Keesokan harinya aku terbangun dengan perasaan jauh lebih baik, sekalipun masih sedikit merasa asing mengenai status baruku sebagai Maxine Max Westwood.
Tapi aku tidak cukup hanya mengganti nama. Dengan penampilan seperti ini, semua orang akan mengenaliku sebagai Roselyn, Putri dari Marquis Killian. Kecantikan Roselyn yang terlalu populer akan membuat orang-orang lebih mudah mengenaliku. Ada bagusnya suaraku berubah menjadi lebih rendah dan serak, tidak seperti suara Roselyn yang normal. Entah ini efek racun atau apa, tapi aku tidak ingin memperbaikinya.
"Bagaimana jika aku mengganti warna rambutmu, Ash? Aku tahu tanaman yang bisa mengganti warna rambutmu dan dengan bantuan sedikit sihir warna itu bisa bertahan lama."
Aku langsung mengangguk tanpa pikir panjang.
"Tunggu sebentar!" Aslan menghilang hanya dalam sekejap mata.
"Lalu bagaimana dengan warna mataku?" tanyaku pada Sqeeth yang mata merahnya menyala sempurna, tampak sangat bersemangat sejak aku menyatakan akan meningkatkan inti sihir.
"Maaf, warna mata hanya bisa aku ubah menjadi hitam, Latasha. Atau kau mau pakai sihir yang mengaburkan penampilanmu seutuhnya? Resikonya sihirmu akan terpakai banyak agar tidak kembali ke semula."
Sepertinya merubah warna rambut dan mata sudah cukup.
Ah, aku tahu!
Aku meraih belati yang tidak sempat aku sentuh semalam, dan dengan belati itu aku memotong rambutku hingga tinggal sebahu. Potongan rambut berjatuhan ke lantai, Sqeeth tidak berkata apa-apa sangking kehilangan kata-kata.
"Ash?" Aslan yang tiba-tiba muncul lagi tampak kaget, dia sampai menjatuhkan kumpulan akar tanaman dari tangannya. Matanya berpusat pada belati di tanganku.
"Apakah ini tanaman Hennous?" aku mengenali dari warna akarnya yang berwarna merah terang, tidak seperti tanaman lain pada umumnya.
"Ash … rambutmu."
"Lebih tepatnya rambut Roselyn!" kataku meralat ucapannya.
"Tapi ini kan rambutmu juga."
"Aslan, kau yang memintaku berdamai dengan diriku dan berusaha menerima tubuhku apa adanya. Ini caraku berdamai, menghapus penampilan Roselyn yang bisa membuat orang mengenaliku dengan mudah."
"Iya, tapi-"
"Dan aku berjanji akan menjadi Arkais terkuat, sehingga bisa melindungi diriku sendiri."
Aslan maupun Sqeeth sama-sama memberikan sorot mata lembut ke arahku.
Mereka membantuku memakai akar Hennous, dan berhasil merubah warna rambut pirangku menjadi warna peach sempurna, warnanya makin lembut ketika tertimpa cahaya. Aslan memanggil beberapa peri hutan, dan membuat mereka menaburkan serbuk berkilauan ke rambutku. Membacakan sebuah mantra panjang, Aslan meniupkan udara ke kedua mataku.
Aku tidak merasakan apa-apa, tapi Sqeeth langsung mengangkat tangannya dan menunjukkan pantulan wajahku di cermin.
Sosok Roselyn bagai terhapus sama sekali. Tidak ada lagi rambut pirang panjang yang indah, sekarang sudah menjadi pendek sebahu dan berwarna peach lembut. Mata yang biasanya terlihat angkuh dengan warna biru terang itu, sekarang berubah menjadi hitam legam. Tidak akan ada yang mengenaliku dengan penampilan berubah drastis seperti ini.
"Dengan begini, sekalipun rambutmu tumbuh, akarnya akan langsung berubah warna dengan warna yang sama sekalipun tanpa bantuan sihir."
"Oke, sekarang waktunya aku memeriksa sekeliling."
