Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 29 - Chapter 28 : Warisan Sang Kakek

Chapter 29 - Chapter 28 : Warisan Sang Kakek

Trigger warning : Emotional Abuse, Kidnapping & Physical abuse

.

.

.

Tahun berganti dan aku hanya bisa menatap langit tak bermatahari dengan salju tebal menutupi permukaan bumi. Aku melewatkan waktu hanya dengan bermeditasi di kamar, makan, dan tidur senalarku bisa menginatkan, tapi kenapa waktu tetap berlalu dengan ritme yang sama?

Pasca kejadian besar permintaan pembatalan pertunangan secara sepihak dariku, tidak ada lagi kabar dari pihak keluarga Duke Avallon, tapi perlakuan keluarga Killian semakin menjadi, sekarang mereka hanya memberiku makan sekali sehari. Bagusnya badan Roselyn tidak seperti badan lamaku yang selalu mudah merasa lapar. Makan hanya sekali membantuku lebih mudah berkonsentrasi saat meditasi.

Peri hutan sering kali membawakanku buah-buahan karena simpati padaku. Setiap kali bulan purnama, aku akan mendapati lebih banyak peri hutan yang datang. Kamarku sering kali dijadikan tempat pertemuan para peri hutan di sekitar Lindbergh.

Semua dimulai karena peri hutan penghuni pohon oak seberang beranda kamarku, mengabarkan pada temannya mengenai keberadaan Aslan, sehingga kabar tersebar dengan cepat. Bisa dianggap, pohon oak di seberang beranda kamarku sekarang menjadi basis para peri hutan.

Aslan dengan senang hati bertemu dan mengadakan pesta kecil bagi mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa merasakan dengan sangat peka perubahan suasana hati Aslan. Dulu aku merasa tidak sedekat ini, tapi sekarang, aku merasa seperti kami berbagi satu hati.

Berbeda dengan Sqeeth, spirit yang jauh lebih liar ini sering kali bepergian lama, tapi aku tidak cemas, karena ikatan itu tidak pernah terputus. Tapi setiap kali dia menghilang, entah seminggu, dua minggu, bahkan pernah selama satu bulan. Aku bisa merasakan kekuatannya meningkat. Sangat berbeda dengan Aslan yang sepertinya semakin solid karena efek kebahagiaan makhluk di sekitarnya (termasuk diriku), sementara Sqeeth seperti seorang ksatria pedang yang menimba ilmu di negeri lain, sehingga kekuatannya bertambah terus setiap kali dia kembali dari bepergian.

Kekuragan supply makananku, memberi efek besar pada Lidya. Tidak jarang Lidya membawakan roti atau biskuit yang dia sembunyikan di balik seragam pelayannya demi memastikan aku tidak melewati malam dengan perut kosong. Aku sudah berkali-kali membuatnya mengerti bahwa makan sehari sekali tidak akan membuatku sakit, tapi Lidya hanyalah Lidya, dia berpikir semua orang akan sepertinya, membutuhkan makan cukup untuk bisa melakukan aktivitas normal.

Hati Lidya terlalu lembut, karena itu aku tidak sampai hati memberinya peringatan keras. Aku hanya tidak ingin dia menjadi sasaran Marquis dan istrinya, terlebih lagi Allan.

Bagaimana kabar keluarga Roselyn yang lain?

Hah! Jangan minta aku menjelaskan, karena mereka membuatku muak.

Stanford melaksanakan perannya sebagai kepala perdagangan dengan baik, tapi sebagai seorang Ayah, dia hanyalah sampah. Membiarkan istrinya dan Allan merundungku tanpa ampun. Sempat terjadi ketenangan selama beberapa bulan karena Allan pergi menjalani pendidikan di akademi pedang istana demi kenaikan pangkatnya. 

Nyonya besar Killian tidak cukup berani melakukan apapun padaku tanpa kehadiran Allan.

"Nona Ashley, aku membawakan biskuit dan sebotol susu untuk Nona." Lidya membongkar celemeknya dan menunjukkan perutnya yang terlihat sedikit lebih besar dari ukuran normal, mengeluarkan apa yang tertutup kain yang diikat ke perutnya.

Aku tersenyum melihat tingkah Lidya.

"Aku kira kau sedang hamil, Lidya." 

Lidya tertawa dan meletakkan biskuit yang dibungkus plastik ke meja, wajahnya terlihat cerah dan senang mendapatiku bisa meledeknya.

"Aku akan hamil lebih besar besok, Nona, ha ha ha!" sahut Lidya sambil memintaku duduk di meja rias.

