Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 32 - Chapter 31 : Si Kembar (Gavin & Dane)

Chapter 32 - Chapter 31 : Si Kembar (Gavin & Dane)

Udara dingin mulai lebih bersahabat saat memasuki awal pergantian musim. Sesekali salju masih turun, tapi dingin tidak lagi menusuk seperti minggu-minggu sebelumnya. Seiring berlalunya waktu, berita tentang hilangnya Roselyn sudah tersebar ke seantero Lindbergh, bahkan beberapa pendatang yang berasal dari negeri tetangga, ikut membicarakan kejanggalan itu, tapi tentu saja tidak ada satu orangpun yang benar-benar peduli tentang keberadaan Roselyn.

Bahkan dari beberapa tamu bercerita bahwa penghuni akademi Lindbergh bersuka cita atas kepergian Roselyn yang sangat manipulatif, mereka bahkan menyebutkan bahwa apa yang menimpa Roselyn adalah karma atas perbuatan yang dilakukannya pada putri Pendeta Brainne.

Betapa lucunya orang-orang ini. Selama Roselyn hidup, mereka bahkan tidak berusaha menghentikannya, tapi sekarang mereka merasa senang atas malang yang menimpanya.

Di sisi lain, Standford Killian meminta pihak kerajaan bantu mencari, tapi seperti yang aku duga, semua hanya sandiwara kacangan. Keluarga Killian tidak benar-benar mencari Roselyn, kerajaan pun hanya mengirimkan dua orang ksatria untuk membantu pencarian Roselyn.

Duke Avallon, yang sampai saat ini mempertahankan status pertunangannya dengan Rosleyn, tidak melakukan apapun untuk mencari tahu keberadaan Roselyn.

Aku bersyukur atas sikap pasif mereka, tapi itu semua mereka lakukan karena apa yang mereka harapkan benar-benar terjadi. Teori bahwa aku menghilang dari pengasingan, dan benar-benar mati adalah keyakinan terbesar mereka, hanya saja mereka tidak berani mengeluarkan pernyataan tertulis kepada pihak kerajaan, mungkin takut akan ada pihak lain yang mengusut kasus ini.

Beberama minggu setelah aku resmi bergabung dengan Guild adalah, pihak istana menyerahkan hak pengelolaan tambang dari mendiang Marquis Killian kepada penerusnya, Standford Killian.

Sebagai catatan, hanya hak pengelolaan, sementara kerjaan mengambil 30% hasil tambang sebagai pajak, dan 20% diserahkan kepada pengelola, dan sisa 50% lagi dimasukkan ke rekening Roselyn yang sampai detik ini terkunci karena ahli waris belum ditunjuk. Jika dalam waktu 20 tahun tidak ada yang bisa menemukan Roselyn, maka seluruh kekayaan Roselyn akan jatuh ke tangan anggota keluarga tertua Killian.

Tentu saja semua proses berlangsung begitu cepat. Killian harus puas dengan hanya mengantongi 20%, demi membungkam pihak kerajaan.

Tidak ada pemeriksaan lebih lanjut, seolah pihak kerajaan menerima fakta bahwa Roselyn hilang dan sangat kecil kemungkinanannya untuk bisa ditemukan lagi. Pada akhirnya keserakahan manusia lah yang menunjukkan karakter asli mereka.

Sementara aku merasa begitu damai tinggal di Guild.

Ann, Ben, maupun Gill tidak segan membantuku menjalani hari-hari sibuk di Guild. Ann bahkan menyempatkan diri mengajarkanku bertarung dengan tangan kosong, sementara Ben dipaksa Gill mengajarkanku tentang berbagai macam ramuan sihir.

Siapa sangka kalau Ben yang selalu terlihat kesal dan gampang marah itu, ternyata seorang ahli obat herbal dan ramuan sihir. Dia mengenal semua jenis tanaman obat, termasuk racun beserta formula dan mantranya.

Salah satu ramuan yang dia perkenalkan padaku adalah racun yang bisa mengunci sihir, persis racun yang diberikan Marquis Killian padaku sebelum dikirim ke pengasingan Hutan Oak. Ben mengatakan padaku bahwa aku harus cepat belajar karena dia bukan orang yang sabar. Dia bahkan membatasi aku hanya bisa bertanya 3 kali seminggu di laboratorium kecilnya di belakang bangunan utama Guild.

"Aku kebal terhadap racun karena setiap harinya aku melatih tubuhku, kau mau belajar juga?" Ben bertanya tanpa beban saat menyodorkan botol cairan berwarna ungu, tepat seminggu sejak aku menjadi muridnya.

Aku dengan cepat mengangguk.

"Bagus, sekarang minum!" Ben memaksaku meneguk setengah dari isi botol yang baunya luar biasa menusuk hidung, setelahnya dia memberikan botol berwarna bening padaku, aku bertanya lewat mataku. Bingung apakah aku harus meneguk isi botol ini juga?

"Ini penawar racun. Jangan minum penawar sampai kau yakin dirimu hampir mati."

Saat itu juga aku mengerutkan alis, kaget, kesal, tidak percaya semua bercampur karena dia tidak memberikan penjelasan apa-apa tapi langsung menyuruhku minum racun.

Ben malah tertawa melihat reaksiku.

"Kenapa kau menyuruhku minum racun ini, aku tidak mau mati cepat!" protesku seraya mencengkram kerah bajunya dan mengguncangnya berkali-kali.

"Berisik!" dia menurunkan tanganku dari kerahnya, terlihat acuh. Harusnya aku yang marah, kenapa jadi dia yang marah? 

"Makanya aku kasih penawar! Kau harus melatih tubuhmu agar terbiasa, makanya kau harus menahan efek racun agar kekebalan tubuhmu meningkat."

Aku terdiam dan mulai merasakan efek racun yang membakar perutku. "Ra-racun apa yang kau berikan padaku?" napasku mulai terasa berat.

"Racun ringan yang akan membuatmu diare selama seminggu."

"Ben!" Aku hendak mencengkram lehernya, tapi dia kabur secepat kilat, menghilang begitu saja dari laboratorium.

"Lain kali jelaskan dulu efeknya, sebelum kau memaksaku minum racun!" protesku yang langsung lari ke kamar mandi, mulas yang amat sangat menyiksaku.