Setelah mengikat rambut dengan sapu tangan yang tergeletak di meja samping tempat tidurku, aku berdiri dan merasakan tubuhku jauh lebih ringan. Tidak ada lagi rasa sakit yang tertinggal, bahkan sendi-sendi yang sampai beberapa hari lalu seperti pintu berkarat, sekarang bisa aku gerakkan dengan bebas.
Melihat antusiasku, Aslan dan Sqeeth mengangguk bersamaan.
Aku beranikan diri beranjak dari loteng, setiap langkahku sangat hati-hati agar tidak membuat anak tangga berdecit.
Takut-takut aku menuruni tangga yang tidak terlalu banyak itu, dan mendapati diriku berada di lantai 2 bangunan. Ada banyak kamar yang berbaris seperti penginapan, di sayap kanan dan kiri, jika aku hitung totalnya ada lebih dari 10 kamar.
"Apakah ini hotel?"
Tapi bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu tidak terlihat seperti hotel pada umumnya. Tidak ada dekorasi mewah sama sekali, semua terlihat sederhana, seperti losmen atau penginapan namun dengan layout yang lebih sederhana.
"Apakah kau pelayan di sini?"
Seseorang dengan tubuh tinggi tegap dengan jubah berlambang kerajaan Lindbergh berdiri di hadapanku. Prajurit kerajaan, dan suasana hatiku langsung hancur begitu mengingat Raja Hardian dan Ratu Elia hanya dengan melihat logo kerajaan.
"Aku perlu handuk baru untuk kamarku, no. 15. Antarkan segera!" pria itu langsung melengos pergi tanpa menunggu jawabanku sama sekali.
Mungkin penginapan ini salah satu bisnis milik Gill. Aku segera menuruni anak tangga, menuju lantai tepat di bawahku yang terdengar sangat ramai. Ada suara tawa dan orang mengobrol serta dentingan gelas yang saling beradu.
"Ann, bir dua gelas untuk meja nomor 10!"
"Oke!"
"Ann, keripik untuk meja nomor 5!"
"Siap!"
Belum sampai ujung anak tangga, aku dikejutkan dengan suasana lantai ruang terbuka di hadapanku. Suasana ramai bar hampir penuh, ada berbagai jenis manusia yang bisa aku pastikan bukan dari kalangan bangsawan. Mereka membawa pedang, belati, kapak, dan alat bertarung lainnya. Suara besar dan menggelegar terdengar di seantero sudut ruangan luas itu. Masih ada beberapa meja yang kosong, tapi segera diisi dengan tamu lain yang datang. Tubuh mereka semua terlihat matang, berotot dan terlatih.
'Ash! Handuk!'
Oh iya! Aku lupa.
Aku segera mendekati counter yang hanya tersisa sedikit ruang di pojok dekat tangga, perhatianku tertuju pada seorang wanita berpakaian sederhana dengan rambut berwarna cokelat terkepang rapi. Dia bergerak gesit mengisi gelas bir. Betapa kagetnya aku ketika dia mengangkat tangan dan muncul benang transparan yang mengirim kedua gelas berisi bir kepada seseorang yang berdiri di sisi counter.
"Meja 10!" seru wanita itu seraya membuka lemari dan mengisi piring dengan keripik.
Wow, dia bisa menggunakan sihir untuk hal seperti ini.
Bukankah ini sangat menarik.
'Latasha, aku benci harus mengatakannya, karena aku bukan pelayan, tapi …. Handuk!'
Kenapa aku bisa jadi bengong seperti ini? Pemandangan ini seperti dunia lain bagiku. Berkali-kali aku melintasi perbatasan, tapi tidak pernah melihat suasa seperti ini sebelumnya.
"Umm… permisi!" aku mencoba menarik perhatian wanita bernama Ann itu, tapi dia terlalu sibuk.
"Ann!" seruku lagi, tapi tidak ada jawaban. "ANN!" aku berteriak keras hingga wanita itu hampir menjatuhkan piring yang sedang dia kirim menggunakan sihir ke meja seberang.
"Oh! Kau siapa? Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya seraya mengelap tangan ke celemek di pinggangnya.
"Ha-handuk, kamar nomor 15 perlu handuk baru." Aku bicara sambil menahan malu karena semua orang yang duduk di counter melihat ke arahku.