"Hamil apa? Ayam panggang? Atau Roti Bagel?" 

"Sepertinya Kalkun, he he he!"

Aku mengambil biskuit berwarna cokelat itu dan mulai memakannya.

'Wanita tanpa suami sepertinya tidak mungkin hamil lagi, Ash!' 

'Latasha juga tau, kau kira dia bodoh?!'

Tanpa suara aku lagi-lagi menghela napas. Mereka mulai lagi.

"Kenapa, Nona? Biskuitnya kurang enak?"

Aku menggeleng dan kembali menyesap susu pemberian Lidya.

"Biskuitnya enak, susunya juga enak."

"Kalau begitu aku turun dan buatkan lagi, sebentar ya, Nona!"

Lidya langsung meluncur keluar kamar sambil membebat lagi kain ke perutnya. Lidya selalu seperti itu, gerak cepat bagai tupai yang melompat gesit.

'Kenapa kau tidak memberi pelajaran pada mereka yang sudah menyiksamu begini, Latasha?'

Sqeeth tiba-tiba muncul di hadapanku, begitu dekat hingga hidung kami hampir bersentuhan. Aku reflek menarik diri dan hampir menyemburkan susu dalam mulutku. Sepasang tangan lain menahan bahuku dari belakang, Aslan menahanku agar tidak jatuh dari kursi.

'Hei, Pheonix Tua! Kau-' Aslan mencengkram wajah Sqeeth dan mendorongnya hingga terlempar ke dinding kamar. 

"Berhenti! Kalian ini selalu bertengkar, tidak bisakah akur barang sebentar?" gerutuku kesal.

'Kau terlalu lembek, Latasha!' Sqeeth yang sudah duduk di tempat tidurku tampak sangat baik-baik saja setelah terhempas sedemikian rupa, seolah apa yang dilakukan Aslan hanya cubitan kecil baginya. Setiap kali kedua spirit ini bertengkar, mereka menujukkan padaku bahwa kekuatan manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuatan spirit.

'Kau selalu meminta Ash menjadi antagonis, kau lupa kalau kau juga terikat jiwa padanya?' Aslan berdiri di depanku, menghalangi pandanganku dengan Sqeeth.

'Justru karena separuh dari jiwanya terikat denganku, setidaknya dia harus punya separuh dari sifat kejamku!' Sqeeth tidak mau kalah dan tiba-tiba cahaya merah keemasan memenuhi kamarku.

'Tahan sihirmu, Bodoh!'

'Kau- Menyebutku Bodoh? Pegasus Sialan!'

"Auh, kalian bisa ti-"

Kepalaku berputar tiba-tiba, pandanganku gelap seketika, dan mati rasa. Aku tidak bisa merasakan apapun, bahkan ketika tubuhku limbung ke lantai, aku tidak mampu berkedip dan hanya melihat langit-langit kamar, napasku perlahan melemah. Seluruh indra dalam tubuhku tidak berfungsi, tidak ada lagi rasa sakit, aku bahkan ragu jika aku masih bernapas.

Kenapa? Apa yang terjadi padaku?

Mataku bergerak sangat perlahan menoleh pada Aslan dan Sqeeth.

'Ash?'

'Latasha?'

Sosok Aslan dan Sqeeth yang memanggilku tanpa henti, perlahan memudar seiring dengan kesadaranku yang berkurang.

'Nona Ashley, aku membawakan susu lag- Nona?!'

Setiap orang menyebutkan namaku, dan aku tidak bisa menjawab. Ada yang salah dengan tubuhku. Kenapa aku tiba-tiba kehilangan tenaga seperti ini? Apakah ada kutukan yang ditujukan padaku? Apakah aku tidak sadar sudah memakan racun?

Kenapa aku tidak menyadari satupun ada yang aneh?

"Nona Ashley?" Lidya meraih tubuhku, menangis keras sambil berteriak, tapi aku tidak bisa menjawabnya. Bagai lumpuh sekujur tubuh, aku tidak mampu bergerak dan baru aku sadari paru-paruku kesakitan, kesulitan bernapas.

.

.

.

Suara kicauan burung dan peri hutan yang mengobrol terdengar begitu jelas. Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Sekujur tubuhku berat, aku bisa merasakan kesadaranku sudah kembali tapi entah kenapa aku tidak bisa membuka mata. 

"Apakah tidak ada cara lain?" ini suara Allan, kenapa suara cemasnya terdengar sangat aneh.