Setiap minggunya, meminum racun menjadi rutinitasku setelah hari itu. Hingga tidak jarang aku muntah darah dan pingsan. Ann yang akan memberi pertolongan pertama setiap kali aku hampir sekarat. Gill melarangku melakukan latihan ini, tapi aku melakukan hal yang menurutku harus. Aslan dan Sqeeth memintaku meningkatkan radar bahaya dalam diriku, dan ini adalah cara yang efektif sekalipun terbilang ekstrim.

Bar di lantai satu ramai seperti biasa, tapi sepuluh menit lalu Gill menerima tamu di kantornya di lantai 2 dan menutup bar tiba-tiba. Para pengunjung dipaksa keluar dan mereka bebas keluar tanpa harus membayar makan dan minuman yang sudah mereka santap, tentu saja mereka tidak keberatan.

Dua orang tamu Gill yang berpakaian rapi dan bersih itu tampak berusaha keras menyembunyikan rambut pirang mereka. Berkali-kali mereka melirik ke meja counter, seolah siaga satu dengan keberadaanku, Ben dan Ann.

"Apakah Guild sering menerima misi rahasia dari bangsawan?" tanyaku saat membariskan gelas yang baru dikeringkan. Ann menoleh pada Ben yang berdiri di sebelahku, sibuk mengecek catatan penjualan bar hari ini.

"Kau kira siapa yang paling banyak menggunakan jasa Guild?" Ben menyahut tanpa sedikitpun mengangkat pandangannya dari buku jurnal.

"Kalau kau lihat catatan Gill, maka kau akan tahu permintaan aneh apa saja yang dibuat para bangsawan. Mereka mungkin terlihat bermartabat, tapi hidup mereka jauh dari kata waras," Ann menimpali dengan suara sangat pelan.

Aku menganggukan kepala, semakin lama semakin terbuka lebar bagian lain dari Lindbergh yang tidak pernah aku ketahui. Kehidupanku tidak ada apa-apanya dibandingkan kehidupan dinamis di guild yang berisi berbagai macam cerita.

"Lain kali kau har-"

"Ann, Gill mencarimu." Aku memotong ucapan Ann ketika suara Gill memanggil Ann terdengar jelas di telingaku.

"Hah? Aku tidak mendengar apapun." Ann melirik Ben, dan Ben sama-sama mengendikkan bahu, bingung.

"Serius, Gill mencarimu." Kataku seraya mendorongnya agar meninggalkan counter.

Ann yang masih bingung, berjalan menuju tangga ke lantai dua sekalipun sesekali masih menoleh padaku, karena tidak yakin. 

"Oh, Ann! Baru saja aku mau memanggilmu. Kebetulan sekali!" 

"Max!" Ann tiba-tiba berteriak histeris, aku sontak melompati counter dan mendekatinya.

"Ke-kenapa?" tanyaku panik.

"Kita harus bicara setelah ini! Bagaimana bisa kau melakukannya?"

"Apa? Apa yang aku lakukan?" aku masih bingung dengan reksi Ann, menoleh pada Ben yang memberikan reaksi yang sama, seolah aku sendiri yang beda frekuensi dengan mereka berdua.

"Kalian kenapa?" Gill jauh lebih bingung dariku melihat sikap Ann yang histeris.

"Max baru saja melakukan hal gila!" Ben tiba-tiba nimbrung dan meneriakkan kalimat ambigu yang membuat Gill makin dalam mengerutkan alisnya.

"A-aku, aku tidak-" panik, aku mengibaskan tangan di depan dada berkali-kali.

"Ki-ta bi-ca-ra la-gi nan-ti!" Ann menegaskan kata per kata dengan suaranya yang mengancam sebelum pergi mengekor Gill.

"Apa salahku?" gumamku sambil menggaruk kepala.

'Kau lupa kalau punya pendengaran lebih tajam dari manusia pada umumnya?' Sqeeth bersuara dengan nada malas di kepalaku.

"A-!" aku langsung mencengkram kedua sisi kepalaku, menyesali kebodohan yang tidak sengaja aku lakukan.

"Kan?! Apa 'ku bilang!" Ben berkomentar sambil nyengir lebar, telunjuknya bergerak memutar di sisi kepala, mengejekku seolah aku tidak waras.

Apa-apaan dia?!

"Kau terlalu polos, Max. Besok-besok kau harus belajar dariku kalau mau mengelabui orang!" seloroh Ben seraya bertolak pinggang, hidungnya membesar dipenuhi kesombongan. "Aku tahu kau punya pendengaran tajam sejak pertama kali datang ke laboratorium, tapi siapa sangka kau bisa mendengar suara Gill dari lantai 2?! Sejauh mana jangkauan telingamu?"

"Dan kau menyebutku gila, padahal kau tahu-"

"HALOOOO!!!"

Pintu masuk bar menjeblak terbuka, bersamaan dengan hembusan angin, dan dua orang bertubuh tinggi tegap dengan rambut berwarna abu-abu gelap sebahu masuk sambil menyeret dua buah karung yang sepertinya berisi benda yang sangat berat.

"Kenapa bar sepi sekali?" kata satu orang yang membawa karung paling besar, dia melihat seisi bar penuh selidik, hingga akhirnya pandangannya jatuh padaku dan Ben yang sampai detik sebelumnya masih berdebat sengit.

"Mungkin Pak Tua sedang menerima tamu penting!" sahut orang satunya lagi. Dia menyeret karung dan melemparnya begitu saja ke atas meja kosong di tengah bar.

"Oh, hei Ben. Apa kabar? Mana Ann dan Pak Tua, lalu siapa-"

Orang itu berhenti bicara, manik matanya tiba-tiba berubah warna terang menyala hingga seperti transparan, menatapku tak berkedip. 

Dua orang yang tidak aku kenal itu masuk ke bar tiba-tiba, lalu mendadak bisu dan melihatku seolah aku ini manusia paling aneh yang pernah mereka lihat. Orang yang membawa karung lebih kecil itu memiliki tanda tiga titik berbaris di sisi bawah mata kanannya .

"Gavin, aku tidak salah lihat 'kan?" Orang yang berdiri di sebelah meja tengah itu bicara tanpa melihat ke lawan bicaranya.

"Baru aku mau tanya, aku kira mataku yang salah."