Wanita bernama Ann itu tersenyum dan menyenggol pria di sebelahnya yang tengah mengelap gelas.
"Ben, handuk untuk kamar nomor 15!" kata Ann pada pria itu.
"Lagi? Berapa kali dia mandi dalam sehari? Dia kira aku tidak lelah mencucinya?! Besok-besok aku buat peraturan hanya satu handuk sehari untuk penyewa kamar!" gerutu pria bernama Ben tadi.
Ann terlihat seperti wanita berumur 30 tahun-an, sementara Ben lebih terlihat seperti baru berusia 20 tahun-an. Wajah Ben terlihat jauh lebih muda dari Ann.
"Siapa dia?" tanya Ben sambil melirik ke arahku.
Ann mengendikkan bahu dan kembali menuangkan bir ke gelas yang baru saja di lap Ben.
"Lain kali aku harus peringatkan penghuni kamar 15. Sembarangan saja membawa wanita penghibur! Jelas-jelas dia menyewa hanya untuk satu orang!" gerutu Ben seraya keluar dari counter dan berjalan ke arahku, matanya menunjukkan tidak suka.
"A-aku bukan wanita penghibur. Aku-"
"Wanita Penghibur? Siapa?"
Aku kaget saat mendengar suara dari belakangku. Aku bahkan tidak menyadari kehadirannya, tidak ada pancaran aura, tidak ada pula suara langkah kaki, semua seperti teredam.
"Penghuni kamar 15. Tidak bisakah kau usir tamu di kamar 15? Dia sangat-sangat menyebalkan, bahkan membawa wanita penghibur! Harusnya aku naikkan sewanya dua kali lipat!" Ben berdecak lidah dan melirik ke arahku.
Aku mundur ke pojok counter, sengaja menjaga jarak dengan Gill yang berdiri menjulang. Badannya tinggi besar, aku tahu itu, tapi ketika kami berdiri berhadapan seperti ini, aku merasa seperti berdiri di depan beruang besar berjenggot. Tinggi badan Gill mungkin hampir 2 meter, otot tubuhnya terbentuk sempurna dan dia menggunakan pakaian ketat membentuk badan. Hanya dengan penampilan saja, aku yakin banyak orang yang terintimidasi.
"Max?" Gill melihat ke arahku, dan matanya berpusat pada kepalaku, lebih tepatnya pada rambutku. Aku mengalihkan pandanganku ke kaki, merasa dia akan mengomentari penampilan baruku yang pasti terlihat aneh baginya.
"Aku suka rambut barumu," desisnya seraya mengusap puncak kepalaku.
"Gill, kau mengenalnya?" Ben bertanya hampir seperti orang kena serangan jantung. Mungkin dia kaget Gill mengenal wanita penghibur sepertiku.
"Ben, ini Max, anggota keluarga kita yang baru." Gill menarikku hingga berdiri di sebelahnya, tangan besarnya merangkul bahuku hingga aku merasa seperti terhimpit di ketiaknya.
"Hah? A-apakah dia anak yang kau ceritakan kemarin?"
Gill menjawab dengan satu anggukan kepala yang lugas.
"Oh! Maafkan aku sudah bersikap kasar, aku kira kau wanita peng- Ops! Sekali lagi maafkan aku!"
"Ti-tidak apa-apa, a-aku yang seharusnya memperkenalkan diri dulu." Kataku seraya menarik ujung kanan kiri baju lusuh yang aku kenakan, tapi saat selesai membungkukkan badan, baik Ben ataupun Gill sama-sama terbengong melihat ke arahku.
"Ehmmm, Gill." Ben melirik Gill penuh keraguan, ada jeda panjang dalam suaranya. "Aku kira kau salah mengadopsi anggota keluarga kali ini," lanjut Ben seraya mengangkat sebelah alisnya tinggi.
Gill memiringkan kepala melihatku, tapi yang muncul di wajahnya malah senyum puas.
