Siapa orang ini? Dia memang menolongku, tapi masih ragu. Bisa jadi aku lolos dari mulut buaya dan masuk ke sarang singa?
"Tidak usah ketakutan begitu, Nak. Apakah karena kau menolak menikahi Duke Avallon, jadi Marquis Killian membuangmu?"
Aku tidak menjawabnya, hanya diam, tapi dia, yang bicara banyak bak seorang ahli ensiklopedia, langsung tertawa sambil bertepuk tangan melihatku mengunci mulut rapat-rapat.
"Ha ha ha! Sungguh jalan hidup yang dramatis, akhirnya wanita antagonis Lindbergh mendapatkan karmanya?"
Wanita antagonis Lindbergh?
Aku menengadah menatapnya dan mengerutkan alis.
"Siapa yang tidak mengetahui kejahatan kecil yang kau lakukan pada mendiang putri Pendeta Brainne?"
Aku kehilangan kata-kata. Dia mengetahui semua tentang Roselyn tanpa ada sedikitpun yang terlewat. Tapi dia tertawa sangat senang berkata aku mendapatkan karma?
Semua perbuatan Roselyn ketika jiwaku belum masuk ke tubuhnya.
Aku bahkan tidak melakukan kejahatan apapun, aku justru korban Roselyn. Aku tidak berhak menerima karma apapun.
"Kenapa? Kau merasa tidak adil?" Pria itu menatapku lurus, mencemooh lewat kata-katanya.
Sikap ramahnya seketika hilang.
"Kau hanya menuai apa yang kau tanam, Nak!"
Telingaku berdenging mendengar kata-kata yang sudah aku prediksi akan ditujukan padaku selama aku mengurung diri di mansion Killian. Aku tahu ada begitu banyak orang yang akan mencaciku, bahagia atas kepedihanku, tapi mendengarnya langsung membuatku ingin berontak dan melawan.
"TIDAK!" Aku berteriak setelah coba menahan kemarahan yang membakar hatiku. "Aku bahkan bukan Roselyn, bagaimana bisa- aku – aku -!" aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku yang pasti akan terdengar sangat gila baginya.
Jika aku katakan bahwa aku adalah jiwa yang masuk ke tubuh Roselyn, maka dia akan semakin menertawakanku. Setelah disebut menerima karma, aku juga menjadi gila.
"Oh, aku lupa kalau kau mengalami amnesia. Jadi selamanya kau tidak akan merasa bersalah karena tidak bisa mengingat kejahatan yang kau lakukan. Benar begitu?"
Aku tetap mengatupkan kedua bibirku, menatapnya sengit. Pria itu tak bergeming dan mengangkat sebelah alisnya setelah mendapatiku tetap bersungut-sungut ke arahnya. Aku merasa begitu lelah menghadapi semua ini. Setelah bicara dengan Aslan dan Sqeeth, sekarang dengan orang ini.
Kenapa dunia begitu menuntutku?
Baiklah, jika pada akhirnya aku harus menghadapi semuanya. Aku tidak keberatan disebut tidak waras!
"Ini mungkin terdengar gila, tapi aku bukanlah Roselyn. Aku Iliana Latasha Brainne. Kutukan Dewa Ahriman dan sihir hitam Roselyn di Batu Kembar Mareks Pulau Ennius telah membuat kami bertukar tubuh. Aku seharusnya sudah mati sebagai tumbal kutukan Ratu Elia.
"Ini mungkin terdengar lucu bagimu. Tapi ini lah yang terjadi padaku, kau bisa mengujiku dengan informasi yang kau miliki tentang Iliana, aku akan menjawabnya dengan akurat. Kau pasti berpikir aku sudah gila!"
Aku mendenguskan tawa mengejek, karena memang selucu itu hidup yang aku jalani.