Keduanya sangat mirip, andai saja aku tidak melihat tanda tiga titik hitam di wajah salah satunya, pasti aku tidak bisa membedakan mereka.

"Hei, Kembar! Kemana saja kalian? Kenapa lama sekali baru kembali? Tersesat seperti biasa, hah?" Ben berdiri di depanku, dan memberi peringatan lewat sorot matanya, melirik belakang counter, menyuruhku bersembunyi di balik counter. Aku tidak mengerti kenapa dia terlihat agak panik, tapi aku buru-buru melompat ke balik counter, hendak berlari menuju pintu belakang gudang.

"Dane!" aku mendengar teriakan, dan belum sempat aku melangkah lebih jauh, kepalaku menabrak perisai tak terlihat yang entah dari mana datangnya, kepalaku terbentur sekeras-kerasnya sampai telingaku ikut berdening, jatuh terduduk.

"Hei Kembar! Tunggu dulu, jangan ganggu Max! Hei!" Ben berseru sekuat tenaga, tapi sebuah sulur berwarna cokelat menyerupai akar membebat badan Ben, membuatnya tidak berkutik.

'Ash! Mereka separuh Elf, hati-hati!'

'Aku bahkan lupa kapan terakhir kali bertemu Elf!'

Aku mengarahkan tanganku pada pedang yang menjadi pajangan dinding, dengan telekinesis aku menariknya dan bersiap menerima serangan mereka. Berdiri dengan mode bertarung seperti yang diajarkan Ann, aku menilai kekuatan dua lawanku.

"Wow, Max!" 

Kenapa Ben yang berteriak?

Apakah dia terluka? 

Aku melompat dan memotong akar yang memenjara Ben. Tebasan pedangku bukannya tak bertenaga, tapi akar yang melilit tubuh Ben lebih kuat dari pada besi. Aku membuka inti sihir dan mengalirkan aura ke pedangku, dan baru berhasil mematahkan akar setelah tiga kali tebasan dengan tenaga penuh.

"Max? Max?" Ben memanggilku berulang kali sementara aku berusaha menganalisa dua orang musuh yang mungkin menyerangku lagi. Aku hanya bisa mengenali keduanya sebagai si kembar yang diceritakan Gill, tapi siapa sangka kalau mereka akan menyerangku seperti ini. Untungnya aku sudah berlatih pedang dari Ann, sehingga aku bisa bereaksi dengan cepat.

"Gavin, perisai!" Dane berbisik, tapi aku melompat dari tempatku bahkan sebelum Gavin menoleh ke arahku, dan aku mengincar Dane yang terlihat jauh lebih lemah dari Gavin.

'Aslan!' Sqeeth yang bisa mengerti tujuanku langsung memberi isyarat pada Aslan, dan aku mengarahkan tangan ke arah Dane, berniat membuat manusia setengah Elf itu tertidur sejenak.

"Kau lengah, Dane!" Gavin berteriak saat aku mengarahkan sulur perak dari tanganku, tapi dia berhasil menghalangi seranganku dengan perisai yang tak terlihat untuk kedua kalinya dan sulur berbalik ke arahku, sontak aku menghindar.

'Cih! Mereka Elf terlatih untuk betarung!' 

Jarang-jarang aku mendengar Aslan mengumpat, tapi kali ini dia benar-benar terdengar kesal.

'Latasha, kau mimisan.'

Aku terlambat menyadari, dan ketika menyeka hidungku dengan tangan, baru terlihat jejak merah darah dan bau anyir. Jantungku masih berdetak cepat dan penuh waspada, tidak ada waktu untuk mengurus mimisan.

'Serang, Latasha!' 

Aku mendengar arahan Sqeeth saat mataku melihat peluang di sisi kanan Gavin yang terbuka, dan ketika aku merunduk siap menyerang sambil mengangkat pedangku, Ben melompat tepat di antara aku dan Gavin sambil merentangkan tangan lebar-lebar. 

Sontak aku berhenti.

'Kenapa dia?'

Sqeeth ikutan bingung sama sepertiku. Padahal jelas-jelas Ben juga diserang oleh si kembar.

"GILL!" Ben seketika berteriak sampai urat di lehernya mencuat, suaranya menggema di seluruh ruangan, bahkan telingaku sampai berdenging.

Suara derap kaki yang berat menghantam lantai membuatku membeku di tempat, dan disusul derap langkah lain yang cukup banyak. Yang paling pertama muncul di anak tangga adalah Gill, disusul Ann, dan beberapa penghuni yang menyewa kamar di lantai 2.

Tidak cukup sampai di situ kehebohan yang terjadi, tiba-tiba aku ditubruk dari sisi kanan dan kiri, si kembar yang tadi menyerangku mengapitku dalam lengkungan tangan mereka, membuatku tidak bisa bergerak dan mengunciku di lantai.

Urgh! Mereka berat. Ukuran badan mereka yang tinggai dan semampai, tidak menjadikan mereka berbobot ringan.

"Hei!" aku protes keras ketika wajah mereka begitu dekat denganku, tapi mereka malah tersenyum lebar menunjukkan barisan gigi putih bersih mereka yang rapih. 

"Apa yang ka-" Keduanya mencium pipiku, aku membeku di tempat, bagai disambar petir. Tidak cukup sampai di situ, mereka kemudian menggosokkan hidung mereka di lekuk leherku, wangi hutan dari keduanya menyeruak ke hidungku, membuat kepalaku berputar.

Apa-apaan ini?!

"Akh! Max, hidungmu!" Ann berlari ke arahku sambil menunjuk-nunjuk hidungnya, tapi aku bahkan tidak bisa bergerak untuk sekedar menghentikan darah yang mengalir dari hidungku.

"GAVIN! DANE!"

Gill berteriak penuh amarah, dia melompat. Benar-benar melompat, dan hanya sekali, padahal dari ujung tangga hingga tempatku berdiri berjaraknya lebih dari 5 meter. Apa di kakinya ada pegas? Kenapa dia bisa melompat sejauh itu padahal badannya hampir sebesar troll. Ann sampai berhenti beberapa langkah dariku saking kagetnya.

"Oh, halo Gill!" Gavin dan Dane menyapa tanpa sedikitpun melepaskanku, mereka lanjut menyandarkan kepala di bahuku. 

Urgh! Berat.