"Tidak masalah, Max. Kau hanya belum terbiasa meninggalkan kebiasaan lamamu. Di Guild, kau tidak perlu membawa kebiasaan dari Pusat." Gill menepuk kepalaku dan membiarkan tangannya bersarang di sana seolah kepalaku adalah penopang tangannya.
"Kau gila! Anak ini dari Pusat? Kau mengadopsi anak bangsawan?!" Ben meracau, wajahnya terlihat panik saat mata kami bertemu tatap. "Matanya bahkan berwarna hitam legam. Kau bangsawan dari Orestes?"
Aku langsung panik, karena lupa bahwa manik mata berwarna hitam biasanya dari keluarga bangsawan Orestes, lebih tepatnya keluarga kerajaan.
"A-aku hanya pelayan yang bekerja di Pusat. A-aku belajar sedikit tata krama bangsawan, tapi aku bukan bangsawan!" aku berusaha membelokkan kesimpulan Ben sebelum semuanya terlanjur terbongkar.
"Pelayan? Apakah kau hasil hubungan gelap antara pelayan dan Tuannya?"
Mendengar ucapan Ben, napasku reflek tertahan. Membayangkan diriku yang dilabeli anak haram oleh orang yang tidak aku kenal, benar-benar membuat api kemarahan menyala dalam diriku.
'Dia bahkan menyebutmu wanita penghibur tadi.' Sqeeth berbisik dalam kepalaku.
'Haruskah kita beri dia pelajaran?'
Aku mengepalkan tangan, merasakan getaran aura di ujung-ujung jariku.
"Jaga ucapanmu, Ben!" Gill membaca raut wajahku dengan cepat. "Max masih kerabat jauhku."
"Hah? Kerabat? Kau benar-benar tidak waras, Gill!"
"Tunggu dulu!" aku melipat tanganku di dada, dan melihat lurus ke arah Ben yang sedikit lebih tinggi dariku. Jika saja aku bisa lebih tinggi 3cm lagi, maka mata kami akan satu level.
Tubuhnya termasuk pendek seukuran pria dewasa, dan dia menyebutku anak, padahal aku yakin usia kami tidak terlalu jauh. Apalagi sikapnya yang seolah-oleh Gill teman sebayanya.
"Kenapa kau sangat tidak sopan padaku? Kau bahkan tidak sopan pada Gill!"
Sudah bersikap tidak sopan padaku, dia juga berkali-kali berkata kasar pada Gill.
"Aku? Kenapa tidak sopan, aku dan Gill berteman sejak lama, jauh sebelum kau dilahirkan, Nak. Selain itu kami hanya terpaut 3 tahun!" sahut Ben sengit, tangannya ikut terlipat di dada, dagunya terangkat tinggi.
"Hah?!" aku melihat Ben dan Gill bergantian, tidak percaya kalau keduanya hanya berjarak 3 tahun. Entah wajah Gill yang boros, atau kah Ben yang awet muda?
"Memangnya berapa usiamu, Gill?" aku bertanya dengan polosnya, dan Gill menyelipkan tangannya sisi pinggangku. Dalam satu gerakan cepat, dia mengangkatku ke udara, hingga pandangan kami berada dalam satu garis. Aku seperti anak kecil ditangan besarnya.
"Nak, aku mungkin lebih pantas menjadi kakekmu."
Kakek? Aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku lagi.
"Asal kau tahu, usia Gill hampir setengah abad." Sahut Ben cepat, membuat otakku kembali berhenti berfungsi.
Bagaimana bisa seseorang dengan fisik, wajah, bahkan pancaran aura sebesar ini, berusia hampir setengah abad?
Gill tersenyum dan kembali menurunkanku ke lantai.
"Ayo aku perkenalkan kau dengan anggota keluarga yang lain." Gill menyentuh punggungku dan mendorongku ke arah counter bar.
Setelah memperkenalkanku pada Ben, aku diperkenalkan pada Ann. Wanita dengan kemampuan sihir dan senyum cerah. Dia terlihat cantik dan tangguh, aku bisa melihat dari ketegasan yang dia tunjukkan ketika orang-orang mendesaknya agar menyuguhkan pesanan mereka.
Dia tidak ragu mendelik bahkan berdecak kesal jika ada pelanggan yang mendesaknya, tapi para pelanggan itu bukannya marah, malah nyengir.