"Bagaimana mungkin dewa memintaku hidup lagi, mengujiku lagi setelah aku sangat menderita hidup sebagai anak dari Pendeta Brainne?! Setelah Roselyn melakukan kejahatan padaku, membuat semua orang menjauhiku, mencibir padaku, lalu sekarang aku juga yang harus menerima karmanya? Keadilan macam apa ini?!"
Aku bicara dengan mata terpaku pada pangkuan yang tertutup selimut usang namun hangat, aku biarkan kemarahan yang amat sangat itu membakarku.
Sampai saat ini aku bahkan tidak mengerti apa tujuan hidupku.
Kenapa aku dilahirkan jika hanya akan menelan getir demi getir?
"Berkali-kali aku berpikir bahwa aku seharusnya mati. Aku bahkan beranggapan bahwa aku sangat siap meninggalkan dunia yang memuakkan ini untuk kedua kalinya. Siapa sangka Dewa masih ingin mengujiku lebih lama lagi, dan ironisnya ... aku merasa sedikit lega karena masih bisa bernapas."
Hening di sekelilingku, namun gemuruh di dadaku bagai deburan ombak di tengah lautan berbadai. Menghantam berkali-kali, berharap aku tumbang.
'Ash.'
'Latasha?'
Aku mengabaikan suara Aslan dan Sqeeth yang memanggilku. Sekujur tubuhku bergetar menyesali lega yang tidak aku sadari ketika masih bisa membuka mata dan melihat dua spirit di hadapanku. Ironis sekali bagiku, aku selalu mengutuk Dewa Ahriman, dan sekarang aku merasa lega karena hidup kembali?
"Nak! Aku percaya padamu." Pria di sampingku bicara dengan suara lembut, tidak lagi mengejek dan skeptis seperti sebelumnya. Aku mendongak dan melihat wajahnya yang garang, namun raut lembut dan tenang terpancar darinya.
Kenapa orang ini mudah sekali percaya?
Apakah dia tidak serta merta mempertanyakan eksistensi jiwaku dalam tubuh Roselyn?
"Apa aku harus jelaskan kenapa aku percaya pada ceritamu?"
Aku mengangguk dengan lugunya. Aku bahkan tidak mengetahui orang ini siapa, berasal dari mana, tapi kenapa aku mengeluarkan semua isi kepalaku tanpa ragu?
"Pertama, Roselyn terlibat sihir hitam, siapapun yang belajar sihir hitam, tidak akan bisa melakukan telekinesis. Aku baru mendapatkan informasi bahwa Putri Pendeta Brainne bisa telekinesis, jadi sudah jelas penjelasanmu masuk akal. Kedua, kau amnesia demi menutupi ketidaktahuanmu akan hidup orang yang merundungmu. Ketiga, aku percaya kutukan di Batu Mareks bisa menukar jiwa kalian, karena aku pernah menyaksikan hal serupa."
Hatiku terenyuh mendengar penjelasannya, keputusasaan dalam diriku tergantikan oleh perasaan lega, membuka ruang lapang dalam paru-paruku yang sempat menyempir.
"Terimakasih karena sudah menolongku, percaya padaku. Kehidupanku sejak masuk ke tubuh Roselyn jauh lebih buruk, keluarganya, para pekerja di sana, dan mereka membunuh satu-satunya orang yang berada di pihakku. Ketika aku berusaha bertahan di pengasingan, aku hanya berpikir bagaimana untuk bertahan. Aku hampir menyerah."
Suasana hening seketika.
"Tapi kau harus tau, hidupmu tidak akan berakhir jika belum tiba waktunya. Lihat saja aku, sudah berkali-kali sekarat tetap saja aku masih berdiri tegak di depanmu. Pria Tua yang berkali2 hampir kehilangan nyawa ini, malah tak sengaja menyelamatkan nyawamu. Bukankah ini takdir?"
Aku menggeleng. "Takdir? Oh iya, takdir. Takdir yang menjadikanku memiliki hutang budi padamu."