"Keributan macam apa ini, hah?" Gill langsung menarik telinga Gavin dan Dane, keduanya tampak sangat kesakitan dan langsung kelabakan mencoba lepas dari tangan Gill, mereka meronta sambil berteriak kesakitan dan aku berhasil lolos dari dekapan mereka.

"Kau tidak apa-apa, Max?" Ann langsung menyodorkan sapu tangan padaku, menyumpal hidungku yang masih mengalirkan darah.

"Ben, obat! Kenapa kau malah bengong?" Ben masih terdiam menonton Gill yang memarahi Gavin juga Dane.

"Oh! Siap!" 

Ben berlari ke arah counter sambil menggiring penonton yang berbaris di ujung tangga.

"Maaf ya, ini bukan tontonan, hanya konflik kecil keluarga kami. Silahkan lanjutkan istirahat kalian para tamu yang terhormat."

Kerumunan pun bubar sekalipun beberapa di antara mereka masih terlihat penasaran, sementara aku sudah pasrah terduduk dilantai sambil menyeka darah yang terus mengalir dari hidung.

Urgh, bau anyir!

Gill tampak sangat marah, dan akhirnya kami semua diseret ke kantor Gill di lantai 2.

Jujur saja, beberapa bulan tinggal di Guild, aku tidak pernah masuk ke kantor Gill yang terkenal sakral.

Kantor Gill tidak terlihat mewah, tapi cukup nyaman. Ada rak buku besar yang terisi penuh, sementara di tengah ruangan ada meja kerja yang berisi tumpukan kertas. Sofa dan meja ditata rapi berseberangan dengan meja kerjanya. Ruangannya terlihat bersih dan sangat terawat. Apakah ruangan ini dia bersihkan sendiri setiap hari? Ann terlalu sibuk mengurus bar, tidak mungkin Ann membersihkan kantor ini juga.

Wajah Gill tampak merah padam, setelah menjewer telinga si kembar dari bar sampai masuk ke kantor tanpa melepasnya, dia memaksa keduanya berlutut di lantai depan meja kerjanya, dan keduanya tidak sedikitpun menunjukkan penyesalan, mereka malah terus melihat ke arahku dengan mata menyala sementara Ann membantuku membersihkan darah yang mengotori dagu, leher dan bajuku.

"Kalian mengacaukan pertemuan pentingku!" Gill akhirnya bersuara, melipat tangan di dada dengan rahang menegang hingga keluar urat.

Oh ya, Gill sedang ada tamu, lalu kemana perginya kedua tamu itu? Aku tidak menyadari kapan mereka keluar dari bangunan.

"Kalian juga terlambat satu bulan dari batas akhir misi."

"Gavin menghilangkan kompas!" Dane langsung menyahut.

"Tapi kau duluan yang menghilangkan petanya. Tidak usah menudingku, kau juga buta arah sama sepertiku, Dane!" balas Gavin.

Aku melirik Ann.

"Buta arah adalah penyakit bawaan mereka," Ann berbisik tapi tidak dengan suara rendah, seolah ingin memberi pengumuman. Mendengar informasi dari Ann, aku terheran-heran dengan si kembar. Mereka elf, ya... sekalipun buta arah, bukankah mereka bisa bertanya pada peri hutan?

'Tidak semudah itu bicara para peri hutan, Ash.'

'Mereka sangat kuat, tapi juga sangat bodoh!' Sqeeth lagi-lagi berkomentar pedas.

Oh!

Aku menganggukkan kepala.

"Terlebih lagi kalian membuat Max terluka." Gill membelalak sempurna hingga matanya keluar urat berwarna merah menjalar.

Gavin dan Dane tersenyum ke arahku. Sangat lebar hingga membuatku bergidik ngeri.

"Sepertinya si kembar juga menyukaimu," kata Ann seraya menyodorkan botol obat dari Ben. Sementara Ben berdiri penuh siaga di dekat pintu, melipat tangan di dada sambil memicingkan mata ke arahku.

Apalagi kesalahan yang aku perbuat sampai dia menatapku begitu? Seolah siap mencabik-cabik tubuhku sebagai bahan eksperimen.

"Sihir apa yang kau punya sampai orang-orang mudah menyukaimu? Apa mungkin karena kau terlalu cantik?" Ann bertanya sambil tertawa rendah.

Aku kembali melirik Ben, tidak yakin pernyataan Ann berlaku untuk Ben.

"Tapi Ben tidak suka padaku."

"Ha ha ha! Ben bukannya tidak suka padamu, dia hanya hati-hati."

"Fokus!" Gill menghardik kami, dan aku langsung bungkam. "Atau kalian sudah bosan punya mata, hah?!" Gill mengarahkan belati dari mejanya pada Gavin dan Dane.

Baik Gavin maupun Dane sama-sama tertunduk dalam, tunduk sepenuhnya pada ancaman Gill.

"Ta-ta-tapi perempuan itu punya cahaya jiwa yang terang seperti Spirit Penguasa Hutan, tidak bolehkah kami memeluknya? Kami akan menjaganya, melindunginya, tidur dengannya setiap malam, memasti-"

"TIDAK!!!" Gill tampak sangat geram mendengar Dane bicara, sebenarnya bukan hanya Gill, aku sendiri tidak bisa membayangkan tidur berdampingan dengan mereka. Aku bukanlah anak kecil, bukan juga pasangan mereka, lalu kenapa mereka berpikir ingin menjaga dan tidur denganku setiap malam?

Ada yang salah dengan otak mereka.

"Kalian harus menjaga jarak dari Max. Kalian bahkan belum berkenalan dengan benar, dan parahnya lagi kalian justru menyerangnya?"

Bahu Gavin dan Dane sama-sama turun, telinga mereka yang berujung lancip ikut layu bersamaan. Aku bisa melihat aura mereka yang berwarna hijau terang meredup, tapi yang lebih mencengangkan lagi bagiku, mereka juga bisa melihat cahaya jiwaku.

Kemampuan mereka mengingatkanku pada peri hutan juga Lancelot.

'Aku bingung bagaimana mau menyembunyikan cahaya jiwamu. Kalau begini terus semakin banyak makhluk yang menyukaimu. Sial!'

'Hanya segelintir penghuni bumi yang bisa melihat cahaya jiwa. Ash hanya sedikit tidak beruntung karena bertemu manusia setengah elf seperti mereka.'