"Ann mungkin terlihat ramah, sihirnya juga memang sangat lemah, tapi dia punya kemampuan bertarung tangan kosong yang luar biasa. Tidak ada yang bisa mengalahkannya ketika bertarung tanpa senjata," bisik Gill seraya memberi isyarat pada Ann agar mendekat pada kami.
Ann tersenyum ke arah kami.
"Ann berasal dari perbatasan, dia kehilangan suami dan anaknya ketika perang Lindbergh dengan Adalgard pecah. Sebaiknya tidak ada yang menyebutkan tentang kejadian itu di depannya."
Peperangan dengan Adalgard? Ingatanku kembali pada Pangeran Adalgard. Waktu yang begitu singkat untuk mengenalnya sejak ekspedisi Pulau Ennius, dan di akademi, membuatku mengingat dirinya yang mengulurkan tangan untukku.
Peperangan hanya meninggalkan kesedihan, dan luka. Andai saja peperangan itu tidak terjadi, maka Ann tidak akan bersedih, maka Callisto tidak akan berada di Lindbergh sebagai tahanan perang, dan kami tidak akan bertemu. Callisto tidak akan menangis menyesali kematianku. Sehingga aku tidak perlu merasa berdosa karena membuatnya menangisi jasad yang bahkan tidak berada jiwaku di dalamnya. Aku bahkan tidak bisa meringankan duka orang yang bersedih atas kepergian Latasha.
"Max?"
"Ah, iya!" aku terkesiap, berapa lama aku termenung sampai Gill melihatku penuh cemas seperti itu.
"Dengarkan aku, Max. Bukan lagi waktunya bagimu berkutat pada kesedihan. Kau masih hidup, bukankah ini anugerah besar? Sekalipun orang tuamu membuangmu, masih ada aku."
Wajah Gill yang sangar berubah lembut, matanya yang dipenuhi rasa kasih sayang, membuatku seperti bermimpi. Bertemu dengan orang asing yang bahkan rela menampungku sepertinya.
"Anak ini dibuang orang tuanya?" tanya Ben yang tiba-tiba nimbrung.
"Kenapa? Kau juga sama kan?" tanya Gill pada Ben, Ben hanya senyum-senyum kecil seraya melengos pergi, takut kena sambar Gill lagi.
"Terima kasih, Gill. Aku tidak tahu bagaimana aku harus membalas semua kebaikanmu," gumamku seraya menundukkan kepala, merasa hatiku jauh lebih ringan.
"Auh! Max! Kenapa kau begitu kecil, imut dan menggemaskan!"
Gill tiba-tiba memelukku, tangan besarnya menghimpitku sedemikian rupa hingga wajahku terbenam di dadanya, dia mengusap kepalaku berkali-kali hingga rambutku berantakan, kabur dari ikatan.
Apakah aku sedang bermimpi?
Dia mengingatkanku pada Sir Farvald, sikapnya yang tiba-tiba gemas seperti ini sungguh di luar dugaan. Apakah pria berotot memiliki sindrom yang sama? Tapi sekalipun dia memelukku seerat ini, aku bisa merasakan ketulusan dari seluruh bahasa tubuhnya.
'Orang ini menyayangimu dengan cara yang aneh!'
Aku tahu. Tidak perlu Sqeeth bilang, aku juga merasa aneh dengan cara Gill mengungkapkan perasaannya. Aku memang kecil jika dibandingkan dengan fisiknya, tapi aku memiliki tubuh yang umum seperti perempuan di Lindbergh pada umumnya. Jadi tidak sewajarnya aku diperlakukan seperti anak usia 5 tahun begini.
Apakah mungkin dia melihat cerminan anaknya pada diriku?
"Kalau ada yang berani mengganggumu, bilang kau adalah keponakanku. Gilliard Westwood, oke?" ucap Gill seraya menangkup wajahku, dan aku hanya bisa mengangguk.
"Oho! Jadi ini keponakan cantik Gill yang baru datang?"