Pria berambut coklat itu mendesiskan tawa mengejek. "Aku tidak butuh perasaan mewah seperti itu, selagi kau berguna untukku, itu sudah lebih dari cukup."
Apa maksud dari ucapannya? Ketakutan menyelimutiku seketika. Orang ini bukan menolongku tanpa pamrih. Apakah dia akan menjualku? Menjadikanku budak? Atau dia mengharapkan tubuh-
"Jangan salah paham dulu, Nak. Aku bukan pria tua mesum."
Aku tetap meragukan kata-katanya.
Pria yang bahkan namanya belum aku ketahui itu menghela napas panjang.
"Hidup seperti apa yang kau jalani sampai kau tidak memiliki sedikitpun praduga tak bersalah?"
Hidup seperti apa? Aku bahkan tidak mengerti bagaimana harus menjawabnya, hidup siapa yang harus aku ceritakan? Sebagai Latasha? Sebagai Roselyn?
Memiliki dua kehidupan, tidak cukup berharga bagiku untuk aku kenang.
Teman, sahabat, bahkan keluarga. Aku tidak ingat bagaimana aku telah menandai kehadiran mereka dalam hidupku.
"Jika kau tidak bisa memperbaiki apa yang menyakitimu, pada akhirnya kau akan melukai orang yang bahkan tidak menyakitimu."
Apa dan siapa yang sebenarnya menyakitiku?
Dewa Ahriman? Takdir? Dendam? Sakit hati? Mereka yang aku pikir orang yang berada di pihakku?
Aku bahkan tidak bisa memilihnya.
'Berdamailah dengan dirimu sendiri, Ash,' bisik Aslan.
Mataku berjelaga melihat butiran salju yang semakin deras turun dari langit.
Sesakit apapun diriku, seharusnya waktu akan berhasil menyembuhkannya. Jika tidak bisa disembuhkan, maka aku akan terbiasa dan mampu melupakannya.
Aku tidak bisa terus lari dari kenyataan.
'Aku berjanji akan membimbingmu menjadi Arkais terkuat, Latasha.'
Sqeeth bicara dalam benakku, aku tidak mampu melihat raut wajahnya, tapi aku yakin tekad dalam dirinya memancar kuat. Aku mengangguk dalam diam.
"Apakah kau mau menjadi bagian dari keluarga besarku?"
"…"
Pria itu menyentuh puncak kepalaku dengan perlahan. "Dunia tidak seburuk itu, Nak. Jika kau menjadi keluargaku, aku akan menunjukkan padamu bahwa hidup kembali... sekalipun bukan di tubuh milikmu, bukanlah hal buruk. Kau mungkin tidak pernah tahu siapa yang merasa kehilangan atas kepergianmu, dan kau tidak akan sanggup membayangkan betapa mengerikannya rasa kehilangan dan penyesalan itu menggrogoti mereka. Hiduplah untuk mereka, kalaupun pada akhirnya tidak ada seorangpun yang menyesali kepergianmu, setidaknya kau hidup untuk dirimu sendiri. Tidak ada hidup yang sia-sia di dunia ini."
Kesedihan yang amat sangat terpancar dalam kolam gelap di mata pria ini. Perhatiannya tertuju padaku, tapi aku tidak bisa pungkiri bahwa dia tidak benar-benar sedang melihatku di dalam hatinya. Aura kelam yang menguar darinya terasa sangat kental dengan duka dan luka mendalam.
"Keluarga?" desisku lirih. "Aku bahkan hanya bisa mengingat senyum ibuku sebelum dia meninggal, dirinya memintaku mengerti hati ayahku yang bahkan tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya padaku. Seseorang yang dihormati, tapi bagiku seperti orang asing yang selalu menujukkan punggungnya padaku. Hidup sebagai Roselyn pun aku tidak jauh lebih baik. Keluarganya menyiksanya, menjadikannya objek bisnis pernikahan. Lalu keluarga seperti apa yang akan kau tunjukkan padaku?"