'Aku kira mereka mau menyerang, ternyata …. Kenapa mereka harus memilih cara seperti itu menunjukkan ketertarikan mereka? Apa mereka sudah gila?!'

'Seperti kau berbeda dari mereka saja?!'

'Kenapa? Apa yang salah denganku?'

'Jangan pura-pura bodoh, Phoenix Tua!'

Aurgh … perdebatan kedua spirit ini... mulai lagi.

"Bisakah kalian berhenti berdebat?" aku menghela napas berat, kesal mereka ribut lagi dalam kepalaku.

"Max?" Ann terheran-heran melihatku.

Tidak hanya Ann, bahkan Gill, si kembar dan Ben tertuju padaku, padahal aku bicara pada dua spirit dalam diriku, sepertinya aku tidak sadar sudah bicara keras.

"Ha ha ha! Aku sudah duga, keponakanmu ini memang tidak normal, sama sepertimu, Gill!" Ben tiba-tiba tertawa keras sambil menjatuhkan pantatnya di sofa, duduk santai sambil mengaitkan tangan di belakang kepalanya. Hilang sudah raut wajah waspadanya yang mirip sipir penjara.

"Kau kenapa, Ben?" Ann tampak cemas melihat rekannya yang berubah histeris, tertawa tak terkendali.

"Kau tahu apa yang aku lihat tadi, Ann?" 

Ann menggeleng dengan polosnya.

"Aku tahu Max punya pendengaran tajam, dan kau pasti kaget dengan apa yang aku lihat barusan!"

Ann mengerutkan alisnya dalam-dalam.

"Ternyata Max juga punya telekinesis seperti Gill dan dia bisa menghancurkan seragan akar si kembar. Kau tahu apa artinya?"

Ann terkesiap sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ucapan Ben membuat Ann menoleh kepadaku dengan mata membulat sempurna.

"Apa? Kenapa?" aku ikutan panik, sampai menggeser posisi duduk.

Apakah telekinesis termasuk kemampuan luar biasa? Aku tidak pernah berpikir sejauh itu, tapi Ben menyebutkannya dengan cara spektakuler yang bahkan terlalu dilebih-lebihkan.

Aku tahu di akademi hanya segelintir orang yang memiliki kemampuan telekinesis, tapi-

"Hanya cahaya jiwa lebih terang yang bisa menghancurkan serangan akar kami." Gavin dan Dane bicara bersamaan, dengan nada dan intonasi yang sama, seolah mereka memiliki satu tubuh.

"Ben, Ann, Gavin, Dane!" Gill menyebut nama semua orang kecuali aku, membuatku langsung siaga menunggu lanjutan kalimatnya. "Mulai detik ini, tidak ada yang boleh mengetahui kemampuan telekinesis Max, aku tidak ingin ada kebocoran, kalian mengerti?"

Semua orang mengangguk dengan badan tegak seperti prajurit menerima titah.

"Dan kau Max, kau harus sangat berhati-hati dalam menggunakan kemampuan telekinesis. Kau tahu di luar sana mereka masih mencarimu!"

Seketika aku merapatkan gigi, menyadari bahwa telekinesis sudah menjadi identitas tambahan bagi Roselyn, dan itu bisa mengarahkan mereka ke Guild, menyadari bahwa Roselyn masih hidup.

"Ini tidak masuk akal!" Gill mendesis penuh lelah sambil menggeleng berkali-kali. "Aku hanya ingin hidup tenang sebentar saja, tapi setiap kali Si Kembar pulang, selalu membuat masalah!"

"Aku tidak ingin mendengar keributan lagi, sekarang kalian minta maaf pada Max!"

Si Kembar menegakkan diri secepat kilat, belum sempat aku memberikan reaksi, mereka sudah berdiri di depanku, membungkuk dalam seraya meraih tanganku. Gavin mengatup tangan kananku, sementara Dane menggenggam tangan kiriku.

"Maafkan kami, Max," kata keduanya seraya mendongak dan menunggu responku. Kalau seperti ini mereka terlihat seperti anak kucing yang ketakutan dan meminta agar tidak dibuang majikannya.

"A-aku tidak apa-apa, tapi lain kali lebih baik bicar-"

"Tidak akan ada lain kali!" potong Gill, dan aku langsung menutup mulutku rapat-rapat.

Baiklah, tidak ada lain kali.

Oke, aku catat baik-baik. Gill terlihat sangat seram kalau marah begini.

Aku cuma mau bilang kalau mereka bisa bicara dan meminta izinku dulu sebelum melakukan hal-hal di luar dugaan seperti tadi.

Baik Gavin maupun Dane terus menatapku penuh harap. Membuatku otomatis menatap mereka juga. Begitu memandang mereka lebih dekat, keduanya terlihat lebih muda dariku, jadi menurutku wajar aja mereka bertindak sembrono.

"Demi Dewa! Kembar! Kalian sudah 18 tahun tapi masih perlu pengawasan ketat seperti ini?" Gill bergumam sambil memijat sisi kepalanya.

Ah? 18 tahun?

Mereka justru terlihat seperti baru 15 tahun, wajah mereka masih terlihat seperti anak-anak sekalipun tinggi badan mereka sudah seperti orang dewasa. Apakah karena mereka setengah elf?

Ah, lagi-lagi aku salah menilai. Setelah Gill, Ben, lalu sekarang si kembar. Apakah mereka semua meminum ramuan awet muda?

"Kalian!" Gill melihat ke arah Ann, Ben dan si kembar bergantian, wajahnya sangat serius.

"Kemampuan Max, baik itu pendengaran, telekinesis, kekuatan sihir, hingga cahaya jiwanya. Itu semua adalah rahasia yang harus kalian jaga. Jika sampai salah satu dari kalian yang membocorkannya, aku tidak akan segan-segan menghapus ingatan kalian."

Aku merinding mendapati ancaman dalam suara Gill.

"Ben, Dane!"

Dane menegakkan tubuh penuh waspada ketika mendengar namanya disebut.

"Buatkan ramuan untuk menghapus ingatan semua tamu yang melihat kejadian hari ini. Aku tidak ingin pihak istana mendengar apapun tentang Max."

"Siap, Gill!" Ben memberi hormat pada perintah Gill, dan dia tersenyum sinis ke arahku.