Ann berdiri di balik counter sambil melipat tangan di dada, matanya memindaiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku sempat kikuk mendapati tatapannya yang setajam elang, seolah dia tengah berusaha menganalisaku hingga ke tulang, tapi semua mencair ketika Ann tersenyum hangat ke arahku.
"Jangan heran kalau dia bersikap seperti itu. Dia selalu tidak bisa menahan diri melihat apapun yang kecil dan menggemaskan."
Ann membungkukkan badan ke arahku, tangannya terangkat ke telingaku "Hati-hati, biasanya dia akan memeluk apapun yang menggemaskan sampai remuk, kau lihat kan ototonya yang besar?"
"Aku bisa mendengarmu, Ann!" gerutu Gill seraya menarikku hingga menempel padanya, menjauh dari Ann.
"Lagi-lagi, paman yang terlalu protektif." Ledek Ann.
"Kau-!"
"Salam kenal, - Max?" Ann menarik tanganku, dengan cepat menjabatnya.
"Oh iya, salam kenal, Ann!"
"Kau tinggal di loteng?" tanya Ann seraya melirik Gill, dan anehnya Gill langsung berdehem keras sambil membuang muka.
Ada apa? Ada apa ini?
"Gill tidak pernah mengizinkan siapapun ke loteng sejak bangunan ini dibuat. Dia bahkan memberikan sihir kedap suara khusus untuk loteng. Jadi, bagaimana bisa kalian, paman dan keponakan, baru bertemu setelah kau sebesar ini?" Ann bertanya dengan mata penuh selidik, tapi aku tidak bisa menjawab, aku dan Gill belum menyiapkan skenario sampai ke tahap itu.
Akhirnya aku hanya menatap Gill lekat-lekat, mencari pertolongan.
"Ann, jangan mengorek masa lalu seseorang jika kau cuma basa-basi!" tandas Gill yang langsung menyuruhku duduk di kursi sebelahnya.
"Sensitif seperti biasa!" tandas Ann yang langsung berbalik sambil mendecakkan lidah.
Aku melihat kesedihan membayangi wajah Gill, matanya terkesan memandang lemari berisi botol minuman keras di hadapannya, tapi aku bisa melihat kekosongan yang terlalu dalam dari sorot matanya. Aura Gill berubah warna berkali-kali gradasi warna senja yang terlihat indah tapi juga sedikit menyeramkan ketika dia menjadi sedih.
Gill tersenyum ke arahku. "Kenapa? Ada sesuatu di wajahku?"
Aku menggeleng cepat dan langsung mengalihkan perhatianku pada Ann. Sosoknya yang terlihat santai itu sangat disegani orang-orang di bar. Mungkin karena kemampuannya hingga orang-orang juga menjaga sikap terhadapnya.
"Selain Ann dan Ben, masih ada si kembar Gavin dan Dane. Mereka sepertinya seumuran denganmu, tapi mereka sedang menjalankan misi, seharusnya mereka kembali malam ini."
"Berapa orang jumlah keluargamu, Gill?"
Gill tampak berpikir keras.
"Hanya itu!" jawabnya cepat.
"Ben, Ann, Gavin, Dane, dan dirimu?" tanyaku memastikan tidak ada satu orangpun yang terlewat.
"Jangan lupakan dirimu, Max!" kata Gill sambil mengangguk cepat.
Aku menjawabnya dengan senyuman lebar.
Melihat sekelilingku yang dipenuhi orang-orang bukan bangsawan dan berada di tengah keramaian, aku benar-benar memasuki dunia lain. Setiap orang memiliki penampilan yang unik. Ada seorang pria kurus berjubah hitam dengan mata gelap tengah memegang tongkat, yang aku curigai sebagai penyihir hitam, ada juga orang bertubuh besar dan otot memegang tombak, tampak seperti prajurit bayaran.
Tapi dari kesemuanya yang mampu aku lihat, mereka mulai melihat ke arahku sejak Gill berkali-kali melakukan kontak fisik denganku. Sikap Gill yang terang-terangan mengusap kepalaku, memelukku, dan menyuruhku duduk di sebelahnya, membuat semakin banyak mata yang melirik penuh ketertarikan padaku.