Pria itu menatapku tidak percaya.
"Kenapa sorot matamu …" Tangan besar kasar penuh kepalan miliknya mendarat di dahiku dan mengusap wajahku tanpa aba-aba. Aku sampai gelagapan menghindarinya.
"Kau terlihat seperti seseorang yang siap menghadapi malaikat maut."
Angin berhembus kencang di luar ruangan, menghantam jendela kaca hingga terdengar suara getaran yang sangat keras. Pikiran liarku berkata, jika aku ditendang keluar olehnya, maka aku harus bersiap menghadapi udara luar biasa dingin di luar sana.
"Jika tidak ada yang bisa membahagiakan dari hidupmu yang sebelumnya, kenapa tidak jalani hidup baru? Anggap saja kau terlahir kembali dan membuang semua masa lalumu sebagai Brainne ataupun Killian."
Pria itu mengangkat tangannya yang aku kira akan mengusap wajahku lagi, aku sudah bersiap menyembunyikan wajahku, tapi ternyata aku salah. Dia tertawa dan mengarahkan tangannya mengambil air dari meja dan menyodorkannya padaku.
"Ini bukan racun."
Dia menjawab keraguan dalam hatiku saat mengulurkan tangan hendak menerima gelas darinya. "Ini obat dari Penyembuh."
"Kau meminta Penyembuh untuk menolongku, kau tidak takut nanti akan tersebar kabar bahwa kau menculikku?"
Pria besar itu tersenyum tipis. "Tenang saja, aku sudah melakukan tindakan pencegahan. Tidak ada satu orangpun yang tahu kau berada di sini selain kau dan aku."
Aku mengangguk, meneguk isi gelas dengan cepat. Tidak ada gunanya aku berpikir rumit, jika keberadaanku diketahui, maka aku hanya perlu menghilang.
"Jika aku hidup sebagai bagian dari keluargamu, apakah kau akan melindungiku?"
Pria itu tertawa dan menopang dagunya dengan satu tangan, melihat ke arahku dengan mata dipenuhi ketertarikan yang besar. Senyum simpulnya tidak bisa aku definisikan.
"Aku tidak akan melindungimu, Nak. Aku akan mengajarkanmu bagaimana melindungi diri sendiri. Di dunia ini tidak ada jaminan kau tidak dikhianati. Maka melindungi diri sendiri tanpa bergantung pada orang lain adalah pilihan terbaik."
Aku tertegun, dan bagai tertampar. Aku baru saja menyadari kesalahan terbesarku. Seketika aku membangun tembok dalam hatiku, membatasi pikiranku dengan dua spirit yang sedari tadi mendengarkan isi hatiku.
Ada gelitik tidak nyaman di dasar kalbuku.
Selama ini aku selalu dirundung kegelisihan, rasa takut, bahkan menuntut Aslan juga Sqeeth untuk melindungiku. Pria ini membuka mataku lebar-lebar, bahwa dunia tidak akan aman, selamanya. Bukan hanya karena aku memiliki jiwa Arkais, sebagai manusia biasapun aku bisa terluka. Aku harus bisa melindungi diriku sendiri tanpa bergantung pada siapapun.
Diriku adalah tanggungjawabku.
'Aslan, Sqeeth, aku rasa aku siap untuk meningkatkan inti sihirku.'
Baik Aslan maupun Sqeeth terperanjat mendengar suara hatiku.
'Aku tidak ingin menjadi pembunuh, tapi aku akan meningkatkan inti sihirku untuk bisa melindungi diriku dan orang-orang lain yang mungkin akan berada di pihakku nanti'
Baik Aslan maupun Sqeeth tidak percaya, tapi beberapa tarikan napas kemudian, mereka berteriak kegirangan dalam benakku.
Perhatianku kembali pada lawan bicaraku.