Kenapa dia menunjukkan senyum seperti itu?

"Apa kita semua sudah saling mengerti sekarang?" Gill lagi-lagi menembak si kembar. 

"Kau benar-benar sudah memafkan mereka, Max?" Gill bertanya lagi, dan aku hanya bisa mengangguk cepat.

Si Kembar, Gavin dan Dane menarik tanganku dan mengecupnya.

"Ma~x!" keduanya memanggilku dengan suara manja dibubuhi madu, dan lagi-lagi mata mereka menyala dipenuhi ketertarikan seperti terkena hipnotis, menatapku tanpa berkedip.

Oh tidak, sepertinya aku baru saja menambahkan masalah baru dalam hidupku.

.

.

.

Gill menyuruh kami kembali ke kegiatan di bar. Si Kembar dikurung bersama Ben, mereka ditugaskan membuat ramuan penghapus ingatan lainnya setelah memastikan semua orang yang tak diinginkan melupakan kejadian beberapa jam lalu.

Ben tak ada usainya meledekku dengan lirikan mengejek setelah mengetahui beberapa kemampuanku, sementara Ann tampak tidak ambil pusing sama sekali. Ann justru memberitahuku bahwa Si Kembar akan terus menempel padaku begitu lolos dari hukuman mereka di lab. 

"Mereka tidak pernah melepaskan incaran mereka. Kau tahu mereka adalah yang terkuat di antara kami semua setelah Gill. Jadi tidak heran Ben sampai terbengong begitu melihat kekuatanmu. Mungkinkah masih ada lagi kekuatan lain yang kau sembunyikan?" 

Aku menggeleng keras sambil mengibaskan tangan di depan Ann, panik.

"Baguslah, aku harap berhenti terkejut setelah hari ini. Aku hanya ingin tahu kartu apa lagi yang masih kau sembunyikan. Kau seperti kebalikannya Gill."

Kepalaku miring, bingung dengan ucapan Ann.

"Orang bisa dengan mudah menilai kekuatan Gill dari penampilan dan fisiknya, tapi kau, bagai kubis, tiap lapisnya menunjukkan kekuatan yang tidak diduga. Awalnya kukira kau akan menjadi anggota merepotkan dan manja, mengingat kau berasal dari Pusat, dan Gill sangat protektif, tapi siapa sangka kau malah beradaptasi dengan cepat. Aku yakin orang tuamu sangat bangga memiliki anak sepertimu."

Suaraku tercekat di tenggorokan, tidak mampu menjawab Ann. Bagiku ada banyak hal yang tidak patut dikenang saat mengingat tentang orang tua. Ann tampak heran dengan reaksiku, tapi aku hanya membalasnya dengan senyuman.

"Max, kau sudah selesai beres-beres?" 

"Oh!" 

Gill tiba-tiba muncul dari belakang kami, bar sudah tutup sejak sepuluh menit lalu dan malam sudah larut, aku kira bisa segera tidur setelah hari yang melelahkan ini. Mendapati wajah serius Gill, sepertinya dia ingin bicara denganku.

"Kami hampir selesai, kau bisa bicara dengan Max." Ann tersenyum seraya menepuk bahuku, meyakinkanku dengan senyumnya yang menenangkan.

"Terimakasih, Ann!" bisikku seraya melepas celemek dan menggantungnya di dinding.

"Jangan terlalu keras padanya, Gill. Kau lihat kan kepalanya terbentur keras dan masih benjol." Ann bicara cepat sebelum Gill menggiringku menaiki tangga.

"Dahimu masih bengkak?" Gill bertanya seraya menunduk, wajahnya begitu dekat hingga aku bisa melihat bekas luka di wajahnya.

"Tapi sudah tidak sakit lagi," jawabku santai.

Gill tidak mengucapkan apa-apa lagi hingga kami masuk ke kantornya, dan dia menyuruhku duduk di sofa seberangnya.

"Max. Aku senang kau mudah membaur, tapi kekuatanmu-" Gill tampak berpikir keras sambil melihat ke lantai di sisi kanannya, beberapa helaan napas lolos dari bibirnya sebelum kembali menatapku.

"Kekuatan apa lagi yang kau miliki, Max?" Gill melontarkan pertanyaan yang sama dengan Ann, dan aku berpikir keras tentang apa yang belum aku tunjukkan pada mereka.

"Telekinesis, Pendengaran Tajam, Cahaya Jiwa." Gill memijat pelipisnya.

"Si Kembar tidak mudah dijinakkan kecuali lawannya jauh lebih kuat, tapi kau berhasil membuat mereka bertekuk lutut hanya dengan melihat cahaya jiwamu. Aku perlu mengetahui batas kemampuanmu agar aku bisa memastikan kau aman berada di sini, Max. Aku tidak ingin menjadi orang yang tidak bertanggungjawab!"

Aku terdiam sejenak.

'Aku tahu dia tidak bermaksud buruk, Ash!'

Haruskah aku katakan bahwa aku melakukan perjanjian jiwa dengan dua spirit?

'Bukan ide buruk, setidaknya dia menganggapmu seperti anaknya sendiri. Dia tidak akan membahayakanmu. Mungkin dia bisa menjagamu dari Raja dan Ratu Lindbergh.'

Aku menarik napas panjang dan menatap Gill lurus.

"Kau ingat saat aku katakan aku adalah Iliana Latasha Brainne yang masuk ke badan Ashley Roselyn Killian?"

Gill mengangguk dengan kedua tangan terpaut menutupi mulut, matanya menelitiku tanpa berkedip.

"Darimana aku harus memulainya... ," gumamku seraya menggigit bibir, bimbang dan bingung. Setiap detik yang berlalu dalam diam, membuatku makin ragu untuk menceritakan semuanya pada Gill.

"Seluruh kemampuan dan sihirku sebagai Iliana Latasha Brainne ikut berpindah bersamaan dengan jiwaku yang masuk ke tubuh Roselyn."

Gill mengangkat alisnya tinggi-tinggi, tapi kemudian bertaut seperti tidak percaya.

"Kemampuan Brainne?! Penyembuh?"

Aku mengangguk.