Seseorang yang selalu tidak ragu untuk menyerangku, tiba-tiba bertanya seolah tengah khawatir dengan kondisiku?

"Kondisinya sangat lemah, racun sudah menyebar di tubuhnya, aku sudah memberikan pertolongan pertama. Jarak dari pertama kali racun masuk ke tubuh Roselyn, hingga aku memberikan pertolongan pertama terlalu jauh. Aku sudah melakukan apa yang aku mampu, tapi aku tidak bisa memeriksa lebih jauh jika dia belum sadar seperti ini. Kita sam-sama tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya." Suara Pendeta Kyan terdengar sangat jelas dari sisi kananku.

"Aku tidak mengerti kenapa dia mudah sekali terluka padahal selalu berada di kamar." Kali ini istri Marquis Killian yang menyahut.

"Semua karena pelayan yang tidak tahu terimakasih itu! Lidya berani memberikan racun pada Roselyn. Malangnya putriku."

Aku tertawa dalam hati, drama macam apalagi yang mereka buat sekarang?

Lidya meracuniku? Yang benar saja! Lidya adalah satu-satunya orang di rumah ini yang peduli padaku.

Aku bisa menjamin dengan seluruh hidupku bahwa Lidya tidak akan pernah berani melakukan hal itu, bahkan dalam benaknya yang sangat sederhana, hanya ada cara bagaimana aku bisa terus sehat dan aman dari konspirasi keluarga Killian.

Lidya tidak bersalah, jika aku benar keracunan, maka tersangka utamanya adalah Allan. Siapa lagi yang paling membenciku di rumah ini selain dia? Dia yang selalu merasa tersaingi. Dia yang selalu berpikir aku akan merebut posisinya sebagai penerus keluarga. Dia yang tiada hentinya berusaha membuatku patah semangat demi memuaskan rasa tidak percaya dirinya.

"Aku sudah mengirimnya ke penjara. Aku pastikan dia akan menerima hukuman berat setelah melakukan percobaan pembunuhan pada Roselyn!"

Allan bicara dengan nada penuh dendam, seolah seorang pahlawan yang sedang memperjuangkan hakku sebagai korban.

Tidak! Lidya tidak bersalah. 

Apa yang akan terjadi jika seorang pelayan melakukan percobaan pembunuhan? Ah, hukuman mati tanpa proses peradilan. Begitulah mereka memperlakukan bukan bangsawan.

Mereka merasa tidak cukup membuatku menderita, sekarang mereka ingin menyingkirkan satu-satunya orang yang berpihak padaku.

Rencana meracuniku pasti perbuatan ketiga anggota inti keluarga Killian. Tapi dengan alasan apa mereka melakukannya?

Mereka tidak berhasil membuatku tunduk sekalipun sudah menyiksaku, jadi mereka meracuniku dan menjadikan Lidya sebagai pelakunya?

Mereka berusaha menjatuhkan dua burung dengan satu batu?

Aku harus bangun, aku harus membebaskan Lidya.

'Apa yang harus aku lakukan?' 

'Yang masuk ke tubuh Latasha bukan racun biasa, tapi racun pengunci sihir.'

Aku menunggu penjelasan lebih, tapi baik Aslan maupun Sqeeth terdiam seketika.

'Sial! Keluarga Bangsat! Sial! Sial! Sial!' Sqeeth terus mengumpat.

'Ini yang kesekian kalinya. Kenapa aku tidak bisa melindungi, Ash.'

Suara Aslan sangat lirih dalam dadaku, penyesalannya sangat mendalam.

'Aku sangat tidak berguna!'

'Berhentilah meracau! Kau sendiri tahu, kekuatan kita tidak akan bisa berfungsi tanpa kehendak Latasha. Kau harusnya ingat apa yang dilakukan Valtis Arkais, hingga Arkais menjadi suku paling ditakuti di dunia? Makanya aku selalu bilang Latasha terlalu lembek.

'Bagaimana bisa dia memaksimalkan potensi sihir yang begitu besar hanya dengan meditasi?! Jika terus seperti ini, melakukan perjanjian jiwa dengan Spirit Terkuat sekalipun, hanya akan menjadi beban baginya. Kau hanya akan menjadi mangsa jika selalu menyembunyikan taringmu!'

'AKU TAHU!' Suara Aslan bergema hingga kemarahannya mengalir ke seluruh tubuhku. 'Tapi kita tidak bisa memaksa Ash! Belum tepat bagi Ash mengetahui semuanya.'