"Selain alasan tadi, kenapa kau bisa dengan mudah percaya bahwa aku adalah Iliana Latasha Brainne yang berada dalam tubuh Ashley Roselyn Killian? Tidakkah kau pikir aku sangat tidak waras?"
Pria itu menggeleng dan mengangkat bantal dari sampingku, meletakkannya di pangkuanku dengan mudahnya.
"Aku sudah hidup terlalu lama dan melihat kegilaan yang jauh lebih gila dari kisahmu. Ceritamu jauh lebih masuk akal dari pada legenda manusia Claymore yang membelah diri."
Aku tersenyum melihatnya yang mengangkat tangan di udara, seolah ceritaku tidak ada apa-apanya.
"Sebagai Penyelamatku bisakah kau memberikanku nama baru?"
Pria itu membelalak kaget, menahan napas hingga menegakkan tubuhnya tanpa melepaskan pandangannya dariku.
"Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada Brainne dan Killian."
Pria itu tampak berpikir keras sambil menerawang melihat langit.
Ini adalah keputusan besar bagiku. Aku akan memulai hidup baru, sebagai seseorang yang tidak terikat pada dua nama yang aku kenal. Hidup baru, nama baru, dan tekad baru.
"Maxine Belle Westwood. Mulai saat ini aku akan memanggilmu Max. Bagaimana menurutmu?"
Aku mendengarkan nama yang tidak lazim itu, mengulanginya berulang kali dalam benakku.
"Kau bahkan memberikan nama tengah dan nama keluarga untukku?"
Pria itu tampak berpikir lama sebelum menjawabku, "Karena sejak lama aku ingin memberi nama itu untuk putriku yang tidak sempat berada dalam gendonganku," jawabnya seraya beranjak dari kursi dan menyentuh puncak kepalaku.
Tidak sempat berada dalam gendongannya?
Apakah dia kehilangan putrinya?
Siapa yang menyangka bahwa pria yang siap membunuh kapanpun ini memiliki keluarga yang sesungguhnya.
Pertanyaan dalam benakku tidak mampu aku suarakan karena melihat mendung di wajah pria besar itu.
"Istirahatlah Max. Banyak tenaga yang harus kau persiapkan untuk besok. Mulai detik ini kau adalah keponakanku yang sudah lama tidak bertemu."
"Tu-tunggu, namamu-"
Sosok tinggi besarnya yang hampir mencapai tangga, berbalik dan tersenyum lebar ke arahku.
"Gilliard Westwood. Panggil aku Gill, orang-orang di Guild memanggilku seperti itu."
Guild?
Guild?
Apakah pria ini anggota Guild? Pimpinan Guild?
Guild? Di perbatasan Utara? Gilliard Westwood?
Tunggu dulu, sepertinya aku pernah mendengarnya.
'Apa yang kau ingat, Ash?'
Biarkan aku berpikir dulu, aku sepertinya mengingat pernah mendengar nama Westwood, tapi dimana? Ugh... kenapa otakku jadi tumpul begini?
'Kalau dilihat-lihat dia jago berburu.' Sqeeth ikut menimpali.
"Festival Berburu!" pekikku ketika mengingat nama Westwood yang tersohor karena berhasil menumbangkan tiga ekor beruang dalam saat festival berburu tahun lalu. Nama yang bahkan sangat terkenal karena kekuatannya yang jauh di atas rata-rata. Gilliard Westwood yang merupakan pimpinan Guild Red Sleeve yang merupakan Guild paling terpercaya di Lindbergh.
"Kenapa aku tidak bisa mengenalinya? Pantas saja dia mengetahui semua tentang Roselyn. Apa yang tidak diketahui pimpinan Guild ketika mereka adalah pusat informasi di seluruh Lindbergh. Bahkan rahasia paling tersembunyi sekalipun tidak bisa lolos dari mereka."
Oh tidak! Aku benar-benar masuk ke mulut singa.
.
.
.