"Tapi kemampuan penyembuhku berbeda dari yang lain, mungkin karena kemampuan sihirku tidak terlalu baik selama di akademi, atau mungkin karena pengaruh darah dari ibuku yang terlalu kuat, aku tidak tahu. Yang pasti..." aku memelankan suaraku, tidak yakin apakah Gill akan mengerti apa yang aku katakan,"Aku bisa menyembuhkan orang lain dengan cara memindahkannya ke tubuhku."

"Apa maksudmu? Seperti pertukaran?" Gill bertanya dengan wajah bingung.

Tanganku meraih vas bunga berisi mawar di meja depanku, dan mengambil batang mawar yang berduri. Aku memutuskan menunjukkan demonstrasi dari pada menjelaskan dengan kata-kata. Gill masih bertanya-tanya ketika aku meraih tangan besarnya yang dipenuhi urat dan otot menonjol.

"Maafkan aku, Gill!" tanpa menunggu responnya lagi, tanganku memastikan duri menancap ke kulitnya sebelum menarik duri ke arah vertical, mengoyak permukaan kulitnya hingga mengeluarkan darah. Gill tidak bereaksi sama sekali, dia seperti sengaja memberi kesempatan padaku dengan sikap diamnya.

Aku mengarahkan tanganku di atas lukanya, dan mulai berkonsentrasi, mengeluarkan sulur silver dari tanganku dan memastikan luka itu tertutup dengan sempurna, hingga perih mulai aku rasakan di pergelangan tanganku, aku mengangkatnya dan menunjukkannya pergelangan tanganku yang sekarang berdarah.

Ternyata aku mengoyak kulit Gill cukup dalam, tapi kenapa dia tidak bereaksi sama sekali?

"Max?"

Gill tampak panik, tapi aku menahannya yang hendak bangkit dari sofa. 

"Aku baik-baik saja, Gill. Sakit atau luka karena sihir penyembuhan yang aku lakukan, bisa aku percepat penyembuhannya dengan meditasi dan memastikan sirkulasi aura dalam diriku," kataku berusaha menenangkannya, dan melihat paniknya sedikit berkurang, segera aku memejamkan mata dan menarik napas panjang, membiarkan inti sihirku bekerja mempercepat sirkulasi aura dalam diriku, dalam hitungan beberapa tarikan napas luka kembali tertutup tanpa bekas.

"Max... kau..." suara Gill terdengar seperti orang yang baru saja melihat keajaiban dunia.

"Ini Gila!" Gill menarik tanganku hingga tubuhku terhempas tepat di sampingnya.

"Kalau kau Penyembuh, lalu kenapa ada rumor kau sekarat setelah jatuh dari kuda?"

Aku hanya mengendikkan bahu sambil tersenyum tipis.

"Lebih tepatnya Roselyn yang sekarat. Jiwaku masuk ke tubuh Roselyn setelah beberapa hari dia tidak sadarkan diri. Dan.... " aku merasa ragu menyuarakan hatiku, tapi jika aku tidak mengatakan pada Gill, bagaimana bisa aku membuat semuanya masuk akal?

"Sekalipun aku sakit, terluka, ataupun sekarat, kemampuan Penyembuhku tidak bisa aku gunakan untuk diri sendiri. Meditasi hanya berlaku untuk sihir penyembuhan yang aku lakukan. Kenapa? Kau merasa aneh?"

Gill tidak menjawab, tapi sorot matanya menjawabku dengan lantang.

Aku sendiri tidak mengerti. Ketika Pendeta Brainne dan Penyembuh lain bisa dengan leluasa menggunakan sihirnya untuk menyembuhkan orang lain, justru aku bisa menyembuhkan dengan syarat pertukaran. Tapi... biar bagaimanapun juga, aku selalu berusaha menutupinya. Bagiku, kemampuan penyembuhku ini tidak sempurna, cacat dan harus disembunyikan.

"Kemampuan penyembuhku ini aku tutupi, mereka hanya tau aku Penyembuh, tidak tahu bahwa aku memindahkan rasa sakit dan luka mereka ke tubuhku. Keluarga Roselyn juga tidak tahu aku punya sihir Penyembuh, tapi mereka tahu aku menguasai telekinesis. Satu waktu aku lepas kendali dan mengamuk di depan mereka karena menolak bertunangan dengan Duke Avallon. Karena itu aku ingin membuang identitasku sebagai Roselyn ataupun Iliana. Secara teknis, Iliana sudah mati, dan Roselyn diharapkan mati."

Gill menurunkan pandangannya menekuri lantai, tampak berpikir keras. Wajah garang khas prajurit bayaran mengabut seiring detik berlalu. Padahal dia tidak perlu ikut bersedih dengan apa yang terjadi padaku, aku justru sangat berterimakasih atas kebaikannya yang mau menolongku, bersedia menampungku, seseorang yang bahkan asing baginya.

"Gill... kenapa kau ingin menutupi kemampuanku?"

Jeda dalam helaan napas Gill membuatku ikut menahan napas.

"Kau bahkan belum debut di Guild. Jika orang-orang tahu kekuatanmu, maka kau akan menjadi incaran. Terlebih lagi para bangsawan. Sangat menguras tenaga menghadapi mereka. Permintaan mereka bisa sangat aneh dan di luar nalar. Aku tidak ingin mengeksposmu seperti yang aku lakukan pada Si Kembar. Mereka menerima terlalu banyak misi karena kemampuan mereka yang terlalu tinggi."

"Apakah termasuk dua orang tamu yang datang tadi siang?"

Gill mengangguk pasrah. "Ya, mereka memintaku mencarikan wanita cantik dari kalangan rakyat biasa dan dibuatkan status sebagai bangsawan baru untuk dijadikan tunangan kontrak. Ironis sekali para bangsawan itu. Mereka berani melakukan cara apapun untuk mempertahankan status bangsawan mereka."

"Kau juga menerima pekerjaan seperti itu?" tanyaku terheran-heran.

"Ann bahkan pernah bekerja sebagai pengasuh anak hasil hubungan gelap bangsawan selama setahun. Banyak hal tidak masuk akal yang akan kau temui saat mulai menerima pekerjaan dan misi di Guild."

Aku mengangguk cepat.

"Kenapa kau terlihat pasrah begitu?" tanya Gill seraya melipat tangan di dada, alisnya berkerut dalam.

"Aku sudah menjadi bagian dari keluarga ini, bukankah sudah waktunya aku membalas budi?" 