'Belum waktunya, belum waktunya! Kau selalu mengatakan hal yang sama, Pegasus Bodoh! Semakin kau menunda, hanya akan menciptakan resiko yang lebih besar. Kalau sudah seperti ini, apa yang bisa kita lakukan?! Sampai kapan harus menunggu waktu yang tepat? Sampai Latasha mati?! Sampai dia terlahir lagi?!'

Aku mendengarkan Sqeeth yang sangat emosi, dan setiap perkataannya mengundang banyak pertanyaan bagiku. Valtis Arkais, sosok kakek moyang yang tidak pernah aku ketahui kisahnya. Ibu juga tidak pernah menyebutkan apapun tentangnya.

Apa yang sudah dilakukan leluhurku itu? Lalu kenapa Aslan menganggap waktuku belum tepat? Apa yang belum tepat? Apa yang harus aku ketahui? Rahasia apa yang mereka tutupi dariku?

'Membiarkannya terus seperti ini, sama saja memasrahkan Latasha menjadi sasaran manusia-manusia busuk di luar sana! Bahkan keluarganya sendiri lebih buruk dari pada sampah!'

Hening seketika, Aslan tidak lagi menjawab dan aku merasakan sebuah tangan besar menyentuh dahiku. Lama tangan itu menyentuhku, beberapa detik kemudian hangat dari tangannya mengalir ke seluruh tubuhku yang menggigil.

"Oh Roselyn, Putriku satu-satunya," suara Ibu kandung Roselyn meratap dalam suara terisak yang sangat dibuat-buat. Bahkan artis baru di pentas opera saja tidak seburuk dirinya.

"Istriku sayang, kau harus istirahat, jangan sampai kau ikut sakit. Ayo, aku antar ke kamarmu."

Jatuh sakit? Wanita licik sepertinya?

"Pendeta Kyan, aku mengantar istriku ke kamarnya sebentar."

Tidak ada jawaban dari Pendeta Kyan, tapi suara langkah yang meninggalkan kamar terdengar sangat jelas.

Pendeta Kyan yang tengah menyentuh mengalirkan aura padaku, tiba-tiba menghela napas. Suara tempat tidur yang ringsek seiring dengan bobot tubuh yang mendarat di sisiku, bisa aku kenali dengan cepat. Aura Pendeta Kyan yang sangat kuat membuatku bisa mengenalinya sekalipun tanpa melihat.

Bisa aku rasakan sorot mata tajamnya yang menghujam padaku.

"Aku tidak pernah merasa kasihan padamu, tapi kenapa kali ini kau tampak sangat menyedihkan?"

Aku? Menyedihkan?

"Aku bukan buta dan bisa melihat dengan jelas mereka hanya berpura-pura peduli. Aku tidak akan percaya pelayan setiamu memberikan racun langka seperti ini. Penyihir hebat tidak akan memberikan racun langkanya dengan harga murah, sementara pelayanmu terlihat seperti pengemis jika tidak memakai seragam pelayan Mansion Killian."

Suara helaan napas Pendeta Kyan terdengar sangat jelas, dan aku bisa membayangkan sepasang mata monolidnya terlihat hanya seperti garis saat tertutup rapat.

Pendeta Kyan ternyata jauh lebih logis, masih ada sisi positif dalam dirinya yang tidak mudah termakan hasutan dari para Killian. 

"Kau bahkan membatalkan pertunanganmu dengan Duke Avallon. Sebenarnya hidup seperti apa yang kau inginkan? Bukankah dengan menikahi Duke Avallon, kau bisa terbebas dari keluarga ini?"

Nada dalam suara Pendeta Kyan mengingatkanku pada seseorang yang benar-benar peduli, seseorang yang menangisi makamku sambil berkali-kali menyesali kesalahan yang tidak pernah dia lakukan.

Hidup seperti apa yang aku inginkan?

Bahkan hingga saat ini tidak bisa aku tentukan. Semenjak jiwaku masuk ke tubuh Roselyn, hanya satu harapanku, terlepas dari nama Killian, tapi dengan menikahi Avallon? Tidak, terimakasih.

"Jejak sihir hitam sudah benar-benar hilang darimu, aku bahkan bisa melakukan sihir Penyembuh, tapi apa yang harus aku sembuhkan jika aku tidak bisa mendiagnosa kondismu, bagaimana bisa aku menyambuhkanmu?! Bangun, Roselyn! Aku tahu kau bisa mendengarku! Kau mau tidak sadarkan diri sampai kapan?"