"Kau belum menjelaskan apapun tentang Guild, Gill?" tanya Ann yang lalu menarik kursi dan duduk di balik counter. Dia duduk berseberangan denganku dan langsung menopang dagu dengan kedua tangan, matanya yang kecokelatan melihat ke arahku penuh takjub.
Kenapa dia bicara pada Gill tapi malah melihatku seperti itu?
'Wanita ini sedang menilai sihirmu, Ash!'
Bukankah sihirnya lemah?
'Sihir lemah, bukan berarti dia tidak bisa mendeteksi jumlah sihir dalam tubuhmu,' sahut Sqeeth.
"Dia baru sampai semalam, belum sempat aku menjelaskan apapun." Gill menyeruput bir dari gelas besarnya.
"Aku tidak bodoh, Gill. Untuk apa kau memanggil Penyembuh jika dia baru datang semalam. Kau kira sudah berapa tahun aku mengenalmu, hah?" sahut Ann dengan senyum meyindir.
Gill tertegun, lalu hanya mengendikkan bahu seperti tidak peduli dengan komentar Ann.
"Apakah anak ini disiksa majikannya? Orang tuanya? Dirundung?" Ann kembali berusaha mengorek, tapi kemudian Gill mengirim tatapan tajam padanya.
"Aku tidak ingin membuka lukanya lagi, Ann. Cukup!" Gill menjawab dengan suara pelan namun tegas.
"Oh, oke! Oke! Maafkan aku yang terlalu berisik. Aku hanya ingin berhati-hati. Kau tahu dia terlalu cantik untuk menjadi pelayan. Bagaimana kalau keponakanmu dimangsa lebih dulu oleh tamu? Kau bahkan lihat bagaimana Ben langsung mengecapnya sebagai wanita penghibur! Wanita cantik tanpa kemampuan bertarung sepertinya hanya bisa disebut wanita penghibur di sini!" Ann mengela napas sambil geleng-geleng kepala.
"Aku akan mendidiknya, aku tidak akan membiarkannya menjadi buruan para pria tak bermoral di luar sana!"
"Baguslah! Aku pegang kata-katamu, Gill!" ucap Ann lagi, menunjuk wajah Gills seolah mengancam.
"Aku istirahat dulu!" Ann tiba-tiba berseru ke arah Ben yang baru kembali setelah menyerahkan handuk ke ruangan no. 15.
"15 menit! Lebih dari itu-" Ben menyahut sambil memberikan isyarat sayatan di leher dengan mata bersungut-sungut, tapi dengan gesit dia melompat masuk ke counter dan mulai mengecek daftar pesanan yang masih mengantri.
"Kenapa orang-orang sangat sensitif hari ini?!" keluh Ann yang lagi-lagi menghela napas panjang.
"Terus saja menghela napas begitu, hidupmu bisa lebih pendek 10 tahun!" celetuk Gill dengan mata melirik seorang pria berjubah merah yang duduk tidak jauh dariku, reflek aku menoleh ke arah yang sama, tapi kemudian Gill menarik kepalaku kembali ke posisi awal.
"Aku tinggal sebentar. Ann!"
"Hmm?" Ann menjawab santai.
Gill hanya melirik ke arah pria di sebelahku, dan Ann menjawabnya dengan anggukan cepat, seolah mereka sedang bertelepati. Gill menghampiri pria tadi dan langsung menghalangi pandangan pria itu dari pandanganku, mereka bertukar kata sebentar, sebelum berjalan beriringan keluar bar.
"Max!"
"Oh, iya?" aku kembali melihat Ann yang kali ini berwajah serius.
"Bergabung dengan Guild, berarti kau harus selalu waspada. Tempat ini adalah tempat segala hal bisa terjadi, dari ngobrol santai sampai saling membunuh. Kau lama hidup di Pusat, mungkin kau tidak tahu apa yang terjadi di Guild pada umumnya."
Aku menggeleng cepat.
"Aku tahu bahwa Guild menjadi tempat orang melakukan jual beli informasi dan melakukan beberapa pekerjaan berbahaya dengan imbalan," jawabku seraya mengingat pelajaran sejarah yang aku terima di akademi.