Gill menggeleng cepat, napas beratnya terdengar sangat jelas.

"Max! Apa kau pelupa?! Kau juga tidak tuli 'kan?!" aku terbengong mendengar suara Gill tiba-tiba meninggi, aku hanya bisa mengerjap berkali-kali, bingung.

"Sudah kubilang kau tidak perlu berpikir aneh-aneh! Aku mengajakmu bergabung dengan Guild, sama seperti si Kembar, Ben atau Ann. Bukan karena aku ingin meminta pamrih. Tidak ada hutang budi, dan aku membebaskan kalian jika ingin pergi meninggalkan Guild. Tidak ada yang bisa menghalangi kalian memilih jalan hidup yang berbeda. Tinggal atau pergi dari Guild, semua pilihan kalian. Tapi jika kau tetap tinggal, maka kau harus siap mengotori tanganmu. Apakah kau siap?"

Selama beberapa saat aku dan Gill bertukar pandang, dan aku hanya bisa bungkam, hingga Gill melihat ke luar jendela besar, memandang langit gelap.

Aku bukannya tidak bisa menjawab Gill, hanya saja pertanyaannya menghentakkan kesadaranku seketika.

Jika aku bergabung dengan Guild, maka sudah sewajarnya aku akan menjadi kaki tangan orang lain. Perajurit Bayaran bukanlah hal aneh bagiku, tapi terjun langsung sebagai Prajurit Bayaran benar-benar tidak pernah terlintas dalam benakku. Menjadi kacung yang menjalankan semua pekerjaan dari yang normal hingga paling tidak masuk akal dan kotor demi imbalan.

"Terkadang kau harus membuang moral dan nilai-nilai kemanusiaan dalam dirimu." Gill berbisik dengan suara penuh beban.

Aku menunduk dalam seraya melihat kedua tanganku yang mulai kapalan karena berlatih pedang.

Jika aku ingin membuang hidupku sebagai Latasha ataupun Roselyn, maka aku harus siap menerima resiko hidup sebagai Max.

"Belum terlambat bagimu untuk mempertimbangkannya, Max. Kau bisa hidup sebagai Max di tempat lain, tidak harus di sini."

Gill benar, aku bisa saja memilih cara hidup yang lain, tapi bagiku... Gill adalah cahaya di kegelapan hidupku. Hutang budi hanya alasanku untuk bisa mengikat hatiku pada tempat ini. 

Sesungguhnya aku hanya ingin tempat yang bisa aku sebut sebagai rumah. Sebagai tempat untuk aku kembali. Aku hanya ingin memiliki orang yang mengharapkan kehadiranku setelah hidup seperti hama, tikus yang selalu bersembunyi karena merasa cacat.

"Ben dan Ann berkata tidak akan pergi dari Guild. Berbeda dengan Ben dan Ann, si Kembar mungkin akan pergi suatu hari nanti. Keduanya masih berusaha mencari ibu kandung mereka. Bagi Si Kembar, Guild adalah pusat informasi, tapi mereka bisa pergi kapanpun mereka mau. Hal yang sama juga berlaku padamu, Max."

"Apakah Gavin & Dane tidak memiliki kerabat lain?" tanyaku polos. 

Gill menggeleng cepat. "Gavin dan Dane pertama kali aku temui saat mereka berusia 10 tahun. Keduanya berada di hutan Gunung Hima. Kedinginan dan hampir mati. Ayah mereka membuang mereka di hutan dan bunuh diri dengan lompat ke jurang. Mereka bilang ibu mereka menghilang saat mencari tanaman obat ketika mereka berusia 7 tahun. Selama 3 tahun mereka hidup terlantar di Hutan Hima."

Wajah Gill terlihat murung, sendu menaunginya seperti mengenang kejadian yang sangat lawas.

"Masih segar dalam ingatanku saat aku pertama kali bertemu mereka. Dua orang anak kecil yang bahkan lebih kurus dari ranting pohon, tidak terurus, takut pada orang dewasa. Aku tidak mengerti kenapa ada orang tua yang dengan mudah menelantarkan anak mereka. Mereka tidak tahu berapa banyak orang tua lain yang mengharapkan bisa memiliki anak namun tidak pernah diberi kesempatan."

Aku tidak bisa menjawab kata-kata Gill. Duka yang sepertinya ingin dipendam Gill, kini tersirat di wajahnya. Auranya terguncang bersamaan dengan kesedihan yang menyelimutinya.

Dunia terlalu kejam pada orang-orang tak berdaya. Dewa bahkan menutup mata, memilih jiwa-jiwa yang sudah bahagia menjadi pemuja mereka, sementara jiwa-jiwa yang terpuruk dibiarkan semakin jauh terbawa ombak kesedihan.

"Gavin dan Dane adalah darah campuran manusia dan Elf. Ibu mereka Elf yang tinggal di Hutan Hima, dan mereka memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan Gavin berkali-kali lipat dariku, sementara Dane memiliki kemampuan sihir yang sangat mengerikan. Aku tidak berharap kau akan seperti mereka, tapi jika kau memutuskan tinggal bersamaku, maka kau harus mampu melindungi dirimu sendiri."

"..."

"Tidak akan ada penyelamat atau kebetulan seperti saat aku menemukanmu di Hutan Oak. Ketika kau sudah menerima misi, maka kau akan berjuang sendirian, bahkan tidak jarang harus bertaruh nyawa."

Aku tersenyum, tentu saja aku tidak ingin bergantung pada siapapun. Mengharapkan uluran tangan orang lain? Ha! Yang benar saja! Aku sudah cukup muak terus kecewa dan terpuruk karena selalu berharap pada uluran tangan orang lain.

"Tenang saja Gill. Aku yang memutuskan, maka aku juga akan menanggung segala resikonya."

Gill tampak kaget, tapi kemudian tersenyum tipis ke arahku.

"Terkadang kau membuatku takut setiap kali melihat tekadmu."

Tekadku untuk berjuang melawan takdir buruk yang mengikutiku sebagai Arkais.

Tekadku untuk hidup dan meraih kebahagianku sendiri.

Tekadku untuk menjalani hidup bersama orang-orang baik di sekitarku, bersama Aslan dan Sqeeth.

Ya, tekad itu yang sekarang membuatku yakin, bahwa aku bisa terus hidup.

.

.

.