Aku ingin menjawab pertanyaan demi pertanyaannya, tapi aku bahkan tidak bisa membuka mata, terlebih lagi menggerakkan tubuh. Tubuh Roselyn termasuk yang paling lemah, daya tahannya sangat-sangat payah, tapi aku tidak menyangka akan selumpuh ini hanya karena racun.

Tidakkah di akademi diajarkan untuk membangun resistensi pada racun sejak masuk semester kedua? Apa yang dilakukan Roselyn sebenarnya hingga tubuhnya selemah ini?

"Hah… semakin banyak tugasku. Tidak hanya kesehatan Ratu Elia yang tiba-tiba menurun, sekarang kau juga keracunan. Apa aku harus membelah diri? Lancelot bahkan belum kembali sejak ditugaskan ke perbatasan Orestes bersama Icarus dan Roxie. Andai saja Pendeta Noah mau membantuku, bukan malah sibuk menjilat Raja Hardian."

Aku terkesiap. Sejak kapan Pendeta Kyan jadi banyak bicara begini?

Aku pernah mendengarnya mengobrol dengan Avallon saat tidak sadarkan diri di kuil Arthemys. Sepertinya memang hobi bicara saat subjek pembicaraannya sedang tidak sadarkan diri, atau mungkin dia suka mengeluh pada lawan yang tidak bisa menjawab. 

"Kenapa aku bicara begini padamu?"

Justru itu yang ingin aku tanyakan!

"Cepatlah sadar, aku masih harus kembali ke istana dan merawat Ratu Elia! Argh... sepertinya aku bisa gila karena tuntutan kerja yang bertubi-tubi ini! Aku juga perlu tidur! Kalian kira aku ini apa? Monster? Dewa?!"

Tangan besar Pendeta Kyan berpindah ke puncak kepalaku, mengusapnya berkali-kali sebelum berpindah ke pipiku. Aku makin tidak mengertinya ketika tangannya justru tinggal lama di pipiku, dan ibu jarinya mengusap bawah mataku berkali-kali.

"Pernah kah kau berpikir, bahwa kau sedang menuai apa yang sudah kau tanam? Bisa jadi apa yang kau alami sekarang adalah karma atas perbuatan burukmu selama ini. Apakah kau bisa bertanggungjawab atas sihir hitam yang kau tujukan pada mendiang Illiana? Kau harus sembuh untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu, Roselyn."

Ah... Pada akhirnya Pendeta Kyan tidak pernah benar-benar simpati pada Roselyn.

Apa dia bilang tadi? Menuai apa yang sudah aku tanam? Aku bahkan tidak pernah menanamnya, aku hanya tidak beruntung karena jiwaku mendarat di tubuh Roselyn.

Apa yang bisa aku lakukan ketika orang-orang justru menyerangku, padahal aku dulu salah satu korban Roselyn.

Ini semua salah Dewa Ahriman.

Dewa Ahriman sialan, dia membuatku hidup terpuruk seperti ini.

Sekarang bagaimana caranya aku bisa bangun, perutku seperti terbakar, dan kepalaku berat bukan main. Kegelapan itu berusaha menelanku lagi.

Tu-tunggu dulu, aku tidak boleh pingsan lagi. Ja-

.

.

.

"Suamiku, kau bilang dia akan bangun! Ini sudah hari ketiga! Apakah sihirnya akan pulih lagi?"

"Aku sendiri tidak tahu! Pendeta Noah bilang racun itu hanya akan melemahkan sihirnya, bukan membuatnya tidak sadar berhari-hari."

"Sudahlah, Ayah! Kau paksa saja dia cap jari, kalau tidak kita tidak akan mendapatkan apa-apa setelah bersabar sekian lama."

"Diam, Allan! Cap jari tidak akan membuktikan apa-apa, kita perlu tandatangannya yang valid di atas kertas sihir."

Berisik sekali, telingaku sampai berdenging. Yang pertama kali aku rasakan adalah punggungku yang sakit dan dingin yang amat sangat menggigit kulit. Untuk pertama kalinya aku merasa dingin seperti ini. Musim dingin seperti apapun aku selalu berhasil membangun panas dari inti sihirku, tapi sekarang tubuhku seperti diterpa badai tanpa perisai.

"Oh, dia sadar!"

Kepalaku sakit, dan aku melihat langit-langit semen berwarna hitam, kanan kiriku juga semen berwarna hitam dengan beberapa kecoa berlarian di pojokan. Alas jerami yang aku tiduri menusuk-nusuk gaun malam tipis yang aku kenakan.