"Bukan hanya berbahaya tapi juga kotor," Ann meralat ucapanku dengan satu tangan masih menopang dagu. Setelah melihatnya melakukan begitu banyak hal sebelum mengobrol denganku, anehnya dia tidak terlihat lelah sama sekali, justru seperti orang bosan.
"Kau bisa sihir?"
Aku mengangguk.
"Bertarung?"
"Sedikit. Aku tidak terlalu ahli menggunakan pedang, tapi aku bisa memanah dengan baik."
"Bagus."
Ann kembali memusatkan pandangannya ke seisi bar, matanya memicing seolah memindai potensi bahaya.
"Gill terang-terangan memperkenalkanmu sebagai anggota keluarga baru di Red Sleeve."
"Tapi aku baru bertemu Ann dan Ben, aku bel-"
"Max." Ann memberikan tatapan tajam padaku. "Berdiri di samping Gill saja sudah cukup membuat orang bertanya-tanya, tapi Gill yang bodoh itu malah menunjukkan rasa sayangnya padamu dengan berlebihan. Kau akan menjadi incaran banyak orang karena Gill memiliki banyak musuh."
Lidahku kelu.
"Gill memang ditakuti dan dia terkuat di perbatasan Utara, tapi dengan memiliki kekuatan besar, secara tidak langsung menantang orang-orang untuk menjatuhkannya. Belum lagi dia pimpinan Guild, harus menjalankan misi tanpa pandang bulu, ada berapa banyak orang yang mati di tangannya. Ironisnya, Istri dan anaknya menjadi korban ketika dia sedang menjalankan misi. Kau mungkin tidak tahu, tapi penyesalan dalam dirinya tidak pernah padam. Ketika dia memiliki kekuatan yang begitu besar, tapi tidak mampu melindungi orang yang paling disayanginya."
Aku tidak tahu apapun tentang Gill selain namanya yang tersohor di seantero Lindbergh.
"Aku kaget saat dia memanggilmu Max. Putrinya yang tewas saat masih dalam kandungan, sejak lama dia ingin memberikan nama itu. Apakah semua hanya kebetulan?"
Deg!
Jantungku seperti dihantam palu berukuran besar, hingga seluruh tubuhku kaku.
"Gill yang terlihat sekeras batu karangpun menyimpan duka. Siapa sangka kalau orang-orang dari kerajaan membakar desanya dengan dalih tempat persembunyian pemberontak. Ada ratusan mayat hangus terbakar karena tuduhan tak berdasar itu. Apakah kau pernah mendengar berita ini?"
Aku menggeleng.
"Dunia ini terlalu kejam. Dunia kotor yang berisi manusia-manusia bejat melebihi monster, dan aku harap kau tidak terlalu lembek untuk menghadapinya, Max."
Kepalaku tertunduk dalam, membayangkan duka yang mungkin dirasakan Gill ketika kehilangan istri dan anaknya. Sekarang aku mengerti kenapa Gill terlihat begitu sedih ketika mendengarkanku semalam. Baginya yang kehilangan dua orang yang dikasihinya, adalah pukulan berat, dan dia pasti sangat tersiksa karenanya. Lalu dia harus melihatku, yang dibuang dan disiksa oleh orang tuaku sendiri.
"Jangan menunjukkan wajah sedihmu di depan Gill, atau dia akan mengobrak-abrik seluruh dunia demi mencari siapa penyebabnya."
Aku mengerutkan alis, tidak yakin dengan ucapan Ann, karena aku dan Gill baru saling kenal.
"Bukankah menjadi keluarga Guild, agar aku orang berguna untuk Guild?"
Ann menggeleng cepat sambil menggerakkan telunjuknya di depan hidungku. Aku mengernyit bingung.
"Kau tidak percaya?!" Ann meledekku dengan wajah jenakanya. "Aku jamin kau sudah berhasil masuk ke hatinya. Pegang kata-kataku, Max, he he he."
Ann tertawa hingga kerut ujung kedua matanya terlihat jelas, dan aku hanya bisa terbengong membayangkan apa yang menungguku setelah bergabung dengan Guild.
.
.
.