Memaksa tubuh untuk bergerak, aku berhasil duduk dan melihat tiga orang badut yang tiba-tiba mengambil langkah mundur saat bertemu mata denganku. Seperti melihat monster yang baru terbangun, mereka sangat ketakutan.

"Roselyn!" Standford Killian berteriak dan berdiri beberapa langkah dari jeruji besi yang dirangkai sedemikian rupa. Rangkaian besi yang melilit satu-satunya pintu keluar itu dikaitkan dengan gembok besar berlapis-lapis.

Aku berusaha mengenali sekitarku yang sangat asing. Tidak ada satupun bagian dari tempat ini yang terasa familiar, dan aku merasa struktur bangunan ini lebih mirip penjara.

"Ha! Kau pikir bisa menahanku di sini!" gumamku dengan suara serak.

Aku mengarahkan tanganku ke rantai besi, dan memusatkan pikiran, berusaha menggunakan sihir untuk memotongnya. Aku bisa merasakan percikan sihir dalam diriku, sekalipun lemah, tapi anehnya tidak ada sedikitpun aura yang keluar dari diriku. 

Kenapa aku tidak bisa menggunakan sihir?

Apakah racun itu benar-benar sudah melumpuhkanku?

"Ha! Rasakan! Keputusan yang benar mengurungmu di ruangan anti sihir ini. Kau tidak akan bisa menggunakan sihir selama berada di ruangan ini!" Allan tertawa keras mencemoohku.

"Roselyn, aku tidak ingin berbuat sejauh ini, tapi kau tidak memberikan kami pilihan."

Stanford Killian tampak masih sungkan menyuarakan pendapatnya, tapi sorot matanya menjelaskan lebih dari kata-katanya.

Aku memiringkan kepala, merasa aneh dengan kata-katanya yang terdengar menggelitik di logikaku.

"Kami?" 

Mataku bergerak cepat melihat tiga orang badut yang tampak sangat mirip itu. Rambut mereka yang berwarna pirang, mata yang biru, dan wajah licik yang tidak lagi ditutup-tutupi.

Jadi mereka bertiga satu kubu, dan aku adalah lawan mereka. Wow, sekarang mereka bahkan mengakui hal itu dengan bangga.

"Kau harusnya menikah dengan Duke Avallon dan hidup tenang sebagai istri dari pria bangsawan nomor dua setelah keluarga kerajaan. Semestinya Kakek tidak mewariskan apapun padamu. Kau tidak tahu terimakasih!"

Allan berkelakar penuh kebencian, matanya menyala mengarah padaku.

Apa yang dia maksud dengan warisan? Aku bahkan tidak menemukan satupun catatan di buku harian Roselyn tentang warisan.

Jadi bisa aku simpulkan, mereka tidak melakukan tindakan ekstrim padaku selama ini karena mereka tidak tahu bahwa aku menerima warisan? Lalu sekarang mereka berani meracunku hanya karena tidak punya pilihan lain.

Warisan apa yang dimaksud? Apakah nama Roselyn tertulis sebagai penerima tunggal atas kekayaan keluarga Killian? Apakah Kakek Roselyn sudah menunjuk Roselyn sebagai kepala keluarga berikutnya?

"Kami sudah berusaha membesarkanmu, dan kau tidak bisa membalas budi sama sekali?!"

Aku tertawa mendengar ocehan mereka yang semakin aku dengar, semakin membuat telingaku berdenging.

"Balas budi? Untuk apa balas budi, sudah jadi tugasmu membesarkan anakmu. Kalau kau keberatan, seharusnya kau tidak melahirkanku!" aku berseru sekuat tenaga.

"Tidak melahirkanmu?!" Istri Killian berteriak histeris ke arahku. "Kau kira aku tahu jika aku akan melahirkan anak sepertimu?!" serunya hingga urat di lehernya mencuat.

Aku mendenguskan tawa lemah, menertawakan argumennya yang sangat tidak masuk akal.

"Anak seperti apa yang kalian inginkan? Menerima apapun perbuatan buruk kalian? Membiarkan kalian menjadikannya aset pertukaran? Atau anak yang diam saja sekalipun dia sedang terluka dan sakit?"

Tidak ada yang menjawabku, semua bungkam, tidak mampu mengembalikan kata-kataku.

"Yang kalian butuhkan boneka, bukan anak." tandasku seraya memiringkan badan ke dinding, karena tidak sanggup lagi menopang bobot sekalipun hanya duduk tegak.

Memuakkan sekali melihat para orang tua yang menghindari tanggungjawabnya, terlebih lagi mereka merasa terbeban dengan tanggungjawab yang seharusnya mereka emban.

Apakah kebanyakan orang tua seperti ini?

Tidak hanya ketika aku hidup sebagai Iliana, hal yang sama terjadi juga pada Roselyn.

Kedua orang tua Roselyn sangat lucu, bicara seolah-olah ini semua tanggungjawab yang tidak seharusnya mereka lakukan, malah menuntutku balas budi. 

Tunggu dulu! 

Tadi mereka bilang warisan kan? Aku harus bertanya-

"Sekarang kau tanda tangan surat ini, dan kau akan bebas." 

Standford Killian melemparkan sebuah gulungan kertas ke dalam ruang kurungan. Tubuhku masih kaku sekalipun hanya untuk menjulurkan tangan meraih gulungan kertas cokelat itu. Allan mendecakkan lidah seraya meraih gembok pintu sel, dia membukanya dan berdiri menjulang di hadapanku.

"Selamanya kau hanya akan jadi benalu, Rose!" 

Allan mengambil gulungan kertas dan membukanya, mataku yang masih berat berusaha membaca tulisan di kertas yang terlihat tidak biasa itu.

"Aku, Ashley Roselyn Killian, dengan ini menyatakan bahwa aku menyerahkan tambang emas dan batu sihir serta seluruh warisan yang diberikan oleh mendiang Marquis Albert De Killian kepada kedua orang tuaku karena aku tidak berniat menikahi siapapun. Aku menyerahkan pengelolaan hartaku kepada kedua orang tuaku dengan penuh kesadaran. Pernyataan ini aku buat dengan sebenar-benarnya dan tanpa ada paksaan dari siapapun?..." aku terdiam sejenak setelah membaca barisan kalimat yang tertulis di gulungna kertas.

"Lelucon macam apa ini?" pandanganku terangkat, menatap tiga orang yang tengah mengintaiku bak burung pemangsa daging yang tengah kelaparan.

Pandanganku berpindah ke Allan yang membungkukkan dan perlahan berlutut di hadapanku, aku terkesiap melihat betapa menyeramkan matanya yang mengilat jahat bengisnya.

"Sebaiknya kau menurut saja. Sihirmu tidak akan berfungsi di sini, dan kau akan menemui ajalmu dengan cepat. Kau tahu dimana ini?"

Aku menoleh ke belakangku, ke arah lubang angin yang mirip jendela yang hanya sebesar dua jengkal itu tertutup dengan jeruji besi, dari celah antar jeruji, aku bisa melihat jelas langit berwarna jingga dengan suara deburan ombak yang sangat jelas, burung camar terbang dengan gelisah di udara, sementara wangi laut yang kental menusuk hidungku.

Ini bukan mansion Killian. 

Apakah mereka membawaku saat aku tidak sadarkan diri?

"Tidak ada siapapun yang akan menyelamatkanmu di sini."

Aku tidak memberikan reaksi apapun pada Allan.

"Sudah beredar kabar tentang menghilangnya Ashley Roselyn Killian yang diculik saat keluarganya berusaha mencari Penyembuh di Pusat Lindbergh. Beberapa pelayan ditemukan terluka, dan satu orang pelayan ditemukan tewas karena serangan penculik."

Aku membelalak ketika Allan menekankan suara pada 'satu orang pelayan'

"Lidya..." nama itu meluncur begitu saja dari mulutku, dan senyuman sinis Allan menjawab ketakutan dalam diriku.

Aku tidak pernah membayangkan bahwa seseorang akan mati hanya karena mereka memutuskan untuk berada di pihakku. Lidya begitu tulus melakukan semua hal untukku, dirinya yang bahkan tidak peduli sekalipun pelayan lain menjauhinya, mencibir karena memutuskan untuk membelaku.

Tidak ada satupun kesalahan yang dilakukan Lidya, Lidya hanya menempatkan dirinya sebagai seorang manusia yang simpati pada seorang anak perempuan yang diperlakukan dengan tidak adil.

Mereka .... mereka...

"Bajingan!" aku berteriak seraya melompat hendak menyerangnya, tapi Allan menghindar sebelum tanganku meraihnya.

"A-apa yang kalian lakukan? Lidya tidak salah, ke-kenapa kalian membunuhnya?!" kepalaku berkabut seketika, kemarahan naik hingga membakar tenggorokanku yang kering.

"Pelayan yang tidak mengikuti perintah Tuannya, pantas untuk dihukum." Killian Stanford menjawab tanpa secuilpun rasa bersalah.

"Apakah nyawa manusia begitu mudahnya kalian renggut? Kalian tidak pada hukum karma?" gumamku dengan mata panas, air mata yang aku harapkan turun tidaklah turun, kesedihan itu begitu menyesakkan dada, tapi tidak ada air mata yang mampu aku teteskan.

"Jika kau menolak menandatangani surat ini, maka bukan lagi berita tentang kau diculik yang beredar, tapi mayatmu yang ditemukan tidak bernyawa. Jadi, sebaiknya kau melakukan apa yang seharusnya kau bisa lakukan untuk bertahan hidup, Rose!"

"Kalian bukan manusia, kalian monster!" aku mendesis, menggenggam buku-buku tanganku hingga memutih. Begitu besar keinginanku untuk menghabisi mereka semua. Inti sihirku terbuka sepenuhnya, tapi aku tidak bisa mengalirkan aura sama sekali.

Allan menarik tanganku dengan kasar, ikatan kuat yang menyatuhkan kedua tanganku bergesek sedemikian rupa hingga perih membakar.

"Tanda tangan!" dia memaksaku memegang pena dari sakunya, dan ketika aku meludah di wajahnya dia menamparku hingga aku tersungkur di atas jerami.

Aku dipaksa duduk lagi, dan Allan lagi-lagi memaksaku memegang pena. Menatapnya dengan jijik, aku tersenyum mencemooh seraya berkata, "Kalian pikir aku takut?Bermimpilah!" dan tanganku terangkat, menghujamkan pena ke bahu kanannya sekuat tenaga.

"ARGH!" 

"ALLAN!" 

Allan meninju wajahku dengan tangan kirinya. Kepalaku berdenging keras seriring pipiku yang berdenyut sakit, rasa sakit yang menjalar itu membuat mataku sulit dibuka, tapi kemarahan Allan tidak sampai di situ, dia menendang dadaku berkali-kali. Aku menahan napas demi melawan rasa sakit yang bertubi-tubi.

"Allan! Cukup, Allan! ALLAN! Kau bisa membunuhnya!"

Kegaduhan di ruang sempit ini sulit aku cerna ketika seluruh tubuhku nyeri, kepalaku berdenging sekalipun suara-suara dari luar tembok terdengar sangat jelas. Inti sihir dalam diriku terbuka sepenuhnya, tapi aku tidak mampu menggunakan sihir besar ini, semua terbendung.

Aku tidak merasakan kehadiran Aslan dan Sqeeth. Jika keduanya adalah bagian dari diriku, lalu kenapa aku tidak bisa memanggil mereka?

Aku tidak ingin bergantung pada kekuatan spirit, tapi apakah salah jika aku berharap setelah dua spirit berkata tidak akan meninggalkanku sendirian?

Jika memang aku ditakdirkan untuk sendirian menghadapi ini semua, jangan pernah menunjukkan harapan itu padaku.

Aku terbaring tak berdaya, mataku setengah terbuka, tapi lidahku kelu, sekujur tubuhku hampir mati rasa karena sakit yang tak kunjung mereda. Allan tidak berhenti menyerang tubuhku dengan tinju dan tendangannya.

Teriakan kedua orang tua Roselyn yang berusaha menghentikan Allan terdengar sama dalam pendengaranku.

Aku tidak ingin melihat dunia yang seperti ini.

Dunia terlihat begitu gelap dan kelam. 

Kenapa aku selalu melihat sisi tergelap dalam jiwa manusia?

Mereka yang sangat egois demi memuaskan keinginan.

Mereka yang rela melakukan apapun demi mendapatkan apa yang mereka cita-citakan.

Mereka yang merasa harus menyakiti orang lain demi melindungi diri mereka sendiri.

Mereka yang harus mati hanya karena ingin membela kebenaran.

Roselyn, jika yang diperlakukan seperti ini adalah dirimu yang sesungguhnya, apa yang akan kau lakukan?

Apakah kau akan tetap diam menerima perlakuan mereka, dan mencari Iliana Iliana yang lain untuk meluapkan emosimu yang terkungkung?

Aku melihat bagaimana kau memperlakukanku, tapi tidak sedikitpun aku berpikir untuk menyakitimu. Tapi mereka yang jelas-jelas keluargamu, yang dalam tubuhnya mengalir darah yang sama, tega menyakitimu hingga sedemikian rupa?

Dewa Hermush tidak pernah melakukan apapun untuk memperbaiki ini semua.

Jika dewa memutuskan untuk membuangku, maka aku pun akan melakukan hal yang sama.

.

